MasukCempaka terbangun tengah malam. Tempat tidur di sampingnya kosong ketika ia membuka mata. Tak ada Pieter di sana. Padahal pria itu naik ke ranjang bersamanya saat menjelang tidur beberapa waktu tadi. Tak ada yang terjadi. Mereka hanya tidur di tempat yang sama saat Cempaka mengajukan tawaran pada Pieter. Tak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Pieter tidak menolak. Namun, pria itu menghilang saat tengah malam. "Apa yang dia lakukan tengah malam begini?" Hubungan mereka memang masih canggung. Namun, pelan-pelan Cempaka mulai menerabas batas di antara mereka. Setidaknya itu yang mulai dipikirkan Cempaka setelah pulang dari undangan pesta sang residen. Ia tak lagi peduli dengan status sosial atau pandangan orang terhadap dirinya. Yang ia utamakan sekarang adalah bagaimana memanfaatkan keadaannya saat ini. Jika keberadaan Pieter menguntungkan baginya, maka ia juga akan memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Untuk urusan status, ia akan memikirkan cara dan mendapatkan kembal
Malam semakin larut ketika mobil mereka meluncur di jalan berkerikil menuju rumah besar keluarga Rembrandt. Perjalanan terasa lebih panjang ketika mereka pulang. Mungkin, akibat keheningan yang menyelimuti keduanya. Hingga suara bunyi roda yang menggilas jalanan pun terdengar. Pieter menatap keluar jendela sesekali. Wajahnya samar diterangi cahaya bulan. Ia tampak tenang, seperti biasa, meski Cempaka bisa merasakan ada sesuatu di balik ketenangan itu. Semacam kewaspadaan yang berusaha tak ia tunjukkan. Sementara di sampingnya, Cempaka menatap jalanan di depannya dengan raut muka dingin. Hampir tanpa ekspresi. Hanya sesekali menoleh ke arah pria yang duduk di sampingnya. Benak perempuan itu diam-diam masih mengulang adegan percakapan antara Pieter dengan Tuan Van Der Wijk beberapa saat lalu. Ia berusaha mencari celah untuk mengutarakan pikirannya kepada Pieter. "Pieter," suara Cempaka memecah keheningan. Di samping Cempaka, Pieter tak sanggup menyembunyikan kekagetannya sa
Cempaka tertegun. Angin malam meniup lembut helaian rambutnya. Kata-kata itu menggema lama di dalam dadanya, antara ingin dipercaya dan takut terjebak dalam harapan semu. Apa pula maksud ucapan pria itu? Bahwa dia memilihnya? Degup jantung Cempaka tak terkendali. Ia tak tahu perasaan apa itu. Yang jelas, Cempaka mulai menyadari satu hal, bahwa Pieter adalah pria yang berbahaya. Kalau saja ia tak menyadari posisinya saat ini, ia pasti akan percaya begitu saja bahwa dirinya dipilih. Melupakan fakta bahwa Wiratama telah menjualnya pada pria Belanda itu. Hanya demi kedudukan dan kebebasan dari upeti yang harus diserahkan kepada para pendatang berkulit putih. "Pada faktanya aku tidak dipilih oleh siapa pun, Tuan. Tidak juga kamu." Ucapan Cempaka cukup tegas saat mengatakannya. Pieter hanya menghela napas. Mungkin memang belum saatnya bagi perempuan itu menatapnya tanpa rasa curiga. "Kalau itu yang kau yakini, Mevrouw." Keheningan menyelimuti keduanya. Cukup lama. Hingga keduanya ter
Cempaka menoleh. Di sampingnya, Pieter tetap duduk sambil menyetir dengan santai. Tak ada senyum ataupun sorot mata yang menggoda seperti biasa. Hanya tatapan dingin yang fokus pada jalan di depannya. "Kau mengajak kencan seorang perempuan sudah seperti memintanya kerja paksa saja, Tuan," sindir Cempaka sama sekali tak mengusik konsentrasi Pieter. "Lalu aku harus bagaimana, Mevrouw? Kalau aku bersikap sebagaimana selayaknya seorang gentleman, kau pasti menolak ajakanku dengan tegas." Bilah bibir Cempaka terbuka. Perempuan itu hendak membantah ucapan sang pria ketika ia tiba-tiba kehilangan suara. Sekejap, Cempaka tak tahu mesti bagaimana menanggapi ucapan pria yang duduk di belakang kemudi itu. "Benar bukan? Ini satu-satunya cara agar kau menerima ajakanku, Mevrouw." Cempaka benar-benar kehilangan kata sekarang. Tebakan Pieter memang terlalu tepat sasaran hingga membuat Cempaka tak lagi berkutik. Demi menghindari rasa malu, perempuan itu menoleh ke kiri. Kembali memperhati
Hari pesta itu akhirnya tiba lebih cepat dari dugaan Cempaka. Sejak pagi, ia sudah disibukkan dengan persiapan pesta yang masih menjelang malam. Sriah membantunya bersiap. Mulai dari memakai lulur, ratus, sampai mandi kembang setaman. Cempaka benar-benar diperlakukan selayaknya tuan putri. Meski gelar itu tak lagi ia sandang sejak keluar dari rumah orang tuanya. "Anda harus terlihat cantik dibandingkan para nyonya berkulit putih itu, Mevrouw." Sriah kini mengikuti cara Pieter memanggil Cempaka. "Apa gunanya aku tampil paling cantik, Mbak?" "Ya biar harga diri kita sebagai rakyat pribumi tidak semakin diinjak-injak oleh mereka." "Tapi kamu sendiri memilih bekerja di bawah perintah kompeni." "Itu beda cerita, Mevrouw. Saya berutang nyawa pada Tuan Rembrandt sebelumnya. Tuan William Rembrandt. Jadi, sudah sewajarnya kalau saya mengabdi pada beliau." Cempaka tak bertanya lebih lanjut. Ia menoleh keluar melalui jendela kamarnya. Langit Yogyakarta tampak bersih setelah semalam
Hari itu berlalu begitu saja. Hanya suara jam dinding tua yang menggema di ruang tengah rumah besar itu. Seakan menghitung detik yang menandai jarak di antara mereka semakin menjauh.Sejak hari itu pula, Pieter tidak lagi tidur di kamar yang sama. Setelah malam pertama yang mereka lalui dengan penuh gairah, kini pria itu memilih kamar di sayap timur rumah. Kamar yang dulu digunakan oleh mendiang sang ayah.Tidak ada penjelasan apa pun dari Pieter. Juga tidak ada alasan yang terucap. Mereka kini seakan menjadi orang asing yang tinggal dalam satu rumah.Anehnya, sikap Pieter yang demikian justru membuat Cempaka merasa ... kehilangan? Atau justru ... penasaran? Di antara kedua perasaan itu, ia memilih untuk abai sementara waktu. Lagipula, bukan hanya urusan pria itu yang harus ia pikirkan."Tuan tidak tidur di sini lagi, Nyonya?" tanya Sriah yang pagi itu membawakan baju bersih ke kamar Cempaka.Lastri jauh lebih baik. Namun, untuk sementara ia diperbolehkan beristirahat lebih panjang sa







