Suara air mendidih yang bergejolak terdengar, saat aku memasaknya diatas kompor.
Aku berulang kali menghela napas. Dan sengaja tidak membuka jendela, aroma masakan itu ingin aku hirup sendirian kali ini.Aku memasak air yang baru dengan memasukkan potongan kentang, wortel, dan beberapa bahan yang lainnya. Nasib hidup sebatang kara harus bisa memasak makanan sendiri.Aku baru akan memasukkan potongan tomat dan seledri, namun urung begitu mendengar suara pantofel mengetuk lantai keramik. Aku menoleh. Menemukan pria dengan kaos lengan panjang berwarna putih yang seakan ikut terkejut dengan memaksakan sepasang mata berwarna coklat itu terbuka lebih lebar. Sejenak jantungku terasa berkedut hebat.
"Mario, kau membuatku kaget saja!" aku membatin, dari mana dia datangnya? Jelas, dia tidak ingin menunjukkan keterkejutannya itu secara gamblang.“Maaf pintumu tak terkunci tadi,” kata Mario sambil menunjuk kearah kanan tubuhnya. “Aku takut ada pencuri karena beberapa kali aku memanggil namamu tidak ada jawaban.”
Aku mengenyahkan kalimat itu, dan kembali fokus pada masakanku. Tinggal memasukkan garam, lada, gula, dan masakan itu akan sempurna.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya Mario.Aku melirik kearah Mario yang menggulung lengan bajunya. Jam tangan itu masih sama. Pun, harum wood yang segera tertangkap hidungku, dan itu serupa racun bagiku.
"Tidak usah, aku bisa sendiri. Apa benar tadi pintuku tidak terkunci?" ujar aku."Iya bisa kau lihat sendiri, kenapa kau tidak menguncinya itu kan berbahaya. Jika ada orang asing masuk, kau bisa dihabisinya." kata Mario menasehati.
"Apa ini ada hubungannya dengan kejadian semalam, seingatku sesampainya dirumah aku telah mengunci pintu, tapi kenapa tiba-tiba pintunya bisa tidak terkunci?" bergumam aku dalam hati memikirkan kejadian yang sudah terjadi.
"Mungkin aku lupa, jadi pintunya tidak terkunci." elak aku pada Mario, walaupun sebenarnya seperti ada yang aneh. Tidak ada yang berubah, aku masih sama hanya tampak sedikit pucat.
"Lain kali kamu harus berhati-hati lagi." kata Mario.
Aku tersenyum disitu, "apa iya ada yang ingin merampok rumahku, sepertinya tidak ada yang ingin menjamah rumah kecil ini. Didalamnya pun tidak ada barang yang berharga." kataku dengan nada rendah.
"Memang benar yang kau katakan, tapi dikota ini banyak sekali orang jahat. Dan apa pun bisa terjadi ditempat ini!" seru Mario.
"Sebenarnya ada kejadian yang aneh semalam, tapi aku pun tidak yakin itu apa." pungkas aku memberitahu apa yang sudah terjadi.
"Apa yang sudah terjadi?" tanya Mario penuh dengan rasa penasaran.
Aku mematikan kompor. Aku merasa tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Meski aku tahu sebenarnya tidak ada apapun semalam, hanya sebuah mimpi aneh yang ku alami, tapi rasanya aku harus menceritakan semuanya, agar sewaktu-waktu ada sesuatu terjadi padaku paling tidak aku bisa meminta tolong pada Mario. Aku mempersiapkan makanan yang sudah matang, untuk segera disantap pagi itu. "Aku akan menceritakan semuanya, lebih baik kita ke ruang depan agar enak menceritakannya, sekalian sarapan pagi karena aku sudah lapar sekali." kataku mengajak mario untuk pindah keruang depan."Baiklah ayo kita ke depan, aku amat penasaran dengan ceritamu." kata Mario dan kami melangkah untuk duduk diruang depan.
Aku mengangguk. Ada banyak kalimat yang bergumul, namun rasanya sulit mengeluarkannya satu patah kata pun.
Aku menarik napas dalam-dalam."Kemarin malam setelah kita berpisah dipersimpangan jalan aku melihat seseorang yang sedang memperhatikanku, tetapi ketika aku menghampirinya dia tak ada lagi di sana. Sesampainya dirumah semalam hujan begitu deras petir menyambar, saat itulah aku melihat bayangan seseorang dikamarku ia seakan sedang memperhatikanku, tetapi ketika aku menghampirinya tidak ada siapa pun di sana!" jelas aku pada Mario, matanya terbelalak setelah mendengar ceritaku.
"Apa benar seperti itu? kamu harus berhati-hati siapa tau itu adalah orang jahat yang sedang mengincarmu." cetus Mario.
"Sumpah demi apapun, untuk apa orang itu mengincarku, padahal aku tidak ada musuh sama sekali dikota ini." kataku meyakinkan.
"Mungkin kamu lupa telah melakukan sesuatu pada seseorang, sebaiknya kamu berhati-hati Akira!" pungkas Mario.
Aku menatap Mario tajam, dan tersenyum mengetahui kenyataan pahit itu. "Mungkin kau benar, seharusnya aku lebih berhati-hati lagi." kataku.
Sesaat aku menelan ludah. Karena perbincangan ini. Mario satunya-satunya teman yang aku punya dan sudah aku anggap sebagai kelurgaku sendiri, dia memiliki nasib yang sama denganku hidup sebatang kara, namun ia tidak pernah ingin menceritakan tentang keluarganya, tetapi tidak apa tentang itu, aku senang ada dia di sini karena hanya dia yang perduli dengan diriku.Kadang aku harus berhenti untuk menebak apakah hidupku akan terus seperti ini tanpa perubahan. Sekuat tenaga aku bertahan walaupun mendengar banyak ejekan dari orang-orang disekitar. Ada banyak penolakan dalam diri ini tentang apa yang sudah terjadi, tapi hidup harus terus berjalan.Saat ini aku menyadari apabila aku tidak benar-benar berjuang tentang hidup ini. Tidak ada yang harus aku salahkan, aku tau karena pertengkaran orang tuaku hidupku menjadi serba kekurangan, tetapi sebenarnya aku sangat menyayangi mereka, apalagi aku sangat ingin bisa bertemu lagi dengan ibuku.Walau jauh dalam lubuk hati ini
Aku terus memperhatikan lagak dari Bernando, kalau saja hidupku tidak seperti ini pasti aku sudah menghampiri dan memukul wajahnya itu dengan keras.Setelah acara makan selesai, akan dimulai pesta dansa. Bernardo berkata, “Sebentar lagi acara dansa dimulai. Siapa yang ingin berdansa denganku silakan minum anggur ini dari sepatuku!” Sambil berkata demikian ia mengangkat tinggi-tinggi sebuah sepatu pantofel yang berwarna hitam. Para hadirin terdiam. Aku berbisik kepada Mario, "aku kesal sekali, bolehkah aku memukulnya sekarang!""Sudalah jangan melihatnya, fokus saja dengan pekerjaanmu." seru Mario.Tetapi saat itu terlihat Bernardo melangkah terhuyung-huyung karena sudah mabuk, menuju keatas panggung menghampiri Belinda yang sedang menghibur dengan suaranya yang merdu. "Hei! sayangku, suarumu sangat indah sekali." kata Bernardo sambil merangkul paksa Belinda saat itu."Lepaskan Bernardo! apa yang ingin kau lakukan." seru Belinda memberontak ber
Malam semakin sunyi dan udara dingin terasa semakin menusuk. Perasaanku amat kacau malam ini. Namun aku tetap melangkahkan kedua kakiku di tengah-tengah keheningan yang semakin mencekam.Ada sebuah perasaan yang rasanya keliru dan tidak pantas dilontarkan, tapi bibir ini tak mampu menahan getar hingga limbung dan ada yang terpeleset keluar dari liang ucap."Sial! aku tidak sanggup hidup seperti ini." kataku dengan amarah.Aku tidak tahu apa akibatnya setelah meninggalkan pekerjaanku, tapi aku benar-benar tidak sanggup untuk melihat kenyataan yang begitu pahit. Jiwa ini memberontak, aku tidak pernah ingin menyalahkan kedua orang tuaku setelah apa yang terjadi. Aku benar-benar menyayangi mereka walaupun aku harus hidup seperti ini.Aku menyisiri jalan yang remang-remang di tengah kota. Berbicara pada malam yang redup, jangkrik yang begitu berisik, dan lampu kedap-kedip yang berbaris rapi seperti semut. Ada ratapan yang terpelihara di mataku, wajah
Aku kira pria tua ini adalah salah satu orang jahat yang mempunyai kekuasaan dikota ini bisa saja dia sudah menyuruh orang untuk membuntutiku selama ini, dan mencari tahu tentang kehidupanku selama ini, aku tidak boleh terjebak dengan tawarannya, karena aku tahu orang jujur dikota ini begitu sedikit adanya. "Kenapa? sebenarnya apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku dengan penuh kehati-hatian."Aku akan memberikan apa saja yang kau inginkan, asalkan kau mau melakukan pekerjaan untukku!" katanya meyakinkan."Pekerjaan apa yang ingin kau berikan padaku?" tanyaku."Jika kau ingin katakan ingin dan aku akan memberitahumu, jika kau tidak mengatakan ingin maka aku pun enggan mengatakannya." katanya seakan mekaksaku dengan halus.Aku yakin pasti orang tua ini bukanlah orang yang baik, ajakannya seperti ingin menjebakku saja. Aku tidak percaya, dan memikirkan untuk segera pergi dari tempat itu. "Maaf aku tidak bisa jika kau tidak memberitahunya, senang bisa b
Aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut, suara langkah terdengar semakin berat, mendekat. Tiba-tiba saja bunyi tetesan air jatuh kelantai mengiringi suara cakaran di tembok penjuru ruangan, "Apa itu setauku atap rumahku tidak ada yang bocor dan rusak." gumam aku dalam hati. Semuanya terjadi begitu cepat. Dingin, gelap, ketakutan.Semuanya terasa janggal malam ini, kenapa ini harus terjadi padaku. Aku harap kantuk segera datang. Lenyap seketika, meninggalkan luka."Gelap... Di mana aku?" aku bertanya sembari mendengar suara. Suara dari jantungku sendiri yang berdegup mengejar ketakutannya. Tubuhku bergeliat dan menimbulkan suara lain dari gemertak sendi tubuhku. Suara dari tubuh jauh lebih jelas dari pandanganku yang hitam.Tidak ada yang lain kecuali aku. Aku tidak mendengar sebuah pantulan dari apapun. Pantulan yang selalu aku rasakan seperti kemarin. Dari sebuah cahaya, sampai sensasi melihat bayangan seseorang didekat jendela. Hanya diriku sendiri dikamar
Mata bisa menipuku, tapi suara hati tidak. Hal itulah yang mendorongku keluar dari kegelapan waktu. Meninggalkan kesunyian yang selama ini membelenggu diriku. Suara hati itu berwujud harapan. Apakah sesuatu yang konyol, tentu tidak? Aku terdiam di sini, di antara meja dan kursi dapur dan seorang pria yang tidak kukenali sama sekali. Hanya ingin mendengarkan serta memastikan dengan jelas, suara hati ini. Suara hati yang mengarahkan pergi mencari hari esok yang lebih baik. Mencari arti dari kenyataan, menanam benih mimpi lalu menuainya. Tidak lagi menanti dititik yang sama.aku mengatur nafas pelan-pelan dan mengusap seluruh wajah dengan kedua tangan ini agar cepat mendapatkan keputusan. Aku terpejam sejenak, merasakan irama detak jantungku yang mulai normal. Tapi, tiba-tiba derap langkah kaki terdengar dari arah belakang, aku membelakkan mata ketika sebuah tangan menepuk pundaku, " Hey! Akira sedang apa kau?" kemudian aku menengok kebelakang melihat siapa yang datang. Ternyata
Aku menggumpalkan tangan kanan lalu menempelkan dibibirku beberapa kali. Seolah mentransfer energi ketegaran menghirup atmosfer kota. Langkah kaki yang gugup perlahan mulai santai. Kedua bola mataku perlahan berani menantang kilau mentari senja. Sorotan sang senja, menyinari Kota Tua, tanah harapan banyak orang. Terlihat gedung-gedung menjulang tinggi, kontras dengan perumahan kumuh yang landai, menggoreskan garis imajiner tegak lurus. Entah dalam arti sosial atau finansial. Pandanganku beralih pada pengemis yang berkeliaran dipinggir kota. Langkah kakiku terhenti, aku mengamati anak-anak manusia yang terabaikan. Wajah belia mereka tertutup bayangan kemiskinan. Mereka bergelut dengan nasib, menertawakan nestapa dengan luka dan air mata: ketidakberdayaan. Melihat napas mereka yang naik turun, aku berpikir bahwa mereka juga merasa lelah. Lelah karena ketidakberdayaan atau bahagia karena lelah? Lelah dalam kebahagiaan atau bahagia dalam kelelahan? Entahlah.
Di bawah lampu jalan yang menyala redup.Jantungku terkadang berdegup kencang ketika berjalan sendirian menuju rumahku. Semacam perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Aku mempercepat langkahku. Aku ingin agar segera sampai dirumah. Untuk segera beristirahat karena sudah terlalu lelah. Aku memalingkan mataku ke arah lain di sekitar trotoar. Tidak ada siapa-siapa. Sunyi, sementara malam semakin larut. Jam di lenganku menunjuk pukul 23.00. Aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Suara sepatuku menggema memecah kesunyian. Angin bertiup semakin dingin. Mendung menghalangi bintang-bintang. Di langit, bulan separuh berwarna pucat. Cahayanya dihalau awan yang didera angin. Angin malam memainkan rambutku. Beberapa langkah kemudian dalam sekejap mataku tertuju kepada banyak orang yang berkumpul diujung jalan. Terdengar suara wanita berteriak melewati telingaku saat itu "Aaaaahhhh... Siapa saja tolong aku!!!" Aku menghentikan langkahku lalu terdiam