Share

6. Melly Mulai Berani

Dilan mengangguk. "Mau ke mana, Mbak Mel?" 

"Mau ke toilet sebentar."

Wanita berusia 25 tahun itu bergerak cepat menuju toilet karena merasa ada sesuatu yang akan keluar dari pencernaannya. Ia pun menepuk-nepuk dadanya agar mualnya bisa sedikit tertahan, menutup rapat-rapat mulut dengan telapak tangannya.

Karena merasa mualnya sudah naik sampai kerongkongan, ia bergegas memasuki toilet wanita. Dengan sedikit tersungkur di depan watercloset, semua penganan yang ia santap sebelumnya, habis cepat terkuras.

Tubuhnya gemetar dan kehabisan tenaga. Ia sejenak menyandarkan diri di dinding kamar mandi mall, mengatur napas perlahan-lahan demi mengumpulkan kembali energinya.

Melly kembali melangkah dengan elok menuju tempat para waitress dan kasir berkumpul untuk menghampiri waitress yang tadi datang ke mejanya. Ia meminta total harga yang belum dibayar dan segera melunasi dengan kartu ATM-nya.

Setelah kembali ke mejanya, tak lama waitress membawa dua bungkus makanan yang sudah dipesan setelah keluar dari toilet.

"Ini punya siapa, Mbak?" tanya Lian penasaran karena ia dan maminya merasa tidak memesan untuk dibawa pulang.

"Punya Mbak ini," tunjuk waitress itu dengan perut tangan di atas sambil tersenyum.

"Yuuk, pulang, Lan," ajak Melly pada adik ipar satu-satunya.

"Tapi, Mbak, makanannya ...?"

"Udah, Lan, jangan khawatir," tegas Melly memotong ucapannya karena ia tahu Dilan khawatir kalau tagihannya belum dilunasi.

Lian dan maminya saling menatap heran dan mereka segera beranjak pulang.

"Mbak Mel, biar Dilan yang bawain," ujar Dilan sambil mengambil alih kantong belanjaan yang sangat banyak itu.

"Keenakan dia, Mi, kalo Dilan ikut. Ada bodyguard-nya."

Setelah berkeliling seharian menghabiskan waktu di mall, akhirnya mereka sampai di rumah Melly. 

"Assalamu'alaikum. Yang, udah pulang? Tumben cepet?" tanyanya ketika melihat Alan yang sedang menatap layar televisi di ruang keluarga.

"Eeh, ada Papi juga. Kapan sampainya, Pi?" tanyanya pada ayah dari suaminya itu.

"Iya, tadi kerjaannya gak banyak, jadi aku pulang aja. Abis belanja, ya, sama keluarga aku? Mana belanjaan kamu?" Alan menjawab lebih dulu.

"Kapan kamu pernah ngasih uang untuk keperluanku, Mas?"

"Emang uang yang aku kasih gak cukup?"

"Mana cukup kalau yang makannya dua keluarga, udah gitu yang satu keluarga … porsinya dobel!"

"Kamu nyindir aku?" sela Lian yang baru masuk bersama Dilan dan Mami.

"Aku cuma ngomong sama Mas Alan. Emang Mbak ngerasa?"

Lian mengerlingkan mata dan menghela napas keras sambil melangkah ke kamar bersama barang belanjaannya yang begitu banyak.

"Ni, Yang, aku beliin makanan tadi?" ujarnya.

"Katanya gak punya duuit, tapi bisa bayar dan beli makanan enak?" sindir Lian yang baru keluar dari kamarnya.

"Iya, aku gak punya duit buat foya-foya."

"Ini bukan foya-foya, Mel, tapi beli kebutuhan!" sahut Rosa yang duduk di samping suaminya membela Lian.

"Kebutuhan itu banyak, Mi, yang paling penting kebutuhan primer. Buat apa maksain kebutuhan sendiri, bergaya modis, baju branded, tapi anak suami kelaparan, rumah numpang, harusnya malu sama yang ditumpangin, Mi."

"Kamu berani kurang ajar, ya, sekarang! Emang kamu siapa!" Lian menyerang Melly sambil menunjuk-nunjuk dan mendorong bahu Melly. "Ngaca dong!"

Melly bukannya mundur, malah semakin menghampiri Lian. Ia mendekati wajahnya dan matanya menyalang.

"Mbak jangan sok tau menilai aku! Aku akan menunjukkan siapa sebenarnya aku nanti kalau aku itu … MELLY!"

Lian terperangah atas sikap spontan adik iparnya tadi. Ia hanya berdiri mematung dan tak menimpali ucapan Melly.

"Udah kalian, jangan pada berantem aja," sela Dilan yang baru masuk rumah setelah selesai memarkirkan mobil.

Dilan memegang pergelangan tangan Melly dan menariknya ke meja makan.

"Lepas, Lan, bukan mahrom," timpalnya yang masih kesal.

Ia mengambil satu bungkus makanan yang dibelinya sewaktu di restoran Jepang. "Pi, ini buat Papi."

"Makasih, Mantu Papi Yang Paling Baik," pujinya.

"Hiliih ... baik apanya? Cari muka dia, Pi." 

"Lian, seumur hidup kamu pernah ngasih apa sama Papi?" sindir ayahnya sendiri.

Lian tidak bisa menjawab. Karena memang selama ini, ia belum pernah memberi apa pun untuk kedua orang tuanya. Termasuk saat sudah menghasilkan uang sendiri dan menikah.

"Walaupun Melly gak ngasih sesuatu yang mahal, tapi perhatian kecil kaya gini bikin Papi bahagia. Padahal, dia cuma menantu Papi."

"Ooh, jadi sekarang Papi beda-bedain Melly sama Mas Roby!"

"Papi gak pernah singgung suami kamu, loh."

Lian terbelalak di skakmat oleh ayahnya sendiri.

Melly pun hanya terkekeh mendengar ayah mertua dan anaknya beradu mulut. Demi menghindari perdebatan ayah dan anak itu, ia memilih masuk ke kamarnya bersama Alea.

***

"Assalamu'alaikum, Lis. Gimana, ada kendala, gak?" tanya Melly pada seseorang yang dipercayanya melalui sambungan telepon.

"W*'alaikumussalam. Gak ada, Mel ... aman."

"Oke, jangan lupa kirim catatan stok akhir dan nomor rekening kamu, Lis."

"Oke, nanti malem, ya. Aku mau packing dulu soalnya, bentar lagi dijemput kurir."

Usaha Melly baru berjalan enam minggu dan saat itu ia sudah dibantu partnernya. Perputaran stok barang begitu cepat keluar masuk. Ia berpikir untuk coba menambah jenis produknya karena harus membayar upah Lisa dan bukan tidak mungkin jika ke depannya ia akan menambah partner jika omsetnya semakin melejit.

***

Tepat dua bulan sudah, sejak terakhir Melly mengontrol kondisi janin yang hidup di rahimnya. Ia masih merasakan mual, terutama saat pagi hari. 

Ia hanya meminum vitamin dan makan seperti biasanya. Tidak ada susu, apa lagi perhatian seorang suami. Tak bisa ngidam seperti saat ia mengandung Alea.

Melly akan memberi kejutan untuk Alan ketika usia kehamilannya memasuki enam belas minggu, karena hari itu adalah tepat hari ulang tahun suaminya. Ia akan memberi surprise yang pasti akan membuat suaminya senang.

Pekerjaan rumah yang semakin menumpuk, tidak bisa ditunda lagi. Piring-piring kotor, sampah berserakan, dan pakaian kusut yang menyatu dengan milik iparnya.

"Mellyyyy! Kamu di kamar terus, Dasar Malas!" Suara teriakan itu menyeruak lagi.

Melly keluar dari kamarnya, "Ada apa, sih, Mbak? Gak usah pake teriak, kan, bisa. Malu, Mbak, sama tetangga."

"Masa bodoh. Aku gak peduli sama mereka! Liat itu cucian udah numpuk, setrikaan udah menggunung! Kerjain cepet!"

"Bener juga, sih. Siapa yang Mbak pedulikan? Anak sama suami Mbak aja gak dipedulikan."

 "Kamu semakin berani sama aku, ya! Makin lama, aku jadi makin curiga sama kamu, Mel?" Lian menilik Melly dengan sinis.

"Terrrrserah, Mbak, mau mikir apa!" Melly pun bergegas mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Sementara Melly sibuk dengan pekerjaan rumahnya, Lian sibuk bertelepon ria dengan teman-temannya di ruang televisi sembari menyeruput minuman dingin.

Alea hanya bermain sendiri di ruang tamu karena Rachel sedang memainkan mainan baru dari omanya dan tidak mau mengajak sepupunya itu turut serta bermain dengannya.

Tenang Melly, sabar, sebentar lagi posisi kamu akan digantikan oleh Lian.

 "Mell, tolong buatin orange juice lagi, dong. Punyaku dihabisin Rachel," perintah kakak iparnya itu.

Setelah selesai dengan setumpuk piring kotornya, Melly membuatkan segelas orange juice yang diminta Lian. Kemudian, membawakannya dengan nampan kecil dan hendak meletakkan di atas coffeetable samping Lian. Akan tetapi—

Byuurr

Rachel tiba-tiba berlari menghampiri maminya dan menabrak Melly terlebih dulu. Gelas yang masih di atas nampan pun berguling dan isinya habis tumpah membasahi wajah, baju, dan termasuk ponsel yang sedang dimainkannya.

"Aaaaahhhhhh ...!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status