Share

2. Keras Kepala

Matahari masih bersinar dengan cerah di luar sana, membuat siapa saja kepayahan.

Brukk

Amel membaringkan tubuhnya di atas kasur sembari memejamkan mata. Dia menatap luka baret di punggung tangan dan siku, akibat kecelakaan kecil tadi. Gaunnya koyak, menjadi korban aspal jalanan. Baru saja dia ingin terpejam sejenak, telinganya menangkap sebuah suara.

Drrtt drrtt

Ponsel Amel bergetar, menandakan ada panggilan masuk saat itu juga. Dengan malas, gadis 25 tahun ini mengambilnya. Nama 'Mama' tertera di sana.

"Mama telepon? Ada maslah apa ya? Tumben," gumam Amel sedikit heran. Dia jarang menghubungi orangtuanya karena setiap libur ia menyempatkan pulang ke rumah. Dari tempat kosnya ini, setidaknya membutuhkan waktu satu jam sampai ke tempat tinggal mama dan papanya.

"Assalamu'alaikum, Ma," sapa Amel lembut.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah." Suara itu segera menyapa indera pendengaran Amel.

"Ada apa, Ma?" tanya gadis ini to the point.

"Ada apa? Memangnya mama nggak boleh telepon kamu?" Suara itu terdengar tidak bersahabat, pura-pura marah pada putri semata wayangnya ini.

"Ya, bukan gitu, Ma. Besok-besok aku juga pulang."

"Kamu dimana?"

"Di kamar kos. Kenapa?"

"Libur kerja?" kejar wanita paruh baya itu.

"Shift siang, ini bentar lagi mau berangkat, Ma. Kenapa si? Bikin penasaran aja."

Hening, tak ada percakapan untuk beberapa menit kemudian.

"Maa?" panggil Amel karena tak kunjung mendengar suara ibunya lagi.

"Kamu bisa izin nggak hari ini? Nggak usah masuk kerja, deh."

Kening Amel berkerut dalam. "Nggak usah masuk kerja, kenapa?"

"Nggak apa-apa sih. Kamu pulang ya, Mama kangen."

"Eh? Ada apa? Mama sakit?" tanya Amel khawatir. Tidak biasanya mamanya ini memintanya pulang tanpa sebab yang jelas.

Lagi-lagi Mama Amel bungkam.

"Maa?!" panggil Amel, mulai gemas. Dia beranjak duduk, menantikan suara wanita yang telah melahirkannya 25 tahun lalu. "Kenapa sih? Papa sakit?

"Bukan. Nanti malem ada tamu mau dateng ke rumah." Suara Mama sedikit ragu, tidak yakin menyampaikan hal itu pada putrinya.

"Tamu? Siapa? Keluarganya Adelia?" Amel tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri. Adelia adalah saudara sepupunya yang tinggal bersama mama dan papanya.

Percakapan dua wanita ini terkesan singkat. Amel memang tak terlalu banyak bicara jika berhadapan dengan mamanya. Entah kenapa hubungan mereka sedikit renggang sejak wanita ini suka menjodoh-jodohkannya.

"Pak Ustadz. Beliau dateng buat ngenalin kamu sama calon suamimu. Ta'aruf gitu."

"WHAT? Ta'aruf?" Bola mata Amel membulat. Dia tidak ingin melakukan hal itu lagi. Hatinya belum ingin menerima orang baru. Masih ada satu nama di sana.

"Pulang ya, Mel," bujuk mama.

"Nggak. Maaf, Ma. Aku nggak mau dijodohin!"

Bip

Amel menekan ikon tombol warna merah di ponsel pintarnya. Dia dengan tegas menolak perjodohan atau apapun itu yang mamanya aturkan.

"Nikah nikah nikah! Ish, sebel!!"

Amel beranjak beridir, mencuci luka di tangannya dengan air mengalir. Setidaknya hal itu bisa membuatnya lupa dari acara perjodohan yang mamanya inginkan.

Tok tok tok

Suara pintu diketuk terdengar dari satu-satunya akses yang menghubungkannya dengan dunia luar. Dengan perasaan gondok di hatinya, Amel melangkah ke depan dan membuka pintu coklat di hadapannya.

"Hallo, assalamu'alaikum, Winda Amelia," sapa suara yang tak lagi asing di telinga Amel.

Seorang wanita berdiri di depan pintu dengan senyum terkembang di wajahnya. Jilbab merah marun yang dipakainya senada dengan pewarna bibir yang menghiasinya. 

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh, kakak Adelia yang cantik! Ngapain ke sini?" tanya Amel ketus.

Amel sengaja mematikan sambungan telepon sepihak, tapi justru sepupunya datang ke tempat kosnya. Pasti kedatangannya ini berhubungan dengan permintaan mama yang memintanya untuk pulang.

Langkah kaki Amel terus bergerak, membawa tubuh mungilnya ke arah dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Dia mengabaikan kedatangan makhluk tak diundang ini.

"Ih, kok ketus amat sih. Awas loh cepet tua kalo marah-marah terus." Candaan itu tak bisa membuat Amel tersenyum, justru semakin kesal.

Amel bungkam. Ia diam seribu bahasa, tak berniat meladeni Delia. Percuma saja bertengkar dengan saudaranya satu ini.

"Mel," panggil Delia beberapa menit kemudian, menatap Amel yang tengah menikmati santap siangnya di atas kursi. "Pulang ya," bujuknya kemudian.

Lagi-lagi Amel tak menjawab. Dia khusuk menikmati makanan di dalam mulutnya. Katakanlah dia keras kepala, karena memang dia anak tunggal. Maka, pantaslah dia memiliki tabiat seperti ini.

"Mel, mama cuma pengen bantu kamu. Papa udah--"

"STOP!" Amel mengangkat tangannya, meminta Delia untuk diam. "Berisik tahu nggak?!"

Swuush

Swuush

Amel mencuci peralatan makannya di washtafel, mengabaikan pandangan sendu sepupunya ini.

"Mel, aku tahu kamu--" Delia menelan semua kata-kata yang hendak ia ucapkan saat melihat luka baret di punggung tangan dan siku adik sepupunya. "Tangan kamu luka. Udah diobatin?" tanya Delia dengan raut wajah khawatir.

Gerakan tangan Amel terhenti, ikut menatap luka yang ia dapat setengah jam yang lalu. Air kran terus membasuh jemarinya, menghilangkan busa yang sedari tadi ada di sana.

"Bukan apa-apa kok. Nggak sengaja jatuh tadi di lampu merah."

"Jatuh? Di lampu merah? Kok bisa? Ada luka yang lain lagi? Coba lihat," kejar Delia, khawatir akan keadaan adik sepupu yang seumuran dengannya. Hal itu membuat topik pulang ke rumah menjadi terlupakan.

"Duuhhh, bawel banget deh emak-emak satu ini. Bikin tambah pusing, tahu nggak? Daripada ngomel nggak jelas di sini, mending pulang gih. Bilangin ke mama sama papa, putri semata wayangnya ini kebetulan lagi shift siang, baru pulang jam 10 malam. Perjalanan satu jam, kalau mau nunggu berarti silakan ditunggu sampe jam 11."

Ibu satu anak ini tidak menyangka akan mendapat jawaban panjang lebar dari Amel. Biasanya, gadis ini sangat jarang bicara. Dua atau tiga kalimat tergolong panjang. Dan sekarang bahkan rasanya lebih panjang dibandingkan mendengarkan pidato presiden saat ada acara kenegaraan di istana. Luar biasa.

Sejurus kemudian, Amel mengunci dirinya di kamar mandi. Suara gemericik air yang memancar dari shower segera terdengar. Amel meninggalkan Delia seorang diri. Entah bagaimana caranya Delia menjelaskan pada paman dan bibinya tentang penolakan Amel ini.

Entah drama seperti apa yang akan terjadi nanti, Delia tidak bisa membayangkannya. Sikap Amel sebagai anak tunggal yang keras kepala, mungkin akan bertengkar dengan papanya yang memiliki sifat yang sama. Entahlah.

Delia hanya bisa mengembuskan napas beratnya. Dia harus segera pulang dan menyampaikan jawaban dari Amel. Keputusan papa dan pak ustadz akan menjadi penentu masa depan Winda Amelia.

* * *

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah ta'aruf akan tetap berlangsung atau bisa Amel hindari?

Maafkan jika masih ada typo. See you next episode.

Hanazawa Easzy

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status