Home / Fantasi / Tabib Jenius / Bab 3 Menyembuhkan Ayah Mertua

Share

Bab 3 Menyembuhkan Ayah Mertua

Author: sainal
last update Last Updated: 2025-04-14 11:42:55

Di dalam ruang rawat VIP Rumah Sakit Marga Husada, suasana terasa hening. Dinding ruangan putih bersih, aroma antiseptik menyeruak, dan mesin-mesin pemantau detak jantung berbunyi pelan, seperti irama waktu yang terus berdetak.

Tuan Suryo Marga, ayah Saraswati, terbaring lemah. Wajahnya pucat, kulitnya mulai menguning, dan nafasnya tersengal seolah paru-parunya menolak bekerja. Dokter-dokter terbaik dari Jakarta, bahkan Singapura, telah memeriksanya. Namun tak satu pun bisa menjelaskan penyebab pasti dari sakitnya.

Saraswati berdiri di sisi ranjang, memandang ayahnya dengan wajah keras namun mata sembab. Ia sangat mencintai ayahnya satu-satunya orang yang selalu mempercayai kemampuannya memimpin perusahaan di tengah kerasnya dunia korporat.

Di sudut ruangan, berdiri Ardin Siregar. Jubah kelabunya tampak lusuh di antara pakaian formal para dokter dan perawat. Ia berjalan santai, meletakkan tas kain di meja, dan mulai mengeluarkan botol kecil berisi cairan hijau, serbuk hitam, dan alat akupunktur dari bambu yang terlihat kuno.

“Baik, izinkan aku memulai,” ucap Ardin ringan.

Salah satu dokter mengangkat alis. “Tuan Ardin, ini bukan pengobatan tradisional biasa. Pasien mengalami kegagalan organ kompleks, fungsi jantung dan hati terganggu, dan…..”

“Ssst,” potong Ardin sambil menempelkan dua jarinya ke dahi Tuan Suryo.

“Cerewet sekali,” gumamnya pelan. Lalu ia memejamkan mata.

Wushh.

Dalam sekejap, Ardin ‘melihat’ aliran Qi dalam tubuh Tuan Suryo. Dia melihat seperti sungai-sungai kecil yang tersumbat lumpur, pusaran energi gelap di sekitar hati, dan benang hitam tipis yang melilit jantung bukan racun biasa, melainkan racun spiritual.

“Ini bukan penyakit medis biasa…” bisik Ardin.

Ia membuka matanya dan menarik napas dalam. “Siapkan semangkuk air kelapa muda. Yang baru dipetik. Aku butuh waktu tiga jam.”

“Untuk apa?” tanya Saraswati curiga.

Ardin menoleh dengan ekspresi serius tapi malah mengedip. “Untuk menyelamatkan calon mertuaku, tentu saja.”

Tiga jam kemudian, ruangan berubah seperti ruang ritual. Lampu ruangan diredupkan. Di sekeliling ranjang, Ardin telah menancapkan belasan jarum bambu di titik-titik akupuntur tak dikenal. Di tengah dada pasien, ia meneteskan cairan dari botol kecil berisi campuran akar kayu lanang, ekstrak rotan naga, dan satu tetes darahnya sendiri.

“Ini teknik Pemindahan Qi Rohani, teknik yang hanya bisa digunakan satu kali dalam tiga bulan,” ucapnya sambil duduk bersila di samping ranjang.

Saraswati menatap dengan campur aduk antara kagum, takut, dan marah.

“Jika ini hanya sandiwara… kamu akan kutuntut sampai ke akar silsilahmu,” ucapnya dingin.

Ardin hanya tersenyum. “Kalau berhasil, kamu akan mulai jatuh cinta padaku, kan?”

Saraswati mendengus dan berpaling.

Ardin mulai menarik napas dalam, memusatkan energi dari dantian-nya. Ia menyalurkan energi kehidupan ke tubuh Tuan Suryo lewat ujung jarinya. Perlahan, mesin pemantau detak jantung mulai menunjukkan perubahan.

Beep… beep… beepbeep…

Denyutnya membaik.

Warna kulit Tuan Suryo mulai kembali normal. Nafasnya menjadi lebih tenang.

Saraswati menahan napas. Para dokter yang menonton di balik kaca juga terkejut. Mereka tak tahu bagaimana proses itu bekerja, tapi hasilnya jelas: keajaiban sedang terjadi di depan mata mereka.

Setelah satu jam penuh, Ardin membuka mata. Wajahnya pucat, tubuhnya berkeringat, tapi ia tersenyum puas.

“Yah, rasanya seperti memindahkan beban seekor kerbau ke dalam telur puyuh. Tapi berhasil.”

Tuan Suryo membuka matanya pelan. Ia menatap Saraswati, lalu melihat Ardin. “Dia… menyelamatkanku.”

Saraswati tak menjawab. Ia hanya menatap Ardin dalam diam.

Untuk pertama kalinya, sang CEO muda mulai merasa bahwa pemuda aneh dari gunung ini… mungkin memang bukan orang biasa.

“ aku adalah menantumu jadi wajar jika aku menyelamatkanmu,” jawab ardin tenang sambil membungkuk.

Mendengar perkataan ardin wajah tuan suryo menjadi bingung, dia tidak tau bahwa anaknya telah menikah,,

“ ayahh, dia adalah tunangan yang dipilihkan kakek untukku,” jawab sarah dengan canggung

Mendengar itu ayah sarah mengerti, dia pernah mendengar pertunangan ini dari kakek sarah bahwa 10 tahun lalu, kakek sarah pernah terluka waktu berburu di hutan Lasuai, di diselamatkan oleh orang tua misterius dengan teknik akupunktur yang hebat, demi membalas budi mereka menjodohkan cucunya dan murid orang tua misterius itu..

“Aku sudah menyembuhkan ayahmu, bukankah sekarang waktunya kamu menepati janjimu.” Kata ardin dengan senyum nakal.

“Janji apa,? Aku tidak pernah berjanji apapun kepadamu” jawab sarah dengan canggung

“ bukankah kamu berjanji menciumku jika aku menyembuhkan ayahmu,” goda ardin sambil mendekatkan wajahya ke sarah.

Melihat ardin yang semakin mendekat, wajah sarah semakin memerah dia langsung berlari keluar ruangan.

Melihat ini ardin hanya tersenyum dan semakin penasaran dengan tunangannya..

Karena pemulihan tuan Suryo, Sarah segara membawa pulang ayahnya ke rumah kediaman keluarga marga, tentu saja Ardin juga ikut bersamanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tabib Jenius   Bab 7 konferensi pers

    Gedung Marga Corporation hari itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional. Karpet merah dibentangkan, spanduk besar bertuliskan “Konferensi Pers Marga Corporation Keajaiban Medis dan Masa Depan Pengobatan Modern” terpampang di atas panggung. Di dalam aula konferensi, puluhan kamera telah terpasang. Mikrofon disiapkan, dan para jurnalis memegang catatan, siap mencatat setiap kalimat yang terlontar. Di tengah keramaian itu, Ardin Siregar duduk dengan santai mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, celana kain sederhana, dan sandal gunung yang masih menempel di kakinya. Para wartawan memandang heran ini kah sosok yang menyembuhkan direktur utama Marga Corporation dengan hanya beberapa jarum? Di sisi Ardin, duduk Saraswati Marga dalam balutan jas putih elegan, wajahnya tegas namun anggun. Di barisan belakang, Paman Darsa, adik dari ayah Saraswati, duduk bersama putranya Leonardo. Mereka tampak tenang, namun sesekali saling berbisik dengan ekspresi waspada. Acara dimulai. S

  • Tabib Jenius   Bab 6 Cemburu

    Satu jam kemudian ketika mobil hitam sederhana berhenti di depan rumah keluarga Marga. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri megah di balik pagar besi hitam. Ardin turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Naya. Gadis itu tampak ragu untuk keluar. “Kenapa?” tanya Ardin, menatapnya dengan bingung. “Aku… merasa tak enak. Ini rumah keluarga Marga. Aku hanya sekretaris,” jawab Naya pelan, menunduk. Ardin tertawa kecil. “Santai saja. Aku juga cuma asisten pribadi, dan lebih sering bikin onar.” Saat keduanya berjalan menuju gerbang, suara langkah kaki terdengar dari arah taman samping rumah. Sesosok wanita dengan rambut terikat rapi dan gaun santai berwarna putih muncul di balik taman. Saraswati Marga. Cahaya lampu taman menyinari wajahnya yang menawan namun datar. Matanya langsung tertuju pada Ardin… lalu pada Naya yang berdiri di sampingnya. Hening. Naya spontan memberi hormat, canggung. “Selamat malam, Nona Saraswati…” Saraswati tak menjawab. Pandangannya tajam, namu

  • Tabib Jenius   Bab 5 memasuki perusahaan

    Langit Jakarta tertutup awan kelabu ketika Ardin Siregar menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke kantor pusat Marga Corporation, gedung pencakar langit berlantai emat puluh yang menjulang angkuh di jantung ibu kota. Mengenakan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan celana kain yang tak seirama warnanya, Ardin berdiri canggung di lobi mewah. Seorang satpam menatapnya curiga, namun begitu melihat kartu akses khusus dengan segel emas yang diberikan langsung oleh Kakek Marga, ia langsung membungkuk hormat. “Silakan naik, Tuan Ardin.” Ardin mengangguk ringan, lalu naik ke lantai dua puluh delapan, lantai khusus manajemen utama. “APA? KAU MEMAKSAKU MENERIMA DIA SEBAGAI ASISTEN PRIBADI?!” Saraswati mengeraskan suaranya di ruang rapat pribadi. Kakeknya hanya menyeruput teh dengan tenang di sudut ruangan. “Dia sudah disetujui oleh dewan direksi. Dan… dia tunanganmu. Setidaknya, beri dia kesempatan. Atau kau takut kalah saing?” “Dengan dia? Pemuda nyentrik yang bahkan tak tahu cara

  • Tabib Jenius   Bab 4 Tinggal dirumah sarah

    Rumah keluarga Marga bukan rumah biasa. Bangunan tiga lantai bergaya kolonial Belanda ini berdiri anggun di tengah taman tropis yang terawat rapi. Dindingnya dicat putih gading, pilar-pilarnya tinggi menjulang, dan lampu gantung kristal menghiasi ruang utama. Di tempat inilah para pewaris keluarga Marga dibesarkan tempat yang penuh aturan, etiket, dan keheningan. Namun, pagi itu… semua berubah. “NONA SARASWATI!!” teriak salah satu pembantu panik. Saraswati yang sedang sarapan dengan kalem di meja makan, dikejutkan oleh suara gaduh. Tak lama kemudian, seorang pemuda bertelanjang dada, mengenakan celana kain dan rambut berantakan, berlari melewati ruang makan sambil membawa ember. “Ada katak di kolam belakang! Tapi yang ini aneh, Qi-nya seperti melilit. Mungkin ini jenis katak spiritual!” seru Ardin riang, tanpa sadar bahwa ia baru saja mengganggu ketenangan rumah para bangsawan. “ARDIN!! APA KAU BISA BERSIKAP NORMAL SEDIKIT SAJA?!” “Normal? Bukannya semua orang harus bangun subuh

  • Tabib Jenius   Bab 3 Menyembuhkan Ayah Mertua

    Di dalam ruang rawat VIP Rumah Sakit Marga Husada, suasana terasa hening. Dinding ruangan putih bersih, aroma antiseptik menyeruak, dan mesin-mesin pemantau detak jantung berbunyi pelan, seperti irama waktu yang terus berdetak. Tuan Suryo Marga, ayah Saraswati, terbaring lemah. Wajahnya pucat, kulitnya mulai menguning, dan nafasnya tersengal seolah paru-parunya menolak bekerja. Dokter-dokter terbaik dari Jakarta, bahkan Singapura, telah memeriksanya. Namun tak satu pun bisa menjelaskan penyebab pasti dari sakitnya. Saraswati berdiri di sisi ranjang, memandang ayahnya dengan wajah keras namun mata sembab. Ia sangat mencintai ayahnya satu-satunya orang yang selalu mempercayai kemampuannya memimpin perusahaan di tengah kerasnya dunia korporat. Di sudut ruangan, berdiri Ardin Siregar. Jubah kelabunya tampak lusuh di antara pakaian formal para dokter dan perawat. Ia berjalan santai, meletakkan tas kain di meja, dan mulai mengeluarkan botol kecil berisi cairan hijau, serbuk hitam, dan

  • Tabib Jenius   Bab 2 Tunagan sang CEO

    Gedung Marga Corporation menjulang gagah di tengah hiruk pikuk Kota jakarta. Dinding kacanya berkilau di bawah cahaya matahari pagi, memantulkan bayangan langit yang biru cerah dan awan bergulung pelan. Di lantai 33 ruang rapat utama suasana sedang panas dan tegang. Puluhan pria dan wanita berpakaian formal duduk mengelilingi meja kaca panjang. Di ujung meja, duduk seorang wanita muda dengan aura memikat dan dingin. Dialah Saraswati Marga, CEO termuda dalam sejarah perusahaan keluarganya. Usianya baru dua puluh tiga tahun, namun kepemimpinannya telah mengguncang banyak pesaing dan membuat para petinggi perusahaan tua merasa terancam. Wajahnya bagaikan ukiran dewi dari zaman kuno. Kulitnya bening seputih susu, matanya hitam tajam seperti kilatan pedang, dan rambut panjang hitamnya digelung rapi, menyisakan beberapa helai yang jatuh anggun di pipi. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan lekukan tegas. Ia mengenakan setelan formal warna biru gelap yang menonjolkan kesan elegan namun

  • Tabib Jenius   Bab 1 Langkah Pertama Sang Tabib

    Kabut tipis menggulung pelan di lereng Gunung Bahal Batu, menari di antara pohon-pohon damar tinggi dan batu-batu purba yang diselimuti lumut. Di sebuah bangunan tua beratap ijuk, berdiri seorang pemuda berbaju abu-abu bersih, dengan mata jernih bagaikan danau tenang dan senyum lembut di wajahnya. Dialah Ardin Siregar, murid utama dari tabib legendaris yang dikenal dengan nama Guru Sakti dari Langit Selatan. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Ardin telah menguasai berbagai teknik pengobatan langka, mulai dari akupunktur spiritual, hingga meramu obat-obatan yang hanya bisa dipetik saat cahaya bulan menyentuh embun pertama. Namun, hari itu bukan hari untuk belajar. Hari itu adalah hari perpisahan. “Ardin, waktunya kau meninggalkan gunung ini,” ucap sang guru, seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan sorot mata tajam bagaikan elang. “Dunia luar lebih luas dari bayanganmu. Tapi kali ini, tujuanmu bukan sekadar menolong orang sakit. Kau harus pergi ke Kota Jakarta d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status