Share

Siapa kamu, Kai?

“Kamu mirip zombie daripada dokter, Bella.” Kalimat tersebut dilontarkan Bella pada dirinya sendiri saat dia melihat rupa wajah pada cermin yang terletak di ruang perawat.

Dengan kantung mata hitam menyerupai panda, Bella memasuki ruang kerjanya. Tubuhnya begitu lelah setelah menjaga sang ibu yang pingsan karena dehidrasi di rumah sakit sejak kemarin sore hingga pagi ini. Jika saja, hari ini dia tidak ada shift pagi, Bella ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tidak bertenaga. Belum lagi, luka di tangan Bella saat ini berdenyut nyeri secara berkala.

Tok! Tok!

Belum sempat Bella memberikan reaksi, pintu ruangannya telah terbuka kecil.

“Dok, ayo handover,” kata Adrian sembari menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan Bella.

Setelah menganggukkan kepala lalu meletakkan semua barang-barangnya ke atas meja, Bella mengikuti langkah Adrian menuju ruang perawat tanpa banyak bicara. Tenaganya sudah habis.

Di sana, telah lengkap. Sebelum memulai hari, para tenaga medis di ruangan akan melakukan kegiatan rutin yaitu operan shift jaga, istilah kerennya handover. Bertujuan untuk memberikan informasi antara tenaga kesehatan berjaga kemarin kepada shift pagi ini dengan menyampaikan masalah, kondisi, dan keadaan klien.

“Oke, baik. Izin kepala ruangan dan Dokter Bella, saya akan membuka handover pagi ini.” Sembari membuka buku laporan, Rio yang bertugas shift malam kemarin pun memulai pembicaraan. Lantas, dilanjutkan dengan pembacaan jumlah klien yang ada di ruang Merpati kemudian suasana yang terjadi kemarin malam.

Sepanjang operan shift jaga, Bella benar-benar tidak memperhatikan selain berusaha menahan rasa kantuk dan juga lelah. Dia ingin cepat-cepat memejamkan mata karena sudah tidak tahan lagi.

Beberapa saat kemudian, operan telah selesai. Para perawat beserta adik mahasiswa segera melakukan kegiatan harian pasien. Pagi ini, jadwal senam lalu dilanjut pemeriksaan kesehatan dan ditutup dengan kegiatan hobi klien masing-masing.

Hampir saja mata Bella tertutup rapat sepenuhnya, adik mahasiswa perawat yang tengah praktik di ruangan Merpati pun menginstruksikan sambil memanggil namanya.

“Em, iya kenapa, Dik?” Sembari mengerjab-erjabkan mata guna mengusir rasa kantuk, Bella pun bertanya.

“Mohon maaf sebelumnya, Dok. Itu, Pak Kaisar mau mengobrol sama Dokter. Tapi masih di kamar isolasi,” katanya dengan takut-takut.

Kalimat itu membuat kepala Bella menoleh kepada Rio yang tengah bersiap akan pulang. Lantas, dia pun bertanya, “Kaisar kenapa masih di kamar isolasi, Yo?”

“Oh itu, Kaisar sendiri, Dok, yang minta. Katanya, mau keluar menunggu Dokter Bella jaga saja. Mungkin dia merasa bersalah sama dokter,” jawab Rio tanpa beban. Kemudian, dia mengambil segerombolan kunci dan berjalan memasuki ruangan besar yang merupakan kamar-kamar pasien. Diikuti oleh Bella.

Mendengar Kaisar mencarinya membuat rasa lelah dan kantuk di dalam diri Bella langsung terhempas. Tergantikan oleh semangat membara tiada tara.

“Sudah, biar saya saja.” Ketika Rio ingin membuka kunci pada gembok di pintu kamar isolasi, Bella segera menghentikan. Seluruh pasien sudah berada di lapangan khusus senam, di sana hanya ada Kaisar saja membuat Bella kembali berkata, “Pulang lah, Yo. Saya akan bicara dengan Kaisar.”

Melihat tatapan Rio ingin memprotes membuat Bella pun menyahuti, “Tidak apa. Di sini hanya ada saya dan Kaisar saja.”

Lantas, Rio pun pamit dan bergegas pergi dari sana. Kepergian pria itu membuat Bella segera membuka gembok pada kamar isolasi dan menghampiri Kaisar yang juga menolehkan kepala kepadanya.

“Selamat pagi, Kai. Sudah mandi pagi ini?” Sembari menghampiri Kaisar yang duduk di pinggir jendela, Bella pun bertanya basa-basi.

Kepala dengan tatapan datar itu mengangguk kaku.

Tak berniat menyembunyikan kekehan kecil sebagai respon atas jawaban Kaisar, Bella pun duduk di hadapan pasiennya ini. Senyuman lebar tak tertinggal terpatri di wajah manisnya. “Kenapa di sini? Kata Rio, kamu tidak mau keluar ruangan karena merasa bersalah sama saya?”

Kaisar mengangguk. Lantas, dia pun berdiri sambil terus membalas tatapan Bella tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Disaat seperti ini, mengapa Kaisar nampak normal? Sebenarnya, siapa kamu ini, Kai?” Melihat wajah serta gestur Kaisar, membuat batin Bella penuh tanya. Hingga, kedua matanya membeliak ketika pria dengan wajah dipenuhi oleh kumis dan janggut tipis ini menekuk kedua lutut di hadapannya.

“Eh, ada apa, Kai? Untuk apa kamu berlutut di hadapan saya?” Tak mampu menahan keterkejutan hingga mulut Bella menganga, dia pun sontak bertanya cepat.

Kedua tangan berkulit kasar itu memilin satu sama lain dengan gugup. Hingga, pada akhirnya kepala Kaisar mendongak membuat iris mata hitam pekat itu bertabrakan dengan mata hazel Bella. Perlahan-lahan, suara gugup Kaisar terdengar, “Dokter Bella ....”

“Iya, Kai?”

“Saya minta maaf karena telah menyakiti dokter kemarin. Sangat sakit sekali ya, Dok, lukanya? Maaf, Dok. Karena saya membiarkan suara itu mengendalikan akal sehat saya sehingga membuat Anda menderita.” Setelah menghembuskan napas panjang, Kaisar berkata panjang dengan raut wajah panik yang tidak bisa disembunyikan.

Bella tidak bisa mengeluarkan suara dari kerongkongannya. Sebab, dia teramat terkejut mendengar Kaisar yang bicara lebih dari satu kata padanya. “Sungguh kemajuan!” batinnya berseru tersadar.

“Dok?” Suara mencicit Kaisar kembali terdengar ragu sebab tidak ada timbal balik dari Bella.

Sambil mengulum senyuman, Bella pun berkata, “Oke. Dengan satu syarat.”

Kali ini, giliran Kaisar yang tak memberikan jawaban melainkan tatapan cemasnya.

“Kamu dilarang bicara irit, pendiam, dingin, menatap datar kepada saya. Saya akan maafkan kalau kamu mulai terbuka kepada saya, Kai. Selama 3 tahun ini, saya sama sekali tidak bisa menebak jalan pemikiranmu karena kamu benar-benar tidak membuka pintu benteng fondasi kehidupan kamu,” ujar Bella serius. Dia memanfaatkan kejadian ini agar semakin mengenal Kaisar.

Mata Bella dan Kaisar saling terkunci. Berusaha mungkin, Bella meyakinkan dari tatapan bahwa dia benar-benar serius ingin mengenal Kaisar.

“Kai, saya bukan hanya ingin menjadi orang asing di dalam hidupmu. Saya ingin berperan penting dalam kesembuhan kamu yang selalu saya nantikan setiap harinya. Kamu jangan merasa sendiri lagi karena ada saya yang akan selalu menghampiri kamu dikala kesedihan itu datang kembali.” Sedikit mencondongkan tubuh ke arah Kaisar, Bella pun berusaha meyakinkannya sembari menggenggam sebelah tangan pria itu.

Kaisar ingin menarik tangannya. Tetapi ketika merasa kehangatan yang dialirkan dari tubuh Bella, membuat pria berusia 24 tahun ini mengurungkan niat dan memilih untuk menatap lama tautan tangan mereka.

“Saya harap, kamu bisa berpikir untuk menjadikan saya sebagai rumah ternyaman kamu, Kai,” bisik Bella kembali dengan nada amat lembut.

Bella sengaja tidak berkata lagi agar memberikan waktu Kaisar berpikir. Dia berusaha menyembunyikannya perasaan cemas menunggu jawaban. Bella sangat takut ditolak oleh pasiennya ini. Sungguh lucu, bukan?

Karena, Bella jatuh cinta dengan pasiennya sendiri.

Hingga, beberapa menit kemudian, Kaisar akhirnya mendongak. Untuk pertama kalinya bagi Bella melihat tatapan sedih, terluka, dan sebuah air mata menetes dari sudut mata Kaisar.

“D-dok ... s-saya adalah seorang pembunuh.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status