Dilan mengangguk. "Mau ke mana, Mbak Mel?"
"Mau ke toilet sebentar."
Wanita berusia 25 tahun itu bergerak cepat menuju toilet karena merasa ada sesuatu yang akan keluar dari pencernaannya. Ia pun menepuk-nepuk dadanya agar mualnya bisa sedikit tertahan, menutup rapat-rapat mulut dengan telapak tangannya.
Karena merasa mualnya sudah naik sampai kerongkongan, ia bergegas memasuki toilet wanita. Dengan sedikit tersungkur di depan watercloset, semua penganan yang ia santap sebelumnya, habis cepat terkuras.
Tubuhnya gemetar dan kehabisan tenaga. Ia sejenak menyandarkan diri di dinding kamar mandi mall, mengatur napas perlahan-lahan demi mengumpulkan kembali energinya.
Melly kembali melangkah dengan elok menuju tempat para waitress dan kasir berkumpul untuk menghampiri waitress yang tadi datang ke mejanya. Ia meminta total harga yang belum dibayar dan segera melunasi dengan kartu ATM-nya.
Setelah kembali ke mejanya, tak lama waitress membawa dua bungkus makanan yang sudah dipesan setelah keluar dari toilet.
"Ini punya siapa, Mbak?" tanya Lian penasaran karena ia dan maminya merasa tidak memesan untuk dibawa pulang.
"Punya Mbak ini," tunjuk waitress itu dengan perut tangan di atas sambil tersenyum.
"Yuuk, pulang, Lan," ajak Melly pada adik ipar satu-satunya.
"Tapi, Mbak, makanannya ...?""Udah, Lan, jangan khawatir," tegas Melly memotong ucapannya karena ia tahu Dilan khawatir kalau tagihannya belum dilunasi.
Lian dan maminya saling menatap heran dan mereka segera beranjak pulang.
"Mbak Mel, biar Dilan yang bawain," ujar Dilan sambil mengambil alih kantong belanjaan yang sangat banyak itu.
"Keenakan dia, Mi, kalo Dilan ikut. Ada bodyguard-nya."
Setelah berkeliling seharian menghabiskan waktu di mall, akhirnya mereka sampai di rumah Melly.
"Assalamu'alaikum. Yang, udah pulang? Tumben cepet?" tanyanya ketika melihat Alan yang sedang menatap layar televisi di ruang keluarga.
"Eeh, ada Papi juga. Kapan sampainya, Pi?" tanyanya pada ayah dari suaminya itu.
"Iya, tadi kerjaannya gak banyak, jadi aku pulang aja. Abis belanja, ya, sama keluarga aku? Mana belanjaan kamu?" Alan menjawab lebih dulu.
"Kapan kamu pernah ngasih uang untuk keperluanku, Mas?"
"Emang uang yang aku kasih gak cukup?"
"Mana cukup kalau yang makannya dua keluarga, udah gitu yang satu keluarga … porsinya dobel!"
"Kamu nyindir aku?" sela Lian yang baru masuk bersama Dilan dan Mami.
"Aku cuma ngomong sama Mas Alan. Emang Mbak ngerasa?"
Lian mengerlingkan mata dan menghela napas keras sambil melangkah ke kamar bersama barang belanjaannya yang begitu banyak."Ni, Yang, aku beliin makanan tadi?" ujarnya.
"Katanya gak punya duuit, tapi bisa bayar dan beli makanan enak?" sindir Lian yang baru keluar dari kamarnya.
"Iya, aku gak punya duit buat foya-foya."
"Ini bukan foya-foya, Mel, tapi beli kebutuhan!" sahut Rosa yang duduk di samping suaminya membela Lian.
"Kebutuhan itu banyak, Mi, yang paling penting kebutuhan primer. Buat apa maksain kebutuhan sendiri, bergaya modis, baju branded, tapi anak suami kelaparan, rumah numpang, harusnya malu sama yang ditumpangin, Mi."
"Kamu berani kurang ajar, ya, sekarang! Emang kamu siapa!" Lian menyerang Melly sambil menunjuk-nunjuk dan mendorong bahu Melly. "Ngaca dong!"
Melly bukannya mundur, malah semakin menghampiri Lian. Ia mendekati wajahnya dan matanya menyalang.
"Mbak jangan sok tau menilai aku! Aku akan menunjukkan siapa sebenarnya aku nanti kalau aku itu … MELLY!"
Lian terperangah atas sikap spontan adik iparnya tadi. Ia hanya berdiri mematung dan tak menimpali ucapan Melly.
"Udah kalian, jangan pada berantem aja," sela Dilan yang baru masuk rumah setelah selesai memarkirkan mobil.
Dilan memegang pergelangan tangan Melly dan menariknya ke meja makan.
"Lepas, Lan, bukan mahrom," timpalnya yang masih kesal.
Ia mengambil satu bungkus makanan yang dibelinya sewaktu di restoran Jepang. "Pi, ini buat Papi.""Makasih, Mantu Papi Yang Paling Baik," pujinya.
"Hiliih ... baik apanya? Cari muka dia, Pi."
"Lian, seumur hidup kamu pernah ngasih apa sama Papi?" sindir ayahnya sendiri.
Lian tidak bisa menjawab. Karena memang selama ini, ia belum pernah memberi apa pun untuk kedua orang tuanya. Termasuk saat sudah menghasilkan uang sendiri dan menikah.
"Walaupun Melly gak ngasih sesuatu yang mahal, tapi perhatian kecil kaya gini bikin Papi bahagia. Padahal, dia cuma menantu Papi."
"Ooh, jadi sekarang Papi beda-bedain Melly sama Mas Roby!"
"Papi gak pernah singgung suami kamu, loh."
Lian terbelalak di skakmat oleh ayahnya sendiri.
Melly pun hanya terkekeh mendengar ayah mertua dan anaknya beradu mulut. Demi menghindari perdebatan ayah dan anak itu, ia memilih masuk ke kamarnya bersama Alea.
***
"Assalamu'alaikum, Lis. Gimana, ada kendala, gak?" tanya Melly pada seseorang yang dipercayanya melalui sambungan telepon.
"W*'alaikumussalam. Gak ada, Mel ... aman."
"Oke, jangan lupa kirim catatan stok akhir dan nomor rekening kamu, Lis."
"Oke, nanti malem, ya. Aku mau packing dulu soalnya, bentar lagi dijemput kurir."
Usaha Melly baru berjalan enam minggu dan saat itu ia sudah dibantu partnernya. Perputaran stok barang begitu cepat keluar masuk. Ia berpikir untuk coba menambah jenis produknya karena harus membayar upah Lisa dan bukan tidak mungkin jika ke depannya ia akan menambah partner jika omsetnya semakin melejit.
***
Tepat dua bulan sudah, sejak terakhir Melly mengontrol kondisi janin yang hidup di rahimnya. Ia masih merasakan mual, terutama saat pagi hari.
Ia hanya meminum vitamin dan makan seperti biasanya. Tidak ada susu, apa lagi perhatian seorang suami. Tak bisa ngidam seperti saat ia mengandung Alea.
Melly akan memberi kejutan untuk Alan ketika usia kehamilannya memasuki enam belas minggu, karena hari itu adalah tepat hari ulang tahun suaminya. Ia akan memberi surprise yang pasti akan membuat suaminya senang.
Pekerjaan rumah yang semakin menumpuk, tidak bisa ditunda lagi. Piring-piring kotor, sampah berserakan, dan pakaian kusut yang menyatu dengan milik iparnya.
"Mellyyyy! Kamu di kamar terus, Dasar Malas!" Suara teriakan itu menyeruak lagi.
Melly keluar dari kamarnya, "Ada apa, sih, Mbak? Gak usah pake teriak, kan, bisa. Malu, Mbak, sama tetangga."
"Masa bodoh. Aku gak peduli sama mereka! Liat itu cucian udah numpuk, setrikaan udah menggunung! Kerjain cepet!"
"Bener juga, sih. Siapa yang Mbak pedulikan? Anak sama suami Mbak aja gak dipedulikan."
"Kamu semakin berani sama aku, ya! Makin lama, aku jadi makin curiga sama kamu, Mel?" Lian menilik Melly dengan sinis.
"Terrrrserah, Mbak, mau mikir apa!" Melly pun bergegas mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Sementara Melly sibuk dengan pekerjaan rumahnya, Lian sibuk bertelepon ria dengan teman-temannya di ruang televisi sembari menyeruput minuman dingin.
Alea hanya bermain sendiri di ruang tamu karena Rachel sedang memainkan mainan baru dari omanya dan tidak mau mengajak sepupunya itu turut serta bermain dengannya.
Tenang Melly, sabar, sebentar lagi posisi kamu akan digantikan oleh Lian.
"Mell, tolong buatin orange juice lagi, dong. Punyaku dihabisin Rachel," perintah kakak iparnya itu.
Setelah selesai dengan setumpuk piring kotornya, Melly membuatkan segelas orange juice yang diminta Lian. Kemudian, membawakannya dengan nampan kecil dan hendak meletakkan di atas coffeetable samping Lian. Akan tetapi—
Byuurr
Rachel tiba-tiba berlari menghampiri maminya dan menabrak Melly terlebih dulu. Gelas yang masih di atas nampan pun berguling dan isinya habis tumpah membasahi wajah, baju, dan termasuk ponsel yang sedang dimainkannya.
"Aaaaahhhhhh ...!"
"Aaaaahhhhhh ....""Duuh, maaf-maaf, Mbak.""Rachel, hati-hati, ya, Sayaang. Minumannya jadi tumpah ke Mami, deh," kata Melly dengan nada sedikit menyindir. Ia tidak kuat menahan tawa. Dengan segera ia menyimpan nampan di coffeetable dan mengambil beberapa lembar tisu seraya membersihkan bajunya.Lian menangkis tangan Melly karena segan dibantu. Ia pun bangkit dari tempat duduknya. "Diam kamu! Gak usah sok sok perhatian! Kamu pasti sengaja, kan, numpahin minumannya!""Astagfirullah. Demi Allah enggak, Mbak. Kan, Mbak liat sendiri tadi Rachel yang nabrak aku.""Alasan aja kamu! Kamu pasti senang liat aku kaya kuyup gini!""Hmm ... Mbak mau jawaban jujur apa bohong?" tanya Melly dengan raut wajah sedikit memelas."Gak usah jawab, aku tau kamu mau jawab apa!" Lian berjalan ke kamarnya meninggalkan Melly sambil menghentakkan kakinya.Melly memindahkan gelas dan mencucinya. Lantas, masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ia bersa
Melly menoleh ke belakang dan—“Hai, Mbak Mel.""Kamu, Lan. Ngagetin aja. Dari kapan di situ? Kok, gak kedengeran masuknya?" "Iya, Mbak. Aku mau ngagetin Mbak Mel.""Kamu udah makan belum? Kebetulan Mbak baru selesai masak. Tolong sekalian panggil anak-anak, ya."Sementara Melly menghidangkan masakannya di meja makan, Dilan, Alea, dan Rachel menarik kursinya masing-masing dari bawah meja makan."Tumben kamu ke sini siang-siang, Lan. Kerjaan kamu gimana?" tanya Melly khawatir Dilan meninggalkan pekerjaannya."Aku tadi abis tugas lapangan dekat sini, Mbak. Jadi mampir karena kangen Alea.""Ooh, gitu. Ya, udah makan dulu," Melly mengambilkan nasi dan lauk untuk Alea dan Rachel di piring yang berbeda."Siap, Mbak. Mbak, kok, bisa masakannya enak-enak. Belajar dari mana, Mbak?" tanya Dilan penasaran."Ini semua resep dari ibunya Mbak, Lan. Karena Mbak Mel anak perempuan paling besar, jadi mau gak m
Alan menunjukkan foto dari ponselnya tepat setelah Melly menunjukkan hasil USG kehamilannya. Foto yang tampak tak asing dan dejavu menurutnya.“Itu, kan, foto Dilan, adik kamu, Yang?""Tepat!" tegasnya seraya melempar ponsel ke tempat tidur.Ia berdiri sembari berkacak pinggang, "Kamu selingkuh sama Dilan, kan!""Astagfirullah, Mas, gak mungkin! Aku gak pernah bersentuhan sama siapa pun selain kamu, apa lagi sampai sejauh itu!""Siapa yang tahu kalau aku gak ada di rumah. Dilan sering main ke sini, kan?!""Iya, tapi enggak lama. Itu juga ada Alea sama Rachel, Yaang.""Mereka masih anak-anak dan gak ngerti apa-apa! Sekarang juga kamu gugurin anak itu!"Melly terhenyak dan tak percaya dengan apa yang dilontarkan suaminya. Bagaimana mungkin ia menggugurkan kandungannya, sudah jelas-jelas kalau itu anaknya. Kenapa dia harus percaya dengan orang lain dengan adanya foto itu."Astagfirullah, Mas, istigfar! Kamu uda
"Aku gak salah pilih kalian sebagai partner," tutur Melly.Senyum semringah tertarik dari kedua bibir partner yang duduk di hadapannya."Aku bisa menjalankan semua ide kalian, tapi aku akan pilih mana yang lebih dulu kita buat secara urut!"Lisa bengong berpangku pada satu tangannya, menatap sahabatnya."Lis?" Lisa tak bergeming ketika Melly memanggil.Melly pun menempelkan satu cup minuman dingin di pipinya."Hhhhh, dingin, Mel."“Kamu bengong mikir apa?"Lisa tiba-tiba bertepuk tangan pelan, "Ckckck ... aku kagum sama kamu yang sekarang, Mel," ujarnya."Iya, gak, Mala? Aku gak nyangka kakakmu bisa sehebat. Ini udah pantes banget jadi CEO, tapi tetep gak sombong," lanjutnya sambil menyenggol tangan Mala di sampingnya.Seseorang tiba-tiba menghantam meja dengan telapak tangannya tepat di hadapan Melly."Assik, ya. Ketawa-ketawa, haha-hihi! Pan—tas aja kamu minta ART. Ternyata biar bisa sering-se
"Alaan, sini-sini. Kenalin ini temen Kakak. Dia masih single, looh," seru Lian dengan semangat memperkenalkan adiknya dengan kerabat yang sedang bersamanya.Melly tak mendengar jawaban dari suaminya. Mungkin ia hanya tersenyum untuk menghargai seorang tamu."Siska ...," sapa wanita itu."Oooohh ... Siska namanya." Melly meracau sendiri sambil tersenyum geli."Alan," katanya membalas sapaan temannya Lian."Oooh, Aalaan ... ya, ya. Ckckck.""Gimana ... cantik, kan, teman Kakak, Lan?""Preet ... cantikkan juga istrinya kali. Apa lagi kalo lagi berduaan di kamar, tiada tanding, ha-ha-ha," ujarnya memuji diri sendiri."Oh, ya. Dia kerja di perusahaan logistik, looh. Jabatannya udah tinggi. Nah, itu mobil merah yang di luar punya Siska, Lan," paparnya mencoba memuji dan menaikkan derajat temannya."Ooh, jadi maksudnya ini tuh perkenalan untuk menjodohkan suami aku dengan horang kaya. Liaan ... Liaan ... rumpu
"Siapa Siska!" bentak Pak Hakim yang tidak tahu apa-apa.Melly terkesiap. Ia lupa kalau papinya terlampau sayang dengan menantu perempuannya."Emm, te-teman Lian, Pi.""Ada perlu apa teman wanita kamu sampai ngajak Alan ketemu!" hardiknya.Pak Hakim orang yang tegas, tetapi baik pada orang yang memang perlu diperlakukan dengan baik. Ia tak segan memarahi orang lain, sekalipun itu anaknya sendiri."C-cuma mau ketemuan aja, kok, Pi. Beneran …." sahut Lian meyakini papinya."Tidak boleh! Kamu, kan, tau Alan udah beristri dan punya dua anak. Gak pantas ketemuan sama wanita lain berduaan, baik dia masih sendiri ataupun udah menikah. Bisa jadi fitnah buat mereka! Kamu sebagai seorang kakak harusnya berperilaku bijak, bukan malah menghakimi ipar kamu terus!""I-iya, Pi," jawab Lian seraya menundukkan kepala dan merapatkan bibirnya."Atau jangan-jangan kamu mau jodoh-jodohin Alan? Iya?!""Eng-enggak, Pi.”
"Selamat siang," ucapnya sambil membuka pintu. Ia menohok melihat yang ada di ruangan itu. Seorang bayi yang sedang bermain di atas stroller-nya."Mohon maaf, saya baru dari toilet. Itu keponakan saya,” ucapnya. "Silakan duduk," lanjut seorang wanita muda masuk dan duduk di kursi."Terima kasih," ucap pelamar bernama Siska itu.Lima belas menit proses wawancara selesai. Semua pelamar yang masuk kriteria akan mulai bekerja pekan depan. Dari dua puluh lima orang pelamar hanya tujuh orang yang diterima bekerja di cabang dekat rumahnya."Mala, gimana permintaan Kakak tadi?" tanya Melly."Beres, Kak. Mala udah kerjain seperti yang Kakak minta.""Dia kamu terima di bagian apa?""Accounting, Kak," jawab Mala."Oke, bagus," sahutnya.Setelah jam makan siang Melly pulang bersama anak-anaknya diantar oleh sebuah mobil sport hitam sampai depan rumahnya. Lalu, ia masuk sembari menggendong Alga dan menuntun Alea di
"Alea mau digendong Papa, ya? Nih, Papanya, nih," sahut Siska yang mendekati Alan melalui Alea."Hhh, Dasar Ular!" gumam Melly melihat tingkah laku Siska."Tolong berikan Alea pada istriku!" sahut Alan."Loh, kenapa, Lan? Itu, kan, Siska udah gendonginAlea. Dia minta digendong kamu itu," hardik Lian."Dia bukan mahromku, Kak!" tegas Alan dengan raut wajah datar.Lian dan Siska sontak terdiam dengan jawaban Alan dan segera menurunkan Alea.Melly yang sudah terkekeh lantas menggendong Alea dan menyerahkan Alea pada suaminya. Ia pun melihat mereka berdua saling bertatapan kaku dan tak tahu mau menjawab apa.Melly masuk ke dalam bersama Alea dan suaminya, menyiapkan baju ganti untuk Alan. Setelah itu mereka menghampiri meja makan dan duduk menunggu hidangan disiapkan oleh asisten bule Jawanya itu.Lian terlihat jalan menghampiri meja bersama Siska yang menuntun Rachel."Ayo duduk sini, Sis," ucap Lian mempe