Share

Bab IV Bukan Menantu Impian

Bab IV

Tak Seindah Malam Pertama

(Bukan Menantu Impian)

Bu Marni semakin tidak suka ketika Ibnu menyegerakan pernikahan mereka. Tidak sampai satu bulan sejak dikenalkan dengan bu Marni, Ibnu telah resmi mempersunting Maya. Pupus harapan bu Marni untuk berbesanan dengan sahabatnya.

***********************

Semua hal yang dilakukan Maya selalu salah di mata bu Marni. Pernah dulu saat awal-awal menikah, ketika mereka tinggal di kediaman Ibnu. Saat itu, Maya membantu bu Marni mencuci baju, tetapi sesaat setelah Maya selesai menjemur baju, bu Marni mengambil semua baju yang sedang dijemur oleh Maya dan mencucinya ulang. Alasannya karena baju itu dirasa kurang bersih, padahal Maya mencuci dengan tangannya sendiri dan telah dibilas berulang kali. Bahkan ia sengaja menggunakan sabun cuci dengan takaran lebih banyak dari biasanya agar hasil lebih bersih dan wangi. Tapi apa mau dikata, segala usahanya tampak sia-sia. Maya hanya bisa berusaha bersabar. Ia yakin bahwa dengan kesabaran, ia bisa meluluhkan hati bu Marni.

Pernah juga, bu Marni membuang masakan bikinan Maya. Alasannya karena masakan itu terlalu asin. "Apa kamu tidak tau, May… makanan asin ini bisa membuat tekanan darahku naik? memang sih, seseorang yang tensinya tinggi bisa berisiko mengalami stroke dan mati." Kalimat pelan tapi menusuk yang diucapkan oleh Bu Marni cukup membuat Maya tau diri. Keberadaannya di rumah itu tidak diinginkan.

“Dek, gimana, mau nggak?” Suara Ibnu membuyarkan lamunan Maya.

“Mau, Mas … mau donk, aku juga dah kangen sama Ibu, dah lama ‘kan kita nggak kesana.” Jawab Maya menutupi kegundahan hatinya.

Sebelumnya Ibnu telah bercerita bahwa akhir minggu ini, Bagas, adik semata wayangnya akan mengadakan acara ‘mitoni´ untuk merayakan tujuh bulan kehamilan istrinya. Acara berupa pengajian dengan mengundang ustadz, keluarga dan tetangga di sekitar rumah. Bagas memang masih tinggal bersama bu Marni.

Sore harinya, Maya dan Ibnu telah bersiap menggunakan baju batik dengan motif yang sama. Ibnu menggunakan kemeja lengan pendek berwarna biru muda, dipadukan dengan celana jeans hitam dan sandal casual. Sengaja memilih sandal, karena acara akan dilaksanakan di rumah dengan konsep lesehan sehingga memudahkan Ibnu jika hendak melepas alas kaki.

Sedangkan Maya, ia menggunakan tunik yang terbuat dari bahan satin dengan rompi minimalis yang bercorak batik, bermotif sama dengan kemeja Ibnu. Ia mengenakan celana legging berwarna hitam dipadukan dengan sandal high heels, memperlihatkan kakinya yang jenjang. Paduan jilbab pashmina berwarna biru muda semakin mempercantik tampilannya.

Di sepanjang jalan, Maya dan Ibnu tidak banyak mengobrol. Maya sibuk dengan pikirannya, menata hatinya, mempersiapkan diri menghadapi sikap ibu mertuanya yang mungkin saja tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Sedang Ibnu diam, fokus menyetir mobil. Ia sengaja memilih jalan ‘ringroad’ untuk menuju rumah ibu. Di samping untuk menghindari macet, ringroad ini juga satu-satunya jalan di Jogja yang paling lebar, sehingga bisa mempercepat waktu perjalanan.

“Assalamualaikum ….” Ibnu mengucapkan salam sambil menggandeng Maya masuk ke rumah bu Marni.

“Waalaikumsalam …. “ Jawab bu Marni sambil berjalan menyambut Ibnu dan Maya.

Ibnu menyalami dan mencium tangan bu Marni penuh takzim. Dilanjutkan Maya yang juga melakukan hal serupa. “Ibnu, kok kamu agak kurusan? Dulu waktu kamu tinggal sama Ibu lebih berisi.” bu Marni berkata sambil menggandeng tangan Ibnu, mengarahkan Ibnu untuk duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Maya mulai merasakan aura tidak nyaman. Kalimat bu Marni seolah hendak mengatakan bahwa sebagai istri ia tidak bisa merawat Ibnu.

“Bukan kurus, Bu, tapi memang Ibnu sekarang rajin olahraga dua kali tiap minggunya. Jadi, mungkin badan Ibnu lebih berisi, lebih padat. Kemarin waktu Ibnu nimbang berat badan, masih sama kok, Bu.” Jawab Ibnu, berusaha menenangkan bu Marni.

Bu Marni tersenyum kecut menanggapi kalimat Ibnu. “Kapan kalian ngasih ibu cucu? Sudah dua tahun lo, kalian menikah?” Tanya bu Marni lagi, sambil melirik Maya.

“Kamu tidak KB ‘kan, May? Banyak istri-istri jaman sekarang yang nggak mau hamil karena nggak mau badannya berubah.”

“Nggak, Bu… Maya nggak KB. Mohon doanya saja, Bu, semoga saya dan Mas Ibnu segera diberi momongan.” Jawab Maya lembut.

Andai bu Marni tau, bahwa Maya pernah hamil dan bukan anak Ibnu, entah akan sebenci apa bu Marni pada Maya. Tidak ada yang tau tentang kehamilan Maya, kecuali Ibnu dan bu Ratih, ibunya Maya. Mereka berhasil menutup rapat aib itu. Kehamilan Maya pun tidak bertahan lama, seminggu setelah kematian bu Ratih, Maya mengalami pendarahan. Rasa sedih juga penyesalan mempengaruhi kehamilan Maya hingga akhirnya ia keguguran, saat itu kehamilan Maya baru berusia 3 bulan.

Saat menikah, Maya telah kembali sehat. Tidak ada yang menyangka bahwa Maya baru saja keguguran. Bentuk tubuh Maya juga ramping, sehingga tidak terlihat bahwa ia pernah hamil.

“Itulah akibatnya kalau kamu nggak nurut sama ibu. Coba kalau kamu dulu nikahnya sama ….”

Belum selesai bicara, Ibnu sudah memotong perkataan ibunya. “Tolonglah, Bu, jangan bahas itu lagi. Ibu nggak kasihan sama Bagas, masak di hari istimewanya, kita malah berdebat masalah yang nggak penting seperti ini, Bu.” Bagas mengelus tangan Bu Marni, berharap ibunya berhenti menyudutkan Maya.

“Tapi memang benar ‘kan, lihat adikmu Bagas, dia nurut sama ibu, makanya belum juga 3 bulan menikah, istrinya sudah hamil.” Bu Marni masih belum mau berhenti bicara.

“Bu ….” Bagas menatap ibunya dengan tatapan memohon. Akhirnya, bu Marni diam, hanya helaan nafasnya yang menunjukkan bahwa sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia ungkapkan.

Maya menunduk. Jika saja bisa, ia ingin pulang, tak mau berada di rumah itu. Rumah yang besar, tetapi tidak mampu membesarkan hatinya. Ia merasa kerdil. Merasa terasing berada di keluarga itu.

Tepat pukul tujuh malam, acara dimulai. Semua tamu undangan sudah duduk lesehan di pendopo depan rumah. Rumah bu Marni memang besar, terdiri dari 2 bangunan. Bangunan belakang berupa rumah besar yang memiliki 5 kamar tidur, model bangunan berupa limasan yang dindingnya dilapisi batu marmer, sedang pintu-pintunya terbuat dari kayu jati yang penuh ukiran. Perpaduan antara rumah gaya jawa dan modern.

Bangunan depan berupa pendopo yang luas, biasa digunakan untuk acara-acara yang menghadirkan banyak orang. Seperti malam ini, semua tamu undangan telah hadir, mereka duduk lesehan, berputar membentuk lingkaran. Semua tampak bahagia. Tak terkecuali Maya dan Ibnu, mereka bahagia sebentar lagi akan memiliki keponakan.

Tepat jam tujuh malam, acara dimulai. Diawali dengan pembukaan yang dipimpin oleh Pak RT sampai acara kajian dan pembacaan doa. Semua rangkaian acara berjalan dengan lancar.

Malamnya setelah acara selesai, Maya dan Ibnu berpamitan pada Bagas, Reni istrinya Bagas, juga Ibu untuk pulang, karena malam semakin larut. Jam di dinding menunjukkan pukul 23.30 WIB.

“Nggak nginep aja, Mas,” tawar Bagas.

“Iya, Mas, Mbak, nginep aja, mumpung sampai sini, kapan lagi kita bisa ngumpul seperti ini.” Reni menambahkan.

Ibnu tampak ragu, ia tahu bahwa Maya merasa tidak nyaman. Tapi, sejujurnya, ia pun rindu dengan Bagas dan bu Marni. Walau bagaimanapun, mereka adalah keluarga. Apalagi bu Marni, bagi Ibnu, bu Marni adalah cinta pertamanya.

Sebenarnya Maya ingin segera pulang, tapi melihat gelagat Ibnu yang enggan untuk pulang, akhirnya Maya berkata. “Terserah, Mas, aja. Kalau mau nginep nggak pa-pa, Mas. Mumpung besok Mas juga libur ‘kan.”

Akhirnya malam itu Ibnu dan Maya menginap di rumah bu Marni. Pagi harinya, selepas sholat subuh, Maya menuju dapur, berniat membantu bu Marni untuk memasak atau pekerjaan apa pun yang bisa ia bantu. Sesampainya di dapur, Maya melihat bu Marni sedang memotong wortel. “Mau masak apa, Bu?” Maya memulai obrolan.

“Masak sop iga. Ibnu paling suka makan sop iga. Ibu sengaja memasak makanan kesukaan Ibnu ini biar dia makan banyak, biar badannya berisi.” Lagi bu Marni masih membahas tentang berat badan Ibnu.

Tak mau membuat bu Marni kecewa, Maya hanya menjawab, “Iya, Bu ….” Selanjutnya ia menyibukkan diri dengan membuat sambal cabai hijau, yang juga merupakan kesukaan Ibnu.

Maya membantu bu Marni menyiapkan semua masakan untuk makan pagi dengan tidak banyak berkata. Ia takut salah ucap, yang justru akan menjadi bumerang untuk dirinya. Biarlah dia mengalah, tak banyak berkata. Bukankah bu Marni adalah surga untuk suaminya.  Maya menyadari bahwa Ibnu sangat berjasa dalam hidupnya. Entah apa jadinya, jika tidak ada Ibnu yang menikahinya. Seperti apapun sikap bu Marni terhadapnya. Nyatanya bu Marnilah yang telah bertaruh nyawa melahirkan Ibnu, hingga Ibnu kini hadir di kehidupannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status