Share

Bab 4: Pertemuan Pertama (Ciuman Tak Terduga)

Norin dan Bernard sama-sama terperanjat begitu mendengar pintu diketuk. Tentulah saat ini sedang ada seseorang yang berdiri di balik pintu ruang kerja Norin, pikir mereka.

“Kamu gila, Bernard!” desis Norin sambil melirik tajam ke arah CEO yang juga merupakan kekasihnya.

Sedangkan Bernard, ia hanya terdiam dan mengerjap beberapa kali untuk mengumpulkan kesadaran yang sedari tadi tertutup oleh kabut amarah.

“No-Norin … aku … maafkan aku …,”

Tok ! Tok! Tok!

Norin serta Bernard serentak menoleh ke arah pintu yang kembali diketuk.

“Ya, tunggu sebentar!” teriakan Norin kepada seseorang di balik pintu membuat Bernard tidak melanjutkan permintaan maafnya.

Norin tidak peduli. Setelah merapikan pakaiannya, ia bergegas menyambar jas serta tas kerjanya, lalu melangkah ke arah pintu dan membuka kuncinya.

“Maaf membuat kalian menunggu, tadi ada pembicaraan sangat penting yang disampaikan Tuan Bernard,” ucap Norin setelah membuka pintu dan mendapati ada dua orang dari bagian maintenance berdiri di balik pintu.

Norin sengaja memberikan penekanan saat mengucapkan kalimat ‘sangat penting’ untuk menyindir kelakuan buruk sang CEO.

Dua orang teknisi itu sempat saling bertukar tatap sekejap saat mendapati CEO mereka berdiri di dalam ruang kerja Norin, tetapi cepat-cepat mereka menyunggingkan senyum hipokrit untuk Norin serta Bernard.

“Oh, bukan masalah, Bu,” jawab salah seorang teknisi yang hendak menyervice AC di ruangan Norin, sedangkan yang lainnya hanya tersenyum hangat.

“Oke, silakan masuk! Nanti kalau sudah selesai, kalian bisa mengunci pintunya dan titipkan saja kuncinya ke ruangan security. Besok saya ambil di sana,” titah Norin kepada dua orang teknisi itu.

Tanpa babibu lagi, Norin bergegas melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Bernard sempat terhenyak sesaat begitu mendengar kata ‘besok’ yang tadi diucapkan Norin.

Namun cepat-cepat ia berlari mengejar Norin.

“Norin, mau ke mana kamu?!” 

Bernard tidak peduli pada para karyawan lain yang memperhatikannya saat ini. Yang ada di pikiran Bernard hanyalah mengejar Norin sebelum gadis itu benar-benar pergi.

“Norin! Berhenti, kataku!” teriak Bernard saat mendapati Norin sudah berdiri di depan lift.

Gadis itu mendengus kesal, ia merotasikan dua bola matanya sebelum membalikkan badan ke arah Bernard yang semakin mendekat.

“Maafkan saya, Tuan Bernard, saya harus izin pulang lebih awal karena ada yang membuat saya merasa tidak enak badan,” ucapan Norin begitu lembut terdengar.

Kekasih rahasia Bernard itu sengaja berbicara menggunakan bahasa formal kepada Bernard karena ia sadar sedang menjadi tontonan oleh karyawan yang lain.

Bernard menghela napas kesal. Ia menyadari kebodohannya saat ini.

Setelah melirik ke arah sekitar, ia mulai bersikap layaknya seorang CEO yang sedang berbicara kepada sekretarisnya.

“Baiklah, kamu boleh istirahat sekarang. Tapi jangan lupa, nanti jam tujuh malam kita ada janji makan malam dengan Tuan Matthew, jangan sampai kamu tidak datang. Bawa juga semua berkas yang kita perlukan.”

Bernard tidak menunggu jawaban dari Norin. Ia segera melangkah pergi usai berpura-pura bersikap diktator kepada Norin di hadapan para karyawannya.

***

“Argh …! Bernard sialan!”

Norin mengumpat kesal begitu sampai di dalam mobil.

Ia memasang earphone sembari menginjak pedal gas dalam-dalam, membuat mobilnya melesat cepat meninggalkan lokasi perkantoran The Royal Shipping Club.

“Hallo, William?” sapa Norin bernada kesal kepada seseorang di sambungan telepon.

“Wow! Slow down, Baby! Hahaha … Ada apa? Kenapa marah-marah begitu?” sahut seseorang bernama William.

“Aku muak dengan Bernard! Aku muak dengan rencanamu!” 

Norin terus menumpahkan kekesalannya kepada William.

“Temui aku di Hokey Pokey sekarang!” tanpa menunggu jawaban dari William, Norin memutus sambungan telepon setelah menyebutkan nama salah satu restaurant di kota ini.

***

Sementara itu di lain tempat, Matthew yang sudah sampai di hotel tempatnya menginap tampak sedang sibuk dengan ponselnya.

Kring! Kring!

Kring! Kring!

Suara bel di kamar Matthew terdengar. Pria itu berdiri untuk membukakan pintu bagi seseorang di baliknya yang ia yakini adalah Aiden.

“Permisi, Tuan,” tepat seperti dugaan Matthew, Aiden tengah berdiri di depan kamarnya.

“Maaf mengganggu waktu istirahat Anda. Sekarang sudah waktunya makan siang, Tuan ingin menikmati makan siang di restaurant bawah atau saya perlu meminta service room untuk membawakan makan siang Anda ke kamar?” tanya Aiden sopan.

“Eum … kita turun saja ke bawah.”

Setelah memberi keputusan, Matthew menutup pintu dan menuju ke restaurant yang disediakan oleh pihak pengelola hotel. 

Sedangkan Aiden, ia dengan setia mengekor di belakang Matthew.

“Dengar-dengar Hokey Pokey ini salah satu restaurant terbaik di Queenstown, Tuan,” bisik Aiden saat keduanya sudah sampai di depan restaurant yang berada di lantai satu.

“Benarkah?” tanya Matthew dengan senyum tipis di sudut bibirnya.

Keduanya memilih table di sudut ruangan dengan spot terbaik. Dari sini mereka bisa melihat ke seluruh ruangan.

“Beri aku redwine lagi satu botol!” ucap seorang perempuan kepada salah satu servant yang berdiri di dekatnya.

Matthew dan Aiden menoleh ke arah perempuan yang duduk di meja bersebelahan dengan mereka.

“Baik, Nona! Segera saya antarkan pesanan Anda. Harap tunggu sebentar,” sahut sang servant kepada perempuan yang sibuk memotong daging steak-nya.

Matthew tertawa kecil setelah tanpa sengaja mendengar percakapan antara perempuan itu dan servant.

“Ada apa, Tuan? Apa yang membuat Anda tertawa?” tanya Aiden penasaran.

“Ku pikir cuma aku yang memiliki masalah berat, ternyata gadis itu juga,” ujar Matthew masih menampilkan sisa senyum di bibirnya.

Aiden sedikit mengernyit mendengar penuturan tuannya. “Dari mana Anda tahu kalau gadis itu sedang bermasalah, Tuan?”

“Hahah! Come on, Aiden. Siang-siang begini minum sebotol redwine sendirian, apa lagi alasan gadis itu minum-minum sendiri kalau tidak sedang ingin melupakan masalahnya?” dengan percaya diri Matthew berhipotesa.

“Ah, benar juga!” sahut Aiden sepakat.

Percakapan Matthew dan Aiden terhenti saat menu makanan yang mereka pesan sudah datang.

Sesaat berlalu, Matthew dan Aiden tampak sedang menikmati makan siang mereka, hingga suara gadis di meja sebelah itu kembali mencuri perhatian keduanya.

“Apa? Kamu tidak bisa datang? Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku bahkan sudah pesankan tambahan redwine. Ku pikir kau akan kemari!” tanpa sengaja gadis itu berbicara cukup keras kepada seseorang di sambungan telepon.

Memang tidak bermaksud mencuri dengar, tetapi kemarahan gadis itulah yang membuatnya berbicara cukup lantang hingga membuat Matthew dan Aiden bisa mendengar ucapan gadis itu dengan cukup jelas.

“Sialan kau, William! I hate you! Aku benar-benar membencimu! Dan semua rencanamu itu, aku benar-benar membenci itu semua!” umpat gadis itu lagi sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.

Hal ini membuat Matthew dan Aiden saling bertukar tatap sambil sesekali mencuri pandang ke arah gadis yang sedari tadi sedang mereka perhatikan.

Gadis itu lagi-lagi menuangkan redwine-nya ke dalam gelas lalu menenggaknya hingga tidak ada sisa sedikitpun di dalam gelas.

Aiden bahkan sampai menelan salivanya sendiri menyaksikan tingkah gadis yang tampak sangat marah itu.

“Eum … bukan apa-apa, tapi aku khawatir bagaimana cara dia pulang nanti. Aku rasa dia sudah cukup mabuk,” bisik Matthew kembali berhipotesa sesukanya. 

“Benar, Tuan! Dia sudah menghabiskan setengah botol minumannya. Itu sudah cukup untuk membuat tingkat kesadarannya berkurang,” bisik Aiden menimpali ucapan Matthew.

Keduanya sampai saling berhadapan sambil mencondongkan badan ke tengah meja hanya demi membahas gadis di meja sebelah.

Brak …!

Sontak Matthew serta Aiden terkejut mendengar suara keras dari arah gadis itu.

Rupanya gadis itu terjatuh saat hendak bangkit berdiri meninggalkan tempatnya.

Tanpa berpikir apapun, Matthew bergegas menghampiri gadis itu untuk menolongnya.

“Nona? Kau tidak apa-apa?” tanya Matthew seraya berusaha menopang tubuh gadis yang masih terduduk di lantai itu.

“Tuan, saya rasa dia sudah sangat mabuk. Dia terlalu banyak minum,” ujar Aiden sambil menunjuk ke arah redwine yang hanya tersisa sedikit di botolnya.

Matthew mengangguk menyetujui ucapan Aiden.

“Permisi, ada yang bisa kami bantu?” salah seorang servant datang menawarkan bantuan, diikuti oleh seorang manager operasional yang bertanggung jawab di restaurant ini.

“Eum …,”

“William! Bernard! Kalian berdua … sialan! Ya, kalian sialan!”

Belum sempat Matthew menjawab pertanyaan sang servant, tiba-tiba gadis itu meracau sambil menunjuk-nunjuk ke arah Matthew dan Aiden.

Dua pria yang tidak tahu-menahu apa-apa mengenai gadis itu hanya bisa celingukan karena ulah si gadis mabuk.

“Oh, kalian mengenal gadis itu? Apa kalian temannya?” tanya sang manager kepada Matthew serta Aiden.

“Kami-,”

“Iya! Kami temannya! Biar kami yang bertanggung jawab!” Matthew menjawab dengan tegas sebelum Aiden mengatakan hal sebaliknya.

“Urus semua bill-nya, aku akan membawanya lebih dulu ke atas. Susul kami setelah membereskan semuanya!” Matthew tanpa ragu memberi perintah kepada Aiden.

“Siap, Tuan!” jawab Aiden penuh rasa hormat.

Dengan mudah Matthew mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya ala bridal style dan membawanya ke kamar, tempatnya menginap.

***

“Ck! Kenapa kau harus mabuk di depanku? Merepotkan!” gerutu Matthew pada gadis yang sedang hilang kesadaran itu.

Ia meletakkan tubuh lunglai gadis tidak berdaya itu ke atas tempat tidurnya.

Bahkan Matthew bisa dengan lembut melepaskan kedua high heels yang dipakai sang gadis.

“Hey!”

Matthew mencoba membangunkan gadis itu dengan menepuk-nepuk pelan pipi kirinya.

“Hey, Nona! Apa kau mendengarku?” tanya Matthew terus berusaha.

“Nona? Hallo? Bisakah kau mendengarku?” tanyanya lagi.

“Argh! Brengsek kau, Bernard! Apa lagi yang kau mau? Menguasaiku? Huh?!”

Matthew terkejut saat gadis yang sedari tadi terbaring di ranjangnya tiba-tiba mencengkram kuat kemeja yang dipakai Matthew sambil meracau tidak jelas.

“Wo-woy! Nona! Apa yang kau lakukan? Lepaskan bajuku!” Matthew sedikit meronta agar bisa meloloskan diri dari cengkraman gadis mabuk itu.

“Apa maumu, Tuan Bernard?! Katakan apa maumu! Menguasaiku seperti yang kau lakukan selama ini? Iya?! Atau … hahah! Ya, kau ingin menciumku seperti tadi? Aku bonekamu! Kau menguasai hidupku! Bukan begitu?!”

Tanpa membuka mata, gadis itu terus meracau tanpa memberikan kesempatan Matthew untuk menjeda ucapannya.

“Ini kan yang kau mau?!”

Dengan segenap tenaga yang tersisa, gadis yang masih mencengkram kuat kemeja Matthew itu mendorong tubuh Matthew hingga membuatnya terpelanting ke ranjang tidur.

Saat ini posisi mereka berbalik 180⁰. Gadis yang sedari tadi terbaring di atas tempat tidur, kini sudah berada di atas dada bidang Matthew yang terlentang dan menindihnya.

Lalu …

Matthew terhenyak saat bibir gadis itu tiba-tiba mendarat tepat di bibirnya hingga indra pengecap mereka saling bertautan.

Matthew merasakan sesuatu yang lembut dan hangat itu sedang menginvasi mulutnya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status