"Amalia .... " panggil Mas Brian mencoba menjeda langkah cepatku.
Tanpa menoleh, tetap kuhentikan ayunan kaki. Mungkin, ada sesal ... atau keinginan untuk memperbaiki semua, mempertahankan bahtera ini.
"Maafkan aku bila memang keputusan ini terdengar begitu cepat ... maaf juga atas ego yang tak mampu kukalahkan. Entahlah, mungkin benar aku telah menyerah ... mungkin benar pula aku tak lagi ingin berjuang. Tapi ... kurasa tak mudah untuk menyelaraskan langkah sementara kita memang tak pernah benar-benar ingin bersama ...." lirih Mas Brian terjeda.
Bukan! Tidak untuk menyesali keputusan. Mas Brian berucap tegas mengokohkan pendirian.
"Tak pernah benar-benar ingin bersama?! Siapa yang kau maksud, Mas?! Aku atau dirimu?! Sejak kau ucapkan ikrar di depan Bapak dan para saksi ... saat itu pula telah kupasrahkan hidup ini untuk sepenuhnya mengabdi. Apapun itu terjal yang harus kulewati ... apapun itu, Mas," ucapku menoleh cepat.
"Maaf ... tapi ... Aku ... a-ku mengidamkan sosok Istri seperti Ibuku. Dan itu tak ada pada dirimu," ucap Mas Brian terbata.
Terhenyak, kutatap lelaki yang sebenarnya sangat kukagumi itu tajam. Delapan tahun hidup bersama kusangka benar cinta itu tulus Ia persembahkan. Tapi nyatanya kasih itu berbeda tak sesuai dengan apa yang menjadi praduga.
"Maksudmu apa, Mas?!" Tukasku murka.
Sungguh, dari semua perlakuan juga perkataannya. Inilah yang paling tajam, kuat menggores luka.
"Iya! Sekian tahun ... aku berusaha keras ... untuk mendidikmu menjadi wanita sederhana, menempamu menjadi Istri tangguh seperti Ibuku. Tapi ... kini kutahu ... aku tak bisa ... aku tak mampu untuk terus memaksamu. Aku tak bisa menjadikanmu seperti sosok Istri idamanku, Amalia,"
Terbahak, aku tertawa keras ... sangat kencang. Layaknya, pentir di tengah deras hujan.
"Argh! Jadi itu alasanmu sebenarnya, Mas. Sampai hati menghancurkan rumahtangga kita ... Hanya karena aku tak serupa dengan Beliau ... sosok tangguh yang tercipta melampaui batas sempurna, perempuan penuh kharisma tanpa cela di matamu itu. Argh ... dangkal sekali pikiranmu, Mas. Sangat hina," ucapku meradang dengan dada membuncah.
"Kukira kau menikahiku karena benar-benar ingin menghalalkanku dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri ini ... sampai tadi malam pun aku masih sangat meyakini semua itu. Tapi ternyata aku salah ... kau memiliki maksud lain ... berencana mengubahku serupa dengan Ibu ... Mustahil, Mas! Tak bisa! Kau tak bisa menjadikan siapa menjadi siapa! Kau tak bisa memaksa orang lain seperti apa yang kau inginkan... itu egois ... sangat egois, Mas ... kau jahat ... teramat kejam memperlakukanku," seruku murka, menggeleng kuat.
"Aku tahu ... aku tahu itu Amalia. Tapi apakah salah bila aku bermimpi tentang keluarga kecil... apa tak pantas jika kujadikan Ibu sebagai suri tauladan dalam mendidik Istriku?"
"Tidak ... aku tidak bilang itu salah, aku juga tak mengatakan mimpi itu buruk. Andai itu benar-benar hanya sebuah angan indah yang tak harus mematikan demi bisa menggapainya ... semua orang memiliki mimpi. Pun begitu dengan diriku, Mas. Tapi sayangnya ... yang kau miliki itu bukanlah sebuah mimpi ...melainkan ambisi! Ambisi yang tinggi melampaui batas ... teramat tinggi ... hingga menghancurkan semua yang ada di dekatmu, Mas,"
"Ambisi ... kau bilang keinginan sederhana ini sebagai sebuah ambisi?!"
"Iya ... memang seperti itu pada kenyataannya, Mas. Ambisi gila yang tak sepantasnya kau junjung tinggi, ambisi hina yang seharusnya mampu kau hancurkan ... tapi tidak! Kau memilih erat menggenggam hasrat itu ... mengorbankan Istri serta anak semata wayangmu!"
"Justru aku ingin menyelamatkanmu, Amalia ... tak pahamkah kau dengan apa yang menjadi maksudku?! Aku ingin membebaskanmu dari hubungan yang tak sehat ini!" Tandas Mas Brian, tegas menekan setiap kata.
"Mengapa harus dienyahkan?! Mengapa mesti aku yang kau singkirkan?! Tak bisakah egomu saja yang sedikit diluruhkan?! Mengapa memilih menjadikanku seorang janda daripada menurunkan standar gilamu itu?! Mengapa mesti menjauhkan diri dari anakmu daripada melupakan ambisi hebatmu itu, Mas?!"
"Amalia ... aku mencintaimu ... sangat mencintamu. Tak mudah bagiku melepasmu ... sama beratnya bila harus terus mempertahankanmu. Aku ingin kau bahagia ... dan ini ... adalah caraku mewujudkankannya,"
"Kamu yakin, Mas?! Dengan cara seperti itu ... mampu mencipta cita di hidupku?!"
"Percayalah ... ini yang terbaik. Untuk aku, kamu dan juga Agam,"
"Terbaik? Baiklah bila memang itu maumu?! Kau adalah seorang Imam dan talakmu adalah mutlak di hadapan-Nya ... meski masih ingin memperbaiki tapi nyatanya ucapanku tak ada arti ... tak mampu menghentikan semuanya ... tak apa ... aku bisa mengerti dan akan tetap berdiri meski seorang diri," ucapku pasrah.
Sungguh, entah kini apa yang kurasa ... semuanya berseteru menguasai tahta. Amarah, kecewa, sedih dan putus asa. Semua kurasa dalam detik yang sama.
"Kini aku sadar ... menerima pinanganmu adalah keputusan terburuk di kehidupanku ... sungguh aku menyesal memaksa kedua orangtuaku untuk menerima kehadiranmu. Kupikir kau adalah lelaki terbaik yang akan menjadikanku Ratu tanpa syarat ... tapi aku salah karena kau pun bukan lelaki idaman yang akan menerima diri ini apa adanya," ungkapku kecewa di ujung pasrah.
"Kuharap kau bisa legowo ... ikhlas menerima perpisahan ini tanpa menyimpan dendam ataupun kebencian ... demi Agam! Iya, untuk kebaikan Putra kecil kita," pungkas Mas Brian penuh wibawa.
****
"Bunda .... " panggil Agam dari kejauhan, berlari kecil menghampiriku.
"Iya, Nak," sahutku cepat, lekas menghapus bulir, tersenyum simpul menyembunyikan tangis.
"Kata Ayah ... Agam suruh siap-siap. Memangnya kita mau kemana?" Tanya sang putra polos, tak henti memainkan mobil di gengamannya.
Pahit kutelan getir saliva, melirik jarum jam dinding yang masih tegak di angka empat.
Argh! Sebegitu inginkah Mas Brian mengusir kami pergi dari rumah. Hingga meminta Agam segera mempersiapkan diri. Dua jam ... iya! Tinggal dua jam lagi Istri dan anaknya berada di rumah ini ... tapi mengapa dia bersikap seolah sangat ingin kami lekas pergi.
Sejenak saja, tak bisakah dia memberiku sedikit waktu ... sebentar saja ... untukku bisa mencerna apa yang terjadi. Semuanya begitu cepat dan tak terduga. Mengapa dia tak mau mengerti dan terus menekanku?
"Kita mau ke rumah Eyang, Nak?" Jawabku lugas, panjang menghela nafas berat.
"Ke rumah Eyang?" Tukasnya kembali, memastikan penuh keheranan.
Bangkit, pura-pura kuambil beberapa potong baju di dalam lemari, menyembunyikan isak yang sebenarnya teramat sulit untuk diheningkan.
"Bunda ...." panggil Agam.
"Iya, Nak," sahutku tanpa menoleh.
"Bunda nangis?" Tanyanya polos, mencoba mendekatkan raga.
Tanpa menoleh kugelengkan kepala cepat.
"Bunda .... " panggil Agam kembali.
Sungguh dia adalah seorang Anak yang sangat cerdas ... tak akan berhenti bila belum mendapat kepastian akan kecurigaanya.
"Tidak ... Bunda tidak menangis. Lihatlah ... Bunda baik-baik saja," ucapku menekan gemetar yang berakhir sia-sia.
"Tapi mata Bunda merah ... ada airnya ... Bunda sakit?" Tanyanya kembali mencerca mencari jawaban.
Hening ... tak lagi mampu kupendam bulir, menangis tersedu dengan bahu bergetar.
Aku juga akan meminta Agam untuk berkemas ... dan itu pasti ... tapi sebentar lagi. Biarkan aku menata diri ini terlebih dahulu. Setidaknya, aku mampu menghadapi Agam dengan senyum tanpa air mata seperti ini.
"Iya ... Bunda sakit, Sayang. Bunda sakit ..." ucapku terisak, deras berlinang air mata.
Aku telah mencoba terlihat tegar di depannya ... sangat keras ... tapi ternyata aku tak mampu.
"Bunda .... "ucap Agam mengambang, lembut menghapus bulir di pipi ini.
"Bunda sakit, Sayang ... maafkan Bunda ... maafkan Bunda, Nak," lirihku tergugu.
Sungguh, aku tak pernah menginginkan ini ... untuk Agam aku selalu mengusahakan yang terbaik. Tapi kini, aku harus memberinya keluarga yang tak sempurna.
"Kita ke Dokter ya, Bunda," bujuk Agam berkaca-kaca.
"Tidak, Nak ... Bunda baik-baik saja. Agam temenin Bunda saja pulang ke rumah Eyang, ya .... " pintaku pilu, ragu menggores kalbu.
Lekat, Agam menatap sang bunda heran sebelum akhirnya pelan mengangguk setuju.
"Bajunya dibawa semua, Bunda? Hm ... mainan Agam juga?" Tanya Putra kecil itu, mengedarkan pandangan bingung.
"Iya, Nak ... kita bawa semuanya," jawabku getir, pahit menelan saliva.
"Kenapa semuanya? Apa kita akan lama di sana?"
"Iya ... kemungkinan akan lama,"
"Sekolah Agam gimana?"
"Nanti kita pikirkan itu ya? Hm ... kalau Agam pindah sekolah di dekat rumah Eyang, gimana?"
Kembali Putra kecil itu menatap bingung.
"Kenapa harus pindah kesana? Apa kita tak akan pulang lagi, Bunda?"
Membisu, aku tak mampu menjawab pertanyaan Putraku. Aku tahu ini teramat berat baginya ... lebih sakit dari sekedar yang kurasa.
'Maafkan Bunda, Nak ... untuk hatimu yang mungkin akan patah ... maafkan Bunda untuk semua yang terjadi ... andai masih bisa diperbaiki maka aku pun mau untuk tetap bertahan ... demi kamu ... Bunda rela berkorban. Tapi ayahmu telah menyerah, sangat lantang mengucapkan perpisahan. Lantas Bunda bisa apa?' rintihku perih tanpa suara, hancur mengenggam sekeping daging yang tak lagi sama.
***
"Buk, apa aku harus pergi ke rumah orang pintar untuk meminta bantuan mengembalikan Amalia," ujarku meminta pendapat sang Ibunda.Kalut, sungguh aku tak tahu lagi harus berusaha dengan cara seperti apa. Berbagai macam hal telah kulakukan namun semua terpatahkan sia-sia.Kesekian kali Amalia kembali meruntuhkan apa yang disebut sebagai asa. Lalu salahkan bila kini aku mulai putus asa?! Tidak! Ini bukan putus asa tapi wujud dari betapa besar kegigihan ini untuk kembali mengikatnya."Astagfirullah ... apa yang kau pikirkan, Nak. Istighfar ... minta perlindungan Allah," ucap Ibu terhenyak dengan nada sedikit lebih tinggi."Tapi ini seorang ustadz, Buk. Pasti baik karena beliau rekomendasi dari teman kantorku," sanggahku meyakinkan."Ustadz?! Ustadz seperti apa yang kau maksud itu?!""Beliau tidak menggunakan jampi-jampi atau bacaan-bacaan yang keluar dari kaidah islam. Tapi, ayat Al-Quran. Iya, Beliau menggunakan itu untuk membantu o
Lunglai, kutapaki langkah tak berdaya. Harapan untuk bisa bersatu kini semakin nyata tak akan pernah bisa. Meski telah kubawa malaikat tanpa sayap untuk memberikan pengertian. Nyatanya, Amalia tak lagi mau mengerti. "Datanglah bila memang kau merindukan Agam, Mas. Aku tak akan memberikan batasan apapun untuk kalian bersua atau memberi sekat dalam kasih kalian. Tak akan ... tapi cukup untuk itu. Jangan lebih ... apalagi memintaku kembali," tandas Amalia saat aku pamit, hendak pergi. Iya, itulah kalimat terakhir yang keluar dari wicaranya. Meski terucap lembut namun sangat tajam menggores, mencipta luka. Untuk Agam dia menginginkan yang terbaik ... tapi untuk hubungan kami dia memutuskan hal yang paling buruk. Tak apa ... mungkin ini adalah hukuman untukku. Sosok suami yang tak bisa menghargai perjuangan seorang Istri. Namun bukan berarti aku akan benar-benar berhenti ... tidak! Aku tak selemah itu. Walau tidak untuk sekarang. Tapi aku percaya s
"Amalia .... " lirihku perih. Sungguh, kenyataan ini begitu pahit untuk sekedar kudengar. Apalagi bila harus kujalani. Sefatal itu kah kesalahan ini hingga ampunan pun tak pantas kumiliki? "Cukup, Mas! Cukup! Berhentilah ... jangan lagi datang kemari untuk mengemis seperti ini!" Tandas Amalia, lantang membelah luka. "Berhenti? Dengan cara apa aku bisa berhenti memperjuangkan Istri dan juga anakku ... dengan cara apa, Amalia ... dengan cara seperti apa?!" Tanyaku frustasi. Nampak jelas Amalia menggelengkan kepala pelan, melebarkan kelopak tak percaya. "Dengan cara apa?! Mengapa kau tanyakan itu padaku, Mas?! Mengapa?! Oh ya, bukankah kemarin kau bilang tentang langkah kita yang tak lagi selaras? Dan kau pun juga berucap untukku berlaku ikhlas? Lakukan saja seperti itu, Mas?! Sebagaimana yang kau perintahkan padaku ... lakukan saja seperti itu," tandas Amalia, tertawa sengit. "Nak .... " panggil Ibu menghentikan per
"Sebelumnya, saya minta maaf bila kedatangan kami kemari menganggu waktu Bu zainab," ucap Ibu terjeda. "Baru kemarin saya mengetahui tentang apa yang telah menimpa pernikahan anak-anak kita, Bu. Saya tidak menyangka Brian akan bertindak sejauh itu ... mengembalikan Istri pada orangtuanya. Sungguh, itu adalah kesalan besar ... dan saya sangat murka pada keputusan Brian," "Iya, memang sudah seharusnya seperti itu," timpal Bu zainab menatapku tajam. "Saya berharap ... semua ini masih bisa diperbaiki dan Nak Amalia mau lagi kembali ke rumah bersama Brian," "Kembali?! Sebagai seorang Ibu kurasa hati ini tak akan mampu melepas Putriku pada lelaki yang ... maaf ... seperti Nak Brian ini," "Saya faham, Bu. Tentang rasa khawatir yang saat ini Ibu zainab rasa ... saya sangat mengerti. Tapi ... InsyaAllah Brian telah menyadari letak kesalahannya dan tak akan mengulangi di masa mendatang. Bukan begitu, Nak?" tandas Ibu sejenak mengalihkan netra
Tak henti kucoba menekan gundah, melirihkan gejolak yang terasa keras mendentum dada. Namun, upayaku jauh dari kata sempurna. Bahkan layak dikata tak berguna sebab getir itu tetap ada, semakin tinggi merangkak memposisikan diri. Lurus menatap, kucoba untuk tetap fokus. Perjalanan masih sangat panjang. Dan pastinya aku berharap selamat senantiasa mengiringi sampai tujuan. "Bila nanti Amalia mau kembali ... tolong jaga dia, Nak. Perlakukan dirinya dengan cara terbaik," tutur Ibu tanpa benar-benar menatapku. Netranya berembun. Iya! Sejak tak mendapati keberadaan sang menantu, pelupuk itu tak pernah benar-benar kering. "Pasti, Bu ... Pasti," ucapku, mencoba meyakinkan, menanam kembali benih kepercayaan. Sungguh, telah sangat jauh aku membuang sikap itu. Kikir. Iya! Meski sampai saat ini aku pun belum bisa menerima bila diriku disebut sehina itu. Namun, demi utuhnya bahtera pernikahan. Aku rela ... sungguh tak apa bila harus kus
Cintanya pada Amalia. Memang sangat lah besar dan nyata. Bahkan, tak henti Beliau selalu membanggakan pribadi menantunya itu.Dan kini, kenyataan berlaku begitu pahit ... sangat getir untuk diterima nalarnya."Tanpa memberitahu Ibu ... kau ambil keputusan seberat itu, Nak? Kenapa?! Apa kau tak lagi membutuhkan pendapat Ibu?!" Serunya, mendongak, deras mengalir air dari ke dua sudut netra senjanya.Usianya tak lagi muda, tapi luka itu harus Beliau rasa. Sungguh, bukan hanya tak pantas dibangga. Aku pun menjadi sosok anak tak berguna."Maaf, Bu ... maafkan aku," lirihku bersimpuh, eret memeluk lututnya."Mengembalikan seorang Istri pada orangtuanya bukanlah hal yang patut kau sebut sebagai ketidaksengajaan, Nak ... Tak pantas kau sebut seperti itu," lirih Ibu nyaris tak terdengar. Tersedu. Iya, wanita yang selalu kukagumi itu mulai terisak pilu, menyayat perih, mengiris kalbu."Aku tahu ... aku memang telah bersalah menge