Share

Pulang

Hampa kuedarkan pandangan ke luar kaca mobil, menopang kepala yang terasa berat dan semakin sakit. Malam telah larut, hilir mudik kendaraan pun sudah semakin surut. Tapi tetap saja, ada beberapa anak muda yang memilih duduk bergerombol di pinggir jalan daripada menghabiskan waktu di rumah merebahkan badan.

Hampir jam sepuluh malam tapi kami masih harus menempuh separuh lagi perjalanan. Mungkin menjelang dini hari, roda mobil ini baru akan berhenti bekerja mengikuti arahan sang empu.

"Mas, untuk terakhir kali ... tolong antarkan kami selepas sholat Isya," tawarku pada Mas Brian, sebagai pinta terakhir padanya.

Bukan untuk menunda atau berharap masa akan memperbaiki semua. Bahkan, sebenarnya aku pun sudah tak lagi ingin berpijak lebih lama. Tapi, ada dua hati yang beranjak senja di sana, dua wajah tua yang mungkin akan berkerut kecewa, dua keping hati yang mungkin saja akan patah tak bersisa.

Sepasang suami Istri yang selalu mendukung apapun keputusan Putri semata wayangnya.

Satu windu telah kucipta, senyum mereka tetap terjaga, erat mendekap prahara meski telah lama kurasa. Dan kini ... apa yang terjadi? Aku harus kembali, bukan untuk berkunjung layaknya yang selalu kulakukan, bukan pula bermaksud singgah sementara waktu. Tapi aku hadir untuk pulang dan tak lagi pergi.

Entah, dengan cara apa akan kukatakan semua ini, menjelaskan tentang bahtera yang selalu kukabarkan bahagia, menceritakan tentang kondisi sang Putri yang kini telah tertolak sebagai seorang Istri.

Dulu, kulangkahan kaki meninggalkan mereka dengan senyum merekah, menatap masa depan cerah bersama lelaki pilihan hati. Namun kini aku hadir bersama mimpi yang telah mati.

***

"Amalia ... ayok," ajak Mas Brian, memintaku keluar dari mobil.

Namun, aku bergeming, kembali terisak dalam tangis memilukan. Bukan, meratapi kehancuran tapi lebih pada ketidakmampuan melihat kepedihan kedua orang terkasih.

"Sebentar, Mas," lirihku tanpa suara.

Tersedu, keras kuperas deras air mata. Biarlah mengering karena aku ingin menemui mereka dengan senyum bahagia.

"Amalia," panggil lelaki yang kini telah berstatus sebagai mantan suami itu tak sabar, memintaku segera bangkit mengikuti langkah tegasnya.

Tentang risalah hati. Apakah masih utuh ia miliki? Perpisahan ini, mengapa tak terlihat menyakiti bagian dalam dadanya?! Apakah benar hanya karena aku tak sesuai dengan standarnya atau ada maksud lain yang mengokohkan keinginannya?!

Argh! Entahlah, aku tak mengerti mengapa raga itu masih mampu tegap berdiri, melangkah cepat berirama teratur.

"Assalamualaikum," ketukku pelan, tak ingin mengejutkan mereka yang mungkin telah terlelap dalam tidur malam.

"Assalamualaikum," seruku kembali sedikit lebih keras. Namun, nihil. Sepertinya mereka sedang benar-benar terlelap dalam tidur.

"Bapak .... " panggilku parau 'putrimu kembali,' lirihku pilu jauh di kedalaman hati.

"Wa'alaikumsalam," jawab Seseorang dari dalam bersamaan dengan lampu yang menyala temaram.

Nampak, sedikit tirai tersingkap sebelum akhirnya yakin membuka pintu depan.

"Kalian?" Tukas Bapak, tertegun, heran.

"Iya, Pak ... maaf kami datang malam-malam," ucapku gemetar, nyaris tak terdengar.

Sungguh, kusangka aku sudah cukup tegar berdiri berhadapan dengan Beliau. Namun faktanya rahang ini terlipat lunglai tak berdaya. Kupikir mata ini telah mengering tadi. Tapi nyatanya, ia masih mampu deras mengurai tak terbendung.

Tak bisakah aku sekuat Mas Brian, yang masih mampu tersenyum simpul di hadapan Bapak?

"Tidak apa-apa ... masuklah," ajak Ibu yang sedari tadi nampak terkesiap bingung sebelum akhirnya memilih menuntun sang putri hangat.

'Argh ... Ibu. Kau selalu menyambut Putrimu dengan cara seperti ini ... tak pernah menepis meski aku hadir membawa bara api,'

"Nak ... ayuk," ajak Ibu, erat mengaitkan lengan.

Lunglai, kuikuti derap senjanya, tetap melangkah tegas. Meski aku pun tahu hati itu tengah merana.

"Kamu sudah makan, Nak?" Tanya Ibu setelah kupastikan Agam beristirahat nyaman di pembaringan.

Tanpa menjawab, aku hanya mampu menggeleng pelan. Entah, kapan terakhir perut ini terisi. Bahkan, tak lagi bisa kurasakan lapar meski raga telah melemah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status