Share

Bab 4

Author: Ayudia
Raisa tidak membantah, melihat bekas cincin di jari manisnya yang tak kunjung hilang, dia berkata, "Bekasnya benar-benar jelek, seharusnya dilepas dari dulu."

Mendengar kata-kata itu, Reza mulai merasa bahwa Raisa serius kali ini.

Meskipun tidak jaminan seratus persen, setidaknya sikapnya saat ini lebih baik daripada sebelumnya. Sebenarnya dia tidak ingin mengejek, hanya saja dia tak bisa menahannya.

"Tanda cintamu itu nggak sebanding dengan satu kali traktiranku."

Raisa tidak menjelaskan, hanya berkata, "Kalau begitu, ayo kita pergi. Aku yang akan mentraktirmu."

Reza tidak bergerak, dia mengangkat alis dan menatapnya, lalu berkata, "Waktuku sangat berharga, jelaskan dulu apa yang kau mau, dan lihat apa sepadan dengan waktuku untuk menemanimu makan."

Raisa terdiam.

Dia termenung beberapa detik dan menjawab, "Aku mau menulis ulang makalah yang kuhentikan dulu, dan aku mau pinjam laboratoriummu untuk mengolah data."

Industri ini bergerak terlalu cepat, dan banyak perubahan yang perlu dilakukan.

Raisa tidak berani menyebutkannya langsung di telepon, karena dia merasa bersalah.

Dengan karakter Reza, dia pasti akan langsung memarahinya. Kalau dia tidak menikah, makalahnya pasti bisa dikirim saat masa kuliah.

Benar saja, Reza menatapnya seolah penasaran dan bertanya, "Bercanda?"

Raisa menjawab, "Serius."

Reza menatapnya lekat.

Dia telah berkecimpung di industri ini, dan penelitian terbaru Prof Fredi dari Universitas Arcadia telah menarik perhatian dari perusahaan teknologi besar.

Hampir tidak ada yang tahu bahwa hambatan utama dari proyek yang sedang dia kerjakan sekarang telah diatasi oleh Raisa tiga tahun yang lalu.

Sedangkan, Lugi-X yang lengkap ada di perusahaannya.

Sebagai satu-satunya pengembang model bahasa pemrograman Lugi-X, Raisa telah mengatasi banyak hambatan yang dapat membuat penelitian mandek. Raisa jelas merupakan jenius terbaik yang pernah dilihat Reza.

Namun, jenius itu telah dibutakan oleh cinta. Dia bukan hanya kabur untuk menikah, tetapi juga beralih profesi menjadi sekretaris yang menyajikan minuman ke orang-orang.

Reza tidak mengerti mengapa dia tidak mendalami industri ini dan malah menyia-nyiakan bakatnya.

"Kamu sudah berhenti selama tiga tahun. Apa kamu yakin makalah itu masih ada nilainya?"

Raisa berkata, "Aku akan buat beberapa perubahan. Setelah prof keluar, aku akan mengonfirmasi arah penelitiannya. Kalau dia setuju, aku baru lanjut."

Asalkan profesor bersedia menemuinya.

Reza berkata, "Kalau begitu kamu harus menunggu. Prof sedang fokus untuk penelitian ilmiah bagi negara dan nggak akan keluar untuk sementara."

Raisa berkata, "Aku bisa menunggu."

Tidak lagi terobsesi membuat Kevin jatuh cinta padanya, membuatnya punya banyak waktu.

Reza ingin mengatakan sesuatu, namun dia tahu betul meskipun Raisa sudah lama tidak berkecimpung di industri ini, tetapi Reza tidak dapat memberikan saran apa pun tentang apa yang ingin dia pelajari dengan keahliannya itu. Dunia para jenius memang tak terbatas.

Reza pun berhenti membujuknya, "Oke, aku mau makan bersamamu."

Ucapan Reza memang terkadang tajam tetapi hatinya lembut. Dia terlihat enggan, tetapi sebenarnya itu hanya pura-pura. Kalau tidak, dia tak akan menemaninya ke sini.

Raisa terkekeh dan berkata, "Terima kasih atas kebaikanmu, Pak Reza."

...

Rey sedang menemani berbelanja pacarnya, seorang konten kreator yang baru saja mengumumkan hubungan mereka. Saat sedang berjalan-jalan, dia tidak menyangka akan bertemu seorang yang dia kenal.

Tepat ketika dia hendak mengejarnya, orang itu sudah pergi.

Dia lalu masuk ke toko perhiasan, meminta pacarnya untuk memilih apa yang disukainya sambil mencari tahu ke pelayan toko.

Sambil mendengarkan, dia menjadi bersemangat.

Kevin bajingan itu sudah berbohong padanya!

Kalau Raisa memang kembali pagi-pagi sekali, mana mungkin dia akan menjual cincin kawinnya?

Setelah mempertimbangkan, dia berbalik dan mulai mengundang teman-temannya untuk berkumpul malam itu.

Malam harinya, semua orang menikmati minuman dengan gembira.

Kevin akhirnya juga datang.

Begitu melihatnya, Rey sengaja bersuara keras, "Menurut kalian, apa alasan Raisa tiba-tiba menjual cincin kawinnya?"

Setiap kali berkumpul, mereka senang sekali menjadikan Raisa sebagai bahan guyonan. Awalnya mereka sempat khawatir Kevin akan keberatan.

Jika Kevin mengerutkan kening, tidak ada yang berani mengatakan sepatah kata pun, tapi ternyata mereka terlalu khawatir.

Kenyataannya Kevin sama sekali tidak peduli, walaupun mereka mengejek di depannya.

Tetapi malam itu, sebelum semua orang berbicara, Kevin berkata dengan ringan, "Paling itu cuma sandiwara biar aku lihat."

Mario juga menceritakan semua yang dikatakan Raisa di kafe tadi.

Dia tidak terkejut kalau itu cuma sandiwara.

Tetapi dia memiliki pemikiran yang sama dengan Mario, Raisa bertindak seperti itu karena emosinya sedang tidak stabil.

Menjual cincin kawin sudah menjadi bagian rencananya.

"Sandiwara? Raisa memang bisa melakukannya."

"Tapi trik ini nggak akan berhasil ke Kevin. Semua orang tahu kalau kamu nggak pernah memakai cincin kawin sejak menikah."

Rey menambahkan, "Dia tetap pakai untuk acara tertentu. Apalagi, kalau di depan Kakek Toni..."

Kevin pun meliriknya dengan kesal.

Rey langsung terbatuk, "Oke, oke, dia belum pernah pakai sama sekali!"

Setelah mengatakan itu, ekspresi wajah Kevin membaik.

Mulut Rey berkedut, dia lalu bertanya lagi, "Tadi aku lihat Raisa pergi ke toko perhiasan lain. Sepertinya dia mau membelikanmu sepasang cincin baru. Kau mau pakai nggak?"

Kevin berpura-pura tidak mendengarnya.

Jari-jarinya yang ramping bermain-main, dan tampak sedikit kelembutan di sorot matanya.

Kevin adalah tipe orang yang dingin dan angkuh, dan aura kelembutan di antara alisnya sangat jarang terjadi.

Rey segera mencondongkan badan dan melihat Kevin sedang mengobrol dengan Siska.

Namun, layarnya terkunci dalam sekejap.

Kevin lalu menoleh menatap ke arahnya, dia tampak kesal karena diganggu, "Kau memintaku datang ke sini cuma untuk urusan remeh begini?"

Rey mulai menyadari Kevin tidak akan peduli kalaupun Raisa tidak pulang selama sebulan.

Sebanyak apa pun trik yang dia mainkan, selama Kevin tidak peduli, itu tidak akan ada artinya. Tentu saja itu hanya akan membuang waktunya.

Rey pun menghela napas menyesal, "Meskipun aku nggak menang, tapi kamu juga sudah kalah duluan. Jadi, ingat untuk mentraktirku makan."

Ini adalah soal taruhan tentang berapa lama Raisa akan kembali.

Kevin menanggapi dengan santai, "Beri tahu saja waktunya."

Rey lalu menjawab, "Ulang tahun Siska kan sebentar lagi, ayo pas hari itu saja sekalian merayakannya."

Kevin berkata, "Walaupun kamu nggak bilang, aku akan tetap mengundang kalian."

Rey menimpali, "Jadi, kamu sudah mengaturnya ya? Perhatian sekali."

Rasa peduli itu memang penting.

Seingatnya, ulang tahun Raisa itu sebulan yang lalu.

Kevin dan teman lainnya sedang minum bersama hari itu. Raisa tiba-tiba menelepon tengah malam. Kevin terlalu mabuk untuk menjawab telepon, jadi dia yang menjawabnya.

Hal pertama yang dia katakan adalah, "Kamu masih sibuk? Ulang tahunku sudah lewat."

Saat itu sudah jam satu pagi.

Rey lalu menjawab, "Ini aku, maaf. Kevin sudah terlalu banyak minum... Oh iya, selamat ulang tahun."

Raisa terdiam beberapa detik, dan tampaknya telah menerima kenyataan bahwa suaminya lupa pada ulang tahunnya, lalu memintanya untuk menjaga Kevin dengan baik tanpa mengeluh sedikit pun.

Rey saat itu berpikir bahwa Raisa benar-benar tulus.

Pagi-pagi sekali, Kevin pulang ke rumah setelah pesta dengan Rey.

Saat melewati ruang tamu, dia teringat sesuatu dan melirik ke arah sofa.

Dia tidak lagi melihat sosok yang dikenalnya.

Setelah naik ke lantai atas, kamar tamu di ujung koridor tampak gelap.

Itu adalah kamar Raisa, kamar terjauh dari kamar tidur utama di lantai dua.

Sehari berlalu, dan dia belum juga kembali.

Tapi Kevin tidak peduli dan masuk ke kamar tidur utama.

Senin pun tiba, saatnya bekerja.

Kevin mandi dan turun ke lantai bawah. Bi Lia saat ini sedang sibuk menyiapkan sarapan yang lezat untuknya. Setelah melihatnya, dia tidak terlalu nafsu makan, tetapi tetap duduk di meja makan.

Bi Lia akhirnya menghela napas lega.

Hari-hari tanpa Raisa di rumah terasa sangat berat.

Kevin adalah orang yang terpelajar dan jarang marah kepada para pelayan, tetapi auranya begitu mengintimidasi sehingga bisa merasa sangat tertekan hanya dengan berdiri di sampingnya.

"Pak, silakan makan."

Makanannya tidak buruk, tetapi tidak seenak masakan Raisa.

Baru dua hari saja, Kevin mulai merindukan sarapan buatan Raisa. Dia lalu bertanya, "Apa dia meneleponmu?"

Bi Lia hendak pergi ketika dikejutkan atas pertanyaan itu. "A..apa?"

Kevin mengerutkan kening.

Bi Lia segera sadar!

Dia langsung merespon dan berkata cepat, "Nggak, Pak!"

Kevin semakin mengerutkan kening, "Sekali pun?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 100

    “Kalau begitu, doakan saja mereka.” Opini warganet baik di dunia maya maupun nyata, sebenarnya tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, Raisa tidak terlalu terkejut.Suri terdiam beberapa saat. Di satu sisi, dia senang karena Raisa tampaknya sudah tidak terlalu peduli, tetapi di sisi lain dia merasa muak dengan pria brengsek itu.Bagaimanapun juga, Raisa yang terpenting.Dia tidak ingin peduli, maka biarkan saja. Suri pun menahan rasa muaknya dan tidak melanjutkan pembicaraan. Setelah mengobrol sebentar, keduanya menutup telepon.Memang benar, Raisa sudah tidak tertarik lagi pada berita tentang Kevin dan Siska, tetapi tetap saja dia membuka topik terhangat di internet. Dia langsung mengabaikan nama keduanya.Dia menggulir dari atas hingga bawah, tetapi tidak menemukan nama Bravi. Semakin besar proyek amal ini terekspos, tentu semakin baik. Pihak Keluarga Sastranegara pasti akan mempromosikannya secara besar-besaran.Dengan adanya sosok seperti Bravi, hanya dengan menyebarkan satu foto sa

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 99

    “Itu cuma asumsi, kenyataannya sama sekali nggak masuk akal. Jadi, jangan membantahku dengan fakta. Aku cuma penasaran saja mau tahu pendapatmu.”“Oh ya, satu lagi, anggap saja dia nggak ada hubungan sama Kevin. Kalau Bravi menyukaimu, kamu gimana?”Bayangan yang tidak sesuai kenyataan hanyalah angan-angan. Raisa tidak suka berandai-andai. Tetapi karena ini hanya obrolan santai dengan sahabat, dia tidak terlalu mempermasalahkannya.Dia pun memikirkannya dengan serius.“Pertama, anggap Bravi menyukaiku. Kedua, dia nggak ada hubungan sama Kevin. Kalau begitu, mungkin jarang yang akan menolak dia, kan? Soalnya, Bravi itu ganteng, kaya, dan punya tubuh yang bagus. Itu saja sudah cukup bikin perempuan senang.”Suri bertanya, “Jadi, apa jawabanmu?”“Pandangan seseorang akan berubah sesuai dengan pengalaman hidupnya. Suri, setelah aku gagal dengan Kevin, kamu tahu apa perubahan paling besar dalam diriku?”“Pandangan soal cinta?”“Benar. Pandanganku tentang cinta berubah. Kalau soal pertemana

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 98

    Raisa akhirnya merasa tenang.Bravi sangat berprinsip, jika bukan uangnya, sepeser pun tak akan dia ambil. Tetapi jika memang miliknya, dia pasti akan menerimanya.Setelah makan malam, Raisa mulai membereskan bekas makan mereka.Bravi berkata, “Biarkan saja, itu bukan tugasmu. Ada orang yang beresin nanti.”Raisa tahu dia punya kebiasaan bersih dan rapi, jadi dia mulai membereskan lebih dulu. Karena sudah setengah jalan, dia sekalian merapikannya sampai bersih. Terakhir, sambil membawa kantong sampah dan jas luarnya, dia berkata, “Selamat malam,” lalu membuka pintu dan pergi.Bravi saat ini sudah duduk di sofa. Dia melihat pesan yang sebelumnya dikirim oleh Richard.[Tadi saat aku bilang mau antar Raisa pulang, eh kau tiba-tiba bilang bosan dan malah ikut pulang. “Tiba-tiba”mu itu terlalu mencurigakan. Ayo ngaku, sebenarnya kau yang ingin mengantar Raisa pulang kan?]Bravi menjawab, [Iya.][Dasar licik! Sudah kuduga!]Richard menulis, [Maksudmu apa, sih? Tadi waktu Raisa bilang terim

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 97

    Saat melihat Bravi tidak mengganti sepatunya, Raisa pun membatalkan niatnya untuk pulang mengambil pelindung sepatu.Dia sudah pernah datang ke rumah ini dua kali sebelumnya, dan setiap kali datang, rumah itu selalu bersih dan rapi, seolah-olah ada yang membersihkannya setiap hari.Namun sebelumnya, Raisa sendirian, tapi hari ini Bravi juga ada di sana. Ada sedikit rasa tidak nyaman. Tetapi, masih bisa diatasi.Raisa meletakkan tas berisi jas Bravi, lalu membawa makanan ke meja makan, membukanya satu per satu dengan sangat alami seolah-olah sudah sering melakukannya.Setelah mencuci tangan, Bravi duduk di meja makan.Raisa pun berkata, "Silakan makan, Pak. Selamat malam."Baru saja hendak pergi, suara dingin pria itu terdengar, "Sebanyak ini, aku nggak akan habis."Porsi makanan itu memang sudah dikurangi separuh oleh Raisa, tetapi Bravi sebelumnya memesan untuk empat orang, meskipun setengahnya, masih tetap tidak akan habis.Raisa hanya ingin pulang dan beristirahat. Dia sempat ragu

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 96

    Pandangan Bravi sejak tadi beralih dari wanita itu. Dia menunjuk ke arah makanan yang memenuhi meja. "Makan dulu."Richard langsung mengajak Raisa untuk bergabung.Raisa memperhatikan wajah Bravi. Dia tampak tenang, tidak bisa ditebak apa yang dipikirkannya. Tetapi karena tidak bicara apa pun, mungkin karena sudah dianggap lolos.Dia melirik makanan di atas meja, lalu berkata, "Aku pulang duluan, kalian makan saja."Richard terkejut. "Kok buru-buru banget, ada urusan?"Raisa mengangguk pelan. Richard menyikut Bravi dan berbisik, "Suruh dia tinggal di sini." Dia mengerti, Raisa hanya akan mendengarkan kata-kata bosnya.Tapi Bravi tampak acuh tak acuh. Raisa pun bangkit berdiri, nada bicaranya sopan tapi berjarak, "Pak Bravi, silakan dilanjutkan. Saya pulang dulu, terima kasih untuk malam ini."Richard ikut berdiri. "Kenapa harus sesopan itu? Cuma masalah kecil saja. Kalau bukan karena Bravi lebih cocok untuk menghukum gadis bau kencur itu, aku pasti yang akan datang membantumu. Lebih

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 95

    “Benar, aku masih ingat terakhir kali main kartu, bosmu menang. Tapi kami berempat, masing-masing menang besar, dan memenangkan kembali semua uang yang susah payah dia menangkan, bahkan dia masih harus nombok,” kata Richard dengan penuh kemenangan.Raisa menoleh ke arah Bravi. Dia tak berkata apa-apa, itu berarti memang benar.“Ayo lanjutkan,” kata Angga.“Kami nggak akan mengalah,” tambahnya.Surya juga mengangguk setuju.“Hari ini kita tiga pria sejati, nggak perlu jaga gengsi.”Richard semakin bersemangat melihat kekacauan. Bravi jarang sekali menetapkan target untuk Raisa, akan membosankan jika langsung menang. Dia harus terus kalah, agar bisa terus bermain.Menghadapi tantangan dari ketiganya, Raisa tersenyum. “Nggak masalah, ayo.”Richard langsung bersemangat dan berkata, “Wah wah wah, Bravi, sekretarismu menantang kami! Kau bertaruh kami yang menang atau sekretarismu ini yang menang?”Bravi masih tampak malas untuk berbicara.Raisa yang biasanya dingin seperti mesin, kini menjaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status