Share

4. Pertemuan Kedua

Kejadian tak terduga menimpa seorang pria bernama Ryan Wibisono atau yang akrab dipanggil Wibi. Dia hampir saja dijebak oleh mantan kekasihnya, Teresa, yang tengah hamil. Dan ternyata Teresa nekat mengakhiri hidupnya di lobi hotel, dimana ada begitu banyak orang di sana.

Para staf dan karyawan hotel segera menolong wanita itu, membawanya ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama. Dan Wibi juga ikut digiring ke sana. Bahkan seorang petugas keamanan menahan lengannya dengan erat, takut pria ini akan kabur.

"Saya akan ikut ke rumah sakit. Tapi lepaskan dulu tangan saya, Pak!" geram Wibi menahan gondok. Sejak meninggalkan hotel lima menit yang lalu, lengannya tetap ada dalam cengkeraman pria berkumis ini. Seolah Wibi akan melompat keluar jika tidak ditahan. Padahal jelas-jelas tidak ada celah sama sekali untuknya bisa kabur.

"Pak Security, lepas aja nggak apa-apa, Pak." Wanita resepsionis itu menengahi keadaan. "Tapi Bapak harus tanggung jawab. Ini mbaknya pacar Bapak, 'kan?" Pandangan wanita ini mengarah pada Wibi dengan penuh kecurigaan.

Lagi-lagi Wibi harus menambah stok kesabaran dalam dadanya. Dia tidak boleh marah pada orang yang tidak tahu apa-apa ini. Dia bahkan tidak tahu bagaimana Teresa bisa hamil, bertemu saja tidak pernah. Apalagi menanamkan benih ke dalam rahimnya. Memangnya bisa?

"Dulu dia memang pacar saya. Tapi itu dulu, Pak! Satu tahun yang lalu," jawab Wibi sesingkat mungkin. Dia enggan berbicara dengan orang asing.

"Sekarang mbaknya hamil, Bapak nggak mau tanggung jawab?!" Si Resepsionis yang ikut mengantar Teresa, semakin memperkeruh keadaan. Dia memangku wanita yang kini terlihat tak sadarkan diri. Sejak awal terlihat jelas bahwa dia tidak menyukai Wibi.

"Sudah saya katakan, saya bukan ayah dari anak ini. Tolong jaga ucapannya ya!" Wibi geram dengan pandangan sinis yang orang-orang ini layangkan.

"Lah sudah jadi rahasia umum, Pak. Buat orang-orang berduit macam Bapak ini, apa sih yang nggak bisa diatur? Walaupun Bapak bilang bulan itu segitiga, saya juga harusnya bilang iya!"

"Bukan seperti itu!" Wibi mengeratkan rahangnya. Entah bagaimana caranya agar bisa membuat orang-orang ini percaya padanya. Pertengkaran dua orang asing ini tak terhindarkan hingga kemudian terdengar suara....

BRAKK!

Mobil berwarna hitam yang dinaiki oleh enam orang ini terhenti paksa. Bamper depannya menubruk motor skuter matik yang dikendarai oleh seorang wanita.

"Innalillahi. Ya Allah!" seru pria di balik kemudi. Dia terganggu oleh pertengkaran orang-orang di kursi belakang, membuatnya gagal fokus. Bukannya menginjak pedal rem, justru menambah kecepatan mobil ini.

"Astagfirullah, maaf Mbak. Mbaknya nggak apa-apa?" tanya pria paruh baya ini, panik. Dia segera keluar dan menghampiri wanita yang berpakaian serba putih. Tampaknya dia perawat di rumah sakit ini.

Wanita itu tak menjawab. Dia segera memeriksa keadaan sekitar, takut isi tasnya tercecer di jalanan depan rumah sakit ini.

"Maaf, Mbak. Mbaknya nggak apa-apa?" ulang pria ini lagi. "Saya nggak sengaja. Sekali lagi maafkan saya, Mbak. Saya bawa pasien darurat jadi panik." Pengendara mobil ini merasa bersalah. Dia menjelaskan sebelum diminta.

Amel mengangkat wajah sambil membuka masker kain yang menutupi mulut dan hidungnya. Dia memang terbiasa memakai itu untuk melindunginya dari debu dan polusi sepanjang jalan.

"Dia?!" Urat leher Wibi menegang saat melihat wanita yang tengah berbincang dengan supir hotel Queen itu. Wajahnya tidak asing. Dia adalah gadis yang motornya ia senggol di perempatan lampu merah, satu jam yang lalu.

'Astaga! Masalah baru lagi. Kenapa dunia begitu sempit?' Itu yang Wibi pikirkan seketika. mereka berdua bertemu dua kali dalam satu hari. Ah, tepatnya masih dalam hitungan jam.

"Saya nggak apa-apa kok, Pak. Bapak bawa pasien?" tanya Amel.

"Iya, Mbak. Wanita. Dia bunuh diri, urat nadinya dipotong pakai pisau."

"Astaghfirullah al 'adzim. Ayo cepet dibuka pintunya, Pak. Saya panggil temen-temen saya yang lain." Perawat bernama lengkap Winda Amelia itu berlari ke arah pintu masuk ruang gawat darurat. Dia mengabaikan langkah kakinya yang sedikit pincang. Jiwa penolongnya langsung terkesiap saat mendengar pernyataan bahwa di dalam mobil itu ada orang yang tengah bergulat antara hidup dan mati.

Sejurus kemudian, beberapa perawat muncul dengan ranjang yang akan membawa pasien ke dalam ruangan. Mereka semua sigap menangani pasien, termasuk perawat yang sedikit tertatih karena jatuh itu.

Tubuh lemah Teresa langsung dibawa ke dalam ruangan gawat darurat guna mendapat pertolongan pertama. Tak lama kemudian, Amel keluar dan menemui empat orang yang datang bersama pasien ini.

"Maaf, disini siapa keluarga pasien?"

Tiga orang yang memakai lencana Queen Hotel kompak menunjuk pria yang kini tengah bertelepon, yang tak lain adalah Wibi.

Tuk tuk

Amel mengetuk punggung bidang pria ini dengan ujung pena yang ada di tangannya, membuat Wibi menoleh seketika. Panggilan telepon dia akhiri setelah mengucap beberapa patah kata.

Keduanya saling pandang selama beberapa detik. Ah, lebih tepatnya Wibi yang terhenyak karena berhadapan dengan gadis yang ia senggol motornya siang ini. Dia tidak bisa mendengar suara apapun, seolah dunia berhenti berputar untuknya. Amel menjelaskan bahwa pasien butuh transfusi darah secepatnya. Dan itu harus atas persetujuan wali atau keluarga pasien.

"Ekhm. Ada apa?" Wibi memasang sikap sok cool setelah berdeham, meredakan rasa canggung yang merasuki hatinya. Padahal Amel tidak mengenalinya sama sekali.

"Bapak tidak mendengarkan saya?!" Kalimat ketus itu yang pertama Wibi dengar. Sejak tadi telinganya seolah tuli, tidak mendengar rentetan kata yang diucapkan oleh perawat ini.

Pria itu justru menatap name tag di dada Amel. Wibi ingin tahu nama gadis pengendara skuter matic yang tak sengaja ia tabrak siang tadi. Disana tertera tulisan Winda A. Ini pertemuan kedua mereka.

"Bapak dengar apa yang saya katakan?" ulang Amel. Dia yakin pria ini tidak mendengarkannya.

"Ya. Apa? Ada apa?" tanya Wibi tergeragap.

"Astaghfirullah, Bapak. Saya sudah mengatakannya dua kali. Ini terakhir kalinya saya bertanya. Apa Bapak keluarga pasien?" Amel berusaha bersabar menghadapi keluarga pasien satu ini. Ini bukan pertama kalinya dia mendapati hal yang sama, jadi dia sudah paham betul.

"Saya bukan keluarganya." Wibi gugup menjawabnya, membuat Amel memicingkan matanya.

"Kalau begitu, apa hubungan Bapak dengan pasien? Rekan kerja, tetangga, saudara, atau apa?"

Wibi tak segera menjawab. Dia bingung memosisikan dirinya dalam situasi ini.

"Dia AYAH dari bayi yang dikandung pasien tadi, Sust." Wanita dengan setelan pakaian warna biru itu berkata lantang, menjawab pertanyaan yang Amel tujukan pada Wibi. Dia sengaja menekankan kata 'ayah' dalam kalimatnya.

Netra Amel membola. Entah kenapa hatinya berdenyut nyeri saat mendengarnya, seolah ada perasaan tidak rela. Padahal jelas-jelas dia tidak mengenal pria ini.

"Jaga mulut kamu ya! Saya tegaskan, saya bukan AYAH dari anak itu. Saya bisa laporkan ini sebagai pencemaran nama baik!" Wibi yang terlanjur emosi pada wanita resepsionis ini, terpaksa menunjukkan tajinya. Dia tidak pernah ditindas oleh siapapun. Dan memang tidak pernah mengizinkan siapapun menindasnya.

"Sudah jadi rahasia umum, Pak. Makanya kalau nggak mau tanggung jawab, jangan coba-coba main di atas ranjang!"

'Astaghfirullah al 'adzim,' ucap Amel dalam hati. Dia berusaha tenang, tidak ikut terprovokasi oleh orang-orang yang tengah dikuasai amarah ini.

"Maaf, Bapak, Ibu. Tolong jangan membuat kegaduhan." Amel menatap Wibi dan wanita itu bergantian.

"Dan, Ibu. Tolong jangan menyela pembicaraan. Saya sedang bertanya pada Bapak ini, bukan pada Ibu. Jika memang Ibu yang akan bertanggung jawab pada pasien di dalam, maka lebih baik Anda saja yang menandatangani dokumen ini." Amel menunjukkan form persetujuan keluarga pasien.

Wibi tersenyum simpul. Dia kagum pada sikap tegas perawat mungil di hadapannya. Rasa kesalnya terbayarkan melihat wajah wanita itu yang seolah mati kutu, salah tingkah.

"Bapak jangan dulu tersenyum, silakan tanda tangan dokumen ini. Saya tidak tahu apa hubungan Bapak dengan pasien di dalam, dan memang bukan hak saya untuk tahu. Silakan tanda tangan di sini." Amel kembali menunjuk kolom tempat membubuhkan tanda persetujuan dari pendamping atau keluarga pasien.

"Apa ini?" tanya Wibi dengan kening berkerut.

"Form persetujuan, Bapak." Amel mengepalkan tangannya, geram pada pria di depannya ini. "Setelah Anda menandatanganinya, maka pasien bisa langsung mendapat pertolongan untuk menyelamatkan nyawanya. Dia juga membutuhkan transfusi darah secepatnya. Mohon Anda tanda tangan di sini." Amel menyerahkan pena itu pada Wibi sembari menunjuk kolom kosong di bagian bawah kertas yang dipegangnya.

Wibi segera menandatangani dokumen itu, membuat Amel masuk kembali ke dalam ruangan, detik berikutnya.

Wibi menatap punggung mungil itu dengan pandangan selidik. Dia penasaran siapa perawat ini. Wajahnya terasa familiar, tidak asing. Seperti pernah melihat fotonya di suatu tempat. Tapi dia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Entahlah.

***

Wah, mulai ketemu face to face nih dua pemeran utama kita. Kira-kira Wibi pernah lihat foto Amel dimana ya?

See you next episode.

Hanazawa Easzy

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status