Share

Keputusan

"Entahlah ... aku pun tak mengerti. Mungkin karena lelah ... iya! Aku sangat lelah. Sakit ini teramat dalam ... aku tak sanggup lagi," ucapnya tergugu.

'Apa maksudnya ini?!' Teriakku tanpa suara.

"Kamu lelah menjadi istriku, Amalia ... benarkah kamu tak lagi sanggup hidup bersama suamimu ini?! Tukasku tak percaya, lebar membuka netra.

Tanpa menjawab pujaan hatiku itu menggeleng kuat, menguras sungai di balik kelopak matanya.

"Tak kenal waktu kuperas keringat ini, bekerja keras demi memenuhi kebutuhan kita. Memastikan Anak dan Istriku hidup berkecukupan ... tapi apa balasanmu?! Bahkan dengan tega kau bilang tak lagi sanggup hidup bersamaku?! Seberat itukah?! Dan pengorbananku ... kau anggap apa?! Secuil pun, apakah tak adakah artinya?!"

Terbahak, Amalia mengumbar tawa. Entah apa yang menggelitik rungu itu hingga harus melebarkan kedua bibirnya.

"Pengorbanan?! Tugas menafkahi Istri itu adalah kewajiban, Mas! Mutlak kau lakukan ... bagaimana bisa kau sebut sebagai pengorbanan?!" 

"Aku tahu itu, Amalia ... aku sangat tahu hal itu. Tapi tak bisakah sejenak saja kau lihat betapa berat perjuangan yang harus kulakukan?"

"Melihat perjuanganmu?! Aku tak mampu, Mas! Karena sudah sejak lama kau mematikan rasaku ... memaksaku membenci segala kelakuanmu!"

"Amalia .... " ucapku lirih, nyaris tak terdengar.

Menerawang, netra itu nampak jauh memandang. Miris, sungguh aku pun tak sanggup melihat mata sembabnya.

"Malam itu ... senyum tak pernah pamit dari wajah ini ... saat tahu esok aku akan memiliki gelar baru, bertahta sebagai Nyonya Brian Pramestu, sosok Ratu satu-satunya di hidupmu, Mas," ungkap Amalia lirih, tersedu pilu.

"Dan benar ... kau begitu istimewa memperlakukanku, mencipta indah pelangi tanpa dingin rintik hujan ... aku bahagia kala itu ... sangat bahagia ... hingga lupa seperti apa sedih itu terasa ... Namun, aku terlena, tak menyadari bahwa waktu bisa menghapus garis indah di langit biru ... aku lupa bahwa duka terlahir bersama cita ... aku lupa bahwa masa pun bisa merubah segalanya,"

"Amalia ...." lirihku terhenti, tersungkur di depannya.

"Hanya satu tahun ... iya! Tak lebih dari tiga ratus enam puluh hari. Sebelum akhirnya kau berangsur menekanku dengan dalih mendidik seorang Istri, kau memintaku berhemat dengan cara memaksa, kau menekanku berlaku sempurna tanpa mau tahu sekeras apa terjal jalan yang harus dilalui ... acuh ... kau memilih rapat menutup mata ... hanya ingin mendengar bahwa aku bisa dan baik-baik saja," 

"Amalia ... maafkan aku,"

"Sakit, Mas. Sungguh ... aku bersuami tapi serasa hidup seorang diri ... kau tak pernah benar-benar menuntun langkahku ... kau tak pernah benar-benar mengiringi perjuanganku. Iya ... kau selalu ... dan hanya selalu menyeretku mengikuti langkah cepatmu. Tak peduli seberapa berat kaki ini terseok, tak peduli seberapa lelah nafas ini tersenggal ... tak peduli ... karena kau tak pernah sudi menengok, menatap peluhku,"

"Aku tak tahu ... aku tak tahu kau semenderita ini hidup denganku ... maafkan aku, Amalia. Maaf ... maaf untuk neraka yang kuciptakan untukmu ... sungguh aku benar-benar tak bermaksud melakukannya,"

"Maaf?! Iya, mungkin aku bisa memberi itu ... tapi bagaimana dengan hatiku, Mas? Apakah kau yakin mampu mengembalikan keutuhannya?!" Seru Amalia, keras memukul bagian tegah dadanya.

"Dulu kukira kau akan berubah, Mas ... saat jelas mendengar rintihku melahirkan keturunanmu. Tapi tidak! Hanya sesaat kau memelukku mesra ... lirih berucap terimakasih atas kelahiran sang putra. Dan setelah itu?! Kau kembali, tak henti memaksaku mengikuti standarmu,"

"Tanpa putus asa ... masih kulangitkan pinta agar Allah berkehendak melembutkan hatimu, saat kau tahu payudara ini berdarah kala menyusui Agam. Tapi apa yang kudapat? Tak ada! Selain kecewa yang harus kembali kutelan sia-sia... tak apa ... aku masih bisa bersabar ... sesuai kemampuan kuikuti arahmu ... meski seringkali cerca yang harus kau lontarkan akan batas yang tak sanggup kucapai,"

"Namun ... ternyata aku tak sekuat itu untuk menanggung lara, Mas. Aku tak setangguh itu mengikuti tekananmu. Aku lemah ... iya! Mungkin itu yang ada dipikiranmu, aku wanita yang mudah menyerah ... terserah ... apapun itu. Delapan tahun sudah kupaksa kaki ini tegak tanpa sendi ... mungkin ini adalah jawaban atas sujud panjangku, mungkin ini jalan terbaik sebelum akhirnya aku benar-benar hancur karena tak mampu mengikutimu," cerca Amalia meluapkan segala murka.

"Maaf ... maafkan aku," lirihku lemah, gemetar meraih tubuhnya.

🌾🌾🌾🌾

Dalam peraduan tak lepas kurengkuh tubuh Amalia, penuh haru mengecup kening sang Istri yang nampak lelap dengan mata sembab.

Aku meyesal?! Sangat ... sungguh aku pun tak mampu menampik rasa itu. 

Benarkah teramat tinggi standar yang kusematkan untuk keluarga ini?! Ataukah Amalia yang memang tak sanggup berjalan beriringan denganku?!

Mewujudkan keluarga harmonis yang sederhana ... hanya itu saja. Apakah itu teramat memberatkan? Ataukah memang tujuan kami yang tak sama?!

Entahlah ... tapi yang pasti. Dia terluka dengan impian sederhana ini, Amaliaku tersakiti dengan harapan kecil ini.

"Bersiaplah ... aku akan mengantarmu dan Agam ke rumah Bapak," ujarku lirih, datar, tanpa menatap.

"Ke rumah Bapak? Kapan? Kenapa kamu tak bilang, Mas?" Tanya Istriku itu heran, penuh tanya meyajikan secangkir kopi pagiku.

Pahit kutelan getir saliva ... bukan hanya melukainya ... keputusan ini pun serasa mematahkanku. Tapi ini yang terbaik ... harus diambil meski menyakitkan untuk kami bertiga.

"Bawa semua pakaianmu dan juga punya Agam ... kita akan berangkat selepas sembahyang tiga rekaat," ucapku mencoba tetap tegar dalam tangis yang rapat kupendam.

Sungguh, aku pun tak ingin .. tak mengharapkan semua ini. Namun apa kuasaku?! Tujuan kami berbeda ... impian kami pun tak sama.

"Mengapa harus berlaku sejauh ini, Mas? Bila tadi malam ada khilaf kataku ... aku mohon maafkan aku ... tapi jangan kau pulangkan aku pada Bapak ..." pinta Amalia, sujud tersungkur, mencium kakiku.

Tersentak, kucoba menjauh sebelum akhirnya bersimpuh, memegang kedua bahu yang nampak terguncang oleh isak.

"Amalia ... bangun lah ..." titahku mencoba membimbingnya bangkit.

"Jangan kau pulangkan aku, Mas ... aku mohon," elak Amalia, kuat menggelengkan kepala.

"Amalia ... maafkan aku. Tapi aku tak sanggup ... aku tak bisa untuk terus mempertahankan rumahtangga kita ... aku takut untuk terus menggores luka di hatimu,"

"Tidak, Mas ... aku baik-baik saja ... sungguh. Kemarin ... iya, mungkin karena aku sangat lelah. Tapi aku janji ... tak akan lagi mengulangi semua itu ... janji untuk berhenti merengek, meminta sesuatu yang tak perlu, janji tak akan bertutur kasar. Sungguh ... aku akan berhenti berlaku arogan seperti itu ... aku janji, Mas," tutur Amalia, mendongak gemetar.

"Maafkan aku, Sayang ... tapi percayalah ... ini yang terbaik untuk kita," lirihku lembut, pedih membingkai wajah ayunya.

"Tak ada yang terbaik selain kebersamaan kita, Mas. Tak ada ... ini hanya salah paham saja. Kita bisa memikirkannya kembali,"

"Amalia ... aku sudah memikirkannya ... sangat matang. Memang inilah yang terbaik untuk kita,"

"Tidak, Mas ... itu tidak benar .... " rintih Amalia, menggelengkan kepala.

"Sekali ini saja, Mas. Tolong dengarkan aku ... katakan bila kita akan terus bersama ... katakan, Mas! Katakan!" Teriak Amalia, kuat menggoncang bahuku.

"Aku tahu ini berat ... pun begitu untuk diriku ... sama sakitnya denganmu. Tapi, keputusan ini harus kita ambil," pungkasku, menghapus bulir di pipinya.

"Kau menyerah, Mas? Apa kau sungguh ingin menyudahi delapan tahun pernikahan kita seperti ini?" Tukas Amalia berkaca-kaca. 

"Maafkan aku ... terserah bila kau pikir aku telah menyerah. Tapi yang pasti ... aku ingin kau tak lagi tersiksa dengan keegoisanku"

"Apakah seperti ini caramu menyudahi tangisku, Mas?! Apakah benar seperti ini langkah yang ingin kau tempuh untuk menghentikan penderitaanku?!"

"Amalia ... aku mencintaimu ... sangat ingin hidup bersama denganmu. Tapi, hubungan kita tak sehat. Hanya akan menyakiti satu sama lain bila dipertahankan. Tak akan baik untukku ataupun dirimu,"

"Argh! Benarkah itu?! Dan Agam?! Oh ya ... apa kau yakin mampu menjalani hari tanpa dirinya?! Bukankah hubungan kalian sangat dekat?! Apakah kau tega mengabarkan pada anak kita, Mas?! Tentang semua ini ... mengenai cinta yang tak lagi sama untuknya?!"

"Untuk Agam ... kasih itu tak akan berubah ... cinta untuknya akan tetap sama. Hanya hubungan kita saja yang berbeda,"

"Hanya hubungan kita yang berbeda?! Apa kau yakin tak akan berpengaruh pada kehidupan Putramu, Mas?! Bila memang bukan untuk diriku ... coba sedikit saja kau tengok wajah putra kecil kita?! Tak mampukah terbersit rintih tangisnya bila kita tak lagi bersama?!"

"Semua itu ... sudah kupikirkan Amalia. Apapun yang terjadi aku akan selalu ada untuk mendukung Agam. Percayalah ..." 

"Dalam semalam ... iya! sepertinya sudah sangat matang keputusanmu untuk sesuatu yang menurutku sangatlah rumit ini ... itulah dirimu ... sangat angkuh pada pendirian sendiri terlepas baik atau buruk!" Ucap Amalia tertawa miris.

"Tapi dengan mengembalikan seorang Istri pada orangtuanya! Argh ... kupikir kau bisa bersikap lebih bijak, Mas. Tapi tidak! Kau ternyata lebih kejam dari yang selama ini kupikirkan ... kukira kau akan lebih legowo, menerima kekurangan. Hingga, berusaha untuk berjalan ke sisi yang lebih baik. Tapi aku salah ... kau lebih memilih menyingkirkan seseorang yang kau anggap tak sejalan denganmu,"

Terdengar hembusan nafas berat dalam jeda kalimat. Biarkan ... biar dia lepas amarahnya ... segala cerca ... sepatahpun tak akan kubalas.

"Delapan tahun kebersamaan kita ... cukup lama ... tapi ternyata bukan jaminan untuk bisa memahami satu sama lain ... terlalu banyak perbedaan ... yang sebenarnya bisa diselaraskan, asal ego berkenan sedikit diluruhkan ... sedikit saja. Tapi tak apa ... kau sudah memutuskan ... meski tanpa persetujuanku ... tak apa ... kuikuti maumu. Aku akan pulang ... ke rumah Bapak ... tapi ingat, selangkah pun tak akan lagi kuinjakkan kaki di pelataran ini!" Tandas Amalia, pergi berlalu, merengkuh kecewa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status