Hujan baru saja reda setelah mengguyur semalaman dengan ditemani kilatan petir, serta embusan angin kencang. Aku membuka jendela kamar dan langsung disambut oleh angin. Walaupun hujan sudah reda, tetapi angin kencang masih berlalu-lalang. Alisku bertaut kala mencium aroma darah yang dihantarkan oleh angin itu. Namun, segera kutepis. Mungkin hanya bau besi tua.
"Huwaaa … Mamah!"Alisku kembali mengernyit kala mendengar tangisan kencang Alisa—anak sahabatku. Kebetulan rumah kami bersebelahan. Jendela kamarku tepat mengahadap dapur mereka."Alisa? Sayang, kamu kenapa?"Aku mencoba memanggil nama anak itu. Namun, dia tidak menjawab dan terus menangis kencang sambil memanggil-manggil nama ibunya. Anak itu baru berusia 3 tahun, tetapi dia sangat dekat denganku."Alina, dengar enggak, sih, kalau anakmu itu nangis? Diamin, kek!" teriakku kepada Alina, sahabatku sekaligus ibu dari balita yang menangis itu."Mamah … huwaaa … Bangun, Mah!" Lagi, Alisa menangis kencang.Aku makin kesal oleh Alina. Bisa-bisanya dia anaknya menangis, tetapi tidak dipedulikan. Dia pasti sibuk lagi berjoget ria di depan kamera."Tunggu, yah, Lis. Kakak ke sana. Biar aku tumbuk mamahmu itu!" kesalku.Aku langsung memakai jilbab kuning dan bergegas keluar kamar. Di pembelokan antara ruang keluarga dan ruang tamu, aku malah bertabrakan dengan Mamah. Membuat tubuh ini mundur beberapa langkah."Mau ke mana pagi-pagi buta begini?" tanya Mamah."Mau ke rumah Alina, Mah. Anaknya nangis mulu," jawabku."Mau ngapain? Kan ada mamahnya. Enggak baik anak perawan bertamu ke rumah orang pagi-pagi begini," ujar Mamah. Dia menatapku kesal."Iya, Mamah tau, kamu sama Alina itu sahabatan sejak kecil. Tapi, kamu harus tau juga kalau sekarang sahabatmu itu sudah berumah tangga. Jangan terlalu ikut campur dengan privasinya," lanjutnya menasehati.Aku tertunduk. Walaupun Alina 2 tahun lebih muda dariku, tetapi dia lebih cepat mendapatkan jodoh ketimbang aku yang sudah berumur 23 tahun ini."Tapi anaknya nangis mulu, Mah. Kasian. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa." Aku memelas."Ya udah, kamu boleh pergi ke sana. Tapi, jangan sampai masuk ke rumahnya. Mamah enggak suka liat tatapan Fadli ke kamu," peringat Mamah terlihat sedikit sinis. Lantas, berlalu ke dapur.Fadli adalah suami Alina. Dia terkenal sebagai pria yang ramah, sopan, juga alim. Entah kenapa Mamah tidak pernah suka dengan pria itu.Aku mengetuk pintu rumah Alina yang berwarna putih itu. Namun, sampai buku-buku jariku memerah, tidak sekali pun ada seseorang berniat membukakan pintu.Hatiku makin merasa cemas. Terlebih lagi tangisan Alisa yang belum mereda. Dia sekarang terdengar sesenggukan."Alina …!"Aku berseru keras agar orang di dalam mendengar. Namun, rumah dengan luas sekitar 8×8 itu, tidak ada tanda-tanda manusia yang berniat datang menjawab panggilanku.Aku memutari rumah Alina. Menuju ke arah dapur, di mana tangisan Alisa yang terus terdengar."Alina!" Aku kembali memanggil namanya. "Alisa!" sambungku sembari membingkai wajah sendiri, lalu menempelkannya ke jendela naco yang tertutup.Mataku membulat sempurna disertai dengan jantung yang berpacu kencang. Pasalnya, samar-samar aku melihat di dalam kaki seseorang terbaring dan penuh bercak darah. Kalau di lihat dari mulusnya kaki, itu seperti Alina.Astaga, dia kenapa? Pantas saja dia tidak menjawab panggilanku.Aku langsung mengetuk cepat pintunya. Ketakutan mulai melandaku."Alina! Kamu kenapa?" teriakku dari luar. Namun, tidak ada jawaban.Aku mencoba mendobrak pintu yang terbuat dari papan tipis ini. Terbuka!Aku terhenyak di ambang pintu dengan mata memelotot. Jantung seakan berhenti berdetak. Lututku lemas melihat kejadian di depan mata."A-Alina …." Bibirku bergetar dengan mata yang mulai mengembun.Di depan sana, tubuh Alina tergeletak bersimbah darah di lantai keramik. Keningnya terdapat luka bacok yang sangat besar, serta badannya terdapat luka sayatan yang menganga."Mamah …!"Tangisan Alisa menyadarkanku dari keterpakuan. Dengan langkah gontai serta jantung yang berdegup kencang, aku mendekati anak itu. Membawanya ke gendonganku."Tantan, Mamah …."Balita berumur 3 tahun itu, menunjuk-nunjuk sang ibu dengan tangannya yang dipenuhi darah. Sepertinya Alisa sudah sedari tadi mencoba membangunkan ibunya, atau mungkin dari semalam.Aku tidak tahu. Kapan hal ini terjadi? Siapa yang melakukannya?Dengan tangan yang bergetar dan menggigil ketakutan, aku mencoba menutup mata Alina yang memelotot sambil mengucap kalimat istirja. Air mata meluncur begitu saja melihat betapa mengenaskannya kondisi jasad Alina.Lantas, aku segera berlari keluar dengan kencang sambil menggendong Alisa yang masih terus menangis."Tolong, tolong, toloong …!" teriakku meminta pertolongan.Perumahan di sini terbilang berjauhan dengan tetangga lainnya. Rumah Alina saja hanya bertetangga denganku dan rumah Mbah Aji, orang tua yang agak pikun. Selebihnya, jarak antara rumah lainnya sekitar 20 meter."Ada apa kamu teriak-teriak, Tania?" Mamah segera keluar dari rumah. Matanya membulat kala melihat Alisa yang berlumuran darah. "Astaga … Alisa kenapa?""Ada apa, Tania?""Kenapa kamu teriak?""Ada apa dengan Alisa?""Astaga, ini darah? Alisa kenapa?"Para warga lainnya ikut berdatangan dan langsung menyerbuku dengan pertanyaan, sedangkan aku untuk bernapas saja rasanya sulit ketika membayangkan bagaimana mengenaskannya jasad Alina."Ada apa, Tania?" tanya Mamah sedikit membentak, "apa yang terjadi dengan Alisa?""Mah, A-Alina, Mah …." Aku tidak sanggup menyelesaikan kalimat, langsung menangis pilu. Tanganku gemetar menunjuk rumah Alina.Para warga langsung saja pergi memeriksa ke dalam rumah Alina."Astaghfirullah ….""Astaghfirullah ….""Astaghfirullah … siapa yang melakukan ini?"Para warga sontak beristighfar dan saling bertanya-tanya. Salah satu dari mereka berinisiatif menelepon kepolisian."Siapa, yah, kira-kira pelakunya?" tanya Bu Astuti, ratu ghibah di kampung ini."Mana saya tau, Bu. Semalam, 'kan, hujan deras banget. Jadi, saya enggak keluar setelah maghrib," timpal yang lainnya.Aku masih terus menggendong Alisa sembari berusaha mendiamkan tangisnya, juga tangisku. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan Alisa.Mamah mendekat kepadaku. "Sana, kamu mandiin dulu Alisa. Kasian, tubuhnya bercampur dengan darah," ujar Mamah yang langsung kutanggapi dengan anggukan pelan.Baru saja aku melangkah menuju rumah, suara deru motor yang sangat bising datang. Pria yang mengendarai motor itu berhenti tepat di hadapanku. Ekspresi bingung terpatri di wajah pria berkulit hitam manis itu. Di motornya, terlihat sang pria membawa alat memancing dan beberapa ekor ikan yang ditaruh di dalam keranjang kecil."Alisa kenapa sama kamu? Kalian semua kenapa ada di depan rumahku?" tanya Fadli dengan alis mengernyit.Baik aku atau warga lainnya, semua saling pandang. Lantas, menatap Fadli yang masih setia dengan raut kebingungannya. Dia menatap kami semua satu per satu dengan alis mengernyit. "Kalian ada apa rame-rame di rumahku?" Lagi, Fadli bertanya. "Kamu dari mana Fadli?" Salah satu warga yang bernama Pak Kasmin menanyainya. "Aku seperti biasa, habis pulang dari melaut." Fadli menjawab sopan. "Ini ada apa?" lanjutnya bertanya. "Sejak kapan kamu ke lautnya?" Pak Kasmin kembali melemparkan pertanyaan. Tatapannya sangat serius. "Aku selalu turun ke laut dari magrib dan pulang pagi. Sudah menjadi rutinitas harianku begitu. Kenapa Pak Kasmin bertanya seperti itu? Kenapa kalian memandangku aneh? Apa yang terjadi?" Fadli terlihat mulai tidak nyaman dan melontarkan pertanyaan beruntun. Tatapan Fadli menoleh kepadaku, lalu memerhatikan putrinya Alisa yang ada di gendongan ini. Matanya membulat saat melihat darah pada tangan putrinya. Dia langsung mendekat. "Astaga ... apa ini?" Fadli gegas mengu
Rasa panas dan kebas menjalar di pipi kiriku. Bahkan, tubuh ini sedikit terhuyung ke samping pasca mendapat tamparan dari ibunya Alina. Ada apa dengan beliau? Apa yang membuat dia semarah ini, bahkan sampai menamparku. "Apa-apaan kamu Sarti? Kenapa nampar anak saya?" tanya Mamah dengan nada tinggi. Bu Sarti tidak menjawab pertanyaan Mamah, dia tetap menatapku sengit. Pandanganku memburam menatapnya, menandakan air mata telah menggenggang di pelupuk ini. "Kemarikan cucu saya!" Bu Sarti langsung menyambar Alisa di gendonganku. "Huwaa ...." Anak itu langsung menangis ketika digendong oleh neneknya sendiri. "Tantan, Tantan, Tantan." Tangan Alisa berusaha meraihku. Bahkan, dia kelihatan takut dengan neneknya sendiri. Walaupun takut, tetapi aku mencoba merebut paksa Alisa dari gendongan neneknya. Bu Sarti geram dengan ulahku. Matanya memelotot marah. "Setelah membuat saya kehilangan anak, kamu juga ingin membuatku kehilangan cucu!" Mata wanita itu penuh kilat kemarahan. "Maksud Bu S
Kilatan cahaya petir menyinari sebuah sosok di luar jendela. Dengan jelas menampilkan wajahnya yang penuh darah dengan luka bacok di kening. Sorot mata yang tajam itu seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. "A-Alina ...." Aku mundur perlahan dengan lutut yang gemetar. Angin berembus kencang dan kembali kilatan petir menyambar. Aku bisa melihat jelas penampakan di luar jendela itu, rambutnya berkibar-kibar akibat tiupan angin kencang. "Mati! Kamu harus mati! Hihihihihi ...." Sosok itu berucap keras seraya maju mendekat dengan kepala teleng dan seringai yang menakutkan. "Pergi! Jangan ganggu aku! Kamu bukan Alina!" teriakku ketakutan. Air mata luruh begitu saja. "Tol---""Kamu harus ikutan mati sepertiku, Taniaaa ...!" ucap sosok yang mirip dengan Alina itu. Lantas, dia berteriak kencang hingga membuatku menununduk dan menutup kuping. Suaranya begitu menusuk ke indra pendengaran, sampai membuat telingaku berdenging. Beberapa menit berlalu dalam posisi itu, perlahan aku mencoba mel
Seketika tubuhku menegang mendengar hal tersebut. Aku terpaku dengan melemparkan pandangan ke arah makam. "Sekarang, saya mau ke rumah Pak Arto dulu, mau ngasi tau hal ini." Bapak itu dengan bapak-bapak lainnya kembali berlari menuju ke arah rumah orang tuanya Alina. Si polisi mematikan mesin mobilnya. "Kamu mau lihat keadaan di sana?" tanyanya. Dengan menahan rasa mengigil ketakutan, apalagi saat terbayang sosok menyeramkan yang mendatangiku semalam, aku memaksa diri sendiri untuk melihat keadaan makam Alina yang katanya terbongkar itu. Polisi muda yang entah siapa namanya itu sudah terlebih dahulu mengayunkan kaki masuk ke area pemakamakan. Aku pun turun dan mengejar langkahnya. Jujur saja, aku belum tahu di mana makam Alina. Aku tidak mengantar Alina sampai ke pemakaman kemarin, takut Bu Sarti mengamuk lagi dan merusak suasana pemakaman. "Astaghfirullah ...." Dari kejauhan sekitar sepuluh meter, aku melihat beberapa papan yang berserakan serta gundukan tanah di sisi kiri dan
Suara cekikikan yang tepat berada di sampingku itu, sontak membuat tubuh ini membeku. Atmosfer di sekitar serasa menipis hingga membuatku kesulitan bernapas. Belum lagi sekarang dalam keadaan mati lampu. Aku mencoba merogoh saku celana. Mengeluarkan ponsel. Namun, embusan dingin dari punggungku membuat diri ini kembali membeku. "Tania ...." Suara lirih tepat di tengkukku. "Siapa?" Gegas aku berbalik. Gelap. Hanya kegelapan yang menyambut penglihatanku. Dengan tangan bergetar kucoba kembali merogoh, lalu menyalakan senter ponsel. Menyoroti area dapur secara perlahan dengan pandangan waspada. Di hadapanku hanya ada piring kotor yang masih menggunung. "Hihihihi ...."Aku kembali berbalik kala suara itu melengking di balik punggungku. "Ja-jangan ganggu aku! Pergi!" gagapku ketakutan. Bulir keringat dingin meluncur deras dari pelipis. Aku menggenggam erat ponsel di tangan dengan gemetar. Biar bagaimanapun juga
Tatapan sang polisi tidak bisa dipungkiri membuat aku ketakutan. Tatapannya begitu mengintimidasiku. Seperti ingin menguliti diri ini hidup-hidup. "Siapa orang yang baru saja kamu bunuh?" Dia bertanya lagi. Masih tetap memegang pergelangan tanganku. Kini darah di telapak tangan itu, perlahan meluncur ke pergelangan. Membanjiri tangan sang pria yang sedang memegang erat pergelangan tanganku. "Sakit." Aku merintih sebab genggaman polisi itu makin mengerat. Menjadikan lukanya mengeluarkan banyak darah. "Aku enggak membunuh siapa pun. Dan enggak akan mungkin pernah. Anda jangan asal tuduh." Aku berucap kesal seraya berusaha menarik pergelangan tangan darinya. Namun, dia tetap memegangnya erat. Bahkan, bertambah erat lagi. Aku kesakitan. "Bagaimana kronologi tanganmu bisa berdarah seperti itu?" tanyanya mulai menginterogasi. "Tadi ...." Aku menggantung kalimat. Bayangan teror yang dilakukan arwah Alina, hingga mencekik leherku d
Gelang titanium dengan inisial 'T' tersebut ditaruh meja di hadapanku. Lantas, kedua polisi itu keluar. Meninggalkan aku sendirian dengan tatapan Polisi Joshi yang begitu menikam. Menit berikutnya, terdengar pukulan dan disusul erangan keras dari ruangan di sebelahku. "Ayo, mengaku kau sudah membunuh anak itu! Kalau tidak, tongkatku ini akan terus memukul tubuhmu!" seru seseorang di ruang sebelah yang kuyakini adalah polisi yang belum lama masuk ke ruangan ini tadi. "Ampun, Pak, ampun. Saya benar-benar tidak membunuh anak itu. Saya dituduh." Suara pria lainnya terdengar berucap begitu lirih. "Halah, pembohong! Mana ada maling ngaku!"Lagi-lagi terdengar bunyi pukulan beberapa kali. "Arrhhh, ampun, sakit ...."Suara kesakitan di sebelah sontak membuatku dibanjiri keringat dingin. Tidak bisa dipungkiri kalau ketakutan sedang melandaku. Bagaimana jika aku juga nanti dituduh dan dipaksa mengiyakan tuduhan tersebut.
Sang pria yang duduk di bangku teras itu bangkit berdiri sambil membuang puntung rokoknya. Matanya menatap aku dan Polisi Joshi saling bergantian. Tatapan yang tidak bisa kuartikan. "Sepertinya kekasih gelapmu sudah sedari tadi menunggu kedatanganmu ... ops!" Polisi Joshi berlagak seperti keceplosan. "Maksud saya, kekasih, eh, mantan teman dekatmu sedang menunggu kepulanganmu sampai selarut ini," lanjutya meralat ucapannya. Aku memutar bola mata malas seraya mendengkus kasar, lalu turun dari mobil jeep-nya. "Kamu kenapa baru pulang jam segini, Nia?" tanya Fadli mendekatiku yang baru saja turun dari mobil. "Astaga ... tanganmu kenapa? Kok bisa berdarah banyak seperti ini?" Fadli meraih tanganku dengan wajah panik. Aku juga panik, tetapi bukan panik karena luka di tanganku, melainkan tatapan ini tertuju pada Polisi Joshi yang sedang menatap kami secara saksama. Tuduhannya kepadaku pasti akan makin berat jika melihat aku dan Fadli sedekat ini.