Share

6. Melly Mulai Berani

Aвтор: Zidney Aghnia
last update Последнее обновление: 2022-04-07 13:14:01

Dilan mengangguk. "Mau ke mana, Mbak Mel?" 

"Mau ke toilet sebentar."

Wanita berusia 25 tahun itu bergerak cepat menuju toilet karena merasa ada sesuatu yang akan keluar dari pencernaannya. Ia pun menepuk-nepuk dadanya agar mualnya bisa sedikit tertahan, menutup rapat-rapat mulut dengan telapak tangannya.

Karena merasa mualnya sudah naik sampai kerongkongan, ia bergegas memasuki toilet wanita. Dengan sedikit tersungkur di depan watercloset, semua penganan yang ia santap sebelumnya, habis cepat terkuras.

Tubuhnya gemetar dan kehabisan tenaga. Ia sejenak menyandarkan diri di dinding kamar mandi mall, mengatur napas perlahan-lahan demi mengumpulkan kembali energinya.

Melly kembali melangkah dengan elok menuju tempat para waitress dan kasir berkumpul untuk menghampiri waitress yang tadi datang ke mejanya. Ia meminta total harga yang belum dibayar dan segera melunasi dengan kartu ATM-nya.

Setelah kembali ke mejanya, tak lama waitress membawa dua bungkus makanan yang sudah dipesan setelah keluar dari toilet.

"Ini punya siapa, Mbak?" tanya Lian penasaran karena ia dan maminya merasa tidak memesan untuk dibawa pulang.

"Punya Mbak ini," tunjuk waitress itu dengan perut tangan di atas sambil tersenyum.

"Yuuk, pulang, Lan," ajak Melly pada adik ipar satu-satunya.

"Tapi, Mbak, makanannya ...?"

"Udah, Lan, jangan khawatir," tegas Melly memotong ucapannya karena ia tahu Dilan khawatir kalau tagihannya belum dilunasi.

Lian dan maminya saling menatap heran dan mereka segera beranjak pulang.

"Mbak Mel, biar Dilan yang bawain," ujar Dilan sambil mengambil alih kantong belanjaan yang sangat banyak itu.

"Keenakan dia, Mi, kalo Dilan ikut. Ada bodyguard-nya."

Setelah berkeliling seharian menghabiskan waktu di mall, akhirnya mereka sampai di rumah Melly. 

"Assalamu'alaikum. Yang, udah pulang? Tumben cepet?" tanyanya ketika melihat Alan yang sedang menatap layar televisi di ruang keluarga.

"Eeh, ada Papi juga. Kapan sampainya, Pi?" tanyanya pada ayah dari suaminya itu.

"Iya, tadi kerjaannya gak banyak, jadi aku pulang aja. Abis belanja, ya, sama keluarga aku? Mana belanjaan kamu?" Alan menjawab lebih dulu.

"Kapan kamu pernah ngasih uang untuk keperluanku, Mas?"

"Emang uang yang aku kasih gak cukup?"

"Mana cukup kalau yang makannya dua keluarga, udah gitu yang satu keluarga … porsinya dobel!"

"Kamu nyindir aku?" sela Lian yang baru masuk bersama Dilan dan Mami.

"Aku cuma ngomong sama Mas Alan. Emang Mbak ngerasa?"

Lian mengerlingkan mata dan menghela napas keras sambil melangkah ke kamar bersama barang belanjaannya yang begitu banyak.

"Ni, Yang, aku beliin makanan tadi?" ujarnya.

"Katanya gak punya duuit, tapi bisa bayar dan beli makanan enak?" sindir Lian yang baru keluar dari kamarnya.

"Iya, aku gak punya duit buat foya-foya."

"Ini bukan foya-foya, Mel, tapi beli kebutuhan!" sahut Rosa yang duduk di samping suaminya membela Lian.

"Kebutuhan itu banyak, Mi, yang paling penting kebutuhan primer. Buat apa maksain kebutuhan sendiri, bergaya modis, baju branded, tapi anak suami kelaparan, rumah numpang, harusnya malu sama yang ditumpangin, Mi."

"Kamu berani kurang ajar, ya, sekarang! Emang kamu siapa!" Lian menyerang Melly sambil menunjuk-nunjuk dan mendorong bahu Melly. "Ngaca dong!"

Melly bukannya mundur, malah semakin menghampiri Lian. Ia mendekati wajahnya dan matanya menyalang.

"Mbak jangan sok tau menilai aku! Aku akan menunjukkan siapa sebenarnya aku nanti kalau aku itu … MELLY!"

Lian terperangah atas sikap spontan adik iparnya tadi. Ia hanya berdiri mematung dan tak menimpali ucapan Melly.

"Udah kalian, jangan pada berantem aja," sela Dilan yang baru masuk rumah setelah selesai memarkirkan mobil.

Dilan memegang pergelangan tangan Melly dan menariknya ke meja makan.

"Lepas, Lan, bukan mahrom," timpalnya yang masih kesal.

Ia mengambil satu bungkus makanan yang dibelinya sewaktu di restoran Jepang. "Pi, ini buat Papi."

"Makasih, Mantu Papi Yang Paling Baik," pujinya.

"Hiliih ... baik apanya? Cari muka dia, Pi." 

"Lian, seumur hidup kamu pernah ngasih apa sama Papi?" sindir ayahnya sendiri.

Lian tidak bisa menjawab. Karena memang selama ini, ia belum pernah memberi apa pun untuk kedua orang tuanya. Termasuk saat sudah menghasilkan uang sendiri dan menikah.

"Walaupun Melly gak ngasih sesuatu yang mahal, tapi perhatian kecil kaya gini bikin Papi bahagia. Padahal, dia cuma menantu Papi."

"Ooh, jadi sekarang Papi beda-bedain Melly sama Mas Roby!"

"Papi gak pernah singgung suami kamu, loh."

Lian terbelalak di skakmat oleh ayahnya sendiri.

Melly pun hanya terkekeh mendengar ayah mertua dan anaknya beradu mulut. Demi menghindari perdebatan ayah dan anak itu, ia memilih masuk ke kamarnya bersama Alea.

***

"Assalamu'alaikum, Lis. Gimana, ada kendala, gak?" tanya Melly pada seseorang yang dipercayanya melalui sambungan telepon.

"W*'alaikumussalam. Gak ada, Mel ... aman."

"Oke, jangan lupa kirim catatan stok akhir dan nomor rekening kamu, Lis."

"Oke, nanti malem, ya. Aku mau packing dulu soalnya, bentar lagi dijemput kurir."

Usaha Melly baru berjalan enam minggu dan saat itu ia sudah dibantu partnernya. Perputaran stok barang begitu cepat keluar masuk. Ia berpikir untuk coba menambah jenis produknya karena harus membayar upah Lisa dan bukan tidak mungkin jika ke depannya ia akan menambah partner jika omsetnya semakin melejit.

***

Tepat dua bulan sudah, sejak terakhir Melly mengontrol kondisi janin yang hidup di rahimnya. Ia masih merasakan mual, terutama saat pagi hari. 

Ia hanya meminum vitamin dan makan seperti biasanya. Tidak ada susu, apa lagi perhatian seorang suami. Tak bisa ngidam seperti saat ia mengandung Alea.

Melly akan memberi kejutan untuk Alan ketika usia kehamilannya memasuki enam belas minggu, karena hari itu adalah tepat hari ulang tahun suaminya. Ia akan memberi surprise yang pasti akan membuat suaminya senang.

Pekerjaan rumah yang semakin menumpuk, tidak bisa ditunda lagi. Piring-piring kotor, sampah berserakan, dan pakaian kusut yang menyatu dengan milik iparnya.

"Mellyyyy! Kamu di kamar terus, Dasar Malas!" Suara teriakan itu menyeruak lagi.

Melly keluar dari kamarnya, "Ada apa, sih, Mbak? Gak usah pake teriak, kan, bisa. Malu, Mbak, sama tetangga."

"Masa bodoh. Aku gak peduli sama mereka! Liat itu cucian udah numpuk, setrikaan udah menggunung! Kerjain cepet!"

"Bener juga, sih. Siapa yang Mbak pedulikan? Anak sama suami Mbak aja gak dipedulikan."

 "Kamu semakin berani sama aku, ya! Makin lama, aku jadi makin curiga sama kamu, Mel?" Lian menilik Melly dengan sinis.

"Terrrrserah, Mbak, mau mikir apa!" Melly pun bergegas mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Sementara Melly sibuk dengan pekerjaan rumahnya, Lian sibuk bertelepon ria dengan teman-temannya di ruang televisi sembari menyeruput minuman dingin.

Alea hanya bermain sendiri di ruang tamu karena Rachel sedang memainkan mainan baru dari omanya dan tidak mau mengajak sepupunya itu turut serta bermain dengannya.

Tenang Melly, sabar, sebentar lagi posisi kamu akan digantikan oleh Lian.

 "Mell, tolong buatin orange juice lagi, dong. Punyaku dihabisin Rachel," perintah kakak iparnya itu.

Setelah selesai dengan setumpuk piring kotornya, Melly membuatkan segelas orange juice yang diminta Lian. Kemudian, membawakannya dengan nampan kecil dan hendak meletakkan di atas coffeetable samping Lian. Akan tetapi—

Byuurr

Rachel tiba-tiba berlari menghampiri maminya dan menabrak Melly terlebih dulu. Gelas yang masih di atas nampan pun berguling dan isinya habis tumpah membasahi wajah, baju, dan termasuk ponsel yang sedang dimainkannya.

"Aaaaahhhhhh ...!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Kusangka Istriku Presdir   35. Kekesalan Alan yang Menggebu-gebu

    Sementara itu, ponsel di dalam kantong gamisnya bergetar. Melly mengambilnya dan memeriksa sebuah pesan singkat yang masuk.[Selamat kembali miskin, Melly. Hahaha]Melly tercengang dengan isi pesan tersebut. Apalagi setelah melihat nama si pengirim yang terpampang dengan jelas tertulis nama “Mbak Lian”. Pandangannya beredar mencari sosok Lian. Apa dia yang menyebabkan kebakaran rumahnya tersebut? “Kurang ajar! Masih berani unjuk gigi dia!” Melly tersulut emosi.Beruntung kebakaran tak mengenai rumah tetangga di sekitarnya karena jarak bangunan rumah Melly tak terlalu dekat ke dinding pembatas. Tepatnya, rumah Melly berada di tengah-tengah ruang lingkup lahan di antara taman-taman kecil.“Dia harus bertanggung jawab atas semuanya!” Melly meremas ponselnya sambil mencari-cari batang hidung kakak iparnya.“Kamu kenapa?” tanya Alan yang bingung melihat tingkah laku Melly.“Kamu pasti gak percaya ini, Yank.”“Soal a

  • Tak Kusangka Istriku Presdir   34. Kebakaran di Rumah Melly

    Pukul empat dini hari, ponsel Alan terus bergetar. Alan dan Melly terlalu lelah hingga tak merasakan getaran di kasur yang berasal dari ponselnya. Enam panggilan tak terjawab muncul di layar ponsel.“Bunda ....” Alga terbangun, memanggil dengan suara mungilnya. Ia merangkul perut Melly, menginginkan asupan ASI karena merasa lapar. “Bunda ....?” panggilnya lagi.Melly terbangun setelah Alga merengek-rengek manja. “Iya, Sayang.”Alga kembali memejamkan mata setelah Melly menyusuinya. Sepuluh detik kemudian, ia baru merasakan ponsel Alan yang bergetar tanpa nada. Di sampingnya, Alan tampak sangat pulas.Tak tega membangunkan Alan, Melly meraih ponsel yang sudah membuatnya terganggu malam-malam. Namun, ia penasaran karena nama Mala yang muncul di layar panggilan.“Halo. Kena—“Kakaaaak! Kak, Mel, halo!” Suara Mala sedikit berteriak, nadanya terdengar cemas. Suasana di telepon juga sangat riuh dan sayup-sayup terdengar orang-orang yan

  • Tak Kusangka Istriku Presdir   33. Kembalinya Melly ke Rumah

    "Saya gak sangka polisi sampai mencari ke sana, Pak?" tanya Alan."Bukan kami, Pak. Ada orang yang membawanya kemari tadi pagi."Mata mereka saling beradu tatap keheranan. Semuanya bertanya-tanya akan siapa menggelandang Siska ke kantor polisi."Siapa membawa dia ke sini, Pak?" tanya Lisa ingin tahu.Mata polisi itu seperti mencari seseorang di ruangan yang luas itu. Kemudian, seorang pria dan seorang wanita memasuki ruangan."Itu dia orangnya!" sahut Polisi Deri, menunjuk orang yang baru saja masuk dengan menggunakan kacamata hitam bersama seorang lelaki di belakangnya.Lisa, Mala, dan Alan serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Pak Deri. Semuanya makin tersentak ketika melihat kedua orang yang berjalan mendekati mereka itu.Sementara itu, Siska malah mengerlingkan mata dengan sudut mulut mencibir. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa yang datang. "Melly?" ujar Lisa."Kak Bima?" sahut Mala.Melly

  • Tak Kusangka Istriku Presdir   32. Tertangkapnya Siska

    "Permisi ...," ujar dua perawat datang menggantikan pakaian Alea dengan kain polos berwarna putih.Suasana haru memenuhi ruangan. Alan sudah menghubungi kedua orang tua dan mertuanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya di rumah duka.Semua sudah bersiap pergi. Namun, Melly belum boleh pulang karena keadaannya yang belum pulih total dengan lengan dan kepala yang masih dibebat perban. Mala ingin menemaninya di rumah sakit. Akan tetapi, Melly tidak memperbolehkannya.Saat itu ia hanya ingin menyendiri, mengingat masa-masa terakhir bersama putrinya. Pada hari kecelakaan adalah hari di mana ia benar-benar merasa paling bahagia sebelum akhirnya berujung duka.***Ambulance sudah sampai di rumah Alan. Terlihat orang-orang yang mengurus jenazah sudah siap di sana bersama para tamu yang akan memberikan ucapan duka.Pukul 14.30 jenazah Alea sudah siap dimakamkan setelah selesai disalati. Seluruh keluarga beriringan mengantar jenazah ke t

  • Tak Kusangka Istriku Presdir   31. Sakit yang Hilang

    “Shoot!"Dokter Dimas menggunakan alat pacu jantung lagi! Lalu, seorang perawat meletakkan defibrilator ke tempatnya semula.Dokter Dimas melakukan CPR lagi dengan satu telapak tangannya. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali—Tiba-tiba … terdengar suara ventilator berbunyi normal lagi."Alhamdulillah," sahut Dokter Dimas diikuti semua orang yang ada di ruangan."Tekanannya sudah normal semua, Dok," jelas salah satu perawat seraya melepas tabung ventilasi manual dan menggantinya dengan dengan mesin.Alan menyungkurkan dirinya di lantai, saling berpelukan dan menangis bersama istrinya."Dokter ... terima kasih banyak, Dok. Terima kasih ....""Sudah jadi tugas saya, Pak. Nanti perawat akan mengontrol kondisinya selama enam jam ke depan. Tolong diawasi terus, ya, Pak. Saya permisi dulu."Dokter Dimas keluar ruangan bersama dua perawatnya yang membawa mesin defibrilator.Sementara, Melly berjalan d

  • Tak Kusangka Istriku Presdir   30. Code Blue

    “Enggak ... itu kesalahan aku, Yaaang! Pak Cahyadi … Alea … jadi begini karena aku ...." Ia menangis sesenggukan sampai terdengar ke luar ruangan. "Tenang dulu ya, Bunda. Pak Cahyadi udah diurus sama Mala. Dia juga udah mewakilkan belasungkawa untuk keluarganya."Melly terdiam. Tangisnya berangsur mereda. Ia lebih tenang dalam pelukan suaminya. Segera ia menghampiri putrinya yang masih terpejam tak sadarkan diri dengan meraba-raba sekitar kamar sampai akhirnya bisa menyentuh Alea.Melly mencari posisi wajah putrinya, memindahkan sentuhannya ke bagian atas kepalanya yang dibalut perban. Ia merendahkan dirinya mendekati wajah Alea ingin mencium, tetapi terhalang selang ventilator. Ia hanya bisa memandang dalam angan-angan melalui sentuhannya.Ia mencoba naik ke ranjang putrinya untuk tidur berdampingan seperti yang biasa mereka lakukan di rumah. Salah satu tangannya berpindah ke atas tubuh Alea. Ia ingin merasakan memeluk dan menggendongnya lagi se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status