Home / Fantasi / Tabib Jenius / Bab 5 memasuki perusahaan

Share

Bab 5 memasuki perusahaan

Author: sainal
last update Last Updated: 2025-04-14 12:02:24

Langit Jakarta tertutup awan kelabu ketika Ardin Siregar menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke kantor pusat Marga Corporation, gedung pencakar langit berlantai emat puluh yang menjulang angkuh di jantung ibu kota.

Mengenakan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan celana kain yang tak seirama warnanya, Ardin berdiri canggung di lobi mewah. Seorang satpam menatapnya curiga, namun begitu melihat kartu akses khusus dengan segel emas yang diberikan langsung oleh Kakek Marga, ia langsung membungkuk hormat.

“Silakan naik, Tuan Ardin.”

Ardin mengangguk ringan, lalu naik ke lantai dua puluh delapan, lantai khusus manajemen utama.

“APA? KAU MEMAKSAKU MENERIMA DIA SEBAGAI ASISTEN PRIBADI?!”

Saraswati mengeraskan suaranya di ruang rapat pribadi. Kakeknya hanya menyeruput teh dengan tenang di sudut ruangan.

“Dia sudah disetujui oleh dewan direksi. Dan… dia tunanganmu. Setidaknya, beri dia kesempatan. Atau kau takut kalah saing?”

“Dengan dia? Pemuda nyentrik yang bahkan tak tahu cara mengikat dasi?”

Pintu terbuka pelan. Ardin masuk dengan wajah cerah.

“Tidak perlu dasi, aku sudah pakai kalung giok. Lebih berenergi.”

Saraswati menutup wajahnya.

Tak lama setelahnya, Ardin diperkenalkan kepada tim sekretariat. Di antara para staf elegan berseragam, berdirilah seorang wanita muda yang langsung membuat Ardin mengerutkan alis.

Mata bening itu, alis lembut, dan rambut hitam panjang yang terikat rapi… dia mengenalnya.

“Kau… gadis yang di gigit ular itu!” seru Ardin.

Wanita itu terkejut. “Kau… pria aneh yang menyelamatkanku dari ular bulan lalu?!”

Saraswati memicingkan mata.

Nama gadis itu adalah Naya, sekretaris pribadi Saraswati yang baru direkrut sebulan lalu. Tak seorang pun tahu bahwa beberapa waktu sebelumnya, ia pernah bertemu Ardin secara tidak sengaja saat tersesat di pegunungan untuk mencari tanaman obat.

Mereka tertawa pelan, seperti dua teman lama yang bertemu kembali.

“Wah, dunia kecil ya,” ucap Ardin sambil duduk di kursi kerja yang ia putar seenaknya.

Saraswati menatap mereka, keningnya mengerut. Sesuatu di dadanya terasa mengganggu.

Setelah jam kerja usai, di taman kecil belakang kantor, Ardin dan Naya duduk berdua. Hembusan angin menyapu daun kering, dan lampu-lampu taman mulai menyala redup.

“Apa yang kau lakukan saat itu di gunung?” tanya Ardin sambil melemparkan biji ke kolam kecil.

Naya menghela napas. “Ibuku… sakit keras. Sudah lama. Penyakit dalam yang tak bisa dijelaskan dokter. Aku dengar ada ramuan langka di pegunungan itu, jadi aku nekat pergi.”

“Dan kau pikir racun ular lebih jinak dari penyakit ibumu?” ledek Ardin.

Naya tersenyum tipis, lalu menunduk. “Aku hanya… putus asa.”

Ardin terdiam. Lalu ia berdiri.

“Aku bisa membantu,” ujarnya pelan.

Naya menatapnya dengan ragu. “Aku tahu kau kuat… tapi penyakit ibuku bukan sembarangan. Tabib kampung pun tak sanggup menyembuhkannya.”

Ardin menoleh dengan wajah serius, tatapannya dalam seperti jurang.

“Bawa aku ke sana.”

Desa tempat ibu Naya tinggal berada di kaki Gunung Halimun. Rumah-rumah kayu berdiri tenang di antara pohon pinus dan kabut tipis. Saat Ardin dan Naya tiba, sejumlah warga berkumpul di depan rumah kecil berloteng bambu.

Di dalam, seorang tabib desa sedang menyiapkan ramuan dengan wajah angkuh.

“Ah, jadi kau yang katanya bisa menyembuhkan segala penyakit?” tanya tabib itu, menatap Ardin dari atas ke bawah. “Aku sudah mengobati Nyonya Asti bertahun-tahun. Kau pikir hanya dengan modal satu jarum kau bisa menyembuhkannya?”

Ardin tak menjawab. Ia hanya membuka tas kecilnya, mengeluarkan gulungan kain berisi jarum bambu halus, dan duduk di sisi ranjang.

Ibu Naya berbaring lemah, wajahnya pucat dan napasnya pendek.

“Maaf ya, Ibu. Aku mau mencontek sistem tubuhmu sedikit,” gumam Ardin.

Dengan tenang, ia menancapkan satu jarum di titik bahu, lalu di dada, lalu di telapak kaki.

Tiga jarum.

Hening.

Beberapa menit berlalu. Tubuh Ibu Naya mulai berkeringat. Wajahnya yang pucat mulai bersemu. Lalu… ia membuka matanya.

“Naya…?”

Naya memekik dan memeluk ibunya.

Semua orang tercengang. Termasuk sang tabib yang kini mematung.

“Ini… ini tak mungkin! Aku sudah mencoba berbulan-bulan!”

“Karena kau hanya melihat tubuh, bukan aliran Qi di dalamnya,” jawab Ardin santai sambil berdiri dan mengemas jarumnya.

Naya menatap Ardin, matanya berkaca-kaca. Rasa kagum bercampur hangat di dalam hatinya. Lelaki di depannya ini bukan hanya aneh dan menyenangkan dia benar-benar jenius.

Malam itu, ardin diantar pulang oleh naya menggunakan mobil brio kesayangannya, saat kembali ke kota, ardin duduk di kursi samping naya di dalam mobil.

“Terima kasih, Ardin. Aku benar-benar… kagum.”

Ardin hanya tersenyum, menatap lampu kota dari balik jendela.

“Biasa aja. Aku belum kasih jurus andalanku, lho.”

Naya mulai merasakan ada perasaan yang tidak biasa yang mulai tumbuh di dalam hatinya, mungkin karena beberapa kejadian sebelumnya, dia merasa nyaman dan aman di dekat ardin, namun pikirannya ini harus dia tepis karena orang di sampingnya adalah tunangan bosnya sendiri….

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tabib Jenius   Bab 6 Cemburu

    Satu jam kemudian ketika mobil hitam sederhana berhenti di depan rumah keluarga Marga. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri megah di balik pagar besi hitam. Ardin turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Naya. Gadis itu tampak ragu untuk keluar. “Kenapa?” tanya Ardin, menatapnya dengan bingung. “Aku… merasa tak enak. Ini rumah keluarga Marga. Aku hanya sekretaris,” jawab Naya pelan, menunduk. Ardin tertawa kecil. “Santai saja. Aku juga cuma asisten pribadi, dan lebih sering bikin onar.” Saat keduanya berjalan menuju gerbang, suara langkah kaki terdengar dari arah taman samping rumah. Sesosok wanita dengan rambut terikat rapi dan gaun santai berwarna putih muncul di balik taman. Saraswati Marga. Cahaya lampu taman menyinari wajahnya yang menawan namun datar. Matanya langsung tertuju pada Ardin… lalu pada Naya yang berdiri di sampingnya. Hening. Naya spontan memberi hormat, canggung. “Selamat malam, Nona Saraswati…” Saraswati tak menjawab. Pandangannya tajam, namu

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tabib Jenius   Bab 7 konferensi pers

    Gedung Marga Corporation hari itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional. Karpet merah dibentangkan, spanduk besar bertuliskan “Konferensi Pers Marga Corporation Keajaiban Medis dan Masa Depan Pengobatan Modern” terpampang di atas panggung. Di dalam aula konferensi, puluhan kamera telah terpasang. Mikrofon disiapkan, dan para jurnalis memegang catatan, siap mencatat setiap kalimat yang terlontar. Di tengah keramaian itu, Ardin Siregar duduk dengan santai mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, celana kain sederhana, dan sandal gunung yang masih menempel di kakinya. Para wartawan memandang heran ini kah sosok yang menyembuhkan direktur utama Marga Corporation dengan hanya beberapa jarum? Di sisi Ardin, duduk Saraswati Marga dalam balutan jas putih elegan, wajahnya tegas namun anggun. Di barisan belakang, Paman Darsa, adik dari ayah Saraswati, duduk bersama putranya Leonardo. Mereka tampak tenang, namun sesekali saling berbisik dengan ekspresi waspada. Acara dimulai. S

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tabib Jenius   Bab 1 Langkah Pertama Sang Tabib

    Kabut tipis menggulung pelan di lereng Gunung Bahal Batu, menari di antara pohon-pohon damar tinggi dan batu-batu purba yang diselimuti lumut. Di sebuah bangunan tua beratap ijuk, berdiri seorang pemuda berbaju abu-abu bersih, dengan mata jernih bagaikan danau tenang dan senyum lembut di wajahnya. Dialah Ardin Siregar, murid utama dari tabib legendaris yang dikenal dengan nama Guru Sakti dari Langit Selatan. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Ardin telah menguasai berbagai teknik pengobatan langka, mulai dari akupunktur spiritual, hingga meramu obat-obatan yang hanya bisa dipetik saat cahaya bulan menyentuh embun pertama. Namun, hari itu bukan hari untuk belajar. Hari itu adalah hari perpisahan. “Ardin, waktunya kau meninggalkan gunung ini,” ucap sang guru, seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan sorot mata tajam bagaikan elang. “Dunia luar lebih luas dari bayanganmu. Tapi kali ini, tujuanmu bukan sekadar menolong orang sakit. Kau harus pergi ke Kota Jakarta d

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tabib Jenius   Bab 2 Tunagan sang CEO

    Gedung Marga Corporation menjulang gagah di tengah hiruk pikuk Kota jakarta. Dinding kacanya berkilau di bawah cahaya matahari pagi, memantulkan bayangan langit yang biru cerah dan awan bergulung pelan. Di lantai 33 ruang rapat utama suasana sedang panas dan tegang. Puluhan pria dan wanita berpakaian formal duduk mengelilingi meja kaca panjang. Di ujung meja, duduk seorang wanita muda dengan aura memikat dan dingin. Dialah Saraswati Marga, CEO termuda dalam sejarah perusahaan keluarganya. Usianya baru dua puluh tiga tahun, namun kepemimpinannya telah mengguncang banyak pesaing dan membuat para petinggi perusahaan tua merasa terancam. Wajahnya bagaikan ukiran dewi dari zaman kuno. Kulitnya bening seputih susu, matanya hitam tajam seperti kilatan pedang, dan rambut panjang hitamnya digelung rapi, menyisakan beberapa helai yang jatuh anggun di pipi. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan lekukan tegas. Ia mengenakan setelan formal warna biru gelap yang menonjolkan kesan elegan namun

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tabib Jenius   Bab 3 Menyembuhkan Ayah Mertua

    Di dalam ruang rawat VIP Rumah Sakit Marga Husada, suasana terasa hening. Dinding ruangan putih bersih, aroma antiseptik menyeruak, dan mesin-mesin pemantau detak jantung berbunyi pelan, seperti irama waktu yang terus berdetak. Tuan Suryo Marga, ayah Saraswati, terbaring lemah. Wajahnya pucat, kulitnya mulai menguning, dan nafasnya tersengal seolah paru-parunya menolak bekerja. Dokter-dokter terbaik dari Jakarta, bahkan Singapura, telah memeriksanya. Namun tak satu pun bisa menjelaskan penyebab pasti dari sakitnya. Saraswati berdiri di sisi ranjang, memandang ayahnya dengan wajah keras namun mata sembab. Ia sangat mencintai ayahnya satu-satunya orang yang selalu mempercayai kemampuannya memimpin perusahaan di tengah kerasnya dunia korporat. Di sudut ruangan, berdiri Ardin Siregar. Jubah kelabunya tampak lusuh di antara pakaian formal para dokter dan perawat. Ia berjalan santai, meletakkan tas kain di meja, dan mulai mengeluarkan botol kecil berisi cairan hijau, serbuk hitam, dan

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tabib Jenius   Bab 4 Tinggal dirumah sarah

    Rumah keluarga Marga bukan rumah biasa. Bangunan tiga lantai bergaya kolonial Belanda ini berdiri anggun di tengah taman tropis yang terawat rapi. Dindingnya dicat putih gading, pilar-pilarnya tinggi menjulang, dan lampu gantung kristal menghiasi ruang utama. Di tempat inilah para pewaris keluarga Marga dibesarkan tempat yang penuh aturan, etiket, dan keheningan. Namun, pagi itu… semua berubah. “NONA SARASWATI!!” teriak salah satu pembantu panik. Saraswati yang sedang sarapan dengan kalem di meja makan, dikejutkan oleh suara gaduh. Tak lama kemudian, seorang pemuda bertelanjang dada, mengenakan celana kain dan rambut berantakan, berlari melewati ruang makan sambil membawa ember. “Ada katak di kolam belakang! Tapi yang ini aneh, Qi-nya seperti melilit. Mungkin ini jenis katak spiritual!” seru Ardin riang, tanpa sadar bahwa ia baru saja mengganggu ketenangan rumah para bangsawan. “ARDIN!! APA KAU BISA BERSIKAP NORMAL SEDIKIT SAJA?!” “Normal? Bukannya semua orang harus bangun subuh

    Last Updated : 2025-04-14

Latest chapter

  • Tabib Jenius   Bab 7 konferensi pers

    Gedung Marga Corporation hari itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional. Karpet merah dibentangkan, spanduk besar bertuliskan “Konferensi Pers Marga Corporation Keajaiban Medis dan Masa Depan Pengobatan Modern” terpampang di atas panggung. Di dalam aula konferensi, puluhan kamera telah terpasang. Mikrofon disiapkan, dan para jurnalis memegang catatan, siap mencatat setiap kalimat yang terlontar. Di tengah keramaian itu, Ardin Siregar duduk dengan santai mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, celana kain sederhana, dan sandal gunung yang masih menempel di kakinya. Para wartawan memandang heran ini kah sosok yang menyembuhkan direktur utama Marga Corporation dengan hanya beberapa jarum? Di sisi Ardin, duduk Saraswati Marga dalam balutan jas putih elegan, wajahnya tegas namun anggun. Di barisan belakang, Paman Darsa, adik dari ayah Saraswati, duduk bersama putranya Leonardo. Mereka tampak tenang, namun sesekali saling berbisik dengan ekspresi waspada. Acara dimulai. S

  • Tabib Jenius   Bab 6 Cemburu

    Satu jam kemudian ketika mobil hitam sederhana berhenti di depan rumah keluarga Marga. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri megah di balik pagar besi hitam. Ardin turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Naya. Gadis itu tampak ragu untuk keluar. “Kenapa?” tanya Ardin, menatapnya dengan bingung. “Aku… merasa tak enak. Ini rumah keluarga Marga. Aku hanya sekretaris,” jawab Naya pelan, menunduk. Ardin tertawa kecil. “Santai saja. Aku juga cuma asisten pribadi, dan lebih sering bikin onar.” Saat keduanya berjalan menuju gerbang, suara langkah kaki terdengar dari arah taman samping rumah. Sesosok wanita dengan rambut terikat rapi dan gaun santai berwarna putih muncul di balik taman. Saraswati Marga. Cahaya lampu taman menyinari wajahnya yang menawan namun datar. Matanya langsung tertuju pada Ardin… lalu pada Naya yang berdiri di sampingnya. Hening. Naya spontan memberi hormat, canggung. “Selamat malam, Nona Saraswati…” Saraswati tak menjawab. Pandangannya tajam, namu

  • Tabib Jenius   Bab 5 memasuki perusahaan

    Langit Jakarta tertutup awan kelabu ketika Ardin Siregar menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke kantor pusat Marga Corporation, gedung pencakar langit berlantai emat puluh yang menjulang angkuh di jantung ibu kota. Mengenakan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan celana kain yang tak seirama warnanya, Ardin berdiri canggung di lobi mewah. Seorang satpam menatapnya curiga, namun begitu melihat kartu akses khusus dengan segel emas yang diberikan langsung oleh Kakek Marga, ia langsung membungkuk hormat. “Silakan naik, Tuan Ardin.” Ardin mengangguk ringan, lalu naik ke lantai dua puluh delapan, lantai khusus manajemen utama. “APA? KAU MEMAKSAKU MENERIMA DIA SEBAGAI ASISTEN PRIBADI?!” Saraswati mengeraskan suaranya di ruang rapat pribadi. Kakeknya hanya menyeruput teh dengan tenang di sudut ruangan. “Dia sudah disetujui oleh dewan direksi. Dan… dia tunanganmu. Setidaknya, beri dia kesempatan. Atau kau takut kalah saing?” “Dengan dia? Pemuda nyentrik yang bahkan tak tahu cara

  • Tabib Jenius   Bab 4 Tinggal dirumah sarah

    Rumah keluarga Marga bukan rumah biasa. Bangunan tiga lantai bergaya kolonial Belanda ini berdiri anggun di tengah taman tropis yang terawat rapi. Dindingnya dicat putih gading, pilar-pilarnya tinggi menjulang, dan lampu gantung kristal menghiasi ruang utama. Di tempat inilah para pewaris keluarga Marga dibesarkan tempat yang penuh aturan, etiket, dan keheningan. Namun, pagi itu… semua berubah. “NONA SARASWATI!!” teriak salah satu pembantu panik. Saraswati yang sedang sarapan dengan kalem di meja makan, dikejutkan oleh suara gaduh. Tak lama kemudian, seorang pemuda bertelanjang dada, mengenakan celana kain dan rambut berantakan, berlari melewati ruang makan sambil membawa ember. “Ada katak di kolam belakang! Tapi yang ini aneh, Qi-nya seperti melilit. Mungkin ini jenis katak spiritual!” seru Ardin riang, tanpa sadar bahwa ia baru saja mengganggu ketenangan rumah para bangsawan. “ARDIN!! APA KAU BISA BERSIKAP NORMAL SEDIKIT SAJA?!” “Normal? Bukannya semua orang harus bangun subuh

  • Tabib Jenius   Bab 3 Menyembuhkan Ayah Mertua

    Di dalam ruang rawat VIP Rumah Sakit Marga Husada, suasana terasa hening. Dinding ruangan putih bersih, aroma antiseptik menyeruak, dan mesin-mesin pemantau detak jantung berbunyi pelan, seperti irama waktu yang terus berdetak. Tuan Suryo Marga, ayah Saraswati, terbaring lemah. Wajahnya pucat, kulitnya mulai menguning, dan nafasnya tersengal seolah paru-parunya menolak bekerja. Dokter-dokter terbaik dari Jakarta, bahkan Singapura, telah memeriksanya. Namun tak satu pun bisa menjelaskan penyebab pasti dari sakitnya. Saraswati berdiri di sisi ranjang, memandang ayahnya dengan wajah keras namun mata sembab. Ia sangat mencintai ayahnya satu-satunya orang yang selalu mempercayai kemampuannya memimpin perusahaan di tengah kerasnya dunia korporat. Di sudut ruangan, berdiri Ardin Siregar. Jubah kelabunya tampak lusuh di antara pakaian formal para dokter dan perawat. Ia berjalan santai, meletakkan tas kain di meja, dan mulai mengeluarkan botol kecil berisi cairan hijau, serbuk hitam, dan

  • Tabib Jenius   Bab 2 Tunagan sang CEO

    Gedung Marga Corporation menjulang gagah di tengah hiruk pikuk Kota jakarta. Dinding kacanya berkilau di bawah cahaya matahari pagi, memantulkan bayangan langit yang biru cerah dan awan bergulung pelan. Di lantai 33 ruang rapat utama suasana sedang panas dan tegang. Puluhan pria dan wanita berpakaian formal duduk mengelilingi meja kaca panjang. Di ujung meja, duduk seorang wanita muda dengan aura memikat dan dingin. Dialah Saraswati Marga, CEO termuda dalam sejarah perusahaan keluarganya. Usianya baru dua puluh tiga tahun, namun kepemimpinannya telah mengguncang banyak pesaing dan membuat para petinggi perusahaan tua merasa terancam. Wajahnya bagaikan ukiran dewi dari zaman kuno. Kulitnya bening seputih susu, matanya hitam tajam seperti kilatan pedang, dan rambut panjang hitamnya digelung rapi, menyisakan beberapa helai yang jatuh anggun di pipi. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan lekukan tegas. Ia mengenakan setelan formal warna biru gelap yang menonjolkan kesan elegan namun

  • Tabib Jenius   Bab 1 Langkah Pertama Sang Tabib

    Kabut tipis menggulung pelan di lereng Gunung Bahal Batu, menari di antara pohon-pohon damar tinggi dan batu-batu purba yang diselimuti lumut. Di sebuah bangunan tua beratap ijuk, berdiri seorang pemuda berbaju abu-abu bersih, dengan mata jernih bagaikan danau tenang dan senyum lembut di wajahnya. Dialah Ardin Siregar, murid utama dari tabib legendaris yang dikenal dengan nama Guru Sakti dari Langit Selatan. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Ardin telah menguasai berbagai teknik pengobatan langka, mulai dari akupunktur spiritual, hingga meramu obat-obatan yang hanya bisa dipetik saat cahaya bulan menyentuh embun pertama. Namun, hari itu bukan hari untuk belajar. Hari itu adalah hari perpisahan. “Ardin, waktunya kau meninggalkan gunung ini,” ucap sang guru, seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan sorot mata tajam bagaikan elang. “Dunia luar lebih luas dari bayanganmu. Tapi kali ini, tujuanmu bukan sekadar menolong orang sakit. Kau harus pergi ke Kota Jakarta d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status