Share

Penolakan

"Kenapa?" tanyanya membuka percakapan mereka.

"kenapa apanya?" tanya Jessie balik mengalihkan tatapannya ke arah lain untuk menghindari tatapan Arkan.

Arkan mengurai kedua tangannya, mengalihkannya ke kedua sisi kursi, bertumpu untuk mengunci Jessie di kursi yang diduduki. Ia menatap tajam mata gadis itu yang terus menghindari tatapannya.

"Jessie! Kenapa minta putus?!" Arkan menanyakan pertanyaan yang terus mengganjal di hatinya selama dua tahun ini.

"Tidak bisakah kita mengesampingkan urusan pribadi? Kita sedang di kantor, kenapa tidak membicarakan masalah bisnis!" kilah Jessie masih mencoba menghindar.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, aku tidak akan membahas masalah bisnis sebelum tahu jawaban tentang pertanyaan yang tidak pernah kamu jawab!" paksanya.

Jessie memejamkan mata sekilas, tidak ada alasan kenapa dirinya meminta putus. Hanya rasa bersalah karena terus memberi mimpi pada pemuda itu, meski pada akhirnya mereka dipertemukan kembali tanpa di sengaja.

"Kita bisa dalam posisi seperti ini terus jika kau tidak berniat menjawab pertanyaanku," ulang Arkan.

Jessie menarik napas kemudian mengembuskannya sedikit kasar, ia memberanikan menatap mata Arkan. "Apa kamu tidak sadar? Kenapa membuatku tersiksa dengan tetap memberimu harapan palsu? Gadis bukan aku saja, kamu bisa memilih atau mendapatkan gadis lain yang lebih baik. Kenapa malah memilih menantiku yang tidak pasti kapan akan datang, hah! Kenapa kamu menyiksa dirimu sendiri dengan mempertahankan hubungan ini! Aku merasa bersalah, Ar! Aku sudah memberi harapan yang seperti mimpi." Jessie menundukan kepala.

Semuanya Jessie lakukan hanya demi membebaskan status Arkan, menginginkan untuk pemuda itu hidup layaknya pemuda seumurannya. Bebas tanpa ikatan yang tidak jelas, membebaskannya dari rasa takut jika dianggap tidak setia karena berjalan dengan gadis lain. Niat hati Jessie baik, tapi cara dia salah sehingga membuat ke salah pahaman di antara keduanya.

_

_

_

Asisten dan sekretaris yang diusir dari ruangan Arkan tampak menunggu dengan cemas di kursi depan meja Bella, keduanya sesekali menatap pintu ruangan Arkan.

"Apa ruangan itu kedap suara?" tanya Feri tiba-tiba.

"Tentu saja, kalau tidak kedap suara bagaimana jika ada yang menguping kalau kami sedang membicaraka hal yang penting," jawab Dodi.

Keduanya kini diam. Sedetik kemudian Dodi mendesah. "Ahh ... kita jadi tidak tahu mereka bicara apa? Kenapa Arkan menemui gadis itu sendiri."

"Apa mereka sebelumnya ada hubungan? Aku bisa melihat kalau bosku terlihat takut melihat bosmu," ungkap Feri masih menatap pintu itu sedikit khawatir.

Dodi terdiam, ia pun tidak tahu karena sepengetahuan dirinya, Arkan sama sekali tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun.

Bella yang tanpa sengaja mendengar percakapan kedua pemuda itu hanya mendesah kasar, berpikir bagaimana bisa para pria itu malah terlihat seperti sedang menggosip.

-

-

-

-

Arkan tercengang dengan alasan Jessie, ia tersenyum masam karena merasa alasan itu tidak masuk akal. Ia awalnya berpikir jika Jessie memiliki pria lain sehingga meninggalkanya.

"Hanya itu?" tanyanya penuh penekanan.

Jessie menghindari tatapan Arkan, ia tampak meremas jemarinya, wajahnya semakin memucat ada hal lain yang tidak bisa ia katakan pada pemuda itu.

"Sekarang kamu sudah di sini, tidak bisakah kita kembali?" tanya Arkan penuh harap masih dengan menatap lekat wajah Jessie.

"Aku mohon jangan di sini!" gumam Jessie dalam hati, ia menahan sesuatu, hal yang takut jika Arkan mengetahuinya.

Jessie hanya menggeleng, ia tidak berani menjawab pemuda itu.

"Kenapa?" tanya Arkan dengan sedikit membentak.

Jessie memejamkan mata karena terkejut, ia sudah tidak tahan. "Jika masalah pribadi kita hanya menghambat masalah pinjaman ini, kalau begitu lupakan saja tentang memberi kami pinjaman."

Arkan terkejut dengan perkataan Jessie, ia pikir dengan cara ini bisa membuat gadis itu kembali di sisinya. Arkan berdiri dengan benar, lantas sedikit mundur dengan senyum getir menatap gadis itu.

Jessie langsung berdiri begitu Arkan melepasnya, ia sedikit membungkuk memberi hormat pada pemuda itu. "Maaf sudah mengganggu waktumu!"

Jessie berjalan cepat ke arah pintu, tangannya sudah meraih gagang pintu hendak membukanya tapi Arkan yang masih tidak bisa menerima penolakkan itu pun mengejar dan menahan pintu yang hampir terbuka. Suara pintu tertutup karena dorongan dari tangan Arkan terdengar keras hingga membuat Feri maupun Dodi yang duduk di depan ruangan terkesiap.

"Ar!" teriak Jessie sedikit gemetar.

Arkan mengunci pintu itu. Merapatkan tubuh Jessie, kedua tangannya bertumpu pada daun pintu untuk mengunci gadis itu agar tidak bisa ke mana-mana.

"Kenapa masih menolakku? Jelas-jelas kamu sudah di sini! Tidak bisakah kita bersama lagi?" Arkan kini terlihat penuh amarah, penolakan itu ia tidak bisa menerimanya. "Aku salah apa, Jes?" tanyanya kemudian dengan mata sendu.

"Kamu tidak salah, Ar! Tapi aku yang salah," batin Jessie. 

Jessie menggenggam erat tali tasnya, ia masih tidak bisa menjawab pertanyaan pemuda itu. "Kamu tidak salah, Ar! Aku mohon, lupakan hubungan kita yang semu. Carilah gadis yang baik untuk bisa bersamamu," kata Jessie yang semakin membuat Arkan tidak terima.

Arkan mengepalkan satu telapak tangannya, memukulkannya keras di daun pintu tepat di samping kepala Jessie yang membuat gadis itu secara impusif memejamkan mata.

"Aku tidak mau!"

"Ar! Tolong-." Belum juga menyelesaikan ucapannya, Arkan sudah membungkam bibir Jessie dengan bibirnya.

Jessie membeliakkan mata lebar, ketika Arkan menekan tengkuknya. Pemuda itu mengulum dan menyesap daging tak bertulang Jessie penuh dengan rasa kerinduan, tidak membiarkan gadis itu memberontak.

Jessie mengepalkan kedua telapak tangannya di depan dada Arkan untuk menghalau agar pemuda itu tidak semakin merapat pada tubuhnya.

"Aku tidak bisa begini!" batin Jessie.

Jessie mendorong tubuh Arkan, tapi itu sia-sia. Dia tidak bisa menyingkirkannya. Stok udara di paru-parunya hampir habis, Arkan tidak memberinya kesempatan hanya untuk sekedar mengambil napas. Kini kepalanya terasa pusing, ia harus segera pergi dari sana.

Jessie menghentakan kakinya tepat di atas sepatu yang dipakai Arkan, membuat pemuda itu akhirnya melepaskan tautan bibirnya. Jessie mendorong tubuh Arkan, kemudian ia langsung membuka pintu dan berlari keluar.

"Mas Feri!" teriaknya seraya berjalan cepat meninggalkan ruangan Arkan.

Dodi dan Feri yang sedari tadi menunggu terkesiap ketika Jessie keluar dengan sedikit berantakan, bahkan gadis itu menutup bibirnya, pikiran mereka langsung menerka-nerka bersamaan.

Feri langsung berdiri dan mengejar Jessie yang sudah berada di depan lift, mempercepat langkah agar tidak tertinggal di belakang. Feri tidak berani bertanya dengan apa yang terjadi, ia melihat wajah Jessie yang pucat dengan sesekali mengusap lengannya sendiri.

Begitu sampai di basement, Jessie langsung masuk mobil. Feri yang sudah di belakang kemudi pun mulai menyalakan mesin dan menjalankan kuda besi itu.

"Mas Feri, antar aku ke apartemen," pinta Jessie dengan nada suara sedikit lemah.

"Ba-baik," jawab Feri yang masih penasaran dengan apa yang terjadi tapi takut untuk bertanya.

Jessie tampak mengambil gawainya dari dalam tas, ia mendial nomor seseorang.

"Tian! Tolong datang ke Indonesia, aku mohon!" 

Begitu mendengar jawaban dari orang yang berada di seberang panggilan, Jessie langsung memutus panggilan itu kemudian menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, ia sesekali memijat keningnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status