Dor!
Suara dentuman keras disertai lesatan peluru menembus tubuh seorang gadis bernama Sua Luqi di tengah hiruk pikuk medan peperangan. "Aaaaagh!" jerit gadis itu terjatuh. Darah mengalir dari luka di dadanya, dengan kesakitan yang mendera. Hampir mengenai jantung. Ia berusaha untuk bangkit, menggerakkan tubuhnya yang lemas. Suasana semakin tegang dengan suara lolong dan teriakan prajurit yang terdengar berbaur dengan suara tembakan senjata api. Saat itu, pikiran Sua berkelana ke momen-momen tenang sebelum peperangan. Sebelum semua ini, Sua adalah seorang mahasiswa jenius yang telah mendapat julukan Master Herbalis di negaranya. Sua dikenal karena kecintaannya pada tanaman obat dan pemahaman yang mendalam tentang berbagai ramuan dan pil. Dia juga memiliki ketangkasan yang luar biasa, mampu bergerak lincah di antara tanaman-tanaman liar di hutan, menjadikannya tidak hanya pandai tetapi juga terampil. Dalam beberapa waktu sebelum perang, ia juga sempat belajar tentang titik akupuntur dan membuka pengobatan gratis untuk rakyat jelata. Ketika peperangan mulai pecah akibat konflik antara pemerintah dan pemberontak yang ingin menggulingkan kekuasaan, Sua merasa dipanggil untuk bertindak. Ia bergabung dengan kelompok medis militer, bertekad untuk membantu menyelamatkan nyawa di medan perang yang mengerikan. Bersama tim medisnya, Sua merawat prajurit yang terluka, menggunakan keterampilan herbalnya untuk meredakan sakit, dan dalam beberapa kesempatan, mempertaruhkan nyawanya untuk membantu orang lain. Namun, takdir berkata lain. Di tengah pertempuran yang brutal melawan pemberontak, sebuah peluru menghantam dadanya, menyebabkan rasa sakit yang luar biasa dan menggemparkan jiwa. "Tidak, Aku tidak bisa mati di sini!" Sepasang kaki bersepatu hitam mengkilap datang ke hadapan Sua yang sedang terkapar tengkurap di tanah. Sua yakin, bahwa orang itu yang telah menembaknya. Pandanganya perlahan memandang ke atas. "Bian Yu!" Suatu keterkejutan yang luar biasa bagi Sua. Bian Yu, kekasihnya, menggenggam sebuah pistol menatap dingin ke arahnya. Suara pertempuran semakin menghilang, dan dengan satu usaha terakhir, Sua berusaha untuk bergerak, tetapi tubuhnya ambruk. Ia terjatuh, dunia di sekelilingnya pun menjadi gelap. Tiba-tiba, Sua terbangun di suasana yang sangat berbeda. Tidak ada suara tembakan, tidak ada teriakan kesakitan. Ia membuka mata dan menemukan dirinya di tepi sungai yang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Suara gemericik air dan kicauan burung menciptakan suasana damai yang kontras dengan pengalaman pahit yang baru saja dilaluinya. Ketika membangkitkan tubuhnya yang lemah, ia terkejut melihat wajah seorang gadis muda buruk rupa yang terpancar dari air sungai. Gadis itu mengenakan gaun khas kuno yang sederhana, kotor, dan berantakan. Ia juga mendapati bintik-bintik merah yang sedikit mengeluarkan nanah di tubuhnya. Sua melihat lebih dekat, ia menyadari itu adalah dirinya sendiri. "Apa yang terjadi?" ujar Sua lirih sembari memegang kedua pipi. Sekali lagi, ingatan bertubrukan dalam pikirannya. Kepala Sua berdenyut hebat merasakan bayang-bayang ingatan sang pemilik tubuh yang malang. Dua pengawal menyeret dan mendorongnya jatuh tersungkur ke tanah, membuat debu-debu beterbangan di sekeliling. Dalam kepanikan, ia berusaha bangkit dan mendongakkan kepala. Ia tertegun melihat seorang lelaki berdiri angkuh di hadapannya, menggandeng mesra seorang gadis, seolah-olah semua ini adalah hal yang biasa. “Liu Chang Hai!” seru sang pemilik tubuh, suaranya bergetar antara kecewa dan putus asa. Dia merasa terkejut dan hatinya hancur ketika melihat tunangannya ternyata terlibat dalam hubungan gelap dengan sang adik. Rasa tidak percaya dan sakit hati mengguncang batinnya. Sementara wajahnya memucat dan tatapan matanya dipenuhi kebingungan dengan luka yang mendalam. Seolah dunia di sekelilingnya runtuh seketika. Lelaki bernama Liu Chang itu, berjongkok menarik kuat rambutnya. "Kau yang buruk rupa, tak lagi pantas bersanding denganku!" Semakin kuat cengkeraman lelaki itu, lalu menghantamkan wajah sang pemilik tubuh hingga kepalanya membentur batu sangat keras. Sekali lagi, Liu Chang menjambak kuat rambut sang pemilik tubuh. Kepalanya terdongak dengan darah yang mengalir deras dari dahi. Pandangannya kabur disertai rasa sakit yang luar biasa di kepala. "Kau harus mati hari ini, sehingga aku bisa menikahi adikmu dan menjadi menantu perdana menteri." Suara begitu menekan dan keras terus menggema dalam benak Sua, mengingatkan gadis itu pada sesosok pria yang telah menembaknya, Bian Yu. Sakit dan terasa nyeri di dada. Sua bangkit terhuyung menyandarkan dirinya di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Sekejap, ia memejamkan mata. Muncul kembali ingatan masa lalu sang pemilik tubuh. Dia bernama Sua Linjin Feng, seorang gadis yang cantik jelita, pendiam, lugu, dan polos. Saat ini, usianya telah menginjak 18 tahun. Ia merupakan puteri sulung dari istri sah pertama perdana menteri, memiliki seorang adik laki-laki bernama Zihan Feng (13 tahun), dan adik tiri perempuan beda ibu bernama Cai Ji Feng (17 tahun). Cai Ji adalah anak hasil hubungan gelap antara perdana mentri dan pelayannya. Hal ini membuat dirinya tidak terlalu diperhatikan, sehingga gadis itu merasa iri kepada sang kakak. Bahkan, ada sebuah rumor yang mengatakan, bahwa sang putera mahkota jatuh cinta kepada Sua pada pandangan pertama karena kecantikannya. Sayangnya, dia harus mengasingkan diri mengatasi krisis di wilayah pelosok sebagai bentuk hukuman karena berani mengganggu selir kaisar. Sua yang lugu dan polos jatuh cinta pada pujangga muda lulusan sarjana sastra. Ia terpikat oleh rayuan dan kata-kata indah dari seorang pemuda dari kalangan bangsawan bernama Liu Chang. Rasa iri dalam diri Cai Ji menggerogoti hati. Dia mencampurkan racun bubuk gatal secara diam-diam pada setiap makanan yang akan dimakan oleh Sua. Hal ini menyebabkan seluruh permukaan kulit di tubuh Sua terasa mendidih dan meletup-letup. Bintik-bintik merah bernanah meletup membuat rasa gatal yang tak tertahankan. Racun itu juga menyebabkan Sua menjadi lemah dan rentan terhadap penyakit. Awal penderitaan Sua pun di mulai. Dua hari sebelum pernikahannya, tak disangka, Liu Chang yang merupakan calon suaminya, secara terang terangan menyatakan hubungannya dengan sang adik. Kemudian, lelaki itu membunuh Sua dan membuang mayatnya ke sungai. Arus deras membawa tubuh Sua selama tiga hari hingga ke hutan dekat perbatasan kerajaan. Kini, ia terbangun dengan jiwa yang berbeda bersandar menatap dedaunan kering yang berguguran. Sua mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Sekarang, dia benar-benar paham apa yang telah terjadi "Sungguh gadis yang malang, sama seperti nasibku yang tragis," gumamnya menatap punggung tangan yang di sana terdapat bintik-bintik merah menguasai permukaan kulitnya. Cacing-cacing dalam perutnya pun bergejolak menuntut hak mereka. "Aku sangat lapar," rintih Sua bangkit tertatih, sambil memegang perutnya. Ia melangkah gontai menelusuri hutan mengumpulkan makanan dan tanaman-tanaman obat. Ketika hari menjelang malam, Sua kembali beristirahat di bawah pohon besar. Tiba-tiba, dia mendengar suara derap langkah beberapa orang. Ia pun bersembunyi di balik pohon besar itu melihat beberapa orang berpakaian serba hitam tampak sedang mengejar seseorang. “Pembunuh bayaran?” gumam Sua bertanya-tanya dalam benaknya. Tak disangka, di sisi Sua ada sesosok lelaki yang juga sedang bersembunyi. Lelaki itu tiba-tiba memeluk Sua dari belakang dengan napas terengah-engah. Keadaan ini membuat Sua terperanjat. Gadis itu membalikan badan dan mendapati wajah si lelaki memerah, matanya berkilau namun terlihat setengah linglung. "Si-siapa kau?" tanya Sua.Sua berbalik cepat. Bayangan seseorang memanjat masuk dengan ringan dan hening. Hanya satu orang yang bisa sesantai itu di malam yang bahaya ini.Rai Yuan.Sua langsung berdiri. “Anda mengikutiku?” Nadanya tajam.Rai melompat turun dari bingkai jendela, tak menghiraukan nada gadis itu. Ia menghampiri, lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari balik jubah panjangnya.“Aku datang ke kediaman ini untuk memberimu sesuatu,” katanya tenang. “Dan ketika kau kabur tanpa sepatah kata pun, aku penasaran. Sekarang aku tahu… ini mungkin akan berguna.”Sua menatapnya curiga, lalu melirik ke kotak itu. Rai membukanya perlahan. Di dalamnya tergeletak satu set jarum akupuntur perak yang mengilap, terikat rapi dengan kain merah halus.Suatu kebetulan yang nyaris terlalu sempurna. Sua menatap kotak kayu itu—jarum-jarum perak yang terikat rapi dengan kain merah, berkilau di bawah cahaya lentera. Sebuah hadiah yang terlalu tepat untuk waktu dan kondisi seperti ini.Matanya menyipit.“Anda membuntuti
"Apa kau selalu keluar seperti ini setiap malam?" ujar lelaki itu sedikit membungkuk, hingga wajahnya terekspos oleh cahaya lentera— Rai Yuan."Yang Mulia?" Sua benar-benar tidak mengerti apa yang ada di benak lelaki ini. "Apakah Anda sedang memiliki suatu urusan di Kediaman Perdana Menteri?""Ya, urusan untuk bertemu denganmu," balasnya.Dahi Sua mengernyit. "Bertemu, denganku?"Rai mendekatkan wajahnya, tersenyum menggoda di hadapan Sua seraya berkata, "iya. Hanya untuk menemuimu."Sua menoleh cepat, langkahnya sedikit mundur. Kemunculan Rai yang mendadak, membuat jantungnya semakin berdebar tidak karuan.Ia menegakkan tubuh, menjaga jarak, menatap lelaki itu dengan campuran curiga dan waspada. Lentera yang tergantung di dinding memantulkan cahaya temaram ke wajah Sua yang masih mengenakan pakaian pelayan.“Aku tidak sedang bermain-main malam ini, Yang Mulia,” ucap Sua tegas, suaranya sedikit berbisik. “Aku ingin menemui ibuku.”Wajah Rai berubah. Tatapannya menjadi lebih serius, me
“Muntah darah…?” Mata Sua membulat.Tanpa pikir panjang, Sua berdiri dan melangkah cepat ke pintu. Namun langkahnya terhenti begitu melihat dua pengawal berjubah gelap berdiri di depan lorong. Mereka menyilangkan tombak di depan pintu keluar.“Maaf, Nona. Perintah Tuan Perdana Menteri, Anda tidak diperbolehkan meninggalkan kamar. Hukuman Anda belum selesai,” kata salah satu pengawal tegas.Sua menatap mereka tajam. “Ini tentang ibuku. Aku harus—”“Perintah tetap perintah, Nona. Kami hanya menjalankan tugas.”Sua menggertakkan gigi. Ingin sekali ia menerobos mereka, tapi ia tahu apa yang akan terjadi bila ia memaksa. Pengawal itu tak bergeming. Wajah mereka datar, seperti batu.Bae Ya yang menyusul dari belakang, menarik lengan Sua. “Biar aku yang bicara. Aku akan menghadap Perdana Menteri.”Sua ingin mencegahnya, ia tahu bahwa memohon kepada sang ayah tidak ada gunanya. Tapi Bae Ya sudah berlari pergi. Hal ini menimbulkan rasa cemas dalam hati Sua. "Astaga, bagaimana bisa ia pergi tan
Sua membalas dengan senyum tipis. “Hanya sedikit perawatan. Biasa, pelayan harus merawat dirinya sendiri. Tidak seperti calon pengantin.”Cai Ji tertawa pelan. “Ah, soal itu… Aku hanya ingin mampir sebentar, memberitahumu kabar baik.” Ia duduk tanpa diundang di sisi ranjang Sua, menyilangkan kaki dengan anggun yang dibuat-buat. “Sepekan lagi, aku akan menikah dengan Liu Chang.”Sua menatapnya, tenang. “Selamat,” ucapnya datar, nyaris tanpa ekspresi.Senyum Cai Ji makin melebar, tapi matanya bersinar licik. “Oh, jangan bersikap seolah Kakak tak peduli. Aku tahu betul Kakak mencintainya. Tapi lihat, akhirnya dia memilihku. Mungkin karena aku lebih… cocok.”Sua masih tak bereaksi, hanya menundukkan kepala sedikit. 'Seorang jalang dan seorang pengkhianat memang sangat cocok,' batinnya, tanpa mengubah raut wajah. Ia terlalu terbiasa menyembunyikan luka di balik senyum dingin.“Aku akan merebut segalanya darimu,” lanjut Cai Ji sambil mencondongkan tubuh, berbisik penuh kesombongan. “Liu Cha
Sua kembali ke kamarnya tepat sebelum fajar menyingsing. Udara dini hari masih menusuk kulit, menyisakan embun tipis di ujung daun yang tampak dari jendela luar.Akhirnya, Sua tiba di sebuah ruangan remang dan tenang. Di atas ranjang empuk miliknya, Bae Ya terlelap dalam posisi menyamping, selimut setengah menutupi tubuhnya. Wajah gadis itu tampak damai, bahkan senyum kecil terukir samar di sudut bibirnya.Bae Ya, pelayan muda yang selama ini tidur beralas tikar dan jerami, kini merasakan kemewahan kasur empuk dan bantal sutra untuk pertama kalinya.Sua menghampirinya perlahan, lalu mengguncang bahunya pelan. "Bae Ya... bangun. Kita harus segera bertukar pakaian."Gadis itu mengerjap pelan, mengusap matanya yang masih berat. "Nona...? Sudah pagi?" gumamnya, suaranya serak oleh kantuk. Begitu sadar bahwa ia tengah tidur di tempat Sua, Bae Ya segera bangkit dan nyaris terjatuh karena panik.Sua tersenyum kecil, meski wajahnya pucat karena lelah. "Tenang saja. Kau bebas tidur dimanapun.
Rai menunduk sedikit, menatap Sua sejenak untuk memastikan kesediaannya. Ketika gadis itu mengangguk pelan, tanpa berkata apa pun lagi, ia meraih tubuh mungil Sua dengan satu gerakan cepat.Dengan kedua lengannya yang kokoh, Rai mengangkat gadis itu dalam posisi bridal carry, seolah-olah berat tubuhnya tak seberapa. Napas Sua tercekat sejenak, jantungnya berdebar kencang saat pipinya bersentuhan dengan dada bidang pria itu."Aku akan bergerak cepat. Pegangan!" bisik Rai, nyaris seperti angin.Tanpa membuang waktu, Rai melesat dari tempatnya berdiri. Gerakannya begitu ringan dan terlatih, seperti bayangan yang meluncur di bawah cahaya bulan. Ia menyusuri sisi luar pagar, memanfaatkan kegelapan malam dan dedaunan yang rimbun untuk menyembunyikan langkahnya. Sua bisa merasakan hembusan angin malam yang dingin memukul wajahnya, tapi lengan Rai yang hangat menjaganya tetap nyaman.Satu lompatan ringan membawanya ke atap bangunan samping. Di bawah, para penjaga tampak berjaga dengan waspada
"Yang Mulia Pangeran!" ujar Sua pelan. Wajahnya menatap sosok pria di hadapannya penuh harap."Berkeliaran di tengah malam, apakah ini kebiasaanmu?" Tangan kuat pria itu menggenggam erat dan menarik Sua hingga mendarat dalam dekapannya. Tubuh mungil Sua seketika terperangkap dalam dada bidang Rai yang hangat.Sua terdiam. Dalam keheningan itu, ia bisa mendengar detak jantung Rai. Mereka saling bertatapan, mata Sua yang jernih seperti danau tenang bertemu dengan sorot tajam namun hangat milik Rai. Ada sesuatu yang tak terucap, tapi terasa jelas di antara keduanya.Sua buru-buru mendorong dada Rai dengan kedua tangannya, meski tak sekuat genggaman pria itu. Wajahnya memerah, kesadaran bahwa jarak di antara mereka terlalu dekat. Ia mengalihkan pandangannya, menatap ke samping, menghindari tatapan intens yang seolah bisa menembus isi hatinya."A-aku hanya mencari tanaman herbal," balas Sua gugup menatap sembarang arah.Rai menunduk sedikit, menyadari bahwa ada senyum samar di bibir gadis
Sua berlari secepat mungkin tanpa suara, melompat di balik pagar tanaman, merunduk dan berjalan cepat kembali ke lorong belakang kediaman. Tubuhnya gemetar oleh ketegangan, tapi otaknya bekerja cepat.Tak disangka, baru beberapa langkah ia berada di suasana yang mengangkan, Sua tiba-tiba berhenti. Dari balik bayang-bayang pepohonan, ia melihat sesuatu yang membuatnya mual.Liu Chang dan Cai Ji. Dua sejoli yang dikenal itu berdiri berdekatan, terlalu dekat. Liu Chang menelusuri pipi Cai Ji dengan ujung jarinya, sementara gadis itu tertawa pelan, matanya berbinar penuh gairah."Untuk merayakan kemenanganku," kata Cai Ji dengan suara lembut, jemarinya menggenggam erat tangan lelaki itu."Bagaimana jika seseorang menemukan kita?" Liu Chang bertanya, namun tangannya sangat lincah menelusuri setiap tubuh gadis itu hingga membuat desahan ringan."Jangan khawatir, aku memegang kelemahan ayah. Tidak akan ada yang berani menyentuhku!" balasnya dengan wajah menggoda, seolah dunia hanya milik ber
Sua menoleh pelan. "Apa yang kau lihat?"Bae Ya mendekat, wajahnya pucat. "Kepala pelayan … menyebut nama Nyonya Su.""Mereka membawa Nyonya ke aula, dan setelah itu, beliau dibawa pergi, dikurung di paviliun barat," lanjut Bae Ya.Sua menggenggam erat seprai, matanya mulai memanas. "Itu tidak masuk akal. Ibu tidak pernah keluar dari kamarnya selama berbulan-bulan! Bahkan untuk keluar ke taman saja, beliau harus ditemani dua pelayan.""Tuan Perdana Menteri mungkin sudah menyiapkan semua ini," kata Bae Ya. "Ia tahu bahwa semua orang menganggap Nyonya Su sudah tidak waras, dan sekarang ia menggunakan tuduhan ini untuk menyingkirkannya."Sua menutup matanya sejenak, menenangkan diri. Napasnya perlahan menjadi teratur kembali. “Aku tahu ayah tidak pernah benar-benar peduli pada Ibu. Tapi kali ini, dia melangkah terlalu jauh.”"Ayah bilang, dia akan mengurus kepala pelayan itu. Jadi, seperti inikah cara ia mengurusnya? Ck ck." Tak butuh waktu lama bagi Sua untuk menyimpulkan sikap ayahnya.