"Aku tak peduli dengan ucapan maafmu itu! Yang pasti ... sejak kau antarkan Amalia pulang, tanggung jawab atas dirinya telah kembali padaku ... dan aku?! Tak akan pernah menyerahkan kembali permataku pada orang yang menghinakannya seperti dirimu!" Tegas Pak Heru, bangkit, mengakhiri perbincangan sore ini. Lunglai, kususuri hamparan aspal dalam kehancuran. Andai, ego itu mampu kutahan, jika saja amarah itu mampu kupendam, atau setidaknya dapat kulipat rapat bibir ini. Maka semua akan baik-baik saja. Namun, semua telah terjadi, awan hitam pun terlihat pekat menyelimuti. Jangankan indah warna pelangi, sinar mentari pun tak mampu menembus kerapatannya. Aku lemah ... tak mampu membawa Bidadariku itu kembali. Bahkan, untuk sekedar melihat parasnya pun, aku tak bisa melakukannya. "Amalia ... sungguh, aku merindukanmu," lirihku pilu seorang diri.
Lihat lebih banyakSudah hampir delapan tahun kami menikah. Namun, masih tetap sama. Amalia selalu bersuara saat tertidur. Bukan hanya kala terlelap di waktu malam, saat menemani putra kami tidur siang pun, tak pernah sekalipun Dia nampak tenang tanpa suara.
Iya! Aku sempat terkejut saat pertamakali mendengar irama tersembunyi sang Bidadari, aku pun pernah merasa sangat terganggu dengan getarnya. Bahkan, pernah pula kututup rapat telinga karena tak mampu memejamkan netra. Dan pastinya tanpa sepengetahuan Amalia, karena aku tak ingin Istriku yang sangat jelita itu merasa malu atau memendam elok parasnya.
"Dek ... kenapa belum tidur?" Tanyaku suatu malam melihat Amalia yang masih duduk terjaga mengusap layar pipih.
"Tidak apa-apa," jawab Istriku itu singkat, sangat acuh. Dan aku tahu ... dia tidak sedang baik-baik saja.
Sejenak kulirik benda bulat di dinding. Pukul satu dini hari ... sudah sangat larut. Namun, apa yang menganggu pikiran Bidadariku ini hingga memilih duduk bersandar, termenung seorang diri.
Sakit kah dia? Atau ada luka yang mencoba Ia rasakan sendiri?
Kutempelkan punggung tangan ke pelipisnya. Namun, Amaliaku menepis kasar. 'Ada apa ini? Apa salahku? Bahkan, sepulang kerja dia masih ramah menyambut dengan senyum terbaik, saat aku pamit tidur duluan pun dia masih mengangguk lembut. Tapi ... kini apa yang terjadi? Apakah tidurku menyakitinya?'
Menunduk, aku mencoba mencerna kembali, keras mengingat barangkali ada secuil kata burukku yang terlewat. Namun nihil ... aku tak menemukan apapun.
"Ada apa?" Tanyaku mengalah dengan nada paling rendah.
Saat seperti ini apa yang mampu dilakukan oleh seorang lelaki? Tak ada ... selain pasrah menerima ribuan cerca juga mengangguk mengiyakan segala dosa.
"Tidak apa-apa," jawabnya kembali. Namun, kali ini terdengar parau. Sangat kentara kalau dia sedang menahan deras air mata.
Lekat kutatap lembut Amalia. Iya, dirinya yang dalam setiap detik selalu kupuja, dirinya yang mampu membuatku mengabaikan masa bahwa tubuh ini butuh istirahat untuk tenaga esok kerja.
"Kamu sakit?" Tanyaku lirih, mencoba memastikan.
"Sakit?! Tidak! Aku sehat," ketusnya, menatap ke sisi lain, menyembunyikan bulir dari pelupuk mata.
"Ada masalah apa?" Tukasku lembut, menatap sendu.
"Nggak ada," jawabnya acuh, terdengar gemetar.
"Mas, minta maaf kalau ada salah ya,"
"Kenapa minta maaf?! Emang ada salah apa?" Tukasnya tajam, garang menatap murka.
Terdiam, tak mampu kujawab tanya. Karena sesungguhnya diri ini pun tak tahu letak sebuah cela.
"Kenapa diam?!" Cerca Amalia.
"Hm ... aku juga nggak tahu ada salah apa ... jika kamu berkenan ...."
"Kalau tak merasa bersalah ... kenapa harus minta maaf!" Pangkas Amalia kasar, sekilas menautkan netra tajam.
"Tidak apa-apa ... sekedar minta maaf aja, Sayang,"
"Tak perlu,"
"Iya ... lalu kenapa kamu seperti ini? Apa ada yang menganggu pikiranmu? Atau ada perilakuku yang menyinggungmu?"
"Tak ada kok ... aku baik-baik saja," jawabnya parau, terdengar serak.
"Kalau baik-baik saja kenapa harus nangis?"
"Hanya pengin nangis saja ... mungkin lelah. Emang tidak boleh kalau aku nangis?!" sela Amalia, kembali membentak.
"Boleh kok ... nangis aja. Tapi jangan lupa, sekarang kamu punya aku, bersandarlah, ceritakan, jangan menangis seorang diri. Apalagi, tengah malam seperti ini," balasku halus, lembut membingkai wajah ayunya.
Namun ditepis, Amaliaku kembali menolak.
"Tidak perlu ... aku bisa menjaga diri sendiri!"
"Aku tahu ... kamu pandai menjaga diri. Aku hanya ingin ada dan menemanimu dalam segala hal. Apa kamu keberatan?"
Hening, Istriku itu nampak rapat melipat bibir dengan air yang semakin deras mengalir.
"Sudah larut ... tidur yuk," ajakku, hangat merangkul bahunya.
"Aku akan tetap seperti ini ... terjaga sampai kapanpun!"
Terhenyak, kutatap sang istri heran.
"Kamu butuh istirahat, Sayang," bujukku kembali, mencoba mengajaknya berbaring.
"Kalau aku tidur nanti mengganggu dirimu!" Jawabnya ketus, membuatku semakin bingung, tak mengerti.
"Menganggu gimana sih, Dek?"
"Iyalah ... aku kan ngorok! Keras lagi!"
Pahit kutelan getir saliva. Kalimat itu? Iya, sore tadi kami sempat bercanda. Bahkan Amalia nampak tertawa lepas saat kugoda. Namun, mengapa gelak itu kini menjadi fatal?
"Apa sih? Tidak lah ... kan sudah lama kita tidur bersama. Dan aku tak pernah terjaga oleh sebab itu,"
"Tidak! Tadi sore kamu bilangnya tidak seperti itu! Bahkan, sangat jelas, kamu berucap akan betapa lantangnya dengkuranku!"
"Ish ... itu kan hanya bercanda, Dek. Bukan makna sebenarnya," elakku mencoba meredakan amarahnya.
"Entahlah ... nyatanya memang seperti itu kan?!" Jawab Amalia gemetar, menekuk lutut, pilu menangis, membenamkan wajah ayu.
"Maaf ya ... kalau kalimatku sudah menyakitimu. Tapi sungguh, tak pernah sekalipun aku terganggu oleh dengkuranmu,"
Semenjak malam itu, aku tak pernah lagi membahas tentang dengkuran Istriku. Biarlah, semuanya berlalu seperti itu. Seperti kesempurnaannya yang tak henti kupuja, satu kekurangannya pun tak mau kuanggap ada. Toh, kini aku sudah sangat terbiasa oleh alunan yang dibuatnya.
Entah, apa yang dia mimpikan hingga irama yang keluar begitu indah. Ketukannya pun sangat teratur meski tercipta dari alam bawah sadarnya.
🌾🌾🌾
Dan kini ... aku hanya mampu mengenang, membayangkan kembali keberadaan Istriku itu dari serpihan ingatan.
Delapan tahun hidup bersama, membuat malamku terasa berbeda, hangat, penuh irama. Namun, kini aku telah kehilangan semua. Suara itu tak lagi mampu kudengar, irama itu mengalun semakin lirih, sebelum akhirnya pergi, menyisakan sunyi.
"Kemarin, dengan bangga kau kembalikan Amalia. Dan kini engkau datang kesini untuk mengambilnya ... semudah itu?!" Ucap mertuaku itu tegas, terdengar sangsi.
"Maafkan aku, Pak .... " tuturku santun, melipat rahang.
Terbahak, sang mertua tertawa bengis.
"Tepuk dadamu itu ... mendongak lah! Tatap aku! Seperti kemarin ... iya, saat kau serahkan kembali putri tunggal, kesayanganku!"
Tanpa menjawab, aku memilih tetap bungkam. Bukan karena enggan tapi lebih pada rasa sungkan yang besar kusematkan pada sosoknya.
"Kau bisa memperlakukan Putriku dengan tidak layak, Brian. Tapi ingat, aku pun akan menjaganya lebih ketat ... Jangan harap kau bisa membawanya kembali. Bahkan, untuk sekedar bertemu pun, aku akan tegak berdiri, membusungkan dada seorang diri!" Ucap sang mertua, gagah, penuh dengan murka.
"Tak peduli seberapa gesit gerakmu, tak peduli pula betapa kuat tenaga mudamu ... nyataya! Aku yang sudah renta ini akan tetap melawan demi harga diri putriku!" Imbuhnya, tajam menatap kasar.
"Maaf, Pak. Tapi kehadiranku kesini hanya ingin membawa istri dan anakku kembali ... tak ada yang lain," tandasku lembut, tetap bersikap santun.
"Kau telah menceraikannya, Brian! Kau juga yang telah mengatarnya pulang ke sini!"
"Aku memang telah sangat salah dengan mengantar Amalia pulang. Tapi ... aku berjanji tak akan mengulang kesalahan ini kembali. Aku mohon ... ijinkan aku membawa Amalia, biarkan aku menebus semua dosa-dosaku pada dirinya," pintaku tanpa mampu membalas tatapan tejamnya.
"Wanita yang kau minta menjadi Istri itu adalah putri tunggal kesayanganku ... kamu tahu betapa berartinya itu?! Hah?! Dia mampu mengubah segalanya, mengantarkanku menjadi manusia yang lebih berguna!"
"Aku tahu itu, Pak,"
"Sekedar tahu tanpa mau mengerti, bukan?! Karena dengan sangat angkuh kau antarkan dia kembali! Apa kau pikir hanya putriku yang terluka oleh perbuatanmu itu?! Tidak! Aku ... lebih hancur daripada Amalia, air matanya adalah cambuk yang tak henti memecut bongkahan daging di dalam sini!" Lantang Pak Heru, keras membelah rungu.
"Maafkan aku, Pak ... maafkan aku,"
"Aku tak peduli dengan ucapan maafmu itu! Yang pasti ... sejak kau antarkan Amalia pulang, tanggung jawab atas dirinya telah kembali padaku ... dan aku?! Tak akan pernah menyerahkan kembali permataku pada orang yang menghinakannya seperti dirimu!" Tegas Pak Heru, bangkit, mengakhiri perbincangan sore ini.
Lunglai, kususuri hamparan aspal dalam kehancuran. Andai, ego itu mampu kutahan, jika saja amarah itu mampu kupendam, atau setidaknya dapat kulipat rapat bibir ini. Maka semua akan baik-baik saja.
Namun, semua telah terjadi, awan hitam pun terlihat pekat menyelimuti. Jangankan indah warna pelangi, sinar mentari pun tak mampu menembus kerapatannya.
Aku lemah ... tak mampu membawa Bidadariku itu kembali. Bahkan, untuk sekedar melihat parasnya pun, aku tak bisa melakukannya.
"Amalia ... sungguh, aku merindukanmu," lirihku pilu seorang diri.
***
"Buk, apa aku harus pergi ke rumah orang pintar untuk meminta bantuan mengembalikan Amalia," ujarku meminta pendapat sang Ibunda.Kalut, sungguh aku tak tahu lagi harus berusaha dengan cara seperti apa. Berbagai macam hal telah kulakukan namun semua terpatahkan sia-sia.Kesekian kali Amalia kembali meruntuhkan apa yang disebut sebagai asa. Lalu salahkan bila kini aku mulai putus asa?! Tidak! Ini bukan putus asa tapi wujud dari betapa besar kegigihan ini untuk kembali mengikatnya."Astagfirullah ... apa yang kau pikirkan, Nak. Istighfar ... minta perlindungan Allah," ucap Ibu terhenyak dengan nada sedikit lebih tinggi."Tapi ini seorang ustadz, Buk. Pasti baik karena beliau rekomendasi dari teman kantorku," sanggahku meyakinkan."Ustadz?! Ustadz seperti apa yang kau maksud itu?!""Beliau tidak menggunakan jampi-jampi atau bacaan-bacaan yang keluar dari kaidah islam. Tapi, ayat Al-Quran. Iya, Beliau menggunakan itu untuk membantu o
Lunglai, kutapaki langkah tak berdaya. Harapan untuk bisa bersatu kini semakin nyata tak akan pernah bisa. Meski telah kubawa malaikat tanpa sayap untuk memberikan pengertian. Nyatanya, Amalia tak lagi mau mengerti. "Datanglah bila memang kau merindukan Agam, Mas. Aku tak akan memberikan batasan apapun untuk kalian bersua atau memberi sekat dalam kasih kalian. Tak akan ... tapi cukup untuk itu. Jangan lebih ... apalagi memintaku kembali," tandas Amalia saat aku pamit, hendak pergi. Iya, itulah kalimat terakhir yang keluar dari wicaranya. Meski terucap lembut namun sangat tajam menggores, mencipta luka. Untuk Agam dia menginginkan yang terbaik ... tapi untuk hubungan kami dia memutuskan hal yang paling buruk. Tak apa ... mungkin ini adalah hukuman untukku. Sosok suami yang tak bisa menghargai perjuangan seorang Istri. Namun bukan berarti aku akan benar-benar berhenti ... tidak! Aku tak selemah itu. Walau tidak untuk sekarang. Tapi aku percaya s
"Amalia .... " lirihku perih. Sungguh, kenyataan ini begitu pahit untuk sekedar kudengar. Apalagi bila harus kujalani. Sefatal itu kah kesalahan ini hingga ampunan pun tak pantas kumiliki? "Cukup, Mas! Cukup! Berhentilah ... jangan lagi datang kemari untuk mengemis seperti ini!" Tandas Amalia, lantang membelah luka. "Berhenti? Dengan cara apa aku bisa berhenti memperjuangkan Istri dan juga anakku ... dengan cara apa, Amalia ... dengan cara seperti apa?!" Tanyaku frustasi. Nampak jelas Amalia menggelengkan kepala pelan, melebarkan kelopak tak percaya. "Dengan cara apa?! Mengapa kau tanyakan itu padaku, Mas?! Mengapa?! Oh ya, bukankah kemarin kau bilang tentang langkah kita yang tak lagi selaras? Dan kau pun juga berucap untukku berlaku ikhlas? Lakukan saja seperti itu, Mas?! Sebagaimana yang kau perintahkan padaku ... lakukan saja seperti itu," tandas Amalia, tertawa sengit. "Nak .... " panggil Ibu menghentikan per
"Sebelumnya, saya minta maaf bila kedatangan kami kemari menganggu waktu Bu zainab," ucap Ibu terjeda. "Baru kemarin saya mengetahui tentang apa yang telah menimpa pernikahan anak-anak kita, Bu. Saya tidak menyangka Brian akan bertindak sejauh itu ... mengembalikan Istri pada orangtuanya. Sungguh, itu adalah kesalan besar ... dan saya sangat murka pada keputusan Brian," "Iya, memang sudah seharusnya seperti itu," timpal Bu zainab menatapku tajam. "Saya berharap ... semua ini masih bisa diperbaiki dan Nak Amalia mau lagi kembali ke rumah bersama Brian," "Kembali?! Sebagai seorang Ibu kurasa hati ini tak akan mampu melepas Putriku pada lelaki yang ... maaf ... seperti Nak Brian ini," "Saya faham, Bu. Tentang rasa khawatir yang saat ini Ibu zainab rasa ... saya sangat mengerti. Tapi ... InsyaAllah Brian telah menyadari letak kesalahannya dan tak akan mengulangi di masa mendatang. Bukan begitu, Nak?" tandas Ibu sejenak mengalihkan netra
Tak henti kucoba menekan gundah, melirihkan gejolak yang terasa keras mendentum dada. Namun, upayaku jauh dari kata sempurna. Bahkan layak dikata tak berguna sebab getir itu tetap ada, semakin tinggi merangkak memposisikan diri. Lurus menatap, kucoba untuk tetap fokus. Perjalanan masih sangat panjang. Dan pastinya aku berharap selamat senantiasa mengiringi sampai tujuan. "Bila nanti Amalia mau kembali ... tolong jaga dia, Nak. Perlakukan dirinya dengan cara terbaik," tutur Ibu tanpa benar-benar menatapku. Netranya berembun. Iya! Sejak tak mendapati keberadaan sang menantu, pelupuk itu tak pernah benar-benar kering. "Pasti, Bu ... Pasti," ucapku, mencoba meyakinkan, menanam kembali benih kepercayaan. Sungguh, telah sangat jauh aku membuang sikap itu. Kikir. Iya! Meski sampai saat ini aku pun belum bisa menerima bila diriku disebut sehina itu. Namun, demi utuhnya bahtera pernikahan. Aku rela ... sungguh tak apa bila harus kus
Cintanya pada Amalia. Memang sangat lah besar dan nyata. Bahkan, tak henti Beliau selalu membanggakan pribadi menantunya itu.Dan kini, kenyataan berlaku begitu pahit ... sangat getir untuk diterima nalarnya."Tanpa memberitahu Ibu ... kau ambil keputusan seberat itu, Nak? Kenapa?! Apa kau tak lagi membutuhkan pendapat Ibu?!" Serunya, mendongak, deras mengalir air dari ke dua sudut netra senjanya.Usianya tak lagi muda, tapi luka itu harus Beliau rasa. Sungguh, bukan hanya tak pantas dibangga. Aku pun menjadi sosok anak tak berguna."Maaf, Bu ... maafkan aku," lirihku bersimpuh, eret memeluk lututnya."Mengembalikan seorang Istri pada orangtuanya bukanlah hal yang patut kau sebut sebagai ketidaksengajaan, Nak ... Tak pantas kau sebut seperti itu," lirih Ibu nyaris tak terdengar. Tersedu. Iya, wanita yang selalu kukagumi itu mulai terisak pilu, menyayat perih, mengiris kalbu."Aku tahu ... aku memang telah bersalah menge
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen