Melly seorang ibu sekaligus istri dari keluarga yang terbilang mampu secara finansial. Namun, biaya hidupnya dijatah perhari oleh Alan karena tidak memercayai istrinya sebagai pemegang keuangan. Ditambah lagi semenjak Lian, kakak iparnya, menumpang hidup di rumahnya, Melly tak pernah merasa tenang. Bagaimana kisah Melly?
ดูเพิ่มเติมBecause, everything starts with a dream. Make a wish, keep faith in yourself, do your best, and … let God do the rest ~ Rindu Anahita.
~~
Rindu, sudah pernah melihat pria itu beberapa kali di televisi. Wajah oriental dengan mata sipit itu, juga kerap Rindu temui di surat kabar, majalah, ataupun portal media online lainnya.
Akan tetapi, ini kali pertama Rindu melihat pria itu secara langsung. Berjalan tegak melewati dirinya dan sempat menyematkan senyum tipis untuk sekedar beramah tamah.
“Iler, lo, netes, Rin!” sapa Fila, manajer iklan yang merupakan atasan Rindu. Wanita berusia 30 tahun itu, lantas berhenti tepat di depan Rindu dan menyerahkan beberapa lembar dummy*. “Pergi ke atas buruan! Biar cepat di layout!”
Reflek, Rindu mengusap kedua sudut bibirnya bergantian dengan cepat. Tidak melepas tatapannya pada pria yang kini tengah berdiri di depan lift dan baru saja melangkah masuk ke dalamnya. “Asli, Mbak, saya kalah glowing!” serunya sambil meraih lembaran kertas itu lalu menggulungnya. “Ngapain doi ke mari?”
“Ada pertemuan sama petinggi di atas, setengah jam lagi,” jawab Fila. “Nggak cuma pak Dewa, kok, ada anggota dewan yang lain juga,”
“Dewa siapa, sih, Mbak, nama lengkapnya?” Rindu kembali bertanya karena wajah asli Dewa ternyata lebih tampan jika dilihat dari dekat seperti tadi.
“Dewa August Lee!”
Seruan tersebut bukan berasal dari mulut Fila, tapi seorang wartawan pria yang tengah berjongkok, sembari membenarkan tali sepatu di samping Rindu. Setelah selesai, pria itu berdiri lalu merangkul Rindu. “Sadar diri, ye, Rin! Kalau pak Dewa itu langit, nah, elo itu kerak bumi!”
“Kalau gue itu surga, nah, elo itu nerakanya!” desis Rindu menyingkirkan tangan sang wartawan dari bahunya. Rindu lantas kembali menatap lurus pada Fila yang hanya merespon dengan gelengan. “Saya ke atas dulu, Mbak!”
---
Bruk!
“Aisshh …” Rindu mendesis panjang ketika cappucino yang yang baru saja dibelinya tumpah, karena bertabrakan dengan seseorang di persimpangan koridor.
“Rindu!” Sang pemimpin redaksi yang melihat kecerobohan karyawannya, seketika membolakan maniknya.
Namun, yang dihardik hanya memberi ringisan lebar. Tatapannya hanya terfokus pada pria yang terkena tumpahan cappucinonya.
“Pak Dewa, maaf, ya,” ucap Rindu memasang wajah sedikit sendu. “Untung dingin.”
“Nggak papa,” ucap Dewa sembari membuka jas dan langsung dirampas oleh Rindu tanpa beban.
“Biar saya bersihkan sebentar, Pak! Biar gak nggak lengket!”
Belum sempat Dewa menjawab, Rindu sudah berbalik arah dan berlari cepat menuju toilet kantor.
Devan, sang pemimpin redaksi yang hendak mengantarkan Dewa sampai ke lift, akhirnya merasa tidak enak hati dan sontak meminta maaf. Selain karena insiden yang baru saja terjadi, Devan juga meminta maaf karena tidak bisa menemani Dewa lebih lama. Ada deadline cetak yang harus ia kejar dan pastikan lagi kelengkapannya.
Untuk itu, Dewa akhirnya menunggu sendiri di lobi redaksi tanpa ada yang menemani.
Tidak berselang lama, Rindu akhirnya muncul dengan cengiran lebar. Sama sekali tidak terbersit rasa bersalah sama sekali di wajahnya.
“Maaf, ya, Pak Dewa, jasnya biar saya bawa ke laundry aja,” ujar Rindu yang langsung duduk pada sofa yang bersebelahan dengan Dewa.
“Nggak perlu, saya punya asisten rumah tangga di rumah.” Dewa berdiri lalu menjulurkan tangan untuk meminta jasnya kembali. "Biar dia yang bawa ke laundry."
Rindu juga berdiri, tapi menyembunyikan jas Dewa di belakang tubuhnya. “Jangan begitu, Pak. Saya merasa bersalah kalau Bapak nggak ngizini saya untuk bawa jasnya ke laundry. Kan, saya yang sudah ceroboh dengan numpahin minuman ke jas Bapak. Belum lagi, kemeja putih Bapak juga ken--”
“Ssshhh …” Dewa mendesis seraya mengangkat tangan kanannya untuk menyela Rindu yang membeo. “Sudah, sudah, bawalah.”
Dewa yang tidak tahan mendengar ocehan Rindu, langsung memutar tubuh untuk pergi menuju lift. Enggan berlama-lama, karena ingin segera pulang dan sampai di rumah untuk mengistirahatkan diri.
Melihat hal tersebut, Rindu segera menyusul Dewa dan berdiri di samping pria itu untuk menunggu pintu lift terbuka.
“Nomor hape, Pak Dewa, berapa?” tanya Rindu sembari merogoh tasnya untuk mengambil ponsel.
“Untuk?”
“Kalau sudah selesai, kan, saya harus kembaliin jasnya ke Bapak.”
Dewa menarik pelan napasnya sembari menoleh pada Rindu. “Kamu bukan anak redaksi?”
Rindu menggeleng. “Saya marketing iklan.”
Dewa lalu menghela maklum karena Rindu ternyata bukan dari awak redaksi. Wajar kalau gadis muda itu tidak memiliki nomor ponselnya. Kemudian Dewa menyebutkan sederet nomor ponsel miliknya dengan perlahan. “Jangan telpon, chat saja.”
Ketika pintu lift berdenting satu kali, keduanya kemudian masuk ke dalam bilik persegi tersebut bersama-sama.
“Sibuk banget, ya, Pak, sampai nggak bisa ditelpon?” tanya Rindu setelah menekan tombol lantai tujuannya.
“Sibuk.” Dewa menjawab singkat tanpa menoleh pada Rindu sama sekali.
Rindu yang kesal karena merasa tidak diacuhkan, kemudian mencari cara untuk menarik perhatian Dewa.
“Ngomong-ngomong, jadi anggota dewan itu enak, ya, Pak!” kata Rindu memasang senyum terbaiknya. Melangkah mundur untuk bersandar pada dinding lift. “Biar pun tidur pas rapat paripurna, gaji sama tunjangan tetap jalan terus.”
“Kamu mau nyinggung saya?” Kedua alis Dewa itu mengerut seraya berbalik dan memangkas jaraknya dengan Rindu.
“Bapak tersinggung?” Rindu bertanya balik. Memasang wajah yang seolah-olah terkejut, lalu menutup mulut dengan kedua tangan sejenak. “Bapak juga pernah tidur pas rapat?”
“Enggaklah!” Dewa menjawab tegas tapi geregetan.
“Baguslah!” Rindu dengan berani mengangkat dagu untuk mempertemukan maniknya dengan Dewa. “Mendingan juga tidur sama saya! Iya, kan, Pak!”
---
*Dummy : rancangan tata letak iklan pada halaman surat kabar.
Sementara itu, ponsel di dalam kantong gamisnya bergetar. Melly mengambilnya dan memeriksa sebuah pesan singkat yang masuk.[Selamat kembali miskin, Melly. Hahaha]Melly tercengang dengan isi pesan tersebut. Apalagi setelah melihat nama si pengirim yang terpampang dengan jelas tertulis nama “Mbak Lian”. Pandangannya beredar mencari sosok Lian. Apa dia yang menyebabkan kebakaran rumahnya tersebut? “Kurang ajar! Masih berani unjuk gigi dia!” Melly tersulut emosi.Beruntung kebakaran tak mengenai rumah tetangga di sekitarnya karena jarak bangunan rumah Melly tak terlalu dekat ke dinding pembatas. Tepatnya, rumah Melly berada di tengah-tengah ruang lingkup lahan di antara taman-taman kecil.“Dia harus bertanggung jawab atas semuanya!” Melly meremas ponselnya sambil mencari-cari batang hidung kakak iparnya.“Kamu kenapa?” tanya Alan yang bingung melihat tingkah laku Melly.“Kamu pasti gak percaya ini, Yank.”“Soal a
Pukul empat dini hari, ponsel Alan terus bergetar. Alan dan Melly terlalu lelah hingga tak merasakan getaran di kasur yang berasal dari ponselnya. Enam panggilan tak terjawab muncul di layar ponsel.“Bunda ....” Alga terbangun, memanggil dengan suara mungilnya. Ia merangkul perut Melly, menginginkan asupan ASI karena merasa lapar. “Bunda ....?” panggilnya lagi.Melly terbangun setelah Alga merengek-rengek manja. “Iya, Sayang.”Alga kembali memejamkan mata setelah Melly menyusuinya. Sepuluh detik kemudian, ia baru merasakan ponsel Alan yang bergetar tanpa nada. Di sampingnya, Alan tampak sangat pulas.Tak tega membangunkan Alan, Melly meraih ponsel yang sudah membuatnya terganggu malam-malam. Namun, ia penasaran karena nama Mala yang muncul di layar panggilan.“Halo. Kena—“Kakaaaak! Kak, Mel, halo!” Suara Mala sedikit berteriak, nadanya terdengar cemas. Suasana di telepon juga sangat riuh dan sayup-sayup terdengar orang-orang yan
"Saya gak sangka polisi sampai mencari ke sana, Pak?" tanya Alan."Bukan kami, Pak. Ada orang yang membawanya kemari tadi pagi."Mata mereka saling beradu tatap keheranan. Semuanya bertanya-tanya akan siapa menggelandang Siska ke kantor polisi."Siapa membawa dia ke sini, Pak?" tanya Lisa ingin tahu.Mata polisi itu seperti mencari seseorang di ruangan yang luas itu. Kemudian, seorang pria dan seorang wanita memasuki ruangan."Itu dia orangnya!" sahut Polisi Deri, menunjuk orang yang baru saja masuk dengan menggunakan kacamata hitam bersama seorang lelaki di belakangnya.Lisa, Mala, dan Alan serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Pak Deri. Semuanya makin tersentak ketika melihat kedua orang yang berjalan mendekati mereka itu.Sementara itu, Siska malah mengerlingkan mata dengan sudut mulut mencibir. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa yang datang. "Melly?" ujar Lisa."Kak Bima?" sahut Mala.Melly
"Permisi ...," ujar dua perawat datang menggantikan pakaian Alea dengan kain polos berwarna putih.Suasana haru memenuhi ruangan. Alan sudah menghubungi kedua orang tua dan mertuanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya di rumah duka.Semua sudah bersiap pergi. Namun, Melly belum boleh pulang karena keadaannya yang belum pulih total dengan lengan dan kepala yang masih dibebat perban. Mala ingin menemaninya di rumah sakit. Akan tetapi, Melly tidak memperbolehkannya.Saat itu ia hanya ingin menyendiri, mengingat masa-masa terakhir bersama putrinya. Pada hari kecelakaan adalah hari di mana ia benar-benar merasa paling bahagia sebelum akhirnya berujung duka.***Ambulance sudah sampai di rumah Alan. Terlihat orang-orang yang mengurus jenazah sudah siap di sana bersama para tamu yang akan memberikan ucapan duka.Pukul 14.30 jenazah Alea sudah siap dimakamkan setelah selesai disalati. Seluruh keluarga beriringan mengantar jenazah ke t
“Shoot!"Dokter Dimas menggunakan alat pacu jantung lagi! Lalu, seorang perawat meletakkan defibrilator ke tempatnya semula.Dokter Dimas melakukan CPR lagi dengan satu telapak tangannya. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali—Tiba-tiba … terdengar suara ventilator berbunyi normal lagi."Alhamdulillah," sahut Dokter Dimas diikuti semua orang yang ada di ruangan."Tekanannya sudah normal semua, Dok," jelas salah satu perawat seraya melepas tabung ventilasi manual dan menggantinya dengan dengan mesin.Alan menyungkurkan dirinya di lantai, saling berpelukan dan menangis bersama istrinya."Dokter ... terima kasih banyak, Dok. Terima kasih ....""Sudah jadi tugas saya, Pak. Nanti perawat akan mengontrol kondisinya selama enam jam ke depan. Tolong diawasi terus, ya, Pak. Saya permisi dulu."Dokter Dimas keluar ruangan bersama dua perawatnya yang membawa mesin defibrilator.Sementara, Melly berjalan d
“Enggak ... itu kesalahan aku, Yaaang! Pak Cahyadi … Alea … jadi begini karena aku ...." Ia menangis sesenggukan sampai terdengar ke luar ruangan. "Tenang dulu ya, Bunda. Pak Cahyadi udah diurus sama Mala. Dia juga udah mewakilkan belasungkawa untuk keluarganya."Melly terdiam. Tangisnya berangsur mereda. Ia lebih tenang dalam pelukan suaminya. Segera ia menghampiri putrinya yang masih terpejam tak sadarkan diri dengan meraba-raba sekitar kamar sampai akhirnya bisa menyentuh Alea.Melly mencari posisi wajah putrinya, memindahkan sentuhannya ke bagian atas kepalanya yang dibalut perban. Ia merendahkan dirinya mendekati wajah Alea ingin mencium, tetapi terhalang selang ventilator. Ia hanya bisa memandang dalam angan-angan melalui sentuhannya.Ia mencoba naik ke ranjang putrinya untuk tidur berdampingan seperti yang biasa mereka lakukan di rumah. Salah satu tangannya berpindah ke atas tubuh Alea. Ia ingin merasakan memeluk dan menggendongnya lagi se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น