Share

Mati Aku!

Diruang tempat bertemunya bagian penanggung jawab pinjaman, karyawan Arkan sedang melakukan diskusi dengan perwakilan Smith Company.

"Tidak bisa Nona, perusahaan Anda sedang tidak stabil dan kami lihat kalau harga saham saja sedang mengalami penurunan yang signifikan. Jadi kami tidak berani memberikan pinjaman dengan jumlah yang perusahaan Anda ajukan,"ujar karyawan itu.

"Tapi harga saham kami masih di atas rata-rata meski mengalami penurunan, bagaimana bisa kalian tidak mempertimbangkannya juga?" 

"Tapi ini sudah peraturan, kami hanya bisa memberikan pinjaman antara lima puluh hingga tujuh puluh milyar saja," tandas karyawan itu.

Jessie mendesah kasar, biaya operasional juga gaji karyawan yang sudah menunggak sebulan harus segera dibayarkan. Jika pinjaman yang diajukan kurang dari seratus, maka ia khawatir jika itu tidak bisa mencukupi mengingat kalau kas anak cabang perusahaan ayahnya itu sudah benar-benar menipis.

Suara telpon di ruangan itu berdering, membuat karyawan Arkan yang ingin kembali menjelaskan masalah pinjaman kepada Jessie selaku perwakilan dari perusahaan Smith pun tertunda. Karyawan itu menjawab panggilan di sambungan telpon perusahaan, ia terlihat mengangguk-angguk dan hanya berucap 'Iya pak'. Menutup sambungan telpon itu, pandangan karyawan Hardiwijaya Group itu menatap Jessie.

"Nona Jessica, direktur kami ingin menemui Anda. Jadi Anda mungkin bisa menyampaikan langsung pengajuan pinjaman perusahaan Anda kepada atasan kami," ujar karyawan itu.

Jessie sedikit terkesiap, ia menoleh pada Feri yang sedari duduk di sampingnya. Demi perusahaannya, Jessie akhirnya mengiyakan untuk bertemu secara pribadi dengan direktur Hardwijaya Group.

"Mari!" ajak karyawan itu yang sudah berdiri dengan membawa dokumen pengajuan milik Jessie.

Jessie mengikuti langkah karyawan itu, mereka menuju lantai tempat ruang direktur yang di maksud.

Begitu keluar lift, Jessie merasa jantungnya berdegup dengan kencang, meski dia sering menemui klien tapi entah kenapa ia merasa aneh ketika ingin bertemu dengan direktur tempat perusahaannya akan mengajukan pinjaman.

"Mbak Bella!" sapa karyawan itu pada sekretaris Arkan.

"Eh, ada apa?" tanya Bella yang bingung karena karyawan itu membawa dua orang bersamanya.

"Pak direktur meminta saya mengantar calon nasabah ini untuk bertemu dengannya, ini dokumen perusahaan Smith, tolong ya mbak!" pinta karyawan itu. 

Sebagai seorang karyawan yang tidak bekerja di divisi itu tentu saja dia menyerahkannya pada Bella selaku sekretaris atasannya.

"Oh, oke." Bella menerima dokumen itu.

"Nona Jessica, silahkan ikut mbak Bella," ucap karyawan itu mempersilahkan.

Jessie mengangguk dengan seutas senyum, ia kemudian berterima kasih sebelum mengikuti langkah Bella untuk masuk ke ruangan yang bertuliskan 'Director's Office'.

Membuka pintu itu, Bella langsung berjalan ke meja Arkan, sedangkan Jessie masih berjalan di belakangnya.

"Pak, perwakilan dari perusahaan Smith di sini," ucap Bella seraya menaruh dokumen yang tadi diserahkan padanya.

"Terima kasih."

DEG!!DEG!!DEG!!

Suara itu membuat jantung Jessie langsung berdegup kencang, ia sedikit memiringkan kepala untuk melihat wajah pimpinan Hardiwijaya Group karena tertutup tubuh Bella.

Arkan yang menyadari hal itu pun melirik ke arah belakang tubuh Bella.

"Akhirnya!" Arkan.

"Mati aku!" Jessie.

_

_

_

Dodi baru sadar jika yang datang ke ruangan Arkan adalah gadis yang ia temui di minimarket pun terlihat senyum mengembang di wajahnya, ia benar terpesona dengan gadis itu.

Begitu Bella sedikit menggeserkan tubuhnya untuk mempersilahkan Jessie. Pandangan gadis itu bertemu dengan pandangan Arkan yang terlihat menyembunyikan senyumannya. Jessie menelan saliva dengan wajah yang memucat.

"Nona Jessica, silahkan!" Bella mempersilahkan Jessie untuk duduk di kursi yang terdapat di depan meja Arkan. Kemudian permisi undur diri.

Jessie menoleh pada Feri yang terlihat tenang karena pemuda itu tidak tahu masalah dirinya dengan Arkan.

Mendengar kata 'Jessica' tentu saja membuat Arkan sedikit mengernyitkan dahi, selama berpacaran ia hanya tahu kalau namanya Jessie dan tidak pernah diberitahu siapa nama panjang gadis pujaan hatinya itu.

"Nona Jessica, silahkan!" Kini Arkan yang mempersilahkan seraya menunjuk pada kursi yang ada di depan meja kerjanya.

Jessie terlihat ragu-ragu, dia bingung harus bagaimana menghadapi Arkan yang terlihat begitu tenang menatapnya. Tanpa sadar, Jessie meraih tangan Feri membuat sekretarisnya itu terkesiap dan langsung melihat ke arah Jessie yang wajahnya sudah pucat pasif.

"Anda sakit?" tanya Feri sedikit berbisik.

Arkan yang melihat Jessie memegang tangan pemuda lain pun mulai tidak terima, tapi ia tetap harus menyembunyikan ekspresi sebenarnya yang sedang ia rasakan.

"Bisa kita membicarakan ini berdua saja!" pinta Arkan yang tatapannya tidak teralihkan dari Jessie.

Jessie terkesiap tidak percaya, keringat sebiji jagung semakin bermanik di kening dan pelipisnya. Feri yang melihat wajah pucat Jessie jadi bingung.

"Sepertinya direktur saya kurang sehat, bagaimana kalau saya tetap menemaninya," tawar Feri yang tidak tega melihat betapa pucatnya wajah Jessie.

Arkan menutup dokumen pengajuan pinjaman perusahaan Jessie lantas menyandarkan punggungnya sedikit kasar ke sandaran kursi.

"Jika tidak mau, tidak masalah! Lupakan tentang pengajuannya!" Tegas Arkan masih terus menatap wajah mantan kekasihnya itu.

Jessie kembali menelan saliva, memejamkan mata beberapa detik hinga akhirnya menghela napas pelan. Demi, hanya demi para karyawan dan pekerja yang sudah mengabdi di perusahaan itu, akhirnya ia harus menghadapi Arkan sendiri. Tapi, memang sudah seharusnya ia melakukannya, mempertanggung jawabkan apa yang sudah ia lakukan dua tahun lalu.

"Mas Feri, tidak apa. Aku akan mengurusnya sendiri," ucap Jessie mengulas senyum pada sekretarisnya.

Feri awalnya sedikit ragu, tapi karena atasannya sudah bilang seperti itu dia bisa apa? Akhirnya Feri izin undur diri.

Dodi yang sedari tadi memperhatikan dan terasa tidak dianggap, sedikit menangkap gelagat aneh dari bos-nya. Arkan tidak pernah menatap gadis manapun sebelumnya, tapi ia bisa melihat hal yang berbeda dari pemuda itu sekarang.

Begitu Feri keluar, Jessie berjalan maju kemudian duduk di kursi depan meja Arkan dengan tetap berusaha untuk tenang dan menyiapkan hati menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Do! Kamu juga keluar!" perintah Arkan yang langsung menoleh pada Dodi.

Dodi tercengang, kenapa dia juga harus keluar. Jessie yang mendengar Arkan menyebut nama lain pun ikut menoleh dan ingat jika Dodi adalah pemuda yang ia temui di mini market.

"Dua orang berlawanan jenis dalam satu ruangan bisa mendatangkan pihak ketiga, yaitu setan! Jadi aku akan di sini untuk berjaga setan agar tidak datang," ujar Dodi yang menolak untuk pergi.

Arkan memicingkan mata pada Dodi. "Ya kamu benar," ucap Arlan yang membuat Dodi tersenyum menang. "Kami berdua dan kamu adalah pihak ketiga jadi kamu adalah setan!" lanjut Arkan dengan sedikit menahan emosi.

Dodi tertegun, memang benar dia jadi pihak ketiga. Dodi menatap Arkan yang melotot padanya, bos-nya itu terlihat bicara tanpa bersuara. "Potong gaji dan bonus."

Membaca pergerakan bibir Arkan, akhirnya Dodi menuruti perintah bos-nya untuk keluar dari ruangan itu.

Mengetahui jika Arkan mengusir semua orang dan hanya menyisakan mereka berdua, semakin membuat jantung Jessie berdegup dengan kencang.

Arkan bangkit dari kursinya, berjalan menuju tempat Jessie duduk. Berdiri di depan gadis itu dengan tangan bersidekap dan tatapan penuh pertanyaan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Adsa
aku suka bab ini, lucu bangeeeett
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status