Home / Fantasi / Tabib Jenius / Bab 6 Cemburu

Share

Bab 6 Cemburu

Author: sainal
last update Last Updated: 2025-04-14 12:19:34

Satu jam kemudian ketika mobil hitam sederhana berhenti di depan rumah keluarga Marga. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri megah di balik pagar besi hitam. Ardin turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Naya. Gadis itu tampak ragu untuk keluar.

“Kenapa?” tanya Ardin, menatapnya dengan bingung.

“Aku… merasa tak enak. Ini rumah keluarga Marga. Aku hanya sekretaris,” jawab Naya pelan, menunduk.

Ardin tertawa kecil. “Santai saja. Aku juga cuma asisten pribadi, dan lebih sering bikin onar.”

Saat keduanya berjalan menuju gerbang, suara langkah kaki terdengar dari arah taman samping rumah. Sesosok wanita dengan rambut terikat rapi dan gaun santai berwarna putih muncul di balik taman. Saraswati Marga.

Cahaya lampu taman menyinari wajahnya yang menawan namun datar. Matanya langsung tertuju pada Ardin… lalu pada Naya yang berdiri di sampingnya. Hening.

Naya spontan memberi hormat, canggung. “Selamat malam, Nona Saraswati…”

Saraswati tak menjawab. Pandangannya tajam, namun wajahnya tetap tenang, tak menunjukkan emosi.

Ardin, dengan sikap santai khasnya, melambaikan tangan. “Oh, kebetulan! Kami baru pulang dari desa Naya. Aku bantu mengobati ibunya yang sakit. Lumayan, jalan-jalan sambil terapi.”

Naya mencubit lengan Ardin pelan, malu.

Saraswati tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di balik senyum itu. “Kau memang suka berkeliling menyentuh hati orang lain ya, Ardin.”

Ardin menggaruk kepalanya, tidak mengerti maksud tersiratnya.

“Yah… menolong itu bikin umur panjang, kan?”

“Begitu, ya…” Saraswati melirik Naya sekilas sebelum berbalik dan melangkah pergi. “Kalau sudah selesai jalan-jalannya, jangan lupa besok kerja tepat waktu.”

Ardin berdiri mematung. Hatinya terasa aneh. Ia menoleh pada Naya yang masih menunduk dalam kebingungan.

“Dia marah, ya?” bisik Naya.

Ardin mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi dia agak… dingin, ya?”

Malam telah larut. Di belakang rumah, di halaman yang biasa digunakan untuk meditasi keluarga Marga, Ardin duduk bersila. Udara tenang, hanya terdengar gesekan daun yang diterpa angin lembut.

Ia menutup mata, tubuhnya perlahan dikelilingi kabut tipis tak kasat mata. Nafasnya dalam dan teratur, jari-jarinya membentuk mudra pengumpulan Qi. Perlahan, energi langit dan bumi mengalir masuk ke tubuhnya, menyatu dengan aliran darah dan meresap ke titik-titik meridian.

Tiba-tiba matanya terbuka. Ia menatap langit.

“Energi di kota ini kacau… terlalu banyak hawa negatif.”

Ia menengadah dan menarik napas panjang. Seberkas aura tipis keemasan memancar dari tubuhnya sebelum perlahan-lahan menghilang.

Keesokan paginya…

Gedung Marga Corporation kembali ramai. Pegawai berdasi lalu-lalang dengan ekspresi serius. Di sudut lobi, layar besar menayangkan berita pagi. Namun, pagi itu bukan berita politik atau ekonomi yang jadi sorotan.

Wajah seorang pemuda muda muncul di layar.

“Sosok Misterius di Balik Kesembuhan Tuan Marga Asisten Pribadi yang Mengguncang Dunia Medis?”

Rekaman tersembunyi dari seseorang menunjukkan Ardin sedang memasang jarum akupunktur di tubuh ayah Saraswati saat ia koma. Rekaman itu viral semalam, dibagikan di berbagai media sosial. Publik pun bertanya-tanya siapa pemuda ini?

“Eh, itu bukan si Ardin?” salah satu staf berbisik.

“Iya, dia yang sering nyasar ke pantry waktu rapat direksi.”

Saat Ardin masuk ke lobi, hampir semua mata menatapnya.

“Selamat pagi!” sapanya ceria, tak menyadari keheningan yang mengikutinya.

Di lantai atas, Saraswati sedang membaca dokumen ketika Naya masuk terburu-buru.

“Nona! Anda sudah lihat berita pagi ini?”

Saraswati menoleh cepat. “Apa lagi yang dilakukan Ardin?”

Naya menunjukkan ponsel. Saraswati melihat wajah Ardin muncul di layar. Sekilas terlihat kilatan emosi di matanya.

“Kenapa rekaman itu bisa bocor?” gumamnya.

“Sepertinya dari orang dalam rumah sakit…”

Saraswati berdiri, menutup dokumen dengan cepat. “Ini bisa jadi bencana… atau kesempatan.”

Saat Ardin naik ke ruangannya, ia dikepung oleh beberapa staf dari divisi PR.

“Tuan Ardin! Bisa kami wawancara sebentar?”

“Kami dari tim konten internal, Anda luar biasa!”

“Kami ingin buat program tentang pengobatan alternatif. Mau tampil di YouTube perusahaan?”

Ardin kebingungan.

“Eh… aku baru bikin teh pagi ini. Belum siap wawancara.”

Dari kejauhan, beberapa eksekutif tinggi memperhatikan. Salah satunya, seorang pria dengan jas abu-abu dan wajah tajam bernama Leonardo, kepala bagian investasi dan salah satu kandidat pewaris saham perusahaan. Lenardo adalah anak dari darsa marga paman dari Saraswati marga.

“Anak kampung itu mulai bikin nama,” gumam Leonardo pada asistennya. “Tapi aku yakin… dia tak sepolos kelihatannya.”

Di ruang rapat utama, Saraswati memanggil Ardin secara pribadi. Ia duduk di kursinya dengan kaki disilangkan, ekspresi serius.

“Ardin, mulai sekarang… jaga sikapmu. Kau bukan cuma asisten. Kau bagian dari Marga Corporation. Setiap langkahmu bisa berdampak besar.”

Ardin duduk santai di seberang meja.

“Aku cuma bantu orang. Tak niat terkenal.”

“Justru itu masalahnya. Dunia ini bukan gunung tempat kau biasa hidup. Di sini, semua hal bisa jadi senjata.”

Saraswati menatapnya lama, lalu mendesah.

“Aku tidak suka perhatian berlebih. Tapi kalau ini bisa bantu perusahaan, kita manfaatkan. Aku akan arahkan media untuk buat citramu lebih ‘resmi’. Kau harus ikut konferensi pers besok.”

“Konferensi apa?” Ardin memicingkan mata.

“Jangan bilang kau tidak tahu konferensi itu apa.”

Ardin hanya mengangguk polos.

Saraswati memejamkan mata, lalu berdiri. Ia berjalan ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi Jakarta yang berjajar.

Dalam hatinya, ia bingung mengapa sosok ini, yang begitu nyeleneh dan seenaknya, justru mampu menarik perhatian semua orang… termasuk hatinya?

Sementara itu, di tempat lain, Leonardo duduk di ruang pribadinya. Di depannya terpampang siluet rekaman Ardin saat menyembuhkan ayah Saraswati.

“Kemampuan penyembuhan ini… terlalu luar biasa untuk manusia biasa. Apakah dia…”

Leonardo menyeringai, lalu menekan tombol.

“Cepat beritahu ayahku dan Hubungi klinik Bayangan Timur. Kita akan mulai rencana. Ardin harus dikeluarkan sebelum dia menyingkap semua rahasia yang kita simpan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tabib Jenius   Bab 7 konferensi pers

    Gedung Marga Corporation hari itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional. Karpet merah dibentangkan, spanduk besar bertuliskan “Konferensi Pers Marga Corporation Keajaiban Medis dan Masa Depan Pengobatan Modern” terpampang di atas panggung. Di dalam aula konferensi, puluhan kamera telah terpasang. Mikrofon disiapkan, dan para jurnalis memegang catatan, siap mencatat setiap kalimat yang terlontar. Di tengah keramaian itu, Ardin Siregar duduk dengan santai mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, celana kain sederhana, dan sandal gunung yang masih menempel di kakinya. Para wartawan memandang heran ini kah sosok yang menyembuhkan direktur utama Marga Corporation dengan hanya beberapa jarum? Di sisi Ardin, duduk Saraswati Marga dalam balutan jas putih elegan, wajahnya tegas namun anggun. Di barisan belakang, Paman Darsa, adik dari ayah Saraswati, duduk bersama putranya Leonardo. Mereka tampak tenang, namun sesekali saling berbisik dengan ekspresi waspada. Acara dimulai. S

  • Tabib Jenius   Bab 6 Cemburu

    Satu jam kemudian ketika mobil hitam sederhana berhenti di depan rumah keluarga Marga. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri megah di balik pagar besi hitam. Ardin turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Naya. Gadis itu tampak ragu untuk keluar. “Kenapa?” tanya Ardin, menatapnya dengan bingung. “Aku… merasa tak enak. Ini rumah keluarga Marga. Aku hanya sekretaris,” jawab Naya pelan, menunduk. Ardin tertawa kecil. “Santai saja. Aku juga cuma asisten pribadi, dan lebih sering bikin onar.” Saat keduanya berjalan menuju gerbang, suara langkah kaki terdengar dari arah taman samping rumah. Sesosok wanita dengan rambut terikat rapi dan gaun santai berwarna putih muncul di balik taman. Saraswati Marga. Cahaya lampu taman menyinari wajahnya yang menawan namun datar. Matanya langsung tertuju pada Ardin… lalu pada Naya yang berdiri di sampingnya. Hening. Naya spontan memberi hormat, canggung. “Selamat malam, Nona Saraswati…” Saraswati tak menjawab. Pandangannya tajam, namu

  • Tabib Jenius   Bab 5 memasuki perusahaan

    Langit Jakarta tertutup awan kelabu ketika Ardin Siregar menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke kantor pusat Marga Corporation, gedung pencakar langit berlantai emat puluh yang menjulang angkuh di jantung ibu kota. Mengenakan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan celana kain yang tak seirama warnanya, Ardin berdiri canggung di lobi mewah. Seorang satpam menatapnya curiga, namun begitu melihat kartu akses khusus dengan segel emas yang diberikan langsung oleh Kakek Marga, ia langsung membungkuk hormat. “Silakan naik, Tuan Ardin.” Ardin mengangguk ringan, lalu naik ke lantai dua puluh delapan, lantai khusus manajemen utama. “APA? KAU MEMAKSAKU MENERIMA DIA SEBAGAI ASISTEN PRIBADI?!” Saraswati mengeraskan suaranya di ruang rapat pribadi. Kakeknya hanya menyeruput teh dengan tenang di sudut ruangan. “Dia sudah disetujui oleh dewan direksi. Dan… dia tunanganmu. Setidaknya, beri dia kesempatan. Atau kau takut kalah saing?” “Dengan dia? Pemuda nyentrik yang bahkan tak tahu cara

  • Tabib Jenius   Bab 4 Tinggal dirumah sarah

    Rumah keluarga Marga bukan rumah biasa. Bangunan tiga lantai bergaya kolonial Belanda ini berdiri anggun di tengah taman tropis yang terawat rapi. Dindingnya dicat putih gading, pilar-pilarnya tinggi menjulang, dan lampu gantung kristal menghiasi ruang utama. Di tempat inilah para pewaris keluarga Marga dibesarkan tempat yang penuh aturan, etiket, dan keheningan. Namun, pagi itu… semua berubah. “NONA SARASWATI!!” teriak salah satu pembantu panik. Saraswati yang sedang sarapan dengan kalem di meja makan, dikejutkan oleh suara gaduh. Tak lama kemudian, seorang pemuda bertelanjang dada, mengenakan celana kain dan rambut berantakan, berlari melewati ruang makan sambil membawa ember. “Ada katak di kolam belakang! Tapi yang ini aneh, Qi-nya seperti melilit. Mungkin ini jenis katak spiritual!” seru Ardin riang, tanpa sadar bahwa ia baru saja mengganggu ketenangan rumah para bangsawan. “ARDIN!! APA KAU BISA BERSIKAP NORMAL SEDIKIT SAJA?!” “Normal? Bukannya semua orang harus bangun subuh

  • Tabib Jenius   Bab 3 Menyembuhkan Ayah Mertua

    Di dalam ruang rawat VIP Rumah Sakit Marga Husada, suasana terasa hening. Dinding ruangan putih bersih, aroma antiseptik menyeruak, dan mesin-mesin pemantau detak jantung berbunyi pelan, seperti irama waktu yang terus berdetak. Tuan Suryo Marga, ayah Saraswati, terbaring lemah. Wajahnya pucat, kulitnya mulai menguning, dan nafasnya tersengal seolah paru-parunya menolak bekerja. Dokter-dokter terbaik dari Jakarta, bahkan Singapura, telah memeriksanya. Namun tak satu pun bisa menjelaskan penyebab pasti dari sakitnya. Saraswati berdiri di sisi ranjang, memandang ayahnya dengan wajah keras namun mata sembab. Ia sangat mencintai ayahnya satu-satunya orang yang selalu mempercayai kemampuannya memimpin perusahaan di tengah kerasnya dunia korporat. Di sudut ruangan, berdiri Ardin Siregar. Jubah kelabunya tampak lusuh di antara pakaian formal para dokter dan perawat. Ia berjalan santai, meletakkan tas kain di meja, dan mulai mengeluarkan botol kecil berisi cairan hijau, serbuk hitam, dan

  • Tabib Jenius   Bab 2 Tunagan sang CEO

    Gedung Marga Corporation menjulang gagah di tengah hiruk pikuk Kota jakarta. Dinding kacanya berkilau di bawah cahaya matahari pagi, memantulkan bayangan langit yang biru cerah dan awan bergulung pelan. Di lantai 33 ruang rapat utama suasana sedang panas dan tegang. Puluhan pria dan wanita berpakaian formal duduk mengelilingi meja kaca panjang. Di ujung meja, duduk seorang wanita muda dengan aura memikat dan dingin. Dialah Saraswati Marga, CEO termuda dalam sejarah perusahaan keluarganya. Usianya baru dua puluh tiga tahun, namun kepemimpinannya telah mengguncang banyak pesaing dan membuat para petinggi perusahaan tua merasa terancam. Wajahnya bagaikan ukiran dewi dari zaman kuno. Kulitnya bening seputih susu, matanya hitam tajam seperti kilatan pedang, dan rambut panjang hitamnya digelung rapi, menyisakan beberapa helai yang jatuh anggun di pipi. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan lekukan tegas. Ia mengenakan setelan formal warna biru gelap yang menonjolkan kesan elegan namun

  • Tabib Jenius   Bab 1 Langkah Pertama Sang Tabib

    Kabut tipis menggulung pelan di lereng Gunung Bahal Batu, menari di antara pohon-pohon damar tinggi dan batu-batu purba yang diselimuti lumut. Di sebuah bangunan tua beratap ijuk, berdiri seorang pemuda berbaju abu-abu bersih, dengan mata jernih bagaikan danau tenang dan senyum lembut di wajahnya. Dialah Ardin Siregar, murid utama dari tabib legendaris yang dikenal dengan nama Guru Sakti dari Langit Selatan. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Ardin telah menguasai berbagai teknik pengobatan langka, mulai dari akupunktur spiritual, hingga meramu obat-obatan yang hanya bisa dipetik saat cahaya bulan menyentuh embun pertama. Namun, hari itu bukan hari untuk belajar. Hari itu adalah hari perpisahan. “Ardin, waktunya kau meninggalkan gunung ini,” ucap sang guru, seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan sorot mata tajam bagaikan elang. “Dunia luar lebih luas dari bayanganmu. Tapi kali ini, tujuanmu bukan sekadar menolong orang sakit. Kau harus pergi ke Kota Jakarta d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status