Share

Bab III Benarkah Itu Cinta?

Bab III

Tak Seindah Malam Pertama

(Benarkah itu cinta)

"Kenapa? Apa karena Mas ndak mau tidur denganku?" tanya Maya kemudian yang hanya bisa ia lontarkan di dalam hati. Tak sampai ia menanyakan ke Ibnu. Takut menyinggung. Juga takut jika jawabannya tidak sesuai yang ia mau.

***********************

Seolah mengetahui isi hati Maya, Ibnu berujar. "Mas semalam sholat tahajud, Dek, tapi malah ketiduran disini."

"Semalam mas mimpi mandi di sungai sampai kedinginan, ternyata mas memang betul-betul kedinginan karena tidur tanpa selimut." Ibnu berceloteh sambil tertawa, tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, berusaha mencairkan suasana.

Sepertinya usaha Ibnu tidak berhasil. Maya tetap memasang wajah datar tanpa senyum, tak mau menanggapi guyonan Ibnu yang memang terdengar tak lucu baginya. Suasana hati Maya sedang tidak biasa. Ibnu sadar bahwa semalam telah menyakiti hati Maya, ia melihat mendung di mata istrinya. Tak mau terlalu lama Maya bersedih, Ibnu kembali berucap, “May, tadi malam … Mas ….”

Ibnu bingung bagaimana menjelaskan. Tapi kemudian Maya menjawab. “Sudah ya, Mas … ndak usah dibahas lagi. Anggap aja tadi malam tidak terjadi apa pun. Aku ndak pa-pa kok, Mas. Aku maklum.” Ibnu menatap Maya, sementara yang ditatap justru memalingkan wajah.

"Kita sholat jamaah dulu aja, ya, Mas. Keburu subuhnya kesiangan." Lanjut Maya kemudian, menyudahi obrolan mereka. Maya bangkit, berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Maya dan Ibnu melaksanakan sholat subuh berjamaah. Dinginnya air wudhu berhasil mendinginkan hati mereka. Selesai sholat subuh, mereka duduk lesehan di teras samping rumah, melihat jajaran dendrobium berwarna warni. Maya sangat menyukai bunga anggrek. Jenis anggrek yang paling banyak ia koleksi adalah jenis Anggrek Dendrobium. Menurutnya, bunga anggrek adalah salah satu bunga yang awet, warnanya tajam dan indah dipandang. 

Wajah Maya tampak berseri memandang bunga anggrek, menunjukkan bahwa hatinya mulai membaik. Ibnu ikut tersenyum lega melihatnya.

"Dendrobium nya cantik ya, Dek.” Ibnu mulai berbicara.

“Iya, Mas. Alhamdulillah.” Jawab Maya sambil tersenyum ke arah Ibnu.

“Kamu begitu telaten merawatnya, Dek. Mas yakin jika nanti kita punya anak, kamu akan menjadi ibu yang baik. Bagaimana nggak, merawat bunga aja kamu begitu telaten, apalagi kalau merawat anak sendiri." Panjang Ibnu berceloteh, matanya menerawang, sementara tangan kanannya mengacak rambut Maya yang dibiarkan terurai tanpa diikat. Ibnu tidak menyadari bahwa ucapannya kembali menghadirkan kesedihan di hati Maya.

"Apa bisa? Apa aku bisa menjadi ibu dari anak-anakmu, Mas?" Mata Maya kembali berkaca-kaca. Rasanya apa yang dikatakan Ibnu adalah sesuatu yang mustahil. Bagaimana mungkin bisa, sementara menyentuh Maya saja Ibnu enggan. Ibnu tersadar dengan apa yang ia katakan. Ia telah salah berucap, tapi terlambat, kalimatnya telah melukai hati Maya. Lagi, untuk kesekian kalinya.

Ibnu menggeser duduknya, memandang wajah ayu Maya. Sementara Maya semakin menunduk, menyembunyikan air mata yang telah lolos menetes di pipinya.

"Maafkan mas, Dek … mas hanya butuh waktu," ucap Ibnu kemudian.

Tangannya memegang dagu Maya, mengangkat wajah Maya agar ia dapat melihat mata Maya. Pelan ia usap air mata Maya yang menetes di pipi. Hatinya turut berdenyut nyeri melihat Maya begitu rapuh. Ibnu pun tak paham dengan dirinya. Ia sangat mencintai Maya, apa pun akan ia lakukan demi Maya. Tapi entah mengapa, ia tak mampu melakukan kewajibannya sebagai suami. Ia belum bisa memberikan nafkah batin untuk Maya.

Ibnu telah berulang kali mencoba. Tapi selalu gagal. Ia tidak mampu. Selalu peristiwa seperti tadi malam terjadi, berulang kali. Membuat ia merasa kerdil sebagai seorang laki-laki. Ibnu hampir putus asa.

Di awal pernikahan, ketidakmampuan Ibnu justru menjadi sesuatu yang disyukuri oleh Maya. Saat itu, Maya sama sekali tidak mencintai Ibnu. Kebaikan juga perhatian-perhatian yang Ibnu berikan lambat laun membuat Maya tersentuh. Pelan tapi pasti, Maya mulai merasa nyaman dengan keberadaan Ibnu. Hingga akhirnya, bukan hanya perasaan nyaman, tapi juga rasa sayang dan takut kehilangan muncul di hati Maya. Ia tidak mau kehilangan sosok baik seperti Ibnu. Rasa ini yang kemudian membuat Maya sedikit membuka hatinya.

Berulang kali Maya mencoba untuk mengimbangi Ibnu setiap kali Ibnu menginginkannya sebagai istri. Tak mau membuat Ibnu kecewa. Tapi berulang kali pula ia gagal. Ibnu selalu berhenti di saat ia telah melayang. Seakan dirinya tak pantas berada di puncak bersama Ibnu. Sekali, dua kali, Maya sanggup menata hatinya. Tapi setelah sekian kali, harga dirinya tergores. Ia merasa diperlakukan seperti wanita tak berharga. Terkadang ia merasa Ibnu sengaja mempermainkannya. Tak jarang pula, Ibnu tampak jijik melihatnya. Maya adalah wanita biasa dengan hati nan lembut. Perlakuan Ibnu yang demikian menggoreskan luka di hatinya.

"Jujur, mas pun merasa tersiksa. Tapi, mas bisa apa, Dek? Hanya satu yang mas pinta, percayalah bahwa mas begitu mencintai kamu, Dek." Sambung Ibnu kemudian.

"Aku paham, Mas … kalau Mas yang membuat kesalahan, meski di masa lalu, aku pun belum tentu bisa dengan mudah memaafkan dan menerima." Lirih Maya putus asa.

Ibnu merangkul Maya, mendekapnya erat, berusaha memberikan ketenangan. Dalam hati ia bertekad akan melawan egonya, ia yakin besarnya rasa cinta yang ia rasakan terhadap Maya lambat laun akan membuat ia ikhlas menerima semua masa lalu Maya. bukankah tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah cinta.

Suasana hening, Maya dan Ibnu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga kemudian terdengar suara denting sendok beradu dengan piring.

Ting … ting … ting …

Rupanya abang penjual bubur kesukaan Ibnu lewat. "Mas mau bubur ayam?" tanya Maya.

"Mau, Dek. Kayaknya makan bubur ayam saat udara dingin seperti ini enak," jawab Ibnu.

Ibnu berdiri dan memanggil Abang bubur, memesan dua porsi. Satu porsi dengan sambal yang cukup banyak untuk dirinya dan satu porsi lagi tanpa sambal dengan toping kecap dan abon untuk Maya. Mereka memang memiliki selera berbeda. Maya yang merupakan asli keturunan Jogja menyukai rasa manis, sementara Ibnu yang keluarganya berasal dari Padang menyukai rasa gurih pedas. Ya, keluarga Ibnu hanyalah pendatang di Jogja. Sebenarnya ia berasal dari Pulau Sumatera, tepatnya di kota Padang. Saat ia berusia 10 tahun, ayahnya yang bertugas sebagai TNI dipindah tugaskan di kota Jogja ini. Hingga akhirnya sang Ayah meninggal 10 tahun yang lalu, saat ia masih duduk di kelas 3 SMA.

Tidak berselang lama, Abang bubur datang membawa nampan yang di atasnya terdapat 2 porsi bubur ayam. "Ini, Den … bubur ayamnya." kata Abang penjual bubur ramah. Tersenyum pada Ibnu dan Maya, memamerkan giginya yang rapi.

"Makasih, Bang!" jawab Ibnu yang juga membalas dengan senyum.

"Ayo, Dek, dimakan!" lanjutnya kemudian, sambil memindah salah satu mangkok bubur ke depan Maya.

"Hmmm … enak ne, Mas." Maya terlihat tidak sabar menikmati bubur ayam. Dalam waktu tidak lama, bubur ayam di depannya telah habis tanpa sisa. Ibnu tersenyum melihat tingkah Maya.

Setelah mereka membereskan mangkok bubur dan membayarnya, Ibnu memegang tangan Maya sambil berucap, "Dek, nanti siang, kita ke rumah ibu ya!"

Hati Maya tiba-tiba merasa tak enak. Bukan tanpa alasan, Ibu mertuanya selalu bersikap negatif terhadapnya. Sejak awal, Ibu Marni, ibunda Ibnu memang tidak merestui hubungan mereka. Saat itu, sebenarnya Ibnu telah dijodohkan dengan putri salah satu sahabatnya. Tapi perjodohan itu gagal, karena Ibnu memilih Maya.

Bu Marni semakin tidak suka ketika Ibnu menyegerakan pernikahan mereka. Tidak sampai satu bulan sejak dikenalkan dengan bu Marni, Ibnu telah resmi mempersunting Maya. Pupus harapan bu Marni untuk berbesanan dengan sahabatnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status