Share

Bab 5: Pertemuan Kedua (Wanita Gila)

Matthew yang awalnya berniat tulus untuk menolong gadis mabuk itu, kini justru merasa terkejut oleh perlakuan gadis yang sedang tidak sadarkan diri itu.

Bagaimana tidak? Gadis itu tiba-tiba menindih tubuh Matthew di atas tempat tidur, lalu tanpa ragu mencium pria itu tepat di bibirnya.

Bukan hanya ciuman biasa! Dari cara gadis itu mencium bibir Matthew, pria itu bisa menduga bahwa gadis itu tentu sudah sangat sering memanjakan pria dengan bibirnya.

‘Shit!’

Matthew mengumpat dalam hati. Bukan karena Matthew tidak menyukai ciuman itu, bukan! Tetapi karena gadis itu mencium Matthew dalam kondisi tidak sadar.

Matthew bukanlah pria psikopat yang mau memanfaatkan situasi untuk kesenangannya saja.

Sembari mengimbangi ciuman intens dari gadis itu, Matthew berusaha memaksa pikirannya agar tetap waras.

“Eum … sorry …,” tutur Matthew begitu berhasil melepaskan bibirnya dari gadis mabuk itu.

“Hahah! Itu kan yang kamu mau? Menguasaiku! Menguasai hatiku! Menguasai tubuhku! Kau ingin menguasai hidupku! Brengsek kau!” gadis itu kembali meracau menumpahkan semua beban pikirannya sambil memukul-mukul dada Matthew.

Sang CEO dari Marine Lighthouse itu hanya bisa terdiam pasrah di bawah kungkungan tubuh gadis cantik di hadapannya.

“Kau … kau brengsek ….”

Gadis itu kembali tidak sadarkan diri. Tubuhnya seketika rebah menindih dada Matthew.

Perlahan Matthew membalikkan posisi mereka kembali ke posisi semula.

Ia merebahkan tubuh gadis itu di atas tempat tidur.

“Kau manis, kau cantik, tapi merepotkan! Menyusahkan!” lagi-lagi Matthew menggerutu kesal sambil memandangi wajah cantik gadis yang terpejam itu.

Menit demi menit berlalu hingga berganti jam.

Matthew yang baru saja keluar dari kamar mandi menyempatkan diri untuk melirik jam dinding di salah satu sisi ruangan.

“Ck! Kenapa dia belum bangun, satu jam dari sekarang aku harus pergi menemui Lisya,” ujar Matthew bermonolog.

Di tengah kekalutannya, sebuah ide muncul di kepala. Ia pun bergegas menghubungi nomor ekstensi untuk memanggil layanan room service.

“Hallo? Tolong bawakan segelas air lemon hangat ke kamar 1011. Thank you!”

Matthew menutup sambungan teleponnya, lalu kembali mendekati gadis mabuk itu.

“Hey, Nona! Siapa namamu? Ku mohon bangunlah …!” Matthew sampai mengguncang pelan tubuh gadis itu, berharap dengan begitu bisa membangunkan gadis di hadapannya.

Ting … tong …

Ting … tong…

“Ah, itu dia!” 

Matthew beranjak membukakan pintu dan mendapati seorang room service di sana.

“Maaf, ini pesanan Anda, Tuan!” ucap room service seraya menyodorkan air lemon sesuai pesanan.

“Ah, oke! Ambil ini lalu kau bisa pergi!” sahut Matthew begitu selesai memberikan tip kepada pekerja hotel itu.

***

Setelah berusaha puluhan kali untuk membangunkan gadis itu, Matthew melihat gadis itu mulai mengerjap.

“Di-di mana aku?”  belum sempat gadis itu meminta keterangan dari Matthew, ia lebih dulu teringat akan tanggung jawabnya. “Astaga! Ya Tuhan! Sudah hampir malam! Aku ada pertemuan penting!”

Gadis itu melompat dari tempat tidur, tetapi kepalanya yang masih pusing membuatnya kembali terhuyung.

“Nona? Kau tidak apa-apa?” tanya Matthew khawatir.

“Kau … siapa kau?!” gadis itu tampak panik saat mendapati Matthew masih memakai bathrobe yang menandakan bahwa pria itu baru saja selesai mandi.

“A-aku …,”

“Sepatuku? Di mana sepatuku?!”

Belum sempat Matthew menjawab, gadis itu kembali melontarkan pertanyaan bernada penuh ketakutan.

“Kau tenang dulu. Minum ini. Ini air lemon, baik untuk mengembalikan kesadaranmu!” ucap Matthew menyodorkan segelas air lemon.

Tapi gadis itu menolak kebaikan Matthew mentah-mentah. Ia bahkan menggeleng dengan kuat.

“Kenapa aku di sini? Siapa kau? Lalu di mana sepatuku? Kenapa kau mandi saat aku masih di sini? Apa yang kau lakukan selama aku tidak sadarkan diri?!”

Berbagai rentetan pertanyaan terlontar dari gadis itu. Wajahnya mulai tampak sangat tidak bersahabat.

“Awas ya, aku akan buat perhitungan jika kau berani macam-macam padaku!” ancam gadis itu tanpa ampun.

“What?” Matthew tak mampu berkata-kata. Ia terkejut mendengar semua ucapan gadis itu.

“Untuk apa aku-,”

“Sudah, tidak perlu banyak alibi! Di mana sepatuku?!” lagi-lagi gadis itu memotong kalimat Matthew.

Matthew merotasikan bola matanya ke atas seraya mendengus kesal.

Ia lantas beranjak mengambil sepasang sepatu milik gadis itu dan mengembalikannya kepada sang pemilik.

“Ingat baik-baik! Aku pasti menemuimu di lain waktu! Kau harus memberiku penjelasan atas apa yang terjadi!” ancam gadis itu lagi sembari berjalan menuju pintu.

“Hey!” panggil Matthew malas.

“Apa lagi?!” tanya gadis itu kasar.

“Tasmu!” jawab Matthew singkat seraya menunjuk sebuah tas kerja di atas meja.

Setelah menghujani Matthew dengan tatapan tajam, gadis itu menyempatkan dirinya untuk meraih tas lalu beranjak pergi meninggalkan pria asing yang tidak dikenalnya itu.

“Dasar gadis sialan! Benar-benar merepotkan!” umpat Matthew kesal begitu gadis tadi sudah keluar dari kamarnya.

***

Matthew keluar dari mobil Limousine hitam. Satu langkah di belakangnya ada Aiden yang selalu setia mendampingi. Sesuai permintaan Lisya Gregorius, mereka tiba di restoran ini saat mendekati waktu makan malam.

"Aiden, aku ke toilet sebentar," ucap Matthew memberi instruksi Aiden untuk menghentikan langkah.

"Baik, Tuan, saya tunggu di dekat pintu masuk toilet," ucap Aiden penuh hormat.

Memasuki area toilet, Matthew sempat melirik sekilas ke arah tulisan yang terletak di atas ruangan pertama dari pintu masuk. Di sana bertuliskan "Female", namun ia kembali fokus pada layar ponsel di tangannya.

"Awh!"

Pyaarrr!!

Tiba-tiba terdengar suara pekikan seorang gadis yang baru saja keluar dari dalam toilet wanita. Bersamaan dengan itu, terdengar pula suara ponsel milik Matthew yang terjatuh hingga membentur lantai.

"Shit!" umpat Matthew kaget.

"Astaga! Maaf!" Gadis yang baru saja bertabrakan dengan Matthew itu segera membungkukkan badannya untuk mengambil ponsel milik Matthew.

"Kamu …?" Matthew memandang tajam seraya meraih ponsel yang disodorkan oleh gadis cantik di depannya. 

“Kau lagi?!” pekik sang gadis dengan tatapan tajam.

Pada momen ini keduanya saling bertukar tatap sampai beberapa detik kedepan, hingga akhirnya gadis itu lebih dulu menggelengkan kepala untuk mengembalikan konsentrasi dirinya yang sempat menguap beberapa saat.

"Sial sekali aku harus bertemu denganmu lagi!” gadis itu kembali mencibir.

“Begitu menurutmu? Kau pikir aku tidak sial karena bertemu denganmu hari ini? Bahkan sampai dua kali!” balas Matthew tidak kalah pedas. Kini ia tidak segan untuk menunjukkan wajah kesalnya.

"Kalaupun ada yang paling sial di antara kita berdua, sudah pasti itu adalah aku! Siapa yang bisa menjamin kalau kau tidak memanfaatkan keadaan selama aku tidak sadarkan diri? Tidak ada!” tandas gadis itu dengan nada meninggi.

Bibir Matthew menganga lebar mendengar ucapan gadis di hadapannya yang sama sekali tidak disaring lebih dulu.

“Kau … argh!” tangan Matthew mengepal kuat. Hatinya begitu panas mendengar ucapan gadis yang ditemuinya hari ini.

“Whatever! Terserah kau mau berpikir seperti apa dan menganggapku seperti apa! Dasar wanita gila!” Matthew tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Ada hal jauh lebih penting yang harus diurusnya setelah ini.

“What?! Kau mengabaikanku?!” gadis semampai itu melotot menatap Matthew yang sudah beranjak meninggalkannya.

Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat Matthew memasuki ruangan khusus yang berada persis di sebelah toilet wanita, bertuliskan Nursery Room.

“Hah?!” gantian bibir gadis itu yang menganga lebar.

"Owh, shit! What the hell!" lagi-lagi sebuah umpatan lolos begitu saja dari bibir Matthew.

Tubuhnya terasa kaku seketika, dan kedua kakinya seakan sedang terpaku pada tempatnya berdiri.

"Aaaaa …!!! Dasar pria mesum!! Keluar!!! Kurang ajar!! Pria brengsek!!"

Terdengar berbagai macam umpatan dari dalam ruangan yang bersebelahan dengan toilet wanita.

"Ma-maaf! Saya … saya tidak sengaja!!" Matthew berseru kepada para ibu yang sedang mengurus bayi mereka di dalam ruangan itu.

"Hahah! Kau mengataiku wanita gila, padahal sudah jelas siapa yang gila di antara kita berdua!” gadis itu merasa puas sekali melihat Matthew manahan malu.

“Kau wanita gila! Aku bersumpah akan membuat hidupmu menderita!” Matthew meracau sembarangan sebagai ungkapan kekesalannya.

“Ish! Terserah!” pekik gadis itu tidak mau kalah.

Beruntung Matthew segera pergi dari lokasi toilet, karena jika dibiarkan pertengkarannya dengan gadis itu tidak akan menemui ujungnya.

***

"Selamat malam, Tuan Lutof! Senang bertemu Anda!" sapa Lisya dengan senyum cerah yang tersungging di wajahnya begitu Matthew dan Aiden sudah memasuki ruang VVIP di restoran ini. Tangannya lantas terulur menjabat Matthew.

"Selamat malam, Nona Gregorius! Saya pun senang bisa bertemu Anda!" jawab Matthew yang juga memamerkan senyum terbaiknya. Ia bahkan sengaja menatap Lisya tepat di kedua manik matanya.

Tatapan Lisya terpaku saat dua pasang netra itu bertemu. Wanita itu terpana pada ketampanan wajah Matthew. Rambut-rambut tipis yang menghiasi pipi dan rahang pria itu juga semakin memberikan kesan macho. Sementara sepasang manik matanya yang berwarna hijau kecoklatan pun semakin memberikan kesan hangat dalam diri Matthew.

"Ehem!"

Lisya sedikit tersentak saat mendengar Bernard berdehem keras. Cepat-cepat ia melepaskan jabatan tangannya dari Matthew.

"Eh, umm … maaf, ini kakak saya, Bernard Gregorius, CEO di The Royal Shipping Club," ucap Lisya sedikit gugup.

Kini tatapan Matthew beralih kepada Bernard. Dijabatnya tangan Bernard yang sudah terulur ke arahnya.

"Selamat malam, Tuan Gregorius! Senang bertemu dengan Anda!" Matthew lebih dulu mengucapkan salam.

"Selamat malam, Tuan Lutof! Terima kasih sudah berkenan datang," sambut Bernard ramah.

"Dan perkenalkan, ini Aiden Smith, asisten pribadi saya," Matthew tak lupa memperkenalkan orang kepercayaannya.

"Senang bertemu Tuan dan Nona Gregorius!" sapa Aiden seraya membungkukkan badannya sedikit.

"Baik, silakan duduk, Tuan Lutof dan Tuan Smith!" ucap Bernard mempersilakan.

"Kebetulan sekretaris saya sedang dalam perjalanan. Sembari menunggu, silakan dinikmati menu yang sudah kami siapkan," kata Bernard lagi melanjutkan obrolan.

Begitu semua sudah duduk manis, Lisya segera memberi tanda kepada servant yang bertugas untuk menghidangkan menu makanan.

"Kami harap Anda suka dengan menu yang kami pesankan," ucap Lisya basa-basi untuk memulai obrolan agar suasana tidak begitu kaku.

"Ah, saya percaya Anda memiliki selera yang baik, Nona Gregorius," jawab Matthew yang juga bertujuan mencairkan suasana.

"Hahaha, saya anggap itu sebagai suatu sanjungan, Tuan Lutof," cicit Lisya seraya terkekeh kecil.

Matthew mengangguk dengan senyum tipis di bibirnya.

"Saya ikut senang mendengar pria bangsawan seperti Anda mau membuat adik perempuan saya tersipu seperti ini," Bernard ikut menimpali obrolan, membuat Matthew mengalihkan atensi padanya.

"Anda berlebihan, Tuan Gregorius. Saya bukan keturunan bangsawan," sergah Matthew tanpa sungkan.

"Ah, hahaha! Tapi untuk seorang petinggi perusahaan shipping line seperti Anda rasanya masih pantas jika dibandingkan dengan seorang bangsawan," sanjung Bernard berkamuflase.

Matthew terdiam, telinganya sedikit tergelitik mendengar ucapan Bernard.

"Lalu bagaimana kalau seorang bangsawan itu sudah tidak memiliki kuasa dan kekayaan? Apa menurut Anda dia sudah tidak layak jika dibandingkan dengan bangsawan lain yang masih memiliki segalanya?" Matthew sengaja menyudutkan Bernard menggunakan pertanyaan yang ia lontarkan.

Baik Bernard maupun Lisya sama-sama terhenyak mendengar pertanyaan Matthew. Keduanya hanya bisa saling bertukar tatap dan menyunggingkan senyum kaku.

Matthew tersenyum tipis. Ia sadar bahwa pertanyaannya barusan telah berhasil membuat sepasang kakak-beradik dari keluarga Gregorius ini tersudutkan.

"Entah kaya atau tidak, memiliki materi atau tidak, seorang bangsawan tetaplah bangsawan. Seorang pangeran tetaplah seorang pangeran meskipun dia tidak lagi tinggal di dalam istana raja. Karena yang menentukan siapa dia itu bukanlah materinya, melainkan garis keturunannya," ujar Matthew dengan suara tegas dan mantab.

Lagi dan lagi … sepasang kakak-beradik Gregorius ini dibuat kalah telak oleh ucapan Matthew hingga keduanya hanya bisa memberi senyum kaku ke arah Matthew.

"Ah, Itu dia! Sekretaris kami sudah datang!" seru Lisya yang seketika menatap ke arah pintu masuk ruang VVIP.

Matthew dan Aiden mengikuti pergerakan arah mata Lisya, yaitu pada pintu masuk ruang VVIP di belakang mereka.

Deg!

Seketika tercenganglah Matthew melihat siapa yang datang.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status