Matahari masih bersinar dengan cerah di luar sana, membuat siapa saja kepayahan.
Brukk
Amel membaringkan tubuhnya di atas kasur sembari memejamkan mata. Dia menatap luka baret di punggung tangan dan siku, akibat kecelakaan kecil tadi. Gaunnya koyak, menjadi korban aspal jalanan. Baru saja dia ingin terpejam sejenak, telinganya menangkap sebuah suara.
Drrtt drrtt
Ponsel Amel bergetar, menandakan ada panggilan masuk saat itu juga. Dengan malas, gadis 25 tahun ini mengambilnya. Nama 'Mama' tertera di sana.
"Mama telepon? Ada maslah apa ya? Tumben," gumam Amel sedikit heran. Dia jarang menghubungi orangtuanya karena setiap libur ia menyempatkan pulang ke rumah. Dari tempat kosnya ini, setidaknya membutuhkan waktu satu jam sampai ke tempat tinggal mama dan papanya.
"Assalamu'alaikum, Ma," sapa Amel lembut.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah." Suara itu segera menyapa indera pendengaran Amel.
"Ada apa, Ma?" tanya gadis ini to the point.
"Ada apa? Memangnya mama nggak boleh telepon kamu?" Suara itu terdengar tidak bersahabat, pura-pura marah pada putri semata wayangnya ini.
"Ya, bukan gitu, Ma. Besok-besok aku juga pulang."
"Kamu dimana?"
"Di kamar kos. Kenapa?"
"Libur kerja?" kejar wanita paruh baya itu.
"Shift siang, ini bentar lagi mau berangkat, Ma. Kenapa si? Bikin penasaran aja."
Hening, tak ada percakapan untuk beberapa menit kemudian.
"Maa?" panggil Amel karena tak kunjung mendengar suara ibunya lagi.
"Kamu bisa izin nggak hari ini? Nggak usah masuk kerja, deh."
Kening Amel berkerut dalam. "Nggak usah masuk kerja, kenapa?"
"Nggak apa-apa sih. Kamu pulang ya, Mama kangen."
"Eh? Ada apa? Mama sakit?" tanya Amel khawatir. Tidak biasanya mamanya ini memintanya pulang tanpa sebab yang jelas.
Lagi-lagi Mama Amel bungkam.
"Maa?!" panggil Amel, mulai gemas. Dia beranjak duduk, menantikan suara wanita yang telah melahirkannya 25 tahun lalu. "Kenapa sih? Papa sakit?
"Bukan. Nanti malem ada tamu mau dateng ke rumah." Suara Mama sedikit ragu, tidak yakin menyampaikan hal itu pada putrinya.
"Tamu? Siapa? Keluarganya Adelia?" Amel tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri. Adelia adalah saudara sepupunya yang tinggal bersama mama dan papanya.
Percakapan dua wanita ini terkesan singkat. Amel memang tak terlalu banyak bicara jika berhadapan dengan mamanya. Entah kenapa hubungan mereka sedikit renggang sejak wanita ini suka menjodoh-jodohkannya.
"Pak Ustadz. Beliau dateng buat ngenalin kamu sama calon suamimu. Ta'aruf gitu."
"WHAT? Ta'aruf?" Bola mata Amel membulat. Dia tidak ingin melakukan hal itu lagi. Hatinya belum ingin menerima orang baru. Masih ada satu nama di sana.
"Pulang ya, Mel," bujuk mama.
"Nggak. Maaf, Ma. Aku nggak mau dijodohin!"
Bip
Amel menekan ikon tombol warna merah di ponsel pintarnya. Dia dengan tegas menolak perjodohan atau apapun itu yang mamanya aturkan.
"Nikah nikah nikah! Ish, sebel!!"
Amel beranjak beridir, mencuci luka di tangannya dengan air mengalir. Setidaknya hal itu bisa membuatnya lupa dari acara perjodohan yang mamanya inginkan.
Tok tok tok
Suara pintu diketuk terdengar dari satu-satunya akses yang menghubungkannya dengan dunia luar. Dengan perasaan gondok di hatinya, Amel melangkah ke depan dan membuka pintu coklat di hadapannya.
"Hallo, assalamu'alaikum, Winda Amelia," sapa suara yang tak lagi asing di telinga Amel.
Seorang wanita berdiri di depan pintu dengan senyum terkembang di wajahnya. Jilbab merah marun yang dipakainya senada dengan pewarna bibir yang menghiasinya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh, kakak Adelia yang cantik! Ngapain ke sini?" tanya Amel ketus.
Amel sengaja mematikan sambungan telepon sepihak, tapi justru sepupunya datang ke tempat kosnya. Pasti kedatangannya ini berhubungan dengan permintaan mama yang memintanya untuk pulang.
Langkah kaki Amel terus bergerak, membawa tubuh mungilnya ke arah dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Dia mengabaikan kedatangan makhluk tak diundang ini.
"Ih, kok ketus amat sih. Awas loh cepet tua kalo marah-marah terus." Candaan itu tak bisa membuat Amel tersenyum, justru semakin kesal.
Amel bungkam. Ia diam seribu bahasa, tak berniat meladeni Delia. Percuma saja bertengkar dengan saudaranya satu ini.
"Mel," panggil Delia beberapa menit kemudian, menatap Amel yang tengah menikmati santap siangnya di atas kursi. "Pulang ya," bujuknya kemudian.
Lagi-lagi Amel tak menjawab. Dia khusuk menikmati makanan di dalam mulutnya. Katakanlah dia keras kepala, karena memang dia anak tunggal. Maka, pantaslah dia memiliki tabiat seperti ini.
"Mel, mama cuma pengen bantu kamu. Papa udah--"
"STOP!" Amel mengangkat tangannya, meminta Delia untuk diam. "Berisik tahu nggak?!"
Swuush
Swuush
Amel mencuci peralatan makannya di washtafel, mengabaikan pandangan sendu sepupunya ini.
"Mel, aku tahu kamu--" Delia menelan semua kata-kata yang hendak ia ucapkan saat melihat luka baret di punggung tangan dan siku adik sepupunya. "Tangan kamu luka. Udah diobatin?" tanya Delia dengan raut wajah khawatir.
Gerakan tangan Amel terhenti, ikut menatap luka yang ia dapat setengah jam yang lalu. Air kran terus membasuh jemarinya, menghilangkan busa yang sedari tadi ada di sana.
"Bukan apa-apa kok. Nggak sengaja jatuh tadi di lampu merah."
"Jatuh? Di lampu merah? Kok bisa? Ada luka yang lain lagi? Coba lihat," kejar Delia, khawatir akan keadaan adik sepupu yang seumuran dengannya. Hal itu membuat topik pulang ke rumah menjadi terlupakan.
"Duuhhh, bawel banget deh emak-emak satu ini. Bikin tambah pusing, tahu nggak? Daripada ngomel nggak jelas di sini, mending pulang gih. Bilangin ke mama sama papa, putri semata wayangnya ini kebetulan lagi shift siang, baru pulang jam 10 malam. Perjalanan satu jam, kalau mau nunggu berarti silakan ditunggu sampe jam 11."
Ibu satu anak ini tidak menyangka akan mendapat jawaban panjang lebar dari Amel. Biasanya, gadis ini sangat jarang bicara. Dua atau tiga kalimat tergolong panjang. Dan sekarang bahkan rasanya lebih panjang dibandingkan mendengarkan pidato presiden saat ada acara kenegaraan di istana. Luar biasa.
Sejurus kemudian, Amel mengunci dirinya di kamar mandi. Suara gemericik air yang memancar dari shower segera terdengar. Amel meninggalkan Delia seorang diri. Entah bagaimana caranya Delia menjelaskan pada paman dan bibinya tentang penolakan Amel ini.
Entah drama seperti apa yang akan terjadi nanti, Delia tidak bisa membayangkannya. Sikap Amel sebagai anak tunggal yang keras kepala, mungkin akan bertengkar dengan papanya yang memiliki sifat yang sama. Entahlah.
Delia hanya bisa mengembuskan napas beratnya. Dia harus segera pulang dan menyampaikan jawaban dari Amel. Keputusan papa dan pak ustadz akan menjadi penentu masa depan Winda Amelia.
* * *
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah ta'aruf akan tetap berlangsung atau bisa Amel hindari?
Maafkan jika masih ada typo. See you next episode.
Hanazawa Easzy
Sebuah mobil warna silver terparkir di basement sebuah gedung pencakar langit bertuliskan Queen Hotel. Seorang pria dengan kacamata hitam keluar dari kendaraan roda empat itu. Dia melangkah cepat ke dalam lift yang membawanya ke lantai 7. Ting Denting nyaring terdengar sesaat sebelum pria ini berlari. Langkah kakinya dengan cepat sampai di depan sebuah ruangan bertuliskan angka 756. Kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di atas hidungnya kini berpindah ke saku kemeja warna navy yang dipakai pria ini. Tok tok tok Tak menunggu waktu lama, ketukan itu segera bersambut. Seorang wanita berambut pirang membuka pintu di hadapannya, membuat sosok pria tampan itu terlihat. "Hello, Bi," sapa wanita itu dengan nada manja. Dia bahkan tak segan mengedip-ngedipkan sebelah matanya, menggoda makhluk di hadapannya. "Ada apa? Kenapa kamu panggil saya kesini?" Pria ini menggunakan bahasa formal, menunjukkan bahwa dia menjaga jarak sebisa mungkin dar
Kejadian tak terduga menimpa seorang pria bernama Ryan Wibisono atau yang akrab dipanggil Wibi. Dia hampir saja dijebak oleh mantan kekasihnya, Teresa, yang tengah hamil. Dan ternyata Teresa nekat mengakhiri hidupnya di lobi hotel, dimana ada begitu banyak orang di sana. Para staf dan karyawan hotel segera menolong wanita itu, membawanya ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama. Dan Wibi juga ikut digiring ke sana. Bahkan seorang petugas keamanan menahan lengannya dengan erat, takut pria ini akan kabur. "Saya akan ikut ke rumah sakit. Tapi lepaskan dulu tangan saya, Pak!" geram Wibi menahan gondok. Sejak meninggalkan hotel lima menit yang lalu, lengannya tetap ada dalam cengkeraman pria berkumis ini. Seolah Wibi akan melompat keluar jika tidak ditahan. Padahal jelas-jelas tidak ada celah sama sekali untuknya bisa kabur. "Pak Security, lepas aja nggak apa-apa, Pak." Wanita resepsionis itu menengahi keadaan. "Tapi Bapak harus tanggung jawab. Ini mbakny
Pertolongan pertama pada Teresa segera dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Wibi. Para perawat dan dokter jaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) berusaha melakukan yang terbaik untuk pasien itu. Terlebih lagi, dia sedang mengandung sekarang. Resiko kehilangan nyawa lebih besar, dibandingkan wanita lain yang tidak berbadan dua.Bunuh diri merupakan salah satu dari 15 besar penyebab kematian di dunia. Setidaknya lebih dari 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Dan untuk pelaku dengan rentang usia 15-29 tahun, bunuh diri merupakan penyebab kematian utama.Di antara para tenaga medis itu, terdapat Winda Amelia atau yang akrab dipanggil Amel. Dia bertugas mengurus administrasi pasien. Yah, sebenarnya ini bukan tugas utama Amel. Tapi, di situasi darurat seperti sekarang, apa saja harus dilakukan dengan cepat."Dok, kondisi pasien semakin melemah. Dia butuh transfusi darah secepatnya!" ucap seorang pria dengan masker
Langit telah gelap seluruhnya saat Amel keluar dari ruang perawatan Teresa. Langkah kakinya tertuju pada ruang istirahat khusus perawat di ujung koridor. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari pengeras suara masjid. Sudah waktunya salat maghrib.Segera saja, Amel mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah rutin tiga rakaat kewajibannya. Sudah menjadi keharusan sebagai seorang muslim untuk bersegera melaksanakan salat begitu masuk waktunya.Krekk krekkTerdengar bunyi gemeletuk di leher gadis 25 tahun ini. Dia menggerakkan lehernya, berharap rasa pegal yang ia rasakan akan sedikit berkurang. Tangannya sibuk, melipat mukena yang telah ia pakai dan menyimpannya lagi di dalam loker.Sejak datang siang tadi, hanya satu pasien yang ia urus, yakni pasien bunuh diri yang bernama Teresa itu. Kondisinya sudah sedikit membaik, namun masih lemah. Tubuhnya harus menyesuikan diri setelah kehilangan darah cukup banyak.
Sebuah mobil warna hitam meninggalkan pelataran rumah sakit. Di dalamnya berisi dua orang wanita dan seorang pria yang duduk di balik kemudi."Udahan dong, Mel. Jangan cemberut gitu. Jelek tahu!" Suara Delia segera memecah keheningan malam ini."Bodo amat!"BrukkAmel menjatuhkan badannya di kursi belakang dan memilih memejamkan matanya. Sebuah bantal hello kitty segera menutupi wajahnya, menyembunyikan rasa kesal luar biasa yang ia tampilkan.Delia melirik suaminya, meminta pertimbangan. Gadis di kursi belakang itu kini benar-benar marah. Delia merasa bersalah karena memaksa Amel pulang lebih awal.Pria bertubuh sedikit berisi itu menggelengkan kepala, meminta istrinya untuk tak memaksa adik sepupunya ini. Tidak ada yang salah. Mereka hanya menjalankan amanah papa dan mama. Lagipula ini juga demi kebaikan Amel.Mobil melaju membelah jala
Wibi dan keluarganya mendatangi rumah Amel dalam rangka prosesi ta'aruf. Meski sempat kecewa sebelumnya, namun akhirnya acara berjalan dengan lancar.Setelah makan malam bersama, Wibi meminta izin untuk berbicara empat mata dengan Amel. Mereka duduk berdua di taman yang ada di halaman depan."Kamu nikah sama saya!" titah seorang pria yang tak lain adalah Wibi."HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" Amel tak mengerti jalan pikiran pria satu ini. Tadinya ia memasang jurus andalannya, yakni mode diam. Tapi, mendengar titah Wibi, membuat gadis ini berang juga. Dia tidak mau hidupnya diatur begitu saja oleh orang asing ini."Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu! Kita nikah minggu depan." Wibi menatap manik mata Amel, serius dengan ucapannya."HAH?"Wajah Amel merah padam. Dia sungguh membenci pria otoriter seperti orang yang kini duduk di hadap
Matahari naik sepenggalah saat sebuah mobil warna hitam memasuki salah satu rumah sakit di ibukota. Tampaknya hari ini banyak pasien rawat jalan, terlihat dari padatnya kendaraan di tempat parkir ini.Amel segera melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkupi tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, namun pergerakannya masih gesit. Terlihat jelas bahwa dia bukan gadis yang pemalas."Pak Ryan, dimana ibu Bapak dirawat?" tanya Amel sembari membenahi jilbabnya. Ada satu dua helai rambut halus yang menerobos keluar dari inner yang digunakannya.Wibi menoleh dengan kening berkerut. Gadis ini tidak mengatakan apapun sepanjang jalan. Dan begitu membuka suara, justru kalimat formal yang ia ucapkan."Pak?" Amel menatap lawan bicaranya.'Astaga. Gadis ini.' Wibi menoleh ke arah lain, tak habis pikir dengan sikap Amel padanya."Kamu panggil apa barusan?" Wibi mencoba menya
Amel terpaksa mengikuti Wibi untuk membantu ibunya. Mereka sampai di rumah sakit Harapan Bunda sekitar pukul delapan pagi. Keduanya langsung menuju ruang perawatan di lantai 3 nomor 7, ruang Melati.Dokter Nura yang menjadi penanggung jawab ibu Wibi, meminta Amel mengikutinya untuk mengurus dokumen. Namun, ternyata dia berniat mengenalkan seseorang untuk menjadi jodoh Amel. Tentu saja gadis ini berusaha menghindar sebisa mungkin. Dia belum ingin menikah, itu alasan utamanya.Baru saja keluar dari ruangan dokter Nura, Amel justru tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Atau lebih tepatnya, dia yang menabrak orang di hadapannya, membuat dokumen di tangannya berserakan di lantai."Amel?" Pria yang Amel tabrak menyapa. "Kamu bener Winda Amelia 'kan?" tanyanya mengonfirmasi. Dia yakin bahwa gadis yang kini terduduk di lantai itu Amel, temannya saat kecil."Maaf, siapa ya?" Amel berusaha mengenali pria