Share

Tabir Kematian Sahabatku
Tabir Kematian Sahabatku
Penulis: Ngolo_Lol

Bab 1: Tangisan Pagi-Pagi Buta

Hujan baru saja reda setelah mengguyur semalaman dengan ditemani kilatan petir, serta embusan angin kencang. Aku membuka jendela kamar dan langsung disambut oleh angin. Walaupun hujan sudah reda, tetapi angin kencang masih berlalu-lalang. Alisku bertaut kala mencium aroma darah yang dihantarkan oleh angin itu. Namun, segera kutepis. Mungkin hanya bau besi tua.

"Huwaaa … Mamah!"

Alisku kembali mengernyit kala mendengar tangisan kencang Alisa—anak sahabatku. Kebetulan rumah kami bersebelahan. Jendela kamarku tepat mengahadap dapur mereka.

"Alisa? Sayang, kamu kenapa?"

Aku mencoba memanggil nama anak itu. Namun, dia tidak menjawab dan terus menangis kencang sambil memanggil-manggil nama ibunya. Anak itu baru berusia 3 tahun, tetapi dia sangat dekat denganku.

"Alina, dengar enggak, sih, kalau anakmu itu nangis? Diamin, kek!" teriakku kepada Alina, sahabatku sekaligus ibu dari balita yang menangis itu.

"Mamah … huwaaa … Bangun, Mah!" Lagi, Alisa menangis kencang.

Aku makin kesal oleh Alina. Bisa-bisanya dia anaknya menangis, tetapi tidak dipedulikan. Dia pasti sibuk lagi berjoget ria di depan kamera.

"Tunggu, yah, Lis. Kakak ke sana. Biar aku tumbuk mamahmu itu!" kesalku.

Aku langsung memakai jilbab kuning dan bergegas keluar kamar. Di pembelokan antara ruang keluarga dan ruang tamu, aku malah bertabrakan dengan Mamah. Membuat tubuh ini mundur beberapa langkah.

"Mau ke mana pagi-pagi buta begini?" tanya Mamah.

"Mau ke rumah Alina, Mah. Anaknya nangis mulu," jawabku.

"Mau ngapain? Kan ada mamahnya. Enggak baik anak perawan bertamu ke rumah orang pagi-pagi begini," ujar Mamah. Dia menatapku kesal.

"Iya, Mamah tau, kamu sama Alina itu sahabatan sejak kecil. Tapi, kamu harus tau juga kalau sekarang sahabatmu itu sudah berumah tangga. Jangan terlalu ikut campur dengan privasinya," lanjutnya menasehati.

Aku tertunduk. Walaupun Alina 2 tahun lebih muda dariku, tetapi dia lebih cepat mendapatkan jodoh ketimbang aku yang sudah berumur 23 tahun ini.

"Tapi anaknya nangis mulu, Mah. Kasian. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa." Aku memelas.

"Ya udah, kamu boleh pergi ke sana. Tapi, jangan sampai masuk ke rumahnya. Mamah enggak suka liat tatapan Fadli ke kamu," peringat Mamah terlihat sedikit sinis. Lantas, berlalu ke dapur.

Fadli adalah suami Alina. Dia terkenal sebagai pria yang ramah, sopan, juga alim. Entah kenapa Mamah tidak pernah suka dengan pria itu.

Aku mengetuk pintu rumah Alina yang berwarna putih itu. Namun, sampai buku-buku jariku memerah, tidak sekali pun ada seseorang berniat membukakan pintu.

Hatiku makin merasa cemas. Terlebih lagi tangisan Alisa yang belum mereda. Dia sekarang terdengar sesenggukan.

"Alina …!"

Aku berseru keras agar orang di dalam mendengar. Namun, rumah dengan luas sekitar 8×8 itu, tidak ada tanda-tanda manusia yang berniat datang menjawab panggilanku.

Aku memutari rumah Alina. Menuju ke arah dapur, di mana tangisan Alisa yang terus terdengar.

"Alina!" Aku kembali memanggil namanya. "Alisa!" sambungku sembari membingkai wajah sendiri, lalu menempelkannya ke jendela naco yang tertutup.

Mataku membulat sempurna disertai dengan jantung yang berpacu kencang. Pasalnya, samar-samar aku melihat di dalam kaki seseorang terbaring dan penuh bercak darah. Kalau di lihat dari mulusnya kaki, itu seperti Alina.

Astaga, dia kenapa? Pantas saja dia tidak menjawab panggilanku.

Aku langsung mengetuk cepat pintunya. Ketakutan mulai melandaku.

"Alina! Kamu kenapa?" teriakku dari luar. Namun, tidak ada jawaban.

Aku mencoba mendobrak pintu yang terbuat dari papan tipis ini. Terbuka!

Aku terhenyak di ambang pintu dengan mata memelotot. Jantung seakan berhenti berdetak. Lututku lemas melihat kejadian di depan mata.

"A-Alina …." Bibirku bergetar dengan mata yang mulai mengembun.

Di depan sana, tubuh Alina tergeletak bersimbah darah di lantai keramik. Keningnya terdapat luka bacok yang sangat besar, serta badannya terdapat luka sayatan yang menganga.

"Mamah …!"

Tangisan Alisa menyadarkanku dari keterpakuan. Dengan langkah gontai serta jantung yang berdegup kencang, aku mendekati anak itu. Membawanya ke gendonganku.

"Tantan, Mamah …."

Balita berumur 3 tahun itu, menunjuk-nunjuk sang ibu dengan tangannya yang dipenuhi darah. Sepertinya Alisa sudah sedari tadi mencoba membangunkan ibunya, atau mungkin dari semalam.

Aku tidak tahu. Kapan hal ini terjadi? Siapa yang melakukannya?

Dengan tangan yang bergetar dan menggigil ketakutan, aku mencoba menutup mata Alina yang memelotot sambil mengucap kalimat istirja. Air mata meluncur begitu saja melihat betapa mengenaskannya kondisi jasad Alina.

Lantas, aku segera berlari keluar dengan kencang sambil menggendong Alisa yang masih terus menangis.

"Tolong, tolong, toloong …!" teriakku meminta pertolongan.

Perumahan di sini terbilang berjauhan dengan tetangga lainnya. Rumah Alina saja hanya bertetangga denganku dan rumah Mbah Aji, orang tua yang agak pikun. Selebihnya, jarak antara rumah lainnya sekitar 20 meter.

"Ada apa kamu teriak-teriak, Tania?" Mamah segera keluar dari rumah. Matanya membulat kala melihat Alisa yang berlumuran darah. "Astaga … Alisa kenapa?"

"Ada apa, Tania?"

"Kenapa kamu teriak?"

"Ada apa dengan Alisa?"

"Astaga, ini darah? Alisa kenapa?"

Para warga lainnya ikut berdatangan dan langsung menyerbuku dengan pertanyaan, sedangkan aku untuk bernapas saja rasanya sulit ketika membayangkan bagaimana mengenaskannya jasad Alina.

"Ada apa, Tania?" tanya Mamah sedikit membentak, "apa yang terjadi dengan Alisa?"

"Mah, A-Alina, Mah …." Aku tidak sanggup menyelesaikan kalimat, langsung menangis pilu. Tanganku gemetar menunjuk rumah Alina.

Para warga langsung saja pergi memeriksa ke dalam rumah Alina.

"Astaghfirullah …."

"Astaghfirullah …."

"Astaghfirullah … siapa yang melakukan ini?"

Para warga sontak beristighfar dan saling bertanya-tanya. Salah satu dari mereka berinisiatif menelepon kepolisian.

"Siapa, yah, kira-kira pelakunya?" tanya Bu Astuti, ratu ghibah di kampung ini.

"Mana saya tau, Bu. Semalam, 'kan, hujan deras banget. Jadi, saya enggak keluar setelah maghrib," timpal yang lainnya.

Aku masih terus menggendong Alisa sembari berusaha mendiamkan tangisnya, juga tangisku. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan Alisa.

Mamah mendekat kepadaku. "Sana, kamu mandiin dulu Alisa. Kasian, tubuhnya bercampur dengan darah," ujar Mamah yang langsung kutanggapi dengan anggukan pelan.

Baru saja aku melangkah menuju rumah, suara deru motor yang sangat bising datang. Pria yang mengendarai motor itu berhenti tepat di hadapanku. Ekspresi bingung terpatri di wajah pria berkulit hitam manis itu. Di motornya, terlihat sang pria membawa alat memancing dan beberapa ekor ikan yang ditaruh di dalam keranjang kecil.

"Alisa kenapa sama kamu? Kalian semua kenapa ada di depan rumahku?" tanya Fadli dengan alis mengernyit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status