Share

Bab 6

Author: Ayudia
Kevin berkata pada Siska, "Kamu memang luar biasa."

Siska melihat kekaguman yang mendalam di mata pria itu.

Reaksi seperti itu benar-benar di luar dugaannya.

Yuliardi Group bekerja sama dengan laboratorium Prof Fredi. Jika penelitian Prof Fredi berhasil, maka perusahaannya tentu akan untung juga.

Siska kembali kali ini karena dia ingin menjadi tokoh utama dalam menaklukkan teknologi inti. Dia memiliki keyakinan untuk melakukannya.

Sekarang bukan lagi zamannya kenaifan. Kita tidak bisa merebut hati seorang pria hanya dengan pandai memasak beberapa hidangan dan bersikap manja.

Pria hanya akan lebih memperhatikan seorang wanita yang punya kemampuan.

Siska ingin menjadi wanita yang penuh prestasi.

Raisa sibuk sepanjang pagi. Dia pergi ke pantri untuk membuat kopi dan membawakan secangkir untuk rekan kerjanya.

Saat ini tiba-tiba, dia menerima telepon dari Karina.

Dia adalah sekretaris Kevin.

Satu-satunya pertemuan antara Raisa dan dirinya adalah saat menanyakan jadwal Kevin. Raisa tidak ingin menghubungi siapa pun yang berhubungan dengan Kevin, tetapi Karina adalah gadis yang sangat baik. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya menjawab panggilannya.

"Raisa, apa kamu baik-baik saja sekarang?" Suara Karina sangat pelan.

"Aku baik-baik saja." Raisa tidak tahu mengapa dia bertanya seperti itu.

Suara Karina dipenuhi kekhawatiran, "Pak Kevin baru saja membawa seorang wanita ke kantor, di sini heboh sekali. Para eksekutif menganggapnya sebagai calon istri Pak Kevin... Aku nggak tahu apa kamu sudah tahu tentang ini. Kuberitahu ya, nama wanita itu Sis..."

Suara Karina tiba-tiba berhenti.

Lalu terdengar teriakan samar penuh ketakutan, "Pak Mario, saya..."

Dia sudah bersembunyi di sudut kantor, tapi tidak menyangka kalau Mario akan datang dari belakang!

Mario meraih ponsel Karina, memeriksanya dan mengerutkan kening.

"Apa dia bertanya jadwal Pak Kevin lagi?"

Karina melihat Pak Kevin dan wanita bernama Siska itu di belakang Mario, dia begitu ketakutan hingga tak bisa berkata apa-apa.

Tanpa menunggu penjelasan Karina, Mario melapor padanya, "Pak, ini Raisa, dia sedang bertanya jadwal Anda lagi."

Mario tidak menutup telepon, dia tahu kalau Raisa mendengarnya.

Raisa mengerutkan kening.

Dia sama sekali tidak peduli dengan fitnah Mario dan ingin menutup teleponnya, tetapi suara dingin Kevin terdengar, "Biarkan saja dia."

Begitulah sikap Kevin terhadapnya.

Raisa sudah tidak terkejut.

Hanya saja dia malah tidak mencari tahu faktanya dan salah paham.

Dulu, Raisa akan menjelaskan dengan rinci karena takut Kevin akan salah paham dan marah padanya. Tetapi perceraian tetaplah perceraian, dia tidak perlu memikirkan perasaan Kevin lagi, apalagi mecari tahu hubungannya dengan Siska.

Namun detik berikutnya, suara Kevin terdengar lebih dingin, "Besok kamu nggak usah datang lagi!"

Raisa tertegun. Dia ingin memecat Karina?

Ngomong-ngomong, Kevin dulu juga pernah ingin memecat Karina setelah Raisa ketahuan menghubunginya untuk pertama kalinya.

Hanya saja saat itu Raisa memohon agar Karina dapat tetap bekerja di Yuliardi Group, tetapi dia memperingatkan bahwa hal itu tidak boleh terjadi lagi.

Benar saja, tidak ada toleransi lagi sekarang.

Kevin tidak akan menunjukkan belas kasihan.

"Kevin, kamu nggak perlu semarah itu karena seorang sekretaris biasa."

Itu... suara Siska.

Suaranya sangat lembut.

Persis seperti namanya.

Siska membujuknya, "Bagaimana kalau aku mentraktirmu makan malam, biar kamu nggak marah lagi? Mau, kan?"

Dua detik kemudian dia menjawab, "Baiklah."

Nada bicara Kevin tidak ringan maupun berat.

Tetapi dibandingkan dengan kalimat sebelumnya yang dingin, nadanya jauh lebih lembut.

Siska pun terkekeh dan berkata, "Kalau begitu, ayo kita pergi."

Kemudian tidak ada lagi suara dari Kevin dan Siska.

Raisa menggigit bibirnya, dia merasa getir.

Dia selalu berpikir Kevin sangat sulit dibujuk, karena dulu dia harus membujuknya selama beberapa hari untuk membuatnya membaik.

Proses itu merupakan siksaan psikologis bagi Raisa. Dia tidak bisa makan dan tidur sepanjang malam. Selama Kevin tidak senang, dia tidak bisa berkonsentrasi pada hal-hal lain.

Tetapi bagi Siska, satu kalimat saja sudah cukup baginya, begitu mudah.

Mario melihat telepon masih menyala, jadi dia tahu Raisa telah mendengar semuanya.

Raisa tidak suka menyusahkan orang lain. Dia pasti merasa bersalah dan tertekan karena sudah membuat Karina dipecat.

Meskipun hukuman itu ditujukan kepada Karina, tetapi itu juga adalah hukuman psikologis bagi Raisa.

Hanya dengan cara itu, dia tidak akan melakukan trik licik di belakangnya lain kali.

Kalau mau menyalahkan seseorang, salahkan saja Raisa karena selalu memeriksa jadwal Kevin.

Diawasi terus oleh seorang wanita dalam segala hal, pasti akan membuat Kevin terkekang.

Mario melambaikan tangannya, dan ketua sekretaris yang menunggu di sampingnya menghampiri.

Ketua sekretaris berkata, "Pengunduran dirinya akan selesai hari ini."

Mario lalu hanya bergumam dengan dingin lalu pergi.

Hari Rabu adalah hari ulang tahunnya Siska. Sesuai instruksi Kevin, dia akan pergi ke Restoran Bintang Kejora di kawasan Pantai Malina untuk reservasi dan rapat koordinasi persiapan pesta kejutan ulang tahun untuk Siska.

Dia sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk mengurus pemecatan sekretaris itu.

Ketua sekretaris pun mengambil ponsel dari Mario dan hendak mengembalikannya kepada Karina ketika secara tidak sengaja melihat nama peneleponnya adalah Raisa.

Dia tertegun dan langsung mengerutkan kening, butuh beberapa detik untuk mengingat nama itu. Dia lalu berkata dengan nada prihatin, "Kamu benar-benar bodoh. Hanya karena seorang pengasuh yang mengantarkan bekal, kamu malah membuat Pak Kevin marah?"

Karina merasa sangat terkejut karena tertangkap basah oleh Kevin. Dia baru berani bicara sekarang dengan nada masih gemetar, "Dia... dia bukan pengasuh. Dia itu istrinya Pak Kevin."

"Apa kamu buta? Apa kamu nggak lihat kalau mereka sudah memakai cincin pasangan? Bu Siska itu yang sudah pasti calon istrinya Pak Kevin."

"Bukan..."

"Sudah diam. Cepat urus serah terima pekerjaanmu!"

Karina akhirnya tidak berani bicara lagi dan mengambil ponselnya.

Setelah Ketua Sekretaris pergi, Karina memeriksa ponselnya dan melihat dia masih dalam panggilan.

Dia pun buru-buru bertanya, "Raisa, apa kamu baik-baik saja? Kamu nggak dengar apa yang baru saja terjadi kan?"

Karina berharap Raisa tidak mendengarnya, tetapi itu mustahil.

"Jangan dengarkan omong kosong mereka, kamu sama sekali bukan pengasuh anak. Maaf ya, aku benar-benar minta maaf..."

Kevin menyembunyikan pernikahan dengannya dan tidak mengizinkan dirinya datang ke kantor.

Setiap kali Raisa mengirim bekal makan siang, sekretarisnya yang akan mengantarnya, dan dia dikira hanya seorang pengasuh anak di rumah.

Raisa sebenarnya tidak mempermasalahkan hal itu, dia hanya tidak menyangka Kevin yang hampir tidak pernah memakai cincin kawin, benar-benar memakai cincin pasangan dengan Siska.

Tangan Kevin sangat indah, jarinya ramping, putih dan halus namun penuh kekuatan, dan cincin berlian di jari manisnya yang ramping itu akan memberikan daya tarik yang sangat memikat.

Setiap kali ada kesempatan, Raisa akan menatapnya lama.

Namun, Kevin hanya memakai cincin kawin beberapa kali.

Dia selalu berpikir Kevin tidak suka terikat oleh perhiasan, tetapi ternyata dia yang salah paham, Kevin hanya tidak ingin memakai cincin kawinnya.

Raisa pun berkata, "Maaf, aku nggak bisa membantumu lagi sekarang."

Meskipun Karina hanya bertemu dengan Raisa sekali, dia bisa merasakan Raisa adalah orang yang sangat baik.

Pak Kevin tiba-tiba menunjukkan perhatian yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada wanita lain. Karina pun jadi sangat khawatir, jadi dia menelepon untuk memberi tahu Raisa, berharap Raisa akan lebih waspada.

Tetapi semuanya malah berantakan.

Karina merasa tidak enak hati, "Nggak apa-apa, kok. Aku sudah lama berencana cuti untuk pulang membantu orang tua. Dipecat bukan masalah besar bagiku. Lagipula, aku juga sudah setengah menulis surat pengunduran diri!"

Nada bicaranya terdengar bukan hanya karena ingin menenangkan diri saja, jadi Raisa merasa sangat lega.

Kemudian, suara Karina terdengar lebih pelan, "Tapi kamu itu istri Pak Kevin, kenapa dia malah memperlakukanmu seperti ini?"

Pak Kevin tidak mengizinkan Raisa pergi ke kantornya.

Tetapi, kenapa Siska malah bisa datang sesuka hati?

Bahkan jika Kevin ingin menyembunyikan pernikahannya, dia bisa menjelaskan bahwa pernikahan itu hanya dihadiri oleh kerabat dan teman dekat saja. Orang-orang tidak ada yang akan terlalu mempermasalahkannya.

Lagipula, bekal makan siang itu disiapkan Raisa dengan susah payah, dan diantar saat istirahat makan siang, tetapi dia malah tak diizinkan masuk. Perlakuan Kevin sungguh keterlaluan!
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 100

    “Kalau begitu, doakan saja mereka.” Opini warganet baik di dunia maya maupun nyata, sebenarnya tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, Raisa tidak terlalu terkejut.Suri terdiam beberapa saat. Di satu sisi, dia senang karena Raisa tampaknya sudah tidak terlalu peduli, tetapi di sisi lain dia merasa muak dengan pria brengsek itu.Bagaimanapun juga, Raisa yang terpenting.Dia tidak ingin peduli, maka biarkan saja. Suri pun menahan rasa muaknya dan tidak melanjutkan pembicaraan. Setelah mengobrol sebentar, keduanya menutup telepon.Memang benar, Raisa sudah tidak tertarik lagi pada berita tentang Kevin dan Siska, tetapi tetap saja dia membuka topik terhangat di internet. Dia langsung mengabaikan nama keduanya.Dia menggulir dari atas hingga bawah, tetapi tidak menemukan nama Bravi. Semakin besar proyek amal ini terekspos, tentu semakin baik. Pihak Keluarga Sastranegara pasti akan mempromosikannya secara besar-besaran.Dengan adanya sosok seperti Bravi, hanya dengan menyebarkan satu foto sa

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 99

    “Itu cuma asumsi, kenyataannya sama sekali nggak masuk akal. Jadi, jangan membantahku dengan fakta. Aku cuma penasaran saja mau tahu pendapatmu.”“Oh ya, satu lagi, anggap saja dia nggak ada hubungan sama Kevin. Kalau Bravi menyukaimu, kamu gimana?”Bayangan yang tidak sesuai kenyataan hanyalah angan-angan. Raisa tidak suka berandai-andai. Tetapi karena ini hanya obrolan santai dengan sahabat, dia tidak terlalu mempermasalahkannya.Dia pun memikirkannya dengan serius.“Pertama, anggap Bravi menyukaiku. Kedua, dia nggak ada hubungan sama Kevin. Kalau begitu, mungkin jarang yang akan menolak dia, kan? Soalnya, Bravi itu ganteng, kaya, dan punya tubuh yang bagus. Itu saja sudah cukup bikin perempuan senang.”Suri bertanya, “Jadi, apa jawabanmu?”“Pandangan seseorang akan berubah sesuai dengan pengalaman hidupnya. Suri, setelah aku gagal dengan Kevin, kamu tahu apa perubahan paling besar dalam diriku?”“Pandangan soal cinta?”“Benar. Pandanganku tentang cinta berubah. Kalau soal pertemana

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 98

    Raisa akhirnya merasa tenang.Bravi sangat berprinsip, jika bukan uangnya, sepeser pun tak akan dia ambil. Tetapi jika memang miliknya, dia pasti akan menerimanya.Setelah makan malam, Raisa mulai membereskan bekas makan mereka.Bravi berkata, “Biarkan saja, itu bukan tugasmu. Ada orang yang beresin nanti.”Raisa tahu dia punya kebiasaan bersih dan rapi, jadi dia mulai membereskan lebih dulu. Karena sudah setengah jalan, dia sekalian merapikannya sampai bersih. Terakhir, sambil membawa kantong sampah dan jas luarnya, dia berkata, “Selamat malam,” lalu membuka pintu dan pergi.Bravi saat ini sudah duduk di sofa. Dia melihat pesan yang sebelumnya dikirim oleh Richard.[Tadi saat aku bilang mau antar Raisa pulang, eh kau tiba-tiba bilang bosan dan malah ikut pulang. “Tiba-tiba”mu itu terlalu mencurigakan. Ayo ngaku, sebenarnya kau yang ingin mengantar Raisa pulang kan?]Bravi menjawab, [Iya.][Dasar licik! Sudah kuduga!]Richard menulis, [Maksudmu apa, sih? Tadi waktu Raisa bilang terim

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 97

    Saat melihat Bravi tidak mengganti sepatunya, Raisa pun membatalkan niatnya untuk pulang mengambil pelindung sepatu.Dia sudah pernah datang ke rumah ini dua kali sebelumnya, dan setiap kali datang, rumah itu selalu bersih dan rapi, seolah-olah ada yang membersihkannya setiap hari.Namun sebelumnya, Raisa sendirian, tapi hari ini Bravi juga ada di sana. Ada sedikit rasa tidak nyaman. Tetapi, masih bisa diatasi.Raisa meletakkan tas berisi jas Bravi, lalu membawa makanan ke meja makan, membukanya satu per satu dengan sangat alami seolah-olah sudah sering melakukannya.Setelah mencuci tangan, Bravi duduk di meja makan.Raisa pun berkata, "Silakan makan, Pak. Selamat malam."Baru saja hendak pergi, suara dingin pria itu terdengar, "Sebanyak ini, aku nggak akan habis."Porsi makanan itu memang sudah dikurangi separuh oleh Raisa, tetapi Bravi sebelumnya memesan untuk empat orang, meskipun setengahnya, masih tetap tidak akan habis.Raisa hanya ingin pulang dan beristirahat. Dia sempat ragu

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 96

    Pandangan Bravi sejak tadi beralih dari wanita itu. Dia menunjuk ke arah makanan yang memenuhi meja. "Makan dulu."Richard langsung mengajak Raisa untuk bergabung.Raisa memperhatikan wajah Bravi. Dia tampak tenang, tidak bisa ditebak apa yang dipikirkannya. Tetapi karena tidak bicara apa pun, mungkin karena sudah dianggap lolos.Dia melirik makanan di atas meja, lalu berkata, "Aku pulang duluan, kalian makan saja."Richard terkejut. "Kok buru-buru banget, ada urusan?"Raisa mengangguk pelan. Richard menyikut Bravi dan berbisik, "Suruh dia tinggal di sini." Dia mengerti, Raisa hanya akan mendengarkan kata-kata bosnya.Tapi Bravi tampak acuh tak acuh. Raisa pun bangkit berdiri, nada bicaranya sopan tapi berjarak, "Pak Bravi, silakan dilanjutkan. Saya pulang dulu, terima kasih untuk malam ini."Richard ikut berdiri. "Kenapa harus sesopan itu? Cuma masalah kecil saja. Kalau bukan karena Bravi lebih cocok untuk menghukum gadis bau kencur itu, aku pasti yang akan datang membantumu. Lebih

  • Tak Ada Kata Maaf Untuk Mantan Suami   Bab 95

    “Benar, aku masih ingat terakhir kali main kartu, bosmu menang. Tapi kami berempat, masing-masing menang besar, dan memenangkan kembali semua uang yang susah payah dia menangkan, bahkan dia masih harus nombok,” kata Richard dengan penuh kemenangan.Raisa menoleh ke arah Bravi. Dia tak berkata apa-apa, itu berarti memang benar.“Ayo lanjutkan,” kata Angga.“Kami nggak akan mengalah,” tambahnya.Surya juga mengangguk setuju.“Hari ini kita tiga pria sejati, nggak perlu jaga gengsi.”Richard semakin bersemangat melihat kekacauan. Bravi jarang sekali menetapkan target untuk Raisa, akan membosankan jika langsung menang. Dia harus terus kalah, agar bisa terus bermain.Menghadapi tantangan dari ketiganya, Raisa tersenyum. “Nggak masalah, ayo.”Richard langsung bersemangat dan berkata, “Wah wah wah, Bravi, sekretarismu menantang kami! Kau bertaruh kami yang menang atau sekretarismu ini yang menang?”Bravi masih tampak malas untuk berbicara.Raisa yang biasanya dingin seperti mesin, kini menjaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status