Home / Fantasi / Tabib Jenius / Bab 4 Tinggal dirumah sarah

Share

Bab 4 Tinggal dirumah sarah

Author: sainal
last update Last Updated: 2025-04-14 11:48:42

Rumah keluarga Marga bukan rumah biasa. Bangunan tiga lantai bergaya kolonial Belanda ini berdiri anggun di tengah taman tropis yang terawat rapi. Dindingnya dicat putih gading, pilar-pilarnya tinggi menjulang, dan lampu gantung kristal menghiasi ruang utama. Di tempat inilah para pewaris keluarga Marga dibesarkan tempat yang penuh aturan, etiket, dan keheningan.

Namun, pagi itu… semua berubah.

“NONA SARASWATI!!” teriak salah satu pembantu panik.

Saraswati yang sedang sarapan dengan kalem di meja makan, dikejutkan oleh suara gaduh. Tak lama kemudian, seorang pemuda bertelanjang dada, mengenakan celana kain dan rambut berantakan, berlari melewati ruang makan sambil membawa ember.

“Ada katak di kolam belakang! Tapi yang ini aneh, Qi-nya seperti melilit. Mungkin ini jenis katak spiritual!” seru Ardin riang, tanpa sadar bahwa ia baru saja mengganggu ketenangan rumah para bangsawan.

“ARDIN!! APA KAU BISA BERSIKAP NORMAL SEDIKIT SAJA?!”

“Normal? Bukannya semua orang harus bangun subuh dan merasakan embun pagi supaya aura tubuh tetap seimbang?”

Saraswati ingin melempar sendok ke kepalanya, tapi menahan diri.

Sudah tiga hari Ardin tinggal di rumah keluarga Marga setelah menyelamatkan ayahnya. Dan selama tiga hari itu pula, seluruh rumah terasa seperti hutan latihan para murid gunung. Ardin mengubah halaman belakang menjadi tempat meditasi terbuka, mengganti tanaman hias di ruang tamu dengan akar-akar obat yang baunya menusuk hidung, dan bahkan sempat membuat pelayan ketakutan karena dikira sedang merapal mantra di tengah malam — padahal ia hanya sedang mendeteksi arah angin dari Qi bulan.

Sementara itu, di kamar kerja tua Tuan Arman Marga, sang kakek Saraswati sedang duduk di kursi rotan, menyesap teh pahit sambil membaca dokumen tua bertuliskan aksara kuno.

Seorang pria berjubah kelabu masuk pelan, duduk tanpa dipanggil, dan menyodorkan sebungkus kecil daun herbal.

“Tehmu pahit. Coba campur daun ini, bisa bikin jantungmu lebih rileks,” ujar Ardin sembarangan.

Kakek Arman tertawa pelan. “Kau memang seperti gurumu….”

Mereka terdiam sejenak. Kakek Arman memandangi Ardin dalam-dalam, lalu bertanya dengan suara dalam, “Kau sudah tahu siapa yang menyerang anakku, kan?”

Ardin tidak menjawab. Ia menatap keluar jendela, memandang langit dengan tatapan malas.

“Aku melihat jejak racun roh yang sangat khas. Itu bukan penyakit biasa. Racun itu disebarkan lewat Qi, bukan makanan atau obat. Dan orang yang melakukannya… tinggal di rumah ini.”

Kakek Arman mengepalkan tangan.

“Kenapa tidak kau katakan?”

Ardin hanya mengangkat bahu. “Guru sudah mengajarkan: dalam dunia kultivasi, tahu segalanya bukan berarti harus bicara segalanya. Ada waktunya. Dan ini… belum waktunya.”

Kakek Arman terdiam. Ia tahu Ardin bukan sembarang tabib. Namun kesepakatannya dengan Guru Sakti dari Langit Selatan sangat jelas Identitas Ardin harus tetap dirahasiakan.

“Baiklah,” ujar sang kakek akhirnya. “Kalau begitu, aku ingin kau tetap di sisiku. Bantu keluarga ini dari dalam.”

“Jadi pengawal rahasia? Atau mata-mata?”

“Lebih baik dari itu. Kau akan bekerja di perusahaan. Anggota resmi Marga Corporation.”

Ardin memekik. “Hah?! Aku? Bekerja kantoran?! Dikelilingi dasi dan aturan dan… lift?!”

Kakek Arman hanya tersenyum. “Kau bisa menyamar sebagai konsultan pengembangan kesehatan atau apapun. Yang penting, tetap dekat dengan cucuku.”

Di waktu yang bersamaan, Saraswati masuk dengan wajah kesal.

“Tidak. Aku tidak akan menyetujui itu! Orang ini tidak punya pengalaman, tidak punya ijazah, dan…..”

“telah menyelamatkan nyawaku,” potong suara berat dari pintu.

Tuan Suryo, yang sudah jauh membaik, berdiri sambil bersandar di tongkat. “Dan dia adalah tunanganmu, Saraswati. Mau kau akui atau tidak, dia sekarang bagian dari keluarga.”

Saraswati menutup mata, menghela napas panjang.

“Baik. Tapi aku tidak mau lihat dia duduk santai seperti raja. Aku akan jadikan dia… asisten pribadi. Biar dia tahu rasa kerja keras.”

Ardin mengangkat alis. “Wah, langsung di bawah CEO? Ini takdir atau jebakan, ya?”

Malamnya, saat semua orang telah tidur, Ardin duduk di atap rumah. Angin berembus pelan, langit dihiasi bintang, dan dari kejauhan ia bisa merasakan getaran aneh dari arah barat kota.

Ia memejamkan mata dan berkata pelan, “Sudah lama aku tak merasakan aura gelap sebesar ini…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tabib Jenius   Bab 10 Pil Kehidupan

    “Kamu terlalu banyak omong kosong, paling tidak aku kesini membawa hadiah dengan tulus untuk keluarga wijaya, walaupun itu palsu, tapi itu semua salah penjual karena menipuku.” Teriak Kiandra kepada ardin. Dia merasa malu dengan hadiah palsunya dia mengutuk penjual itu di dalam hatinya.“Kita semua telah mengeluarkan hadiah untuk putri melati, bukankah sekarang giliran tuan ardin memberikan hadiah juga kepada putri melati.” Tiba-tiba leonardo mengubah topik pembicaraan, kiandra adalah temannya jadi dia menolongnya dengan mengganti topik pembicaraannya, ia menganggap ardin tidak memiliki hadiah kalaupun ada itu hanya barang murahan karena latar belakangnya.Semua mata menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar.“Itu Ardin Siregar? Yang katanya cuma asisten pribadi?”“Katanya cuma orang gunung”“Berani-beraninya dia ikut naik ke atas panggung?”Kemudian ardin melangkah ringan, tanpa canggung sedikit pun. Ia berdiri tepat di hadapan Melati dan menatap mata gadis itu.“Selamat ulang tahun, Non

  • Tabib Jenius   Bab 9 Hadiah Ulang Tahun

    “Waktunya penampilan sang putri keluarga Wijaya,” ujar MC dengan nada khidmat. “Mohon perhatian semuanya. Mari kita sambut… Putri Melati Wijaya!”Lampu sorot beralih ke pintu besar di sisi kanan ruangan. Perlahan, pintu itu terbuka, dan suara lembut alat bantu gerak terdengar samar.Ardin yang berdiri di samping Saraswati spontan memicingkan mata. “Hmm?”Seorang gadis cantik muncul dari balik pintu, duduk di atas kursi roda, didorong pelan oleh seorang suster. Gadis itu mengenakan gaun putih kebiruan dari sutra tipis yang jatuh anggun, dihiasi bordir melati perak di bagian dada. Wajahnya pucat, namun kecantikannya terpancar kuat kulit bening seperti porselen, mata bening dan sayu, serta bibir merah alami yang kontras dengan pipinya yang pucat.“Dia…” bisik Ardin tanpa sadar. “Punya aura kehidupan yang lemah, seperti sumbu lilin yang tinggal nyala terakhir.”Saraswati menoleh. “Itu Putri Melati. Anak semata wayang keluarga Wijaya. Sejak kecil mengidap penyakit aneh. Banyak tabib dan d

  • Tabib Jenius   Bab 8 Empat Keluarga Besar

    Jakarta di malam hari tampak seperti lautan cahaya yang gemerlap. Dari kejauhan, langit kota metropolitan tampak seperti dibakar ribuan lentera, padahal hanya pantulan dari gedung-gedung tinggi yang menjulang. Di tengah kilau gemerlap itulah, Ardin Siregar berdiri di balkon kamar tamunya di rumah keluarga Marga, mengamati keramaian dengan sorot mata dalam yang penuh misteri.Sudah seminggu sejak konferensi pers itu, dan nama Ardin makin dikenal. Media sosial ramai membicarakannya. Ada yang menganggapnya hanya tukang akupunktur aneh, ada pula yang mulai menyebutnya Tabib Sakti dari Gunung Namun malam ini, Saraswati datang menemuinya di halaman belakang. Wanita muda itu mengenakan gaun hitam elegan, rambutnya digelung ke atas, memberi kesan anggun namun tetap kuat. Ardin sampai harus menelan ludah diam-diam saat melihatnya.“Ganti baju. Kita diundang ke ulang tahun anak keluarga Wijaya,” ujar Saraswati dingin, walau ada sorot mata aneh yang tak biasa.“Ah? Ulang tahun? Aku harus ikut j

  • Tabib Jenius   Bab 7 konferensi pers

    Gedung Marga Corporation hari itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional. Karpet merah dibentangkan, spanduk besar bertuliskan “Konferensi Pers Marga Corporation Keajaiban Medis dan Masa Depan Pengobatan Modern” terpampang di atas panggung. Di dalam aula konferensi, puluhan kamera telah terpasang. Mikrofon disiapkan, dan para jurnalis memegang catatan, siap mencatat setiap kalimat yang terlontar. Di tengah keramaian itu, Ardin Siregar duduk dengan santai mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, celana kain sederhana, dan sandal gunung yang masih menempel di kakinya. Para wartawan memandang heran ini kah sosok yang menyembuhkan direktur utama Marga Corporation dengan hanya beberapa jarum? Di sisi Ardin, duduk Saraswati Marga dalam balutan jas putih elegan, wajahnya tegas namun anggun. Di barisan belakang, Paman Darsa, adik dari ayah Saraswati, duduk bersama putranya Leonardo. Mereka tampak tenang, namun sesekali saling berbisik dengan ekspresi waspada. Acara dimulai. S

  • Tabib Jenius   Bab 6 Cemburu

    Satu jam kemudian ketika mobil hitam sederhana berhenti di depan rumah keluarga Marga. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri megah di balik pagar besi hitam. Ardin turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Naya. Gadis itu tampak ragu untuk keluar. “Kenapa?” tanya Ardin, menatapnya dengan bingung. “Aku… merasa tak enak. Ini rumah keluarga Marga. Aku hanya sekretaris,” jawab Naya pelan, menunduk. Ardin tertawa kecil. “Santai saja. Aku juga cuma asisten pribadi, dan lebih sering bikin onar.” Saat keduanya berjalan menuju gerbang, suara langkah kaki terdengar dari arah taman samping rumah. Sesosok wanita dengan rambut terikat rapi dan gaun santai berwarna putih muncul di balik taman. Saraswati Marga. Cahaya lampu taman menyinari wajahnya yang menawan namun datar. Matanya langsung tertuju pada Ardin… lalu pada Naya yang berdiri di sampingnya. Hening. Naya spontan memberi hormat, canggung. “Selamat malam, Nona Saraswati…” Saraswati tak menjawab. Pandangannya tajam, namu

  • Tabib Jenius   Bab 5 memasuki perusahaan

    Langit Jakarta tertutup awan kelabu ketika Ardin Siregar menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke kantor pusat Marga Corporation, gedung pencakar langit berlantai emat puluh yang menjulang angkuh di jantung ibu kota. Mengenakan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan celana kain yang tak seirama warnanya, Ardin berdiri canggung di lobi mewah. Seorang satpam menatapnya curiga, namun begitu melihat kartu akses khusus dengan segel emas yang diberikan langsung oleh Kakek Marga, ia langsung membungkuk hormat. “Silakan naik, Tuan Ardin.” Ardin mengangguk ringan, lalu naik ke lantai dua puluh delapan, lantai khusus manajemen utama. “APA? KAU MEMAKSAKU MENERIMA DIA SEBAGAI ASISTEN PRIBADI?!” Saraswati mengeraskan suaranya di ruang rapat pribadi. Kakeknya hanya menyeruput teh dengan tenang di sudut ruangan. “Dia sudah disetujui oleh dewan direksi. Dan… dia tunanganmu. Setidaknya, beri dia kesempatan. Atau kau takut kalah saing?” “Dengan dia? Pemuda nyentrik yang bahkan tak tahu cara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status