Cintanya pada Amalia. Memang sangat lah besar dan nyata. Bahkan, tak henti Beliau selalu membanggakan pribadi menantunya itu.
Dan kini, kenyataan berlaku begitu pahit ... sangat getir untuk diterima nalarnya."Tanpa memberitahu Ibu ... kau ambil keputusan seberat itu, Nak? Kenapa?! Apa kau tak lagi membutuhkan pendapat Ibu?!" Serunya, mendongak, deras mengalir air dari ke dua sudut netra senjanya.Usianya tak lagi muda, tapi luka itu harus Beliau rasa. Sungguh, bukan hanya tak pantas dibangga. Aku pun menjadi sosok anak tak berguna."Maaf, Bu ... maafkan aku," lirihku bersimpuh, eret memeluk lututnya."Mengembalikan seorang Istri pada orangtuanya bukanlah hal yang patut kau sebut sebagai ketidaksengajaan, Nak ... Tak pantas kau sebut seperti itu," lirih Ibu nyaris tak terdengar.Tersedu. Iya, wanita yang selalu kukagumi itu mulai terisak pilu, menyayat perih, mengiris kalbu."Aku tahu ... aku memang telah bersalah mengeTak henti kucoba menekan gundah, melirihkan gejolak yang terasa keras mendentum dada. Namun, upayaku jauh dari kata sempurna. Bahkan layak dikata tak berguna sebab getir itu tetap ada, semakin tinggi merangkak memposisikan diri. Lurus menatap, kucoba untuk tetap fokus. Perjalanan masih sangat panjang. Dan pastinya aku berharap selamat senantiasa mengiringi sampai tujuan. "Bila nanti Amalia mau kembali ... tolong jaga dia, Nak. Perlakukan dirinya dengan cara terbaik," tutur Ibu tanpa benar-benar menatapku. Netranya berembun. Iya! Sejak tak mendapati keberadaan sang menantu, pelupuk itu tak pernah benar-benar kering. "Pasti, Bu ... Pasti," ucapku, mencoba meyakinkan, menanam kembali benih kepercayaan. Sungguh, telah sangat jauh aku membuang sikap itu. Kikir. Iya! Meski sampai saat ini aku pun belum bisa menerima bila diriku disebut sehina itu. Namun, demi utuhnya bahtera pernikahan. Aku rela ... sungguh tak apa bila harus kus
"Sebelumnya, saya minta maaf bila kedatangan kami kemari menganggu waktu Bu zainab," ucap Ibu terjeda. "Baru kemarin saya mengetahui tentang apa yang telah menimpa pernikahan anak-anak kita, Bu. Saya tidak menyangka Brian akan bertindak sejauh itu ... mengembalikan Istri pada orangtuanya. Sungguh, itu adalah kesalan besar ... dan saya sangat murka pada keputusan Brian," "Iya, memang sudah seharusnya seperti itu," timpal Bu zainab menatapku tajam. "Saya berharap ... semua ini masih bisa diperbaiki dan Nak Amalia mau lagi kembali ke rumah bersama Brian," "Kembali?! Sebagai seorang Ibu kurasa hati ini tak akan mampu melepas Putriku pada lelaki yang ... maaf ... seperti Nak Brian ini," "Saya faham, Bu. Tentang rasa khawatir yang saat ini Ibu zainab rasa ... saya sangat mengerti. Tapi ... InsyaAllah Brian telah menyadari letak kesalahannya dan tak akan mengulangi di masa mendatang. Bukan begitu, Nak?" tandas Ibu sejenak mengalihkan netra
"Amalia .... " lirihku perih. Sungguh, kenyataan ini begitu pahit untuk sekedar kudengar. Apalagi bila harus kujalani. Sefatal itu kah kesalahan ini hingga ampunan pun tak pantas kumiliki? "Cukup, Mas! Cukup! Berhentilah ... jangan lagi datang kemari untuk mengemis seperti ini!" Tandas Amalia, lantang membelah luka. "Berhenti? Dengan cara apa aku bisa berhenti memperjuangkan Istri dan juga anakku ... dengan cara apa, Amalia ... dengan cara seperti apa?!" Tanyaku frustasi. Nampak jelas Amalia menggelengkan kepala pelan, melebarkan kelopak tak percaya. "Dengan cara apa?! Mengapa kau tanyakan itu padaku, Mas?! Mengapa?! Oh ya, bukankah kemarin kau bilang tentang langkah kita yang tak lagi selaras? Dan kau pun juga berucap untukku berlaku ikhlas? Lakukan saja seperti itu, Mas?! Sebagaimana yang kau perintahkan padaku ... lakukan saja seperti itu," tandas Amalia, tertawa sengit. "Nak .... " panggil Ibu menghentikan per
Lunglai, kutapaki langkah tak berdaya. Harapan untuk bisa bersatu kini semakin nyata tak akan pernah bisa. Meski telah kubawa malaikat tanpa sayap untuk memberikan pengertian. Nyatanya, Amalia tak lagi mau mengerti. "Datanglah bila memang kau merindukan Agam, Mas. Aku tak akan memberikan batasan apapun untuk kalian bersua atau memberi sekat dalam kasih kalian. Tak akan ... tapi cukup untuk itu. Jangan lebih ... apalagi memintaku kembali," tandas Amalia saat aku pamit, hendak pergi. Iya, itulah kalimat terakhir yang keluar dari wicaranya. Meski terucap lembut namun sangat tajam menggores, mencipta luka. Untuk Agam dia menginginkan yang terbaik ... tapi untuk hubungan kami dia memutuskan hal yang paling buruk. Tak apa ... mungkin ini adalah hukuman untukku. Sosok suami yang tak bisa menghargai perjuangan seorang Istri. Namun bukan berarti aku akan benar-benar berhenti ... tidak! Aku tak selemah itu. Walau tidak untuk sekarang. Tapi aku percaya s
"Buk, apa aku harus pergi ke rumah orang pintar untuk meminta bantuan mengembalikan Amalia," ujarku meminta pendapat sang Ibunda.Kalut, sungguh aku tak tahu lagi harus berusaha dengan cara seperti apa. Berbagai macam hal telah kulakukan namun semua terpatahkan sia-sia.Kesekian kali Amalia kembali meruntuhkan apa yang disebut sebagai asa. Lalu salahkan bila kini aku mulai putus asa?! Tidak! Ini bukan putus asa tapi wujud dari betapa besar kegigihan ini untuk kembali mengikatnya."Astagfirullah ... apa yang kau pikirkan, Nak. Istighfar ... minta perlindungan Allah," ucap Ibu terhenyak dengan nada sedikit lebih tinggi."Tapi ini seorang ustadz, Buk. Pasti baik karena beliau rekomendasi dari teman kantorku," sanggahku meyakinkan."Ustadz?! Ustadz seperti apa yang kau maksud itu?!""Beliau tidak menggunakan jampi-jampi atau bacaan-bacaan yang keluar dari kaidah islam. Tapi, ayat Al-Quran. Iya, Beliau menggunakan itu untuk membantu o
Sudah hampir delapan tahun kami menikah. Namun, masih tetap sama. Amalia selalu bersuara saat tertidur. Bukan hanya kala terlelap di waktu malam, saat menemani putra kami tidur siang pun, tak pernah sekalipun Dia nampak tenang tanpa suara.Iya! Aku sempat terkejut saat pertamakali mendengar irama tersembunyi sang Bidadari, aku pun pernah merasa sangat terganggu dengan getarnya. Bahkan, pernah pula kututup rapat telinga karena tak mampu memejamkan netra. Dan pastinya tanpa sepengetahuan Amalia, karena aku tak ingin Istriku yang sangat jelita itu merasa malu atau memendam elok parasnya."Dek ... kenapa belum tidur?" Tanyaku suatu malam melihat Amalia yang masih duduk terjaga mengusap layar pipih."Tidak apa-apa," jawab Istriku itu singkat, sangat acuh. Dan aku tahu ... dia tidak sedang baik-baik saja.Sejenak kulirik benda bulat di dinding. Pukul satu dini hari ... sudah sangat larut. Namun, apa yang menganggu pikiran Bidadariku ini hingga memilih duduk bersandar, termenung seorang diri
Delapan tahun lamanya aku pasrahkan segala kebutuhan diri ini pada Amalia. Tak banyak yang kutahu akan betapa berat beban yang harus dipikulnya, tak banyak pula yang kuminta selain menjadi seorang Ibu sekaligus Istri yang sempurna.Memang tak sekalipun kuulurkan tangan untuk membantu atau sekedar meringankan tugasnya. Toh hanya pekerjaan rumah, kan? yang cuma itu-itu saja ... kurasa tak akan butuh banyak tenaga apalagi harus brfikir keras memutar otak.Namun, ternyata semua berlalu tak semudah itu. Bahkan, harus rapat kututup hidung serta mulut akibat bau keringat yang menempel di baju. Iya! Kini aku harus melakukan semuanya seorang diri. Mengurus pakaian kotor juga persoalan perut. Bahkan rumah pun nampak berantakan tak beraturan.Argh! Andai Amalia ada disini. Pasti tangan itu akan terampil menyusun barang-barang juga memastikan aku dapat beristirahat dengan nyaman, menikmati senja sembari menyesap kopi pahit buatannya.Perih ... sangat nyeri ulu ini kala teringat akan malam saat a
"Amalia, tunggu!" Hardikku keras menghentikan derap.Menolah. Iya, dia memutar badan, menunjukkan murka yang jelas tergambar di wajah."Apa lagi, Mas?! Apa lagi!?" Seru Amalia, melebarkan kelopak netra."Haruskah, kau bersikap segila ini?! Dimana bakti yang dulu selalu kau junjung tinggi?!""Kenapa ... kamu tersinggung, Mas?! Apakah hatimu terluka dengan sikapku?!" Tantang Amalia, tertawa sengit."Aku suamimu!""Aku tahu ... aku tahu kau suamiku!" "Apakah kamu juga tahu, wajib bagimu bertutur lembut padaku, Amalia! Wajib!" Tandasku gusar.Menunduk, Amalia nampak dalam melipat rahang. Sebelum akhirnya mendongak dengan mulut gemetar."Aku sangat tahu itu! Tapi apakah kau juga tahu, bersikap baik pada seorang Istri itu juga kewajiban, Mas?!""Iya! Oleh karena itu, aku selalu mengusahakan yang terbaik untukmu!""Iya, kah? Bagian yang mana itu, Mas?!" Tantang Amalia, mendekat, kembali melangkah maju."Semuanya ... semua kewajiban sebagai seorang suami telah kulakukan dengan cara terbaik,"