Dodi yang tersadar jika Jessie menanti bantuan apa yang ingin dia minta pun tersenyum canggung, ia kemudian bertanya pada Jessie, merk kopi mana di antara dua kemasan di tangannya yang lebih nikmat.
Mendengar pertanyaan Dodi tentu saja membuat Jessie hampir meledakkan tawa. Ia pikir bantuan apaan karena pemuda itu terlihat begitu serius.
"Ini!" Jessie menunjuk pada kemasan yang ada di tangan kanan Dodi.
Setelah membantu memilihkan kopi untuk Dodi, Jessie langsung mengambil beberapa bungkus kemasan kopi yang ia inginkan, kemudian pergi dari tempat di mana Dodi masih berdiri mematung.
Tersadar jika gadis yang sempat mengalihkan dunianya berlalu, Dodi secepat kilat mengejarnya yang sudah berdiri di mesin kasir.
"Semuanya dua ratus empat puluh lima ribu," kata kasir itu seraya memasukkan barang Jessie ke kantong.
Jessie membuka dompetnya hendak mengambil lembaran uang dari sana, tapi terhenti karena ucapan Dody.
"Biar aku yang bayar sekalian," ucapnya membuat Jessie terperangah bingung.
"Ti-tidak usah!" tolak Jessie canggung.
"Tidak apa, kamu sudah membantuku Nona. Jadi aku ingin membalasnya saja." Dodi setengah memaksa.
"Aduh, beneran nggak usah. Cuman milihin doang, kenapa harus sampai bayarin barang aku." Jessie kebingungan dengan sikap Dodi.
Dodi mengulas senyum, ia mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya langsung memberikannya pada kasir, ia tetap memaksa ingin membayarkan meski sudah ditolak.
Jessie akhirnya mau tidak mau menerimanya, mau bagaimana lagi sudah dibayarkan juga. Akhirnya Jessie mengambil kantung belanjanya kemudian mengucapkan terima kasih dan berlalu dari sana.
Dodi masih termangu di depan kasir menatap punggung Jessie berlalu. "Sungguh gadis yang sangat imut dan menarik," batinnya.
-
-
-
-
Dodi kembali dengan sebungkus kopi, senyum tidak bisa hilang dari wajahnya, hingga ia melihat siapa yang sedang berdiri dengan bersidekap di depan pintu ruangan.
"Kamu dari mana, Do?" tanya Arkan dengan nada tinggi seraya melotot pada Dodi.
"Hehehehe. Beli kopi, katanya tadi mau kopi!" Dodi tertawa kecil seakan tidak merasa bersalah.
"Aku suruh kamu bikin kopi, kenapa malah beli kopi?" tanya Arkan sedikit geram, pasalnya Dodi sudah pergi hampir setengah jam lebih.
Bella sang sekretaris di sana tertawa geli melihat kedua anak muda yang benar-benar terkadang tidak mencerminkan antara bos dan asisten.
"Iya bikin, tapi kalau kopinya nggak ada terus mau bikin apa?" kilahnya.
"Ck ... ya sudah, sana bikin!" perintah Arkan, pemuda itu langsung masuk.
Dodi menuju dapur khusus untuk menyeduh kopi yang baru saja ia beli. Beberapa menit kemudian Dodi kembali ke ruangan Arkan dengan secangkir kopi di tangannya, ia langsung menyuguhkan kopi yang ia seduh di atas meja Arkan.
"Ini Tuan Arkan Hardiwijaya!" cicitnya sedikit memicingkan mata.
Arkan mengambil cangkir yang ada di meja, ia kemudian menyesap kopi itu perlahan. Sedetik kemudian Arkan menyemburkan kopi yang baru masuk ke kerongkongannya.
Dodi yang baru saja membalikan badan dan hendak pergi menuju mejanya langsung terkejut dan kembali berbalik menatap Arkan yang sedang membersihkan mulutnya dengan tissue.
"Ya ampun, Ar! Udah tahu panas, main sesap aja!" ledeknya.
"Dodi!! Bukan masalah panasnya! Kamu mau bikin aku kena diabetes apa?!" geramnya seraya mengepalkan tangan ke angin.
"Manis? Masa sih!" Dodi tidak percaya.
Asisten Arkan itu langsung mengambil cangkir milik bos-nya, lantas mencicipi kopi itu. Dodi ikut menyemburkan kopi yang masuk ke mulutnya, benar rasanya manis seperti minum gula bukan kopi.
Dodi mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, ia memasukan kopi kemudian ingin memasukan gula. Namun, pemuda itu teringat pada senyum Jessie, lantas tanpa sadar ia menuangkan gula beberapa sendok ke dalam cangkir. Tersadar jika salah, Dodi nyengir kuda menatap Arkan yang sudah emosi.
Arkan bersidekap menatap Dodi dengan tatapan menusuk jantung. Tak habis pikir jika asistennya itu tidak konsentrasi dalam melakukan sesuatu.
"Aku bikinin lagi ya, Ar!" Rayunya.
"Nggak usah! Aku bikin sendiri!" Arkan langsung berjalan keluar untuk membuat kopi sendiri.
Dodi menghela napas panjang seraya mengusap dada, ia pikir Arkan akan mengancamnya dengan potong gaji atau bonus.
Arkan sudah sampai di dapur, ia mengambil cangkir dari rak kemudian membuka lemari penyimpanan, tangannya terhenti ketika melihat kemasan kopi yang ada di sana. Menatapnya dalam-dalam, Arkan ingat pernah meminta pendapat Jessie tentang merk kopi mana yang enak.
"Yang mana Jes? Aku bingung!" Arkan melakukan panggilan video dengan Jessie hanya untuk menanyakan merk kopi mana yang sedap.
"Ya ampun, Ar! Milih gitu aja nggak bisa!" cibir Jessie dari seberang panggilan. "Itu yang di sebelah kanan," jawabnya kemudian.
Arkan tertawa kecil melihat ekspresi sebal Jessie yang malah semakin membuatnya terlihat lucu.
Kembali ke kenyataan hidupnya sekarang, tidak ada lagi senyum atau wajah sebal sang kekasih yang akan membuatnya bisa tertawa seperti dulu.
Mencoba kembali melupakan, Arkan buru-buru memasukan kembali kemasan kopi itu setelah mengambil beberapa sendok bubuk untuk diseduh.
_
_
_
"Lihat siapa yang datang!" Jihan terlihat geram bercampur senang, ia sampai menarik telinga Jessie sekencang-kencangnya.
"Ya ampun, Ji! Ampun!!" pekiknya merasa sakit.
Jessie sampai sedikit menunduk ketika telinganya kena tarik jemari lentik Jihan. Ia kemudian duduk di sebelah Shelly yang sedang hamil tua, temannya yang satu itu hanya bisa duduk karena perutnya udah sebesar bola karet yang biasa digunakan untuk senam ibu hamil. Kini Jessie mengusap-usap telinganya yang merah dengan bibir yang maju dua centi.
"Ya ampun, Shel! Itu perut kenapa bisa besar banget?! Kembar lima, ya!" seloroh Jessie ketika melihat perut temannya itu.
Shelly menonyor kepala gadis itu, sungguh berpisah selama enam tahun ternyata mulut Jessie masih saja kayak air terjun yang nggak bisa distop, terus saja meluncur bebas semaunya.
"Namanya juga hamil, Jes! Kamu pikir kalau hamil perut kecil!" Baru pertama kali bersua setelah sekian lama tidak bertemu, ternyata Shelly masih saja bisa terpancing emosinya oleh omongan Jessi.
"Ya tahu, tapi itu gede banget." Jessie bicara tanpa berpikir seperti biasa, ia lantas menyeruput jus yang sudah dipesan oleh kedua temannya.
"Shelly hamil kembar tiga, Jes! Makanya gede," kata Jihan yang membuat Jessie menyemburkan jus yang baru masuk ke mulut.
"Astaga! Kembar tiga!" Jessie menatap Shelly seakan tidak percaya.
Shelly memicingkan matanya ke arah Jessie, mulutnya tampak komat-kamit kesal dengan ekspresi Jessie. "Aku sumpahin kamu kembar lima, biar kalau cowok semua jadi Pandawa lima abad ke dua puluh."
"Astaga, kamu tega banget sih. Senang banget kayaknya kalau aku susah," ucap Jessie memasang wajah memelas seraya mengusap mulutnya dengan lap.
Jihan tergelak mendengar kedua temannya itu saling ejek dan umpat, benar-benar merasa seperti saat mereka sekolah. Dari sekolah dasar sampai kuliah, mereka memang kompak dalam segala hal, bahkan saat saling umpat, ledek atau ejek.
"Ji, putramu mana?" tanya Jessie."It's time for me, tentu saja dia sama neneknya. Hahahaha." Jihan tertawa lepas, ia memang sengaja menitipkan putranya kepada sang nenek."Kita udah nikah, dapat bonus juga. Kamu kapan? Umur udah matang, jangan sampai nunggu perawan tua baru nikah!" cibir Shelly."Hei, hei! Mulut ibu-ibu ternyata lebih pedas dari sambal setan!" cibir Jessie balik."Ingat, kamu lagi hamil jadi jangan banyak marah-marah. Nanti darting, terus kata orang jawa kalau lagi hamil lalu benci sama orang, anaknya bakal mirip yang kamu benci. Mau anakmu mirip aku," timpal Jessie. "Eh, kayak aku tak apa, aku 'kan cantik," imbuh Jessie memuji diri sendiri."Cih, amit-amit mirip kamu, yang ada nanti anakku nggak laku kayak kamu meski cantik," cibir Shelly sedikit mendecih dengan mengusap perutnya yang besar."Ih ... kamu ya, suka banget doain aku nggak laku, ucapan adalah doa, kam
Diruang tempat bertemunya bagian penanggung jawab pinjaman, karyawan Arkan sedang melakukan diskusi dengan perwakilan Smith Company."Tidak bisa Nona, perusahaan Anda sedang tidak stabil dan kami lihat kalau harga saham saja sedang mengalami penurunan yang signifikan. Jadi kami tidak berani memberikan pinjaman dengan jumlah yang perusahaan Anda ajukan,"ujar karyawan itu."Tapi harga saham kami masih di atas rata-rata meski mengalami penurunan, bagaimana bisa kalian tidak mempertimbangkannya juga?""Tapi ini sudah peraturan, kami hanya bisa memberikan pinjaman antara lima puluh hingga tujuh puluh milyar saja," tandas karyawan itu.Jessie mendesah kasar, biaya operasional juga gaji karyawan yang sudah menunggak sebulan harus segera dibayarkan. Jika pinjaman yang diajukan kurang dari seratus, maka ia khawatir jika itu tidak bisa mencukupi mengingat kalau kas anak cabang perusahaan ayahnya itu sudah benar-benar me
"Kenapa?" tanyanya membuka percakapan mereka."kenapa apanya?" tanya Jessie balik mengalihkan tatapannya ke arah lain untuk menghindari tatapan Arkan.Arkan mengurai kedua tangannya, mengalihkannya ke kedua sisi kursi, bertumpu untuk mengunci Jessie di kursi yang diduduki. Ia menatap tajam mata gadis itu yang terus menghindari tatapannya."Jessie! Kenapa minta putus?!" Arkan menanyakan pertanyaan yang terus mengganjal di hatinya selama dua tahun ini."Tidak bisakah kita mengesampingkan urusan pribadi? Kita sedang di kantor, kenapa tidak membicarakan masalah bisnis!" kilah Jessie masih mencoba menghindar."Jangan mengalihkan pembicaraan, aku tidak akan membahas masalah bisnis sebelum tahu jawaban tentang pertanyaan yang tidak pernah kamu jawab!" paksanya.Jessie memejamkan mata sekilas, tidak ada alasan kenapa dirinya meminta putus. Hanya rasa bersalah karena terus memberi mimpi pada
Dodi langsung masuk ketika Feri pergi mengikuti Jessie. Ia terkejut ketika melihat Arkan sedang kesakitan karena kakinya terkena injakan sepatu fantofel milik Jessie."Kamu kenapa? Dan apa yang kamu lakukan, Ar!" Dodi menyelidik."Ahh ... bukan urusanmu!" Arkan masih dalam mode kesal.Arkan kembali ke kursinya, sungguh ia tidak menyangka kalau Jessie akan sampai sedikit kasar padanya. Arkan menyentuh bibirnya dengan jemari, ia bisa merasakan dinginnya bibir Jessie. "Apa sebegitu takutnya dia denganku sampai tubuhnya terlihat gemetar," gumamnya dalam hati."Ar! Kamu nggak melakukan pelecehan, 'kan! Tadi aku lihat dia keluar seraya menutup mulutnya," tuduh Dodi menatap curiga pada Arkan.Arkan hanya diam, ia enggan menanggapi perkataan Dodi, pikirannya masih tertuju pada Jessie. Beribu pertanyaan terus berputar di otaknya, kenapa dia tidak ingin kembali? Kenapa dia menolak?"Apa dia sudah menikah?" Arkan bertanya-tanya dalam hati. "Jika iya, lalu ak
Tian sudah berada di depan pintu kamar Jessie, pria itu sudah diberikan nomor kombinasi untuk membuka pintu oleh gadis itu sehingga langsung bisa masuk."Jes!" pangilnya mencari keberadaan Jessie.Tian berjalan menuju kamar yang terdapat di sana, pria itu membuka pintu kemudian melihat Jessie yang berbaring dengan selimut yang membungkusnya."Jes!" panggilnya lagi seraya berjalan mendekat ke ranjang Jessie."Ti-an, kamu sudah datang!" Jessie ingin membuka matanya tapi terasa berat.Tian langsung duduk di tepian ranjang Jessie, membuka selimut dan melihat keadaan gadis itu. Pria itu melihat ruam di kedua tangan Jessie yang membuatnya mendesah kasar."Sudah kamu minum obatmu?" tanya Tian.Jessie hanya mengangguk lemah, kepalanya masih terasa berat. Tian berdiri kemudian membuka koper yang ia bawa. Bukan pakaian yang ada di sana tapi peralatan medis, seperti stetoskop, cairan infus, obat-obatan juga selang dan penunjang lainnya.T
Tian baru saja kembali dari minimarket setelah membeli beberapa buah dan sayur untuk Jessie ketika bertemu Arkan di lift basement. Tian tahu Arkan karena dia sudah melihat foto pemuda itu. Namun, untuk memberitahu tentang Jessie dia tidak berani, takut jika membuat emosi dan suasana hati Jessie memburuk dan membuat penyakitnya semakin parah."Tian, kamu dari mana?" tanya Jessie yang baru saja bisa bangun dari tempat tidur dan sudah berdiri di ambang pintu kamarnya."Membeli buah dan sayur, lemari penyimpanan makananmu isinya sangat tidak baik untuk kamu konsumsi, jadi aku membelikan bahan makanan yang aman kamu makan," jawab Tian seraya menaruh belanjaan di atas meja makan.Pria itu mendekati Jessie yang masih berdiri bersandar kusen pintu, lantas menyentuhkan punggung tangannya ke dahi gadis itu, mengecek apa demamnya masih tinggi seperti semalam."Sudah turun," ucapnya, kemudian Tian menyibakkan le
"Kamu sudah kirim semuanya?" tanya Arkan pada Dodi.Arkan meminta seluruh toko bunga yang mempunyai stok bunga tulip untuk mengirimkannya ke perusahan Jessie. Berharap jika gadis tambatan hatinya itu tersentuh dan bisa kembali padanya."Sudah, sesuai instruksimu. Bahkan kini bunga-bunga itu mungkin sudah memenuhi lobbi perusahaan itu," jawab Dodi. "Tapi, apa kamu yakin dengan cara ini dia akan tersentuh?" tanya Dodi sedikit ragu."Jika tidak berhasil, maka aku akan mencari cara lain," balasnya.Dodi hanya berdeham, ia kemudian memilih kembali fokus dengan pekerjaannya, menatap laptopnya yang sudah menyala sejak tadi.Arkan sedikit berpikir, ia berharap jika hal itu bisa sedikit meluluhkan hati Jessie. Dia tahu betul kalau gadis itu tidaklah keras kepala, malah lebih menjurus kepada gadis yang berhati lembut dan hatinya mudah terenyuh. Dalam lamunan membayangkan reaksi Jessie, Arkan tersadar ketika s
Sudah sejak pertemuan terakhirnya dengan Arkan di perusahaan, kini Jessie bisa sedikit tenang karena Arkan tidak mengiriminya bunga lagi, atau sekedar mencarinya.Gadis itu sedang fokus dengan beberapa dokumen, Tian sang kakak sepupu sedang keluar untuk pergi ke Rumah sakit menemui temannya. Sedangkan Feri ditugaskan untuk mengurus pabrik setelah pinjaman itu cair."Halo," jawab Jessie ketika sebuah panggilan masuk ke nomor ponselnya."Jes, ada dokumen yang lupa aku bawa. Ada di mejaku, bisa nggak kamu antar atau suruh orang antar?" tanya Feri yang sekarang memang lebih akrab ketika memanggil gadis itu."Oh, oke! Aku akan mengantarkannya sendiri," jawab Jessie yang langsung berdiri dari kursinya.Gadis itu mengambil dokumen yang di maksud oleh Feri, kemudian segera mungkin turun ke basement untuk menuju mobilnya.--