Share

Rupanya Dia Orangnya

Penulis: Yoru Akira
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-09 20:08:39

Galih Pangarep masih bergeming. Ia menatap Cempaka dengan sorot tajam sekaligus dingin. Untuk beberapa saat, tak ada satu pun di antara mereka yang bergerak, maju ataupun mundur.

Suasana seakan terjebak dalam waktu yang membeku. Hingga suara itu terdengar dari jalan setapak di kejauhan. Derap kaki kuda.

Awalnya satu, lalu berubah menjadi derap dua kaki kuda yang berjalan bersamaan. Diikuti roda yang menggilas batu jalan.

Tubuh Pieter yang pertama kali menegang. Diikuti Cempaka yang melirik ke arah munculnya sebuah kereta kuda. Diikuti seseorang yang menunggangi kuda di belakang kereta.

"Oh, ada tontonan menarik rupanya!" seru sebuah suara yang benar-benar tak diharapkan Pieter saat ini.

Wajah pria itu menjadi gelap dengan sepasang mata yang menyorot tajam ke arah munculnya sosok yang baru saja menyerukan masalah lain hari ini.

"Adrian!" gumam Pieter dengan tangan mengepal.

Tak hanya itu, dari kereta kuda yang belum sepenuhnya berhenti, muncul sosok lain yang membuat da
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Panik!

    Pieter keluar dari gedung tahanan dengan langkah cepat.Udara di luar terasa lebih panas daripada di dalam ruang interogasi yang dingin dan steril. Bukan karena matahari—melainkan karena percakapan barusan belum benar-benar selesai di kepalanya. Wiratama terlalu tenang. Terlalu siap. Dan itu berarti ada sesuatu yang sudah bergerak lebih dulu.Ia baru saja menuruni anak tangga terakhir ketika sebuah suara menyapanya dari sisi halaman.“Wajah seperti itu biasanya muncul saat seseorang sadar—dia datang terlambat.”Pieter berhenti.Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu. Nada santai yang dibuat-buat, pilihan kata yang selalu terasa setengah mengejek.“Adrian,” ucapnya dingin saat akhirnya menoleh.Pria itu berdiri bersandar pada pilar batu, jasnya rapi, topinya miring sedikit seolah dunia tak pernah benar-benar menyentuhnya. Senyum tipis terukir di wajahnya—senyum orang yang tahu sesuatu dan menikmati fakta bahwa orang lain belum sepenuhnya menyadarinya.“Kau terlihat

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Pergerakan

    Di ruang tahanan militer, waktu bergerak dengan cara yang berbeda. Di sini, seakan waktu bergerak lambat dengan pola yang menyiksa.Wiratama telah dipindahkan ke tempat yang dianggap paling aman sejak beberapa hari lalu. Tidak lagi berada di sel tahanan dekat pelabuhan yang menjadi kesatuan tugas Pieter Rembrandt. Status penahan Wiratama bertingkah dan itu yang membuatnya harus dipindahkan. Meski Pieter tidak sepenuhnya diminta lepas tangan untuk mengurusi pria itu. Sebab, perkara Wiratama berkaitan erat dengan wilayah kekuasaan Pieter sebagai pengawas pelabuhan.Di ruang penjara itu tidak ada jendela. Tidak ada tanda pagi atau siang. Hanya lampu putih yang tak pernah benar-benar padam dan dinding yang terlalu 'bersih' untuk menumbuhkan rasa aman.Pieter berdiri di balik kaca satu arah yang tampak buram. Dimakan usia. Penjara ini salah satu yang paling tua. Tangannya bersedekap, rahangnya mengeras. Di balik kaca itu, Wiratama duduk di kursi logam dengan sikap nyaris santai—terlalu

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Yang Luput dari Pengawasan

    Cempaka membuka mata kembali.Kali ini lebih lama.Ia tidak langsung bergerak, hanya duduk di tepi ranjang dengan punggung sedikit membungkuk, kedua telapak tangan menekan seprai seolah mencari pijakan. Pagi masih terlalu muda. Udara masih menyimpan dingin sisa malam. Dan keheningan di kamar itu terasa berbeda—bukan tenang, melainkan berjarak.Ia bangkit perlahan dan meraih mantel tipis yang tergantung di kursi. Gerakannya tenang, nyaris terlatih. Perasaan yang barusan merayap di dadanya tidak berkembang menjadi kepanikan, melainkan kewaspadaan.Cempaka turun ke lantai bawah.Rumah Rembrandt masih terjaga dalam sunyi. Jam dinding di lorong menunjukkan hampir pukul enam. Di dapur, teko air masih di tempatnya, dingin. Tidak ada tanda Pieter sempat sarapan.Para pelayan pun sibuk mengerjakan tugas masing-masing dalam sunyi. Sriah sesekali keluar masuk dapur dari halaman. Mereka hanya sempat berbincang sebentar.Lalu, Cempaka berhenti di meja kecil dekat ruang kerja. Di sana—selembar ker

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Panggilan Dini Hari

    Pukul dua dini hari. Ketukan itu pelan, tapi teratur—cukup untuk menembus batas tidur seorang prajurit. Pieter membuka mata lebih dulu. Kesadaran datang tanpa sisa kantuk, seperti refleks yang telah diasah bertahun-tahun. Di sisinya, Cempaka masih terlelap. Napasnya teratur, wajahnya damai dengan cara yang jarang ia perlihatkan saat terjaga. Ketukan terdengar lagi. Pieter menggeser tubuhnya perlahan, berhati-hati agar kasur tak berderit. Ia menarik selimut sedikit lebih tinggi menutupi bahu Cempaka, lalu bangkit dan melangkah menuju pintu. Begitu pintu terbuka, Ben berdiri di ambang. Rambutnya sedikit berantakan, seragamnya setengah berantakan—tanda ia datang tanpa banyak pertimbangan selain urgensi. “Ada apa, Ben?” suara Pieter rendah, nyaris berbisik. “Ada panggilan dari kesatuan, Tuan.” Kening Pieter berkerut. “Pagi buta begini?” Ben mengangguk cepat. “Ini tentang Wiratama. Katanya… dia menunjukkan gelagat aneh sejak sore. Terlalu banyak bertanya."Tapi di satu sisi, tamp

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Tidurlah, Mevrouw!

    Mobil hitam itu melaju meninggalkan halaman rumah Aryotedjo dengan kecepatan sedang. Mesin berdengung halus, nyaris kontras dengan suasana di dalam kabin yang dipenuhi pikiran-pikiran berat. Jalanan menjelang siang itu sedikit lengang, hanya sesekali dilewati pedati atau pejalan kaki yang menepi begitu melihat kendaraan milik keluarga Rembrandt lewat. Cempaka duduk tegak di kursi penumpang depan. Tangannya terlipat rapi di pangkuan, punggungnya bersandar, namun bahunya tak sepenuhnya rileks. Pandangannya lurus ke depan, menembus kaca mobil, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak benar-benar ada di sana. Pieter menyetir dengan tenang. Satu tangan di kemudi, satu lagi sesekali berpindah ke tuas persneling. Wajahnya tampak fokus, tapi bukan pada jalan—melainkan pada segala kemungkinan yang sedang mereka hadapi. Sementara Bentley sudah lebih dulu pergi. Prajurit yang setia itu ditugaskan Pieter untuk melapor ke kesatuan lebih dulu sebelum Pieter akan menyusul nanti. “Pengumuman it

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Larangan!

    Ruangan itu kembali sunyi setelah kata perang mengendap di udara.Aryotedjo memejamkan mata beberapa detik, seolah sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaganya yang tercecer bersama jabatan dan nama baik. Ketika ia membukanya kembali, sorot matanya tak lagi goyah.“Kalau kalian berniat menyusup ke ruang arsip,” ucapnya pelan, “jangan mulai dari gedung utama.”Pieter mengangkat alis sedikit. “Ada lebih dari satu?”Aryotedjo mengangguk. “Arsip pemerintahan tidak disimpan di satu tempat. Yang di gedung utama hanya salinan. Versi yang sudah dipilah. Dibersihkan.”Ia tersenyum pahit. “Yang kotor tidak pernah disimpan di tempat yang mudah dijangkau.”Cempaka melangkah setengah langkah ke depan. “Lalu di mana yang asli?”Aryotedjo menoleh padanya. Ada jeda singkat sebelum ia menjawab—bukan ragu, melainkan menimbang seberapa banyak kebenaran yang sanggup diterima putrinya.“Di rumah dinas residen lama,” katanya akhirnya. “Gudang administrasi bawah tanah. Dulu dipakai menyimpan laporan sensitif seb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status