Home / Fantasi / Tabib Jenius / Bab 2 Tunagan sang CEO

Share

Bab 2 Tunagan sang CEO

Author: sainal
last update Last Updated: 2025-04-14 11:09:14

Gedung Marga Corporation menjulang gagah di tengah hiruk pikuk Kota jakarta. Dinding kacanya berkilau di bawah cahaya matahari pagi, memantulkan bayangan langit yang biru cerah dan awan bergulung pelan. Di lantai 33 ruang rapat utama suasana sedang panas dan tegang.

Puluhan pria dan wanita berpakaian formal duduk mengelilingi meja kaca panjang. Di ujung meja, duduk seorang wanita muda dengan aura memikat dan dingin. Dialah Saraswati Marga, CEO termuda dalam sejarah perusahaan keluarganya. Usianya baru dua puluh tiga tahun, namun kepemimpinannya telah mengguncang banyak pesaing dan membuat para petinggi perusahaan tua merasa terancam.

Wajahnya bagaikan ukiran dewi dari zaman kuno. Kulitnya bening seputih susu, matanya hitam tajam seperti kilatan pedang, dan rambut panjang hitamnya digelung rapi, menyisakan beberapa helai yang jatuh anggun di pipi. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan lekukan tegas. Ia mengenakan setelan formal warna biru gelap yang menonjolkan kesan elegan namun kuat. Saat ia berbicara, seluruh ruangan terdiam.

Namun, hari itu bukan hari biasa.

“Ayahmu sakit parah, Saraswati. Kita tak bisa terus menunggu keputusan darinya. Perusahaan ini harus dijalankan secara tegas. Aku usulkan kita lakukan pemindahan saham sementara ke dewan direksi,” ucap seorang pria berkacamata, salah satu paman dari pihak keluarga ayahnya.

“Paman Darsa, ayah masih hidup. Dia hanya sakit, bukan meninggal,” jawab Saraswati tenang namun menusuk.

Untuk sementara hampir sepertiga dari ruang konferensi setuju untuk memindahkan saham sementara ke dewan direksi, dan sisanya diam atau berdiri di sisi saraswati dan menyatakan ketidaksetujuan mereka tentang pemindahan saham ke dewan direksi.

“Hmpphhhh, kalian benar- benar bajingan sekarang ayahku sakit parah, kamu tidak ingin menstabilkan perusahaan dan kalian bergabung untuk mengambil alih saham perusahaan marga” saraswati menatap paman dan orang-orang yang bekerjasama degannya dengan marah.

“Saraswati kami tidak menyangkal kemampuan anda tetapi seperti yang dikatakan beberapa direktur, ketua sedang sakit parah sekarang dan perusahaan tidak stabil, lagipula kamu masi muda dan kurang pengalaman untuk sepenuhnya mengendalikan perusahaan, meskipun saya sangat enggan melakukan hal seperti ini, tetapi semua orang melakukan ini demi kebaikan perusahaan.” Kata paman darsa.

“sepertinya kamu akan memaksaku untuk meninggalkan posisi presiden Marga Corporation hari ini” Saraswati berdiri dan berkata dengan suara dingin.

Namun Sebelum debat bisa dilanjutkan, pintu ruang rapat terbuka keras, mengagetkan semua orang.

“Permisi! Aku mencari tunanganku!”

Semua kepala menoleh. Di sana berdiri seorang pemuda berwajah bersih dengan jubah kelabu sederhana dan tongkat kayu di tangannya. Matanya berbinar cerah, dan senyum lebarnya tampak begitu percaya diri atau mungkin terlalu santai untuk situasi seperti ini.

“Siapa kau?!” bentak salah satu anggota dewan.

Ardin melangkah masuk santai, seolah dia hanya masuk ke warung kopi, bukan ruang rapat perusahaan miliaran. “Namaku Ardin. Ardin Siregar. Aku ke sini karena katanya, aku dijodohkan dengan CEO cantik di tempat ini.”

Seluruh ruangan membeku.

Saraswati bangkit dari kursinya, wajahnya berubah dari dingin menjadi kaget, lalu bingung, dan akhirnya… marah. “Apa ini semacam lelucon? Siapa yang membiarkan dia masuk?!”

Ardin berdiri diam. Matanya terpaku pada wajah Saraswati. Untuk beberapa saat, dunia seperti berhenti berputar.

“Ya Tuhan… dia cantik sekali,” batinnya. Bukan hanya cantik Saraswati memancarkan pesona yang nyaris tak masuk akal. Seperti bidadari yang turun dari langit hanya untuk mengacaukan jantungnya.

Ia tak bisa menahan senyum. “Kau… Saraswati, ya? Wah, kau lebih cantik dari apa pun yang pernah kulihat di gunung.”

“ kamu siapa.? Beraninya kamu masuk tanpa izin diruang pertemuan perusahaan marga” paman darsa menampar meja dan menunjuk ke arah ardin dan berkata dengan marah.

Sudut mulut ardin berkedut datang ke depan paman darsa dan berkata “ kamu orang yang menggertak istriku barusan kan” melihat ardin berdiri di depanya paman darsa merasakan aura kuat menindasnya dan membuatnya takut.

“Plakkkkkk”

ardin menampar paman darsa dengan tagannya membuatnya jatuh tersungkur ke lantai . Salah satu anggota direksi berdiri dan menggedor meja. “Keamanan! Keluarkan orang ini sekarang juga!”

Namun sebelum mereka sempat bergerak, suara serak datang dari layar besar di dinding video call langsung dari ruang pribadi keluarga Marga. Di layar terlihat seorang pria tua. Kakek Saraswati, Tuan Arman Marga, membuka matanya perlahan.

“Biarkan dia bicara…”

Semua terdiam.

“Saraswati… itu dia… pemuda dari Gunung Bahal Batu… seperti yang dijanjikan dulu dengan gurunya. Dia… Ardin Siregar… tunanganmu.”

Ruang rapat berubah menjadi kuburan sunyi.

Saraswati memejamkan mata. “Kakek, ini bukan waktu untuk…”

Namun Ardin malah melangkah ke depan dan duduk seenaknya di meja rapat. Ia mengambil satu buah Apel dari meja dan memakannya. “Permisi, boleh aku bantu menyembuhkan ayahmu? Aku dengar dia sakit keras, ya?”

Saraswati memandangnya tajam. “Kau pikir kau siapa?”

Ardin menepuk dada, tersenyum jahil. “Tabib. Yang sangat jenius. Kalau kau izinkan aku melihat kondisi ayahmu, aku yakin bisa menyembuhkannya dalam… hmm, paling lambat 3 hari.”

Beberapa anggota dewan tertawa sinis.

“Kau pikir penyakit akut bisa disembuhkan dengan rempah dan mantra?! Ini bukan pengobatan kampung!”

Ardin menoleh dengan senyum nakal. “Eh, om-om yang banyak duit tapi tak tahu titik Qi di tubuh manusia itu sebaiknya diam dulu. Kalau kau tahu betapa rumitnya keseimbangan jantung, paru-paru, dan aliran darah halus, kau akan tahu siapa yang kampungan.”

Saraswati memijit pelipisnya. Dia lelah, bingung, dan untuk alasan yang tak ia pahami, juga penasaran.

“Aku beri kau satu kesempatan. Buktikan kalau kau bukan penipu. Tapi kalau kau gagal, kau sendiri yang akan kuantar ke polisi.”

Ardin berdiri dan memberi hormat dengan gaya kuno yang membuat semua orang makin bingung. “Terima kasih, Nona Tunanganku. Aku akan menyelamatkan ayahmu. Dan kalau berhasil… kau harus mengakui aku sebagai tunanganmu. Dan memberiku sebuah ciuman”

Saraswati tidak memperdulikan apa yang di katakan ardin, dia meninggalkan ruang rapat dan bergegas ke rumah sakit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tabib Jenius   Bab 10 Pil Kehidupan

    “Kamu terlalu banyak omong kosong, paling tidak aku kesini membawa hadiah dengan tulus untuk keluarga wijaya, walaupun itu palsu, tapi itu semua salah penjual karena menipuku.” Teriak Kiandra kepada ardin. Dia merasa malu dengan hadiah palsunya dia mengutuk penjual itu di dalam hatinya.“Kita semua telah mengeluarkan hadiah untuk putri melati, bukankah sekarang giliran tuan ardin memberikan hadiah juga kepada putri melati.” Tiba-tiba leonardo mengubah topik pembicaraan, kiandra adalah temannya jadi dia menolongnya dengan mengganti topik pembicaraannya, ia menganggap ardin tidak memiliki hadiah kalaupun ada itu hanya barang murahan karena latar belakangnya.Semua mata menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar.“Itu Ardin Siregar? Yang katanya cuma asisten pribadi?”“Katanya cuma orang gunung”“Berani-beraninya dia ikut naik ke atas panggung?”Kemudian ardin melangkah ringan, tanpa canggung sedikit pun. Ia berdiri tepat di hadapan Melati dan menatap mata gadis itu.“Selamat ulang tahun, Non

  • Tabib Jenius   Bab 9 Hadiah Ulang Tahun

    “Waktunya penampilan sang putri keluarga Wijaya,” ujar MC dengan nada khidmat. “Mohon perhatian semuanya. Mari kita sambut… Putri Melati Wijaya!”Lampu sorot beralih ke pintu besar di sisi kanan ruangan. Perlahan, pintu itu terbuka, dan suara lembut alat bantu gerak terdengar samar.Ardin yang berdiri di samping Saraswati spontan memicingkan mata. “Hmm?”Seorang gadis cantik muncul dari balik pintu, duduk di atas kursi roda, didorong pelan oleh seorang suster. Gadis itu mengenakan gaun putih kebiruan dari sutra tipis yang jatuh anggun, dihiasi bordir melati perak di bagian dada. Wajahnya pucat, namun kecantikannya terpancar kuat kulit bening seperti porselen, mata bening dan sayu, serta bibir merah alami yang kontras dengan pipinya yang pucat.“Dia…” bisik Ardin tanpa sadar. “Punya aura kehidupan yang lemah, seperti sumbu lilin yang tinggal nyala terakhir.”Saraswati menoleh. “Itu Putri Melati. Anak semata wayang keluarga Wijaya. Sejak kecil mengidap penyakit aneh. Banyak tabib dan d

  • Tabib Jenius   Bab 8 Empat Keluarga Besar

    Jakarta di malam hari tampak seperti lautan cahaya yang gemerlap. Dari kejauhan, langit kota metropolitan tampak seperti dibakar ribuan lentera, padahal hanya pantulan dari gedung-gedung tinggi yang menjulang. Di tengah kilau gemerlap itulah, Ardin Siregar berdiri di balkon kamar tamunya di rumah keluarga Marga, mengamati keramaian dengan sorot mata dalam yang penuh misteri.Sudah seminggu sejak konferensi pers itu, dan nama Ardin makin dikenal. Media sosial ramai membicarakannya. Ada yang menganggapnya hanya tukang akupunktur aneh, ada pula yang mulai menyebutnya Tabib Sakti dari Gunung Namun malam ini, Saraswati datang menemuinya di halaman belakang. Wanita muda itu mengenakan gaun hitam elegan, rambutnya digelung ke atas, memberi kesan anggun namun tetap kuat. Ardin sampai harus menelan ludah diam-diam saat melihatnya.“Ganti baju. Kita diundang ke ulang tahun anak keluarga Wijaya,” ujar Saraswati dingin, walau ada sorot mata aneh yang tak biasa.“Ah? Ulang tahun? Aku harus ikut j

  • Tabib Jenius   Bab 7 konferensi pers

    Gedung Marga Corporation hari itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional. Karpet merah dibentangkan, spanduk besar bertuliskan “Konferensi Pers Marga Corporation Keajaiban Medis dan Masa Depan Pengobatan Modern” terpampang di atas panggung. Di dalam aula konferensi, puluhan kamera telah terpasang. Mikrofon disiapkan, dan para jurnalis memegang catatan, siap mencatat setiap kalimat yang terlontar. Di tengah keramaian itu, Ardin Siregar duduk dengan santai mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, celana kain sederhana, dan sandal gunung yang masih menempel di kakinya. Para wartawan memandang heran ini kah sosok yang menyembuhkan direktur utama Marga Corporation dengan hanya beberapa jarum? Di sisi Ardin, duduk Saraswati Marga dalam balutan jas putih elegan, wajahnya tegas namun anggun. Di barisan belakang, Paman Darsa, adik dari ayah Saraswati, duduk bersama putranya Leonardo. Mereka tampak tenang, namun sesekali saling berbisik dengan ekspresi waspada. Acara dimulai. S

  • Tabib Jenius   Bab 6 Cemburu

    Satu jam kemudian ketika mobil hitam sederhana berhenti di depan rumah keluarga Marga. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri megah di balik pagar besi hitam. Ardin turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Naya. Gadis itu tampak ragu untuk keluar. “Kenapa?” tanya Ardin, menatapnya dengan bingung. “Aku… merasa tak enak. Ini rumah keluarga Marga. Aku hanya sekretaris,” jawab Naya pelan, menunduk. Ardin tertawa kecil. “Santai saja. Aku juga cuma asisten pribadi, dan lebih sering bikin onar.” Saat keduanya berjalan menuju gerbang, suara langkah kaki terdengar dari arah taman samping rumah. Sesosok wanita dengan rambut terikat rapi dan gaun santai berwarna putih muncul di balik taman. Saraswati Marga. Cahaya lampu taman menyinari wajahnya yang menawan namun datar. Matanya langsung tertuju pada Ardin… lalu pada Naya yang berdiri di sampingnya. Hening. Naya spontan memberi hormat, canggung. “Selamat malam, Nona Saraswati…” Saraswati tak menjawab. Pandangannya tajam, namu

  • Tabib Jenius   Bab 5 memasuki perusahaan

    Langit Jakarta tertutup awan kelabu ketika Ardin Siregar menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke kantor pusat Marga Corporation, gedung pencakar langit berlantai emat puluh yang menjulang angkuh di jantung ibu kota. Mengenakan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan celana kain yang tak seirama warnanya, Ardin berdiri canggung di lobi mewah. Seorang satpam menatapnya curiga, namun begitu melihat kartu akses khusus dengan segel emas yang diberikan langsung oleh Kakek Marga, ia langsung membungkuk hormat. “Silakan naik, Tuan Ardin.” Ardin mengangguk ringan, lalu naik ke lantai dua puluh delapan, lantai khusus manajemen utama. “APA? KAU MEMAKSAKU MENERIMA DIA SEBAGAI ASISTEN PRIBADI?!” Saraswati mengeraskan suaranya di ruang rapat pribadi. Kakeknya hanya menyeruput teh dengan tenang di sudut ruangan. “Dia sudah disetujui oleh dewan direksi. Dan… dia tunanganmu. Setidaknya, beri dia kesempatan. Atau kau takut kalah saing?” “Dengan dia? Pemuda nyentrik yang bahkan tak tahu cara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status