Share

Reuni

"Ji, putramu mana?" tanya Jessie.

"It's time for me, tentu saja dia sama neneknya. Hahahaha." Jihan tertawa lepas, ia memang sengaja menitipkan putranya kepada sang nenek.

"Kita udah nikah, dapat bonus juga. Kamu kapan? Umur udah matang, jangan sampai nunggu perawan tua baru nikah!" cibir Shelly.

"Hei, hei! Mulut ibu-ibu ternyata lebih pedas dari sambal setan!" cibir Jessie balik.

"Ingat, kamu lagi hamil jadi jangan banyak marah-marah. Nanti darting, terus kata orang jawa kalau lagi hamil lalu benci sama orang, anaknya bakal mirip yang kamu benci. Mau anakmu mirip aku," timpal Jessie. "Eh, kayak aku tak apa, aku 'kan cantik," imbuh Jessie memuji diri sendiri.

"Cih, amit-amit mirip kamu, yang ada nanti anakku nggak laku kayak kamu meski cantik," cibir Shelly sedikit mendecih dengan mengusap perutnya yang besar.

"Ih ... kamu ya, suka banget doain aku nggak laku, ucapan adalah doa, kamu tega!" Jessie sudah kalah, matanya berkaca-kaca ingin menangis.

Jihan dan Shelly tertawa kerasa melihat ekspresi Jessie, mengerjainya memang paling asyik dan selalu merindukan.

"Uluh, uluh! Big Baby mau nangis," cicit Shelly seraya mengusap rambut Jessie yang kini jadi pendek, padahal dulu gadis itu suka raambut panjang.

Jihan ikut merapat ke sofa yang diduduki kedua temannya, kini mereka bertiga saling berpelukan dari samping, melepas rindu setelah saling ejek.

"Kami kangen banget sama kamu, dua tahun nggak ada kabar, kamu tuh tega banget," ucap Jihan mengusap-usap rambut Jessie hingga setengah berantakan.

"Maaf, ada hal yang bikin aku gitu. Tapi yang penting sekarang kita ketemu dan bisa kumpul," balas jessie.

Jihan maupun Shelly saling manggut-manggut mengerti. Akhirnya mereka berbincang biasa, menikmati siang itu dengan canda tawa melepas rindu.

"Jess, kamu kenapa putus sama si Arkan?" tanya Shelly tiba-tiba yang membuat Jessie hampir tersedak.

"Iya, aku juga heran. Bukannya kamu bilang dia baik juga manis. Kok waktu itu kamu bilang putus dengan dia sebelum putus hubungan dengan kami," tambah Jihan yang penasaran.

Kini Shelly maupun Jihan tampak menatap Jessie yang terlihat kikuk. Gadis itu memiliki alasan tersendiri kenapa dia ingin putus. Pikiran Jessie masih bergulat dengan hatinya, empat tahun menjalin hubungan memang tidak ada masalah sama sekali. Namun, Jessie hanya merasa bersalah pada Arkan, ia tidak mau memberi pemuda itu harapan palsu, terlebih kemungkinan untuk mereka bertemu waktu itu sangatlah tipis, mungkin hanya lima persen dari seratus persen.

"Jangan dibahas, ya! Mungkin kami nggak jodoh." Jessie tersenyum getir, ia lantas meminum jus miliknya.

Jihan dan Shelly saling lempar pandangan, mereka tahu betul bagaimana Jessie bersemangat ketika menceritakan tentang hubungan jarak jauh dirinya dengan pemuda itu tanpa masalah. Tapi semuanya kembali pada Jessie yang menjalani, kalau memang temannya itu mengambil jalan berpisah, lalu mereka bisa apa? Yang menjalani Jessie, jadi yang berhak memutuskan lanjut atau tidak ya hanya dirinya sendiri.

_

_

_

Setelah melakukan aktifitas pagi seperti biasa, Arkan sudah berjalan di koridor menuju ruangannya dengan sesekali menyapa karyawan yang memberi salam padanya.

Dodi sudah berada di ruangan Arkan, sebagai seorang asisten tentu saja dia harus sudah siap sebelum bos-nya datang.

"Pagi, Ar!" sapanya.

"Pagi!" sahut Arkan singkat.

Arkan langsung duduk di kursi kerjanya, mengambil tumpukan berkas yang ada di atas meja.

"Ar, kamu yakin nggak mau menemui perwakilan dari perusahaan Smith? Mereka mengajukan pinjaman dengan jumlah besar, lho!" Dodi menatap bos-nya yang terlihat begitu serius dengan dokumen miliknya.

"Nggak perlu, memangnya berapa pinjaman yang mereka ajukan?" tanya Arkan kemudian.

"Seratus miliyar, aku dengar perusahaan itu sedang tidak stabil jadi apa kamu nggak mau meninjau sendiri dulu sebelum menyetujui pinjaman yang mereka ajukan?" tanya Dodi sedikit khawatir karena jumlah yang ingin mereka pinjam tidaklah sedikit.

Arkan tampak berpikir, mendengar kata tidak stabil membuatnya teringat akan perusahaan yang ia pegang sekarang. Pernah bangkrut dan membuat banyak orang jadi pengangguran sebelum akhirnya bisa bangkit lagi.

"Jam berapa perwakilan mereka datang?" tanya Arkan pada Dodi.

"Sepuluh," jawabnya.

Arkan melihat padajam tangan yang melingkar manis di pergelangannya, ia lantas mengatakan jika akan menemui perwakilan perusahaan itu untuk meninjau.

-

-

-

-

-

Jessie sedang meneliti dokumen yang perlu ia periksa, ada sesuatu yang salah dengan daftar neraca perusahaan. Semalaman ia meneliti tapi masih belum menemukan kesalahannya di mana.

"Mas Feri, kamu sudah cek data ini?" tanya Jessie pada sekretarisnya itu.

"Sudah, bahkan saya sudah cek hampir sepuluh kali sebelum saya serahkan pada Anda. Tapi tidak ada yang ganjil," jawab Feri yang duduk di hadapan Jessie.

"Kalau begini terus, meski ada modal untuk menutup dana produksi tetap saja akan ada lubang lagi," gumamnya.

Jessie mendesah kasar, peliknya masalah perusahaan itu membuatnya sedikit frustasi meski baru saja melakukan riset dua hari ini, bahkan menjabat direktur saja baru sehari.

"Ya sudahlah, kita urus masalah lain dulu," kata Jessie menutup buku neraca perusahaan.

Jessie mengambil tasnya, menyematkannya ke pundak dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh Feri. 

-

-

-

-

Pukul sepuluh pun tiba, Arkan berdiri dari kursinya bersiap menemui klien yang dikatakan oleh Dodi. Mereka keluar ruangan dan berjalan menuju lift untuk turun ke lantai tiga di mana ruangan Account Officier berada, tempat di mana nasabah mengajukan pinjaman.

Arkan berjalan santai dengan Dodi yang mengikutinya di belakang, begitu sampai di depan pintu langkah Arkan terhenti sebelum memegang gagang pintu itu. Matanya menatap ke dalam ruangan dari kaca yang terdapat di pintu, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Pemuda itu mengepalkan tangannya kemudian memutar badan untuk berbalik pergi dari sana. Dodi keheranan kenapa Arkan berbalik padahal sudah sampai di depan ruangan.

"Kenapa tidak jadi masuk? Bukankah kliennya sudah datang?" tanya Dodi keheranan.

"Aku akan menemuinya secara khusus," ungkap Arkan dengan nada datar.

Dodi mengernyitkan dahi, tidak biasanya Arkan mau menemui nasabah secara khusus atau pribadi. Jika memang dibutuhkan dia pasti akan menemuinya bersama Account officer. Tidak mau kena semprot kalau banyak bertanya Dodi memilih diam dan mengikuti keinginan pemuda itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status