“Maaf, saat ini aku belum bisa memikirkan taaruf, Za. Aku masih belum terima kabar ini, kabar bahwa ternyata Abah dan Ummi bukan orang tua kandungku,” jelas Selina sedikit terisak. Namun dia berusaha untuk mengontrol air matanya khawatir para guru ataupun murid melihatnya.“Selina, apakah kamu baru tahu hal itu sekarang?” tanya Shiza dengan dahi yang berkerut.Selina mengangguk. “Bahkan aku mengetahui kebenaran itu tak sengaja saat mendengar percakapan yang terjadi antara Abah dan kedua orang tuamu,”“Apa? Astagfirullah. Aku ngerti perasaanmu Selina, pasti kamu syok. Jika aku kamu, aku pun pasti … mungkin lebih syok lagi dari kamu. Sabar ya sahabatku!”Shiza langsung memeluk Selina.“Ini berat Za. Kenapa Abah dan Ummi merahasiakan ini semua sudah lama dan baru dibuka pada keluargamu …” ucap Selina dengan tatapan kosong.Shiza merasa sakit mendengarnya apalagi kedua orang tuanya ialah orang yang pertama tahu soal jati diri Selina sebenarnya. Kesimpulan kedua orang tua Selina percaya pa
Di perjalanan pulang Aqsa dan Shiza tiba-tiba terkesiap karena melihat ada kerumunan di depannya. "Mas, ada apa ya di depan?" tanya Shiza. “Gak tahu, lihat di sana ada kerumunan orang, apa ada kecelakaan?” jawab Aqsa menepikan mobilnya. “Iya kayaknya ada kecelakaan,” sahut Shiza. Beberapa detik kerumunan pun usai, jalanan pun lancar dan terlihat seorang gadis berjalan terpincang-pincang memegangi kakinya yang terlihat merah karena terluka. Darah merembes dari celana bahan yang dipakainya. “Mas, dia sepertinya Zahrana, dia terluka. Ayo tolong dia!” pekik Shiza yang panik melihat Zahrana yang terluka. Dia kesulitan berjalan hendak menyeberang jalan dan mencari kendaraan umum. Orang-orang yang melihatnya bahkan tak memperdulikannya. “Siapa Zahrana?” tanya Aqsa. “Mas lupa ya, Zahra atau Zahrana itu temanku waktu kuliah bareng Selina juga, beda jurusan. Selina ngambil Bahasa Indonesia, dia ngambil Sastra Inggris. Ya, aku memang kurang dekat sih, tapi dia teman baik Selina,” “Kamu m
‘Cinta adalah bunga yang tumbuh tanpa bantuan musim’.Selina menggumamkan sebuah syair cinta dari penyair Lebanon, Kahlil Gibran. Dia memejamkan matanya dan mengasah intuisi yang menganak sungai di pikirannya. Pikirannya yang kalut justru menjadi sebuah jembatan untuknya mengelola emosi dan mengekspresikannya melalui sebuah tulisan, prosa. Lalu dia meraih sebuah buku kecil dan pena. Jemarinya menari-nari di atas lembaran kosong untuk membuat sebuah sajak-sajak indah.Seseorang tiba-tiba mengusiknya.“Ngapain Bu di sini? Kesal ya soalnya izin cutinya gak di-ACC? Ya ampun sampe nangis berdarah-darah,”Ruri menghampiri Selina yang semenjak kepergian Shiza dan Aqsa masih duduk di bangku taman sembari menulis sebuah sajak.“Ada apa Ruri?” sahut Selina lebih tenang. Dia langsung merapikan buku kecilnya yang selalu dia bawa kemana-mana. Lalu dia masukan ke dalam saku bajunya.“Telinga Ibu bermasalah ya sampai gak bisa denger aku ngomong?”“Tidak, telinga Ibu sehat. Bahkan Ibu rajin memeriksa
Adam tidak tinggal diam meskipun dia sibuk dengan usaha lampu hias milik keluarga yang secara turun temurun diwariskan, dia meluangkan waktunya untuk mencari tahu keberadaan ibu kandung Selina. Dia hanya ingin memenuhi keinginan sang adik. Adam lebih dulu curi start karena tak ingin Selina merasa lelah karena harus ikut ke sana kemari mencari alamat ibunya yang belum jelas keberadaannya. Keinginan Adam ialah Selina bertemu ibunya langsung ketika lokasinya sudah pasti. Itu saja yang Adam harapkan, selebihnya dia tak mau Selina berhubungan terlalu dekat dengan ibunya yang notabenenya hidup dalam dunia gemerlap malam. Dia takut kehilangan Selina. Lebih jauh lagi Selina ikut bersama ibunya dan terjerembab dalam dunia itu. “Maaf, Abah, aku ganggu sebentar, sibuk gak?” ucap Adam menghampiri Ustaz Bashor yang sibuk memberi contoh pada para pekerja dalam mematri kaca dan kuningan untuk menghias lampu gentur. Secara turun temurun keluarga Ustaz Bashor menekuni usaha lampu gentur yang diwaris
Oh hoAdam langsung terbatuk kaget saat melihat penampilan Selina dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan dia sampai menumpahkan bandrek dalam cangkir seng ke atas meja.“Kamu niat banget Dek …”Adam terkekeh. Selina terlihat masih sangat muda dan masih seperti anak mahasiswi. Dia memakai pakaian kasual sehelai kaos putih panjang dengan pashmina yang menutup dada berwarna senada dan rok berbahan denim light blue sama dengan jaketnya. Pun, dilengkapi sepatu boots, topi dan tas ransel meskipun tetap terlihat sederhana tanpa riasan, hanya lip balm agar bibirnya tidak kering.“Hem bagaimana penampilanku, Aa? Apakah Aa sudah menemukan gadis secantik diriku?” ucap Selina penuh semangat. Mendadak, dia terlihat kembali ceria.“Seperti biasa, adikku, gadis tercantik di dunia. Aa juga belum menemukan gadis yang sepertimu,” kata Adam tersenyum pada adiknya.“Let’s go!”Selina menggandeng tangan sang kakak. Pencarian pun dimulai.Ditemani seorang asisten, Adam dan Selina berangkat pagi hari k
“Menurut informasi yang Akang peroleh alamatnya sudah benar, rumahnya bercat kuning. Cuman masalahnya di sini ada banyak rumah yang berwarna kuning dan modelnya sama,”Arman menghentikan mobil sejenak.“Mana aku lihat?”Selina meminta Arman memperlihatkan foto rumah paman dan bibi ibunya.“Kang, kayaknya bukan di sini deh, salah kali,” protes Selina. “Rumah-rumah di sini bahkan gak ada nomornya,”“Eh, iya bener Neng Selina mah awas lihatnya,”Arman menepuk jidatnya. Mereka pun melajukan kembali kendaraan dan turun lagi beberapa ratus meter dari sana.Selina turun dari mobil dan melangkah lebih dulu. Ada banyak pasang mata melihat Selina dengan takjub. Seperti biasa kecantikan Selina selalu mencuri atensi. Tidak hanya cantik tapi Selina memiliki daya tarik seperti magnet membuat setiap orang yang melihatnya merasa tertarik. Seolah inner beauty yang dia miliki terpancar.“Assalamualaikum, Pak! Saya mau tanya apa Bapak tahu rumah Bu Esih?” tanya Selina pada seorang pria paruh baya yang s
Selina tampak sedih. Wajahnya yang semula ceria kentara sekali berubah seketika tatkala mendengar kabar itu. Seolah harapan untuk berjumpa dengan sang ibu kandung pupus sudah. Padahal dia baru saja memulai pencarian.“Mungkin tetangga di sebelah punya nomornya, Neng,” ucap wanita bernama Sukaesih.Selina dengan pikiran kalutnya tak terpikirkan hal itu.“Ah. Iya, benar, Bu! Aku sampai gak kepikiran,” sahut Selina dengan senyuman hambar.“Biar, Aa yang temui para tetangga,” ucap Adam. Melihat tingkah Adam pada Selina membuat Sukaesih tersenyum dan mengira kalau mereka adalah pasangan muda. Adam begitu menyayangi Selina sehingga dia bersikap protektif padanya.“Ayo, Aa!” ujar Selina pada Adam. “Makasih ya Bu,”Mereka pun menanyai satu per satu tetangga bahkan hingga ketua RT, meminta informasi soal Sukaesih dan Endang suaminya. Sebagian mereka bahkan tidak tahu kalau Sukaesih dan Endang sudah pindah rumah.“Punten Aa, emang Aa siapanya Bu Sukaesih dan Pak Endang?” tanya kepala RT yang me
“Ibu dan Bapak, begini saja seandainya saya sudah menemukan Bu Sukaesih dan Pak Endang, insyaallah nanti kita bahas soal hutang,” pungkas Selina. Dia memang gadis yang baik dan cerdik. Tentu saja dia akan membantu setiap orang yang mengalami kesulitan tapi dia juga tidak mau kalau dimanfaatkan atau ditipu begitu saja oleh orang asing.Pak RT dan Bu RT pun saling lirik dan mengangguk.“Baiklah, saya minta nomor kalian,” pinta Bu RT yang langsung dijawab oleh Adam. “Ini kartu nama saya, hubungi nomor yang ada di sini aja,”Adam menyerahkan secarik kartu nama pada Bu RT. Adam terlihat lebih sopan pada Bu RT karena dia bersikap sopan pula tak seperti Pak RT.‘Wah, ternyata bukan orang biasa, pemilik lampu hias terkenal di Cianjur,’ batin Bu RT.“Tolong kabari kami jika ada kabar tentang Bu Sukaesih dan Pak Endang sesegera mungkin …” ujar Adam dengan tegas.“Apa imbalan bagi kami?” tanya Pak RT. “Apakah kalian akan membayar hutang mereka?”“Kami akan pertimbangkan hal itu …” sahut Adam sin