Diruang tempat bertemunya bagian penanggung jawab pinjaman, karyawan Arkan sedang melakukan diskusi dengan perwakilan Smith Company.
"Tidak bisa Nona, perusahaan Anda sedang tidak stabil dan kami lihat kalau harga saham saja sedang mengalami penurunan yang signifikan. Jadi kami tidak berani memberikan pinjaman dengan jumlah yang perusahaan Anda ajukan,"ujar karyawan itu.
"Tapi harga saham kami masih di atas rata-rata meski mengalami penurunan, bagaimana bisa kalian tidak mempertimbangkannya juga?"
"Tapi ini sudah peraturan, kami hanya bisa memberikan pinjaman antara lima puluh hingga tujuh puluh milyar saja," tandas karyawan itu.
Jessie mendesah kasar, biaya operasional juga gaji karyawan yang sudah menunggak sebulan harus segera dibayarkan. Jika pinjaman yang diajukan kurang dari seratus, maka ia khawatir jika itu tidak bisa mencukupi mengingat kalau kas anak cabang perusahaan ayahnya itu sudah benar-benar menipis.
Suara telpon di ruangan itu berdering, membuat karyawan Arkan yang ingin kembali menjelaskan masalah pinjaman kepada Jessie selaku perwakilan dari perusahaan Smith pun tertunda. Karyawan itu menjawab panggilan di sambungan telpon perusahaan, ia terlihat mengangguk-angguk dan hanya berucap 'Iya pak'. Menutup sambungan telpon itu, pandangan karyawan Hardiwijaya Group itu menatap Jessie.
"Nona Jessica, direktur kami ingin menemui Anda. Jadi Anda mungkin bisa menyampaikan langsung pengajuan pinjaman perusahaan Anda kepada atasan kami," ujar karyawan itu.
Jessie sedikit terkesiap, ia menoleh pada Feri yang sedari duduk di sampingnya. Demi perusahaannya, Jessie akhirnya mengiyakan untuk bertemu secara pribadi dengan direktur Hardwijaya Group.
"Mari!" ajak karyawan itu yang sudah berdiri dengan membawa dokumen pengajuan milik Jessie.
Jessie mengikuti langkah karyawan itu, mereka menuju lantai tempat ruang direktur yang di maksud.
Begitu keluar lift, Jessie merasa jantungnya berdegup dengan kencang, meski dia sering menemui klien tapi entah kenapa ia merasa aneh ketika ingin bertemu dengan direktur tempat perusahaannya akan mengajukan pinjaman.
"Mbak Bella!" sapa karyawan itu pada sekretaris Arkan.
"Eh, ada apa?" tanya Bella yang bingung karena karyawan itu membawa dua orang bersamanya.
"Pak direktur meminta saya mengantar calon nasabah ini untuk bertemu dengannya, ini dokumen perusahaan Smith, tolong ya mbak!" pinta karyawan itu.
Sebagai seorang karyawan yang tidak bekerja di divisi itu tentu saja dia menyerahkannya pada Bella selaku sekretaris atasannya.
"Oh, oke." Bella menerima dokumen itu.
"Nona Jessica, silahkan ikut mbak Bella," ucap karyawan itu mempersilahkan.
Jessie mengangguk dengan seutas senyum, ia kemudian berterima kasih sebelum mengikuti langkah Bella untuk masuk ke ruangan yang bertuliskan 'Director's Office'.
Membuka pintu itu, Bella langsung berjalan ke meja Arkan, sedangkan Jessie masih berjalan di belakangnya.
"Pak, perwakilan dari perusahaan Smith di sini," ucap Bella seraya menaruh dokumen yang tadi diserahkan padanya.
"Terima kasih."
DEG!!DEG!!DEG!!
Suara itu membuat jantung Jessie langsung berdegup kencang, ia sedikit memiringkan kepala untuk melihat wajah pimpinan Hardiwijaya Group karena tertutup tubuh Bella.
Arkan yang menyadari hal itu pun melirik ke arah belakang tubuh Bella.
"Akhirnya!" Arkan.
"Mati aku!" Jessie.
_
_
_
Dodi baru sadar jika yang datang ke ruangan Arkan adalah gadis yang ia temui di minimarket pun terlihat senyum mengembang di wajahnya, ia benar terpesona dengan gadis itu.
Begitu Bella sedikit menggeserkan tubuhnya untuk mempersilahkan Jessie. Pandangan gadis itu bertemu dengan pandangan Arkan yang terlihat menyembunyikan senyumannya. Jessie menelan saliva dengan wajah yang memucat.
"Nona Jessica, silahkan!" Bella mempersilahkan Jessie untuk duduk di kursi yang terdapat di depan meja Arkan. Kemudian permisi undur diri.
Jessie menoleh pada Feri yang terlihat tenang karena pemuda itu tidak tahu masalah dirinya dengan Arkan.
Mendengar kata 'Jessica' tentu saja membuat Arkan sedikit mengernyitkan dahi, selama berpacaran ia hanya tahu kalau namanya Jessie dan tidak pernah diberitahu siapa nama panjang gadis pujaan hatinya itu.
"Nona Jessica, silahkan!" Kini Arkan yang mempersilahkan seraya menunjuk pada kursi yang ada di depan meja kerjanya.
Jessie terlihat ragu-ragu, dia bingung harus bagaimana menghadapi Arkan yang terlihat begitu tenang menatapnya. Tanpa sadar, Jessie meraih tangan Feri membuat sekretarisnya itu terkesiap dan langsung melihat ke arah Jessie yang wajahnya sudah pucat pasif.
"Anda sakit?" tanya Feri sedikit berbisik.
Arkan yang melihat Jessie memegang tangan pemuda lain pun mulai tidak terima, tapi ia tetap harus menyembunyikan ekspresi sebenarnya yang sedang ia rasakan.
"Bisa kita membicarakan ini berdua saja!" pinta Arkan yang tatapannya tidak teralihkan dari Jessie.
Jessie terkesiap tidak percaya, keringat sebiji jagung semakin bermanik di kening dan pelipisnya. Feri yang melihat wajah pucat Jessie jadi bingung.
"Sepertinya direktur saya kurang sehat, bagaimana kalau saya tetap menemaninya," tawar Feri yang tidak tega melihat betapa pucatnya wajah Jessie.
Arkan menutup dokumen pengajuan pinjaman perusahaan Jessie lantas menyandarkan punggungnya sedikit kasar ke sandaran kursi.
"Jika tidak mau, tidak masalah! Lupakan tentang pengajuannya!" Tegas Arkan masih terus menatap wajah mantan kekasihnya itu.
Jessie kembali menelan saliva, memejamkan mata beberapa detik hinga akhirnya menghela napas pelan. Demi, hanya demi para karyawan dan pekerja yang sudah mengabdi di perusahaan itu, akhirnya ia harus menghadapi Arkan sendiri. Tapi, memang sudah seharusnya ia melakukannya, mempertanggung jawabkan apa yang sudah ia lakukan dua tahun lalu.
"Mas Feri, tidak apa. Aku akan mengurusnya sendiri," ucap Jessie mengulas senyum pada sekretarisnya.
Feri awalnya sedikit ragu, tapi karena atasannya sudah bilang seperti itu dia bisa apa? Akhirnya Feri izin undur diri.
Dodi yang sedari tadi memperhatikan dan terasa tidak dianggap, sedikit menangkap gelagat aneh dari bos-nya. Arkan tidak pernah menatap gadis manapun sebelumnya, tapi ia bisa melihat hal yang berbeda dari pemuda itu sekarang.
Begitu Feri keluar, Jessie berjalan maju kemudian duduk di kursi depan meja Arkan dengan tetap berusaha untuk tenang dan menyiapkan hati menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Do! Kamu juga keluar!" perintah Arkan yang langsung menoleh pada Dodi.
Dodi tercengang, kenapa dia juga harus keluar. Jessie yang mendengar Arkan menyebut nama lain pun ikut menoleh dan ingat jika Dodi adalah pemuda yang ia temui di mini market.
"Dua orang berlawanan jenis dalam satu ruangan bisa mendatangkan pihak ketiga, yaitu setan! Jadi aku akan di sini untuk berjaga setan agar tidak datang," ujar Dodi yang menolak untuk pergi.
Arkan memicingkan mata pada Dodi. "Ya kamu benar," ucap Arlan yang membuat Dodi tersenyum menang. "Kami berdua dan kamu adalah pihak ketiga jadi kamu adalah setan!" lanjut Arkan dengan sedikit menahan emosi.
Dodi tertegun, memang benar dia jadi pihak ketiga. Dodi menatap Arkan yang melotot padanya, bos-nya itu terlihat bicara tanpa bersuara. "Potong gaji dan bonus."
Membaca pergerakan bibir Arkan, akhirnya Dodi menuruti perintah bos-nya untuk keluar dari ruangan itu.
Mengetahui jika Arkan mengusir semua orang dan hanya menyisakan mereka berdua, semakin membuat jantung Jessie berdegup dengan kencang.
Arkan bangkit dari kursinya, berjalan menuju tempat Jessie duduk. Berdiri di depan gadis itu dengan tangan bersidekap dan tatapan penuh pertanyaan.
Dani diminta tinggal di apartemen Arkan, ia menyediakan segala kebutuhan bocah kecil itu, tidak lupa Arkan memberikan pendidikan yang terbaik untuk bocah yang sudah resmi menjadi bagian dari keluarganya.Arkan sendiri masih tinggal di rumah Alesha, tapi ia sesekali tetap menengok Dani di apartemen. Arkan menunggu Chloe benar-benar bisa diurus sendiri, ia tidak ingin jika kesibukannya membuat Chloe kurang perhatian.Kini hari-hari Arkan mulai berwarna, Chloe yang sudah bertambah usianya semakin lucu dan menggemaskan. Bahkan saat berumur satu tahun, Chloe bisa sudah bisa mengucapkan beberapa kata meski belum jelas."Pi, Pi!" Chloe berceloteh di dalam kamar, ia terlihat memainkan kakinya dengan sesekali menggigit jempol kaki lalu tertawa renyah.Alesha yang menyadari jika sang keponakan sudah berbicara pun merekamnya, ia mengirimkan video pada Arkan yang berada di kantor.Arkan seda
Arkan langsung mengambil Chloe dari gendongan Alesha begitu sampai di rumah, bayi mungil itu langsung berhenti menangis begitu tangan Arkan menyentuhnya."Hah, dia maunya sama kamu, Ar!" seloroh Alesha begitu Chloe diam."Dia 'kan sayang sama papinya, iya 'kan sayang!" Arkan mengecup kening Chloe.Alesha tersenyum, kemudian menatap kotak yang dibawa Arkan, ia membuka kotak itu untuk melihat isi di dalamnya."Apa ini Ar?" tanya Alesha.Arkan yang mendengar pertanyaan Alesha pun langsung menoleh ke arah wanita itu, kemudian Arkan menjawabnya, "Itu buatan tangan Jessie untuk Chloe, saat itu dia dengan sepenuh hati membuatnya."Alesha mengulas senyumnya, ia mengambil apa yang ada di dalam kotak dan mengamatinya dengan seksama."Ini sangat cantik, Jessie ternyata begitu pandai," ucap Alesha mengagumi hasil karya Jessie.Arkan mengulas senyumnya, ia kembali memperhatikan Chloe yang sedang minum. Ada rasa yang tidak bisa dideskripsikan dalam
Siang itu Arkan kedatangan tamu, Jihan dan Shelly tampak mengunjungi suami temannya untuk melihat keadaan Arkan juga bayinya."Maaf, kami tidak tahu dengan keadaan Jessie hingga akhirnya dia pergi," ucap Jihan penuh penyesalan, bagaimanapun Jessie dan Jihan sudah berteman semenjak mereka sekolah dasar.Arkan tersenyum masam, ia kemudian berkata, "Tidak apa-apa, lagi pula memang semuanya terjadi begitu cepat. Aku sendiri masih merasa jika Jessie belum pergi."Jihan menatap Arkan, melihat betapa kusutnya wajah pria itu. Shelly sendiri tidak berkata apa-apa, wanita itu juga merasa kehilangan teman yang selalu bisa membuatnya tertawa dan marah, kini semuanya tinggal kenangan semata yang hanya bisa disimpan dalam hati."Jessie adalah teman yang baik. Ia selalu bisa menghibur kami ketika dalam keadaan sedih. Bagiku, Jessie sudah seperti adik, meski kami sering bertengkar, tapi dia tidak pernah menganggapnya serius. Aku me
'Semilir angin membelai kalbu. Kudapati hati yang membeku.Terlalu lama kamu diam membisuSebab engkau telah terbujur kaku'Arkan menatap Chloe yang tidur di baby box, melihat betapa lucunya bayi itu. Arkan mengulurkan tangan, mengusap pipi Chloe dengan jari telunjuk."Apa mami menemuimu? Jika iya, katakan padanya kalau Papi rindu," ucapnya pada bayi mungil itu.Chloe masih memejamkan mata, bibir bayi itu hanya terlihat sesekali menyesap sesuatu dalam lelapnya. Arkan mendekatkan wajahnya, ia mengecup kening Chloe sebelum pada akhirnya meninggalkan bayi mungil itu.Arkan kembali ke kamar, untuk sementara ia memang tinggal di rumah Alesha karena belum bisa mengurus Chloe sendirian.Arkan berbaring di atas tempat tidur, ia menatap langit-langit kamar hingga akhirnya ia memiringkan tubuhnya, menatap sisi kosong ranjang itu. Keheningan menemani dirinya, rasa lelah, pedih, sakit, dan juga keke
Alesha langsung masuk begitu saja ke kamar Arkan tanpa mengetuk pintu, ia melihat adiknya yang hanya duduk tanpa melakukan apapun. Alesha melihat cambang tumbuh di wajah tampan adiknya, bahkan kini bulu halus itu mulai menutup dan menghilangkan wajah tampan Arkan."Ar!" panggil Alesha.Arkan menoleh, ia menatap pada gendongan Alesha. Seakan enggan melihat bayi itu, Arkan kembali memalingkan wajah."Kenapa bawa dia ke sini?" tanya Arkan.Alesha menghela napas kasar, ia menidurkan bayi mungil itu di atas tempat tidur Arkan."Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dengan terus meratapi kepergiannya, yang ada kamu akan melewatkan banyak hal dan kesempatan yang ada," ujar Alesha dengan tatapan yang masih tertuju pada bayi mungil yang kini tertidur pulas.Alesha mengalihkan tatapan pada Arkan, ia bisa melihat sikap tak acuh adiknya itu."Bayi ini tidak bersalah, Ar! Dia juga
Hari itu menjadi hari terkelam bagi Arkan, hujan seakan tahu kesedihan yang tengah dirasakan pria itu. Begitu tanah menutup makam Jessie dan pusara ditancapkan dengan sempurna, langit menumpahkan genangan air yang sudah tersimpan membentuk awan hitam dilangit.Arkan masih berdiri di depan pusara mendiang istrinya, ketika semua orang berlari mencari tempat berlindung. Hujan menyamarkan air mata yang kembali tumpah, Arkan menatap nama yang tertera di pusara itu, benar-benar nama yang akhirnya ikut terkubur dalam hatinya.'Jika cinta bisa membawa sebuah kebahagiaan, maka cinta juga bisa memberikan sebuah penderitaan'Arkan melangkahkan kakinya meninggalkan pemakaman itu, setiap langkah begitu terasa berat. Beberapa bulan kebersamaan kini hanya sebuah kenangan yang ikut terkubur dengan kepergian sang istri.___Lala menatap Arkan yang baru saja kembali dari pema