Share

Aku Tidak Pernah Menyesal Mencintaimu

‘Hahahaha, seharusnya kamu menusuk tepat di jantung Dokter Bella! Menyenangkan bukan menghirup aroma kenikmatan dari cairan merah pekat itu? Ayo lakukan lagi!’

“Pergi!!” Kaisar berteriak kuat sembari menatap ke segala arah. Saat ini, wanita itu sudah tidak ada di pandangan matanya. Tetapi suara tanpa wujud masih memenuhi pemikiran Kaisar.

Teriakan membahana Kaisar mengundang beberapa orang mendekat. Adrian, Rio, dan Rafael yang kebetulan akan keluar menuju dapur. Mereka bergegas menghampiri gazebo.

“Dokter Bella!” Adrian mendekati Bella, matanya membeliak melihat kondisi mengenaskan teman sekaligus rekan kerjanya ini. Dia pun segera membalut luka Bella menggunakan sapu tangan miliknya agar pendarahan tidak semakin parah.

“Kai, lo kambuh?!” Dengan panik, Rafael melayangkan pertanyaan. Selama 1 tahun di sini tetapi dia belum terbiasa menyaksikan pasien tengah kambuh. Apalagi, Kaisar. Yang jarang sekali seperti ini.

Dengan gerakan waspada, Rio mendekat ke arah Kaisar. Lantas, dia pun berkata, “Kai, kamu mendengar suara? Ayo lawan, kamu pasti bisa!”

‘Kaisar~ hahaha! Ayo, celakai lagi dia!’ Suara tanpa wujud kembali menggema di pikiran Kaisar. Membuatnya menekuk lutut di atas tanah dengan masih menutup kedua telinga sambil memejamkan mata.

“P-pergi pergi kamu suara palsu! Kamu tidak nyata!” Dengan gemetar, Kaisar berteriak sambil menerapkan kalimat yang diajarkan oleh para perawat untuk mengusir suara-suara halusinasi ketika kambuh.

“Iya, benar! Bagus! Kamu bisa, Kaisar!” Tak ingin mengacaukan kondisi, Rio hanya bisa menyemangati Kaisar dari jarak aman.

Sedangkan Bella, dia dibantu oleh Rafael untuk mendekati Kaisar dengan Adrian masuk ke dalam ruangan untuk mengambil obat bius dan tali.

Melihat Kaisar tengah gemetar hebat sambil meneriaki kalimat terapi membuat hati Bella sakit. Dia pun mengambil risiko dengan ikut menekuk lututnya di sebelah Kaisar dan melarikan telapak tangan pada punggung pria itu tanpa takut di serang kembali.

“Tidak apa-apa, kamu pasti bisa, Kai. Suara itu palsu, jangan terhipnotis dengan kalimatnya. Singkirkan dia karena dia tidak nyata,” kata Bella bernada amat lembut. Seperti ibu yang tengah memberikan pengertian kepada sang anak. Dia menyingkirkan semua peraturan yang telah ditetapkan pihak RS bahwasanya, tenaga kesehatan wanita tidak boleh berkontak fisik kepada pasien jika tengah kambuh. Ditakutkan terjadi hal-hal kurang menyenangkan.

‘Hmm, kamu mencium aroma darah ini, Kai? Sangat lezat. Buat lagi! Kali ini, di jantungnya!!’ Suara itu kembali memberikan perintah hingga menggema di akal sehat Kaisar.

“Pergi kamu! Kamu suara palsu! Kamu tidak nyata!” Tepat setelah mengatakan itu, Kaisar meraung kesakitan sembari memegangi tangannya yang dia rasa ada sengatan terbakar di sana. “Arghh! Sakitt!”

Bukan hanya Bella yang panik, Rio, Rafael, dan Adrian yang baru datang pun ikut terkejut.

“Kai, jangan menderita sendirian. Saya di sini untukmu.” Tidak memedulikan bahwa sebelah tangannya terluka, Bella pun menarik lengan Kaisar yang terasa terbakar itu lalu mengusapnya dengan pelan sembari meniup-niupkan.

“Dok mundur, biarkan saya injeksi obat penenang untuknya,” seru Adrian sembari mematahkan ampul lalu mengambil obat tersebut menggunakan spuit, atau alat suntik.

“Tidak, biarkan saya saja.” Setelah menjawab demikian, Bella kembali berfokus kepada Kaisar yang masih berperilaku sama. Kini, tangannya terangkat untuk mengusap rambut lepek pria itu dan berkata, “Kai, semesta memang tengah bercanda kepadamu dengan memberikan banyak masalah, maka dari itu, tunjukkan lah. Tunjukkan bahwa kamu bisa menghadapi semuanya dan keluar dari zona bahaya itu. Saya percaya jika kamu bisa, Kaisar. Sebab, tak ada siapa pun yang mampu mengeluarkanmu dari belenggu itu melainkan dirimu sendiri.”

Di dalam diri Kaisar menegang ketika indera pendengarnya menangkap kalimat itu yang berhasil mengusir suara-suara tanpa wujud yang memanipulasi akal sehatnya. Perlahan-lahan, kepala Kaisar mendongak. Membalas tatapan Bella dengan sayu dan mimik wajah sendu. Hingga, matanya terpejam erat dengan kepala lunglai ke dalam pelukan Bella.

“Kaisar pingsan! Rio, cepat bawa dia ke ruangan dan isolasi!” Melihat Kaisar yang kehilangan kesadaran, Adrian bergegas memerintah Rio agar mengamankan pasiennya ini. Kemudian, dia segera membawa Bella supaya segera ditangani karena takut terjadi infeksi.

‘Kaisar, aku harap kamu baik-baik saja ....’

***

“Mengapa Kaisar 2 kali kambuh dalam waktu dekat ya, Dok? Tidak biasanya, padahal, dia tidak pernah kambuh sejak 2 tahun lalu. Apa dia memikirkan sesuatu yang berat sehingga memicu datangnya halusinasi tersebut?” Di dalam ruang kerja Bella kini telah berkumpul kepala ruangan, Adrian, ahli terapi, psikiater, dan tentu Bella sendiri.

Luka pada lengan Bella telah ditangani setelah Adrian membawanya ke UGD. Telat beberapa waktu, dokter umum menyatakan jika risiko infeksi begitu besar sebab ranting pohon yang menusuk lengannya membawa kuman-kuman yang untung saja telah pasif. Kini, lengan Bella telah di perban dengan rapi.

Namun, pikiran Bella tidak bisa fokus terhadap perbincangan tim tenaga medis lainnya saat ini. Dia memikirkan kondisi Kaisar dan juga keadaan di rumahnya yang mana, 30 menit lagi acara pengajian anak yatim piatu untuk mendoakan adiknya akan dilaksanakan. Bella tentu sudah mengabari sang ibu, tetapi tetap saja dia belum tenang sebab tidak datang.

“Kai, sesusah itu melupakan trauma yang terjadi padamu 3 tahun yang lalu, ya? Apa hari ini ... merupakan hari amat berarti untukmu sehingga memicu halusinasi itu terjadi?” Dengan pemikiran menebak-nebak, Bella membatin tanpa menemukan solusi. Menurutnya, Kaisar itu spesial. Dia tidak terlihat memiliki gangguan mental tetapi tidak dinyatakan normal.

Helaan napas kasar lolos dari bibir Bella yang cukup menarik perhatian dari seluruh orang di sana. Mereka sontak menatap sang dokter ruangan dengan heran.

“Ah, Dok. Saya dengar, lagi-lagi Anda mengambil risiko agar menenangkan Kaisar?” Pertanyaan itu dilayangkan dari ahli terapi.

Mendengar namanya disebut membuat Bella menoleh dan menyunggingkan senyuman kecil. Saat mulutnya terbuka untuk menjawab pertanyaan tersebut, seseorang mengetuk pintu ruangan.

“Siapa? Masuk!” Dengan wajah merenggut karena diskusi mereka terganggu, Adrian menyahuti kesal.

Sosok Rafael masuk ke dalam ruangan dengan wajah masa bodo. Dia cengengesan menatap semua orang dan berhenti kepada Bella. “Dok, ke kamar Kaisar, dong. Dia mau minta maaf tuh kayaknya, tapi tidak bisa ke mari. Kan lagi diikat,” ujarnya dengan nada tanpa sopan dan menyindir Adrian pada akhir kalimat.

Setelah berpamitan, Bella keluar dari ruangan tersebut diikut oleh Adrian. Tentu saja sebuah peraturan mengharuskan staf wanita didampingi oleh staf pria sebelum memasuki ruang istirahat pasien. Mereka bergegas menuju kamar isolasi Kaisar.

Pertama kali masuk, bibir Bella manyun ketika melihat kedua tangan dan kaki Kaisar diikat di sisi tempat tidur. Dia mendekat secara perlahan lalu menoleh ke arah Adrian juga Rafael. “Kalian tunggu di luar, saya mau bicara berdua dengan Kaisar,” perintahnya. Dia segera melemparkan tatapan tajam kala kedua pria tersebut ingin mengeluarkan protesnya.

“Apa kamu sudah sadar, Kai?” Setelah hanya mereka berdua di dalam ruangan, Bella melayangkan pertanyaan lembut. Kaisar tak menjawab apapun selain menatap perban yang membalut lengan Bella.

“Ah, ini ... tidak sakit. Bukan salahmu, jangan dipikirkan,” sahutnya kembali guna mengalihkan perhatian.

“D-dok, s-saya ....” Kalimat Kaisar terputus-putus dan berhenti saat suara dering ponsel menggema di ruangan tersebut.

Kedua mata Bella membeliak. Dia lupa menaruh ponselnya sebelum ke mari!

Segera dia ingin mematikan panggilan yang masuk, tetapi melihat sang penelepon membuatnya menjauhi Kaisar sejenak.

“Halo—“

‘Nak, Mama dilarikan ke UGD!’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status