Share

Ibu

"Makan dulu ya ... biar Ibu ambilkan," tawarnya bangkit tanpa menunggu persetujuan.

"Bu .... " panggilku gamang, terdengar llirih selaras dengan dengan asa yang melemah.

Ibu berhenti.

Namun tidak menoleh.

Dari balik punggungnya, kulihat lengan itu mengusap sudut netra. Lantas berbalik bersama senyum sumbangnya.

"Iya .... " sahut Ibu.

Aku menunduk.

menghembuskan nafas berat dan kembali medongak dengan bibir gemetar.

"Maafkan aku, Bu ... maafkan aku harus pulang seperti ini," lirihku, sangat pelan. Bahkan, terdengar samar di rungu sendiri.

Andai bisa terus berpura baik-baik saja ... maka aku akan memilih untuk melakukannya. Tapi keadaan memaksa lain ... aku harus kembali, dalam kondisi paling memprihatinkan.

"Kamu tak salah, Nak. Ini rumahmu ... kamu bisa pulang kapanpun itu,"

Berhambur, tak lagi mampu kutekan pilu, memeluk erat wanita yang dulu telah manjadi perantara kehadiranku.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Tanya Ibu, lekat menatap bersama embun di sudut netra.

"Tidak, Bu ... aku tidak baik-baik saja. Aku sudah berusaha ... sangat keras untuk mempertahankan pernikahan ini. Tapi tak bisa, Bu. Mas Brian memutuskan untuk berhenti, mengantarkan aku kembali pada kalian," ungkapku tak tertahan.

"Tidak apa-apa ... tidak apa-apa. Biarlah, bila Brian sudah berkata seperti itu. Artinya dia memang sudah tak lagi menginginkan dirimu ... meski tak mudah tapi kembali pada kami adalah pilihan terbaik, Nak,"

"Aku sudah berusaha sangat keras, Bu. Menjalankan peran sebagai seorang Istri juga Ibu dari anakku ... tapi Mas Brian tak mau mengerti, sampai hati berlaku seperti ini. Apakah aku memang terlihat seburuk itu, Bu? Hingga harus tertolak sebagai seorang Istri?"

"Jangan kau salahkan dirimu sendiri, Nak. Status itu memang tak mudah. Bukan hanya lelah ... seringkali sebagai perempuan kita pun dituntut selalu mengalah, Ikhlas dan sabar itu adalah kuncinya, tetap bersyukur itu adalah penguat dalam rumahtangga. Namun, bila semua sudah dilakukan tapi seorang suami tetap ingin perpisahan ... tak ada yang bisa kita lakukan. Karena ucapannya adalah mutlak meski hanya sebatas candaan," ujar Ibu, lembut mengelus punggungku.

Aku menggelng. Dan terus menggelengkan kepala.

"Hanya pertengkaran kecil, Bu ... masalah sepele. Tapi entah mengapa Mas Brian tega mengucap kalimat itu ... aku sudah bersujud, memohon di kakinya ... tapi tetap saja tak mampu meruntuhkan keputusannya," ucapku tersenggal.

"Aku harus bagaimana lagi, Bu? Delapan tahun, tak lelah aku mengabdi, santun melayani dengan penuh keikhlasan. Namun, kini apa yang kudapatkan ... jangankan kasih, sekedar ucapan terimakasih pun tak sudi Ia berikan,"

"Apakah aku seburuk itu, Bu? Apakah Putrimu ini sehina itu?! Hingga harus dibuang seperti ini?" imbuhku mencerca.

"Istighfar, Nak ... sebut asma Allah," tandas Ibu terisak.

"Kamu tidak sendirian ... ada kami. Bila memang suamimu sudah tak lagi menginginkanmu, maka ingatlah ada kami yang akan selalu menerima kehadiranmu, penuh kasih tanpa tepi,"

"Ibu ....," lirihku tergugu.

"Saat ini mungkin akan memjadi masa tersulitmu, Nak. Tapi kami akan selalu ada bersamamu dan mendukungmu. Percayalah ... waktu akan menyembuhkan luka dan sakitmu. Insyaallah ...."

"Tapi bagaimana dengan Agam, Bu? Dia masih kecil dan sangat dekat dengan Mas Brian. Bagaimana jika esok dia bertanya tentang kami yang tak lagi duduk bersama, tentang kami yang tinggal terpisah, tentang kami yang tak lagi bercanda ria? Anak ini masih sangat lugu, belum mengerti arti sebuah perpisahan ... dengan cara seperti apa harus kujelaskan semuanya?"

"Suatu saat Agam pasti akan mengerti, Nak. Langitkan namanya ... kamu ingat kan, doa seorang Ibu mustajab bagi sang putra. Pasrahkan semua pada Allah ... biarkan segalanya berlalu sesuai dengan ketentuan-Nya," ucap Ibu yakin, beralih menatap cucunya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status