Aku baru saja melipat mukena, saat kudengar pintu depan diketuk dari luar.
"Assalamualaikum ... Nis .... Buka pintunya, Nis!"Aku hapal benar suara itu, suara Mak Dijah⸺tetangga sebelah rumah yang sudah kuanggap seperti saudara."Waalaikumsalam," jawabku sambil meletakan mukena di atas sajadah. Refleks kuraih kerudung instan yang tergantung di balik pintu kamar, segera memakainya. Lalu setengah berlari menuju pintu depan."Ada apa, Mak?" tanyaku sambil membuka pintu."Ibumu, Nis ... tadi⸺" Mak Dijah tak melanjutkan kalimatnya."Ada apa, Mak? Ibu kenapa?" Aku kembali bertanya sambil menggoyang-goyang lengan Mak Dijah.Menjelang Magrib, ibu pamit untuk menghadiri majelis taklim di masjid. Biasanya, usai pengajian akan dilanjut dengan salat Isya berjamaah, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Meski ibu sibuk dengan jahitan yang menumpuk, tetapi beliau berusaha meluangkan waktu dan tidak pernah absen hadir di majelis taklim khusus untuk ibu-ibu di kampung ini."Tidak apa-apa, Nis. Bu Nyai minta tolong emak untuk memanggilmu. Ayo, kita ke rumah Bu Nyai!"Meski Mak Dijah berusaha tenang, tetapi dari nada bicaranya aku bisa menduga kalau terjadi sesuatu dengan ibu. Bukan waktu yang tepat untuk menebak-nebak apa yang telah terjadi. Tanpa membuang waktu, aku segera mengunci pintu lalu mengekori langkah Mak Dijah menuju ke rumah Bu Nyai.Hanya butuh waktu lima menit, kami sudah sampai di rumah Bu Nyai. Ternyata jamaah pengajian belum pulang. Sebagian di halaman masjid, sebagian lagi berkerumun di ruang tengah rumah Bu Nyai yang terhubung dengan tempat wudu wanita. Aku terus mengikuti langkah Mak Dijah, menerobos kerumunan ibu-ibu jamaah yang seketika terdiam melihat kedatanganku.Tatapan aneh mereka saat melihat ke arahku meyakinkan hati ini ada sesuatu yang tak diinginkan menimpa ibu. Mak Dijah menuntunku, masuk ke rumah Bu Nyai, mendekat ke arah sebuah dipan. Ibu-ibu jamaah yang ada di ruang itu tanpa dikomando memberikan jalan untukku. Badan ini lemas demi melihat sesosok tubuh bergamis putih terbujur pada sebuah dipan di ruangan itu. Ibu ...? Benarkah itu ibu? Aku bertanya dalam hati. Semakin dekat langkah ini, aku makin yakin kalau yang terbaring adalah sosok wanita yang telah melahirkanku.Wajahnya pucat dengan mata terpejam, kedua tangannya bersedekap di dada. Di sebelah kanan dipan, Bu Nyai duduk bersimpuh. Melihat kedatanganku, Bu Nyai bangkit dari duduknya, memeluk dan berbisik lembut padaku."Yang tabah ya, Nis ... semua atas kehendak Allah, kamu harus ikhlas ibumu telah mendahului kita."Aku masih terdiam dengan tatapan tak lepas dari wajah ibu. Bingung, tak paham dengan apa yang Bu Nyai katakan. Sempat aku dengar Pak Kyai meminta jamaah untuk keluar dari ruangan itu dengan halus. Kini di ruangan itu hanya ada ibu, aku, Bu Nyai dan Pak Kyai serta Mak Dijah yang terus mengelus-elus pundakku. Bersimpuh, kudekatkan wajah ini ke wajah ibu yang dihiasi senyum. Senyum yang senantiasa meneduhkan hati ini, yang selalu beliau sunggingkan meski ada nestapa di baliknya.Ah, mengapa aku tak mendengar desah napas ibu? Padahal wajah kami begitu dekat. Ya Allah .... apa yang terjadi pada ibu? Aku tak kuasa bertanya pada orang-orang di sekitar, meski beribu pertanyaan dan beragam dugaan ada dalam benak. Tubuhku melemas, bibir bergetar, tenggorokan menjadi kering. Berusaha kutelan saliva yang tiba-tiba menjadi sekeras batu."Saat akan mengambil air wudu untuk salat Isya, Ibumu terpeleset, Nis. Jatuh ... dan kepalanya membentur dinding samping tempat wudu. Kami langsung membawa Ibumu ke sini. Lalu memberinya air putih. Saat itu, ia masih sadar, masih sempat memanggil-manggil namamu dan berpesan menitipkanmu pada kami. Selang beberapa detik, dengan suara yang lemah ibumu berpamitan. Kemudian, kami tuntun ia melafazkan kalimat tauhid. Alhamdulillah ... ia dengan lancar melafazkannya. Sejenak ibumu terdiam, kemudian mengembuskan napas panjang, napas terakhirnya. Tenaaang sekali .... Lihatlah! Dia tersenyum. Semoga husnul khotimah, Nis. Ikhlaskan kepergiannya, ya .... Semua ini atas kehendak-Nya." Setengah berbisik Pak Kyai menceritakan semuanya dengan runtut. Beliau seperti tahu apa yang ada di benakku."Innalillahi wa innailaihi roji'un ...." Hanya itu yang keluar pelan dari mulutku. Ibuuu ....Ingin aku berteriak memanggilnya, tetapi bibir ini tak bisa lagi berucap. Lidah tiba-tiba kelu. Tubuhku berguncang. Lalu butiran bening tak bisa kubendung, mengalir deras dari sudut netraku. Secepat itukah, Bu? Nisa belum siap untuk ibu tinggalkan. Masih banyak keinginan Nisa untuk membahagiakan ibu. Membalas semua jasa dan pengorbanan ibu.Rasanya seperti mimpi, dua jam yang lalu masih jelas di ingatan, ketika beliau berpamitan untuk berangkat ke majelis. Saat itu tak ada firasat apa pun."Ibu berangkat dulu, Nis. Hati-hati di rumah sendirian, jaga diri baik-baik!" pesannya sambil mengelus pundakku.Pesan itu yang tiap kali ibu ucapkan saat beliau meninggalkanku seorang diri di rumah. Entah saat akan pergi ke majelis, ke pasar, ke kondangan atau ke mana pun.Aku mengangguk, meng-iya-kan titahnya seraya meraih tangan wanita empat puluh tahun itu. Lalu mencium tangan yang sudah menghasilkan banyak rupiah untuk memenuhi kebutuhanku. Tidak kusangka jika itu adalah pertemuan terakhir kami.Ibu ... engkaulah pahlawan bagi Nisa. Nisa berjanji akan selalu berhati-hati dan menjaga diri, sesuai pesan Ibu.Setelah beberapa saat, Pak Kyai memerintahkan beberapa orang untuk mengantar jenazah ibu ke rumah untuk disucikan dan semayamkan. Hampir seluruh warga kampung datang melayat. Mereka kaget dan tidak menyangka dengan kepergian ibu yang begitu tiba-tiba. Apalagi jamaah majelis yang beberapa saat lalu masih mengobrol dan bersenda gurau bersama ibu. Mereka seperti tak percaya, secepat itu ibu menghadap Sang Khalik. Namun, itulah takdir, tak ada yang bisa memprediksi kapan perjalanan di dunia akan berakhir. Sejatinya, kita pun sedang menunggu. Menunggu kapan maut akan menjemput. Tanpa tahu kapan, di mana dan dengan cara bagaimana saat itu tiba. Setelah disemayamkan semalam di rumah, esok harinya sekitar jam sembilan pagi, jenazah ibu dibawa ke Masjid Al-Barokah untuk disalatkan. Meski dengan kondisi lemah, aku berusaha ikut makmum salat jenazah. Inilah penghormatan terakhirku untuk ibu.Namun, saat akan mengantar ibu ke peristirahatan terakhir, banyak yang menyarankan agar aku tidak ikut. Mereka mengkhawatirkan kondisiku, takut kalau sampai kehilangan kesadaran. Memang dari semalam aku sama sekali tidak tidur. Perutku juga kosong, hanya segelas air mineral yang kuminum. Tadi pagi, Bu Nyai dan beberapa orang berusaha membujukku agar makan, tetapi sama sekali tak ada selera.Akhirnya, dengan berat hati kuturuti saran itu. Aku paham dengan kekhawatiran mereka, tak mau merepotkan kalau sampai pingsan atau hilang kendali saat menyaksikan jenazah orang yang telah melahirkanku itu dimasukkan ke liang lahat. Apalagi jarak ke pemakaman lumayan jauh, dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.Alhamdulillah, atas bantuan takmir masjid dan solidaritas warga, prosesi pemakaman ibu berjalan dengan lancar. Meskipun kami tidak mempunyai saudara seorang pun di kampung ini, tetapi banyak tetangga dan warga yang mengantar jenazah orang terkasihku ke pemakaman.bBeruntunglah kami hidup di lingkungan yang masyarakatnya masih menjunjung nilai kekeluargaan dan gotong royong.Kepergian ibu secepat itu membuat diri ini begitu syok dan terpukul. Sepertinya sudah tidak ada lagi gairah dan semangat hidup. Empat tahun yang lalu⸺saat bapak meninggal⸺aku juga teramat sedih. Akan tetapi, kala itu aku sudah siap karena hampir setahun bapak menderita sakit.Berbagai upaya telah kami coba agar bapak bisa pulih dari penyakitnya, tetapi hasilnya nihil. Dokter pun angkat tangan. Bahkan kata dokter, usia bapak saat itu hanya tinggal menghitung hari. Sel kanker telah menggerogoti paru-parunya dan semua itu baru terdeteksi saat sudah stadium lanjut.Akhirnya, aku dan ibu pasrah. Kami berusaha tegar, dan mempersiapkan segalanya jika kemungkinan terburuk terjadi pada Bapak. Sebulan setelah dokter memvonis bapak mengidap kanker paru-paru, pria bersahaja itu akhirnya menghadap Sang Pencipta. Kami ikhlas dan menganggap itulah jalan terbaik yang Allah berikan agar bapak terbebas dari rasa sakit.Jangan ditanya seperti apa kesedihanku saat itu, tetapi ibu selalu menghibur. Meski di setiap ucapannya dapat terbaca kesedihan yang lebih dalam dari yang aku rasakan. Kehilangan teman hidup, suami yang teramat beliau cintai. Akan tetapi, ibu senantiasa tegar di hadapanku. Selalu memberikan semangat dan harapan. Tak heran ibu menjadi satu-satunya sandaran untukku saat itu.Sementara kini, siapa yang dapat aku jadikan sandaran? Satu-satunya orang terdekat tak ada lagi. Orang yang tulus ikhlas menerima segala keluh kesahku, yang tanpa pamrih mengorbankan sisa hidupnya berjuang seorang diri untuk menghidupiku. Oh, ibu ... setiap mengingatmu hati ini begitu ngilu, dada terasa sesak. Lalu tak terasa bulir bening kembali mengalir di pipi.Akan tetapi, dari semua kejadian ini aku jadi semakin dewasa. Teringat nasihat Pak Kyai pada suatu pengajian remaja yang rutin aku hadiri. Bahwasanya jangan pernah kita bersandar pada sesama manusia, bersandarlah hanya pada Allah. Karena manusia itu tidak kekal. Jikalau kita bersandar pada sesuatu yang tidak kekal dan suatu ketika sandaran itu tumbang maka otomatis kita pun ikut tumbang.Persis! Seperti itulah yang kini terasa. Saat ini, aku hanya sebatang kara. Aku anak tunggal dan setahuku dari bapak maupun ibu tidak ada saudara kandung. Sepertinya tak ada lagi tempat bernaung. Saat terpuruk seperti ini, beruntunglah aku tersadar bahwa masih ada Allah yang menjadi sandaran, kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Ada hikmah di setiap kejadian yang sudah Allah tetapkan. Begitupun dengan yang aku alami saat ini.Dorongan dan semangat dari teman-teman, guru-guru dan para tetangga lambat laun mengembalikan semangat hidupku. Bukankah empat bulan lagi ujian kelulusan akan digelar? Aku harus semangat, berusaha tetap menjadi yang terbaik, seperti harapan ibu. Kini aku sadar, bahwa semua adalah skenario yang sudah ditetapkan oleh-Nya.Beruntung saat ini masih libur usai ujian semester. Itu artinya masih ada waktu untuk menata hati dan pikiran sebelum masuk sekolah kembali. Meski aku ragu, bagaimana aku bisa melanjutkan hidup juga sekolah. Selama ini ibu yang memenuhi segala kebutuhan. Dari bayar SPP, iuran ini itu, dan semua tetek-bengek kebutuhan hidup. Sementara orang tuaku tidak meninggalkan harta atau tabungan selain rumah kecil yang kami tempati. Saat seperti ini kembali aku mengingat Rabb-ku. Tidak mungkin Allah timpakan suatu ujian pada hamba-Nya di luar kemampuan. Hanya pasrah, tawaqal yang bisa aku lakukan saat ini.Tepat tujuh hari setelah kepergian ibu, tanpa kunyana Pak Kyai dan Bu Nyai berkunjung ke rumah. Kali ini mereka mengajak serta Mas Iqbal. Hanya Mak Dijah yang menemaniku saat itu. Beliaulah yang sering bertandang ke rumah semenjak ibu tiada. Rumah kami bersebelahan dan hanya berjarak tidak lebih dari lima meter tanpa pagar pembatas. Tak heran hubungan keluargaku dan keluarga Mak Dijah layaknya saudara. Dengan sopan aku persilahkan Pak Kyai, Bu Nyai dan Mas Iqbal masuk ke rumahku. Tak lupa Mas Iqbal mengucapkan bela sungkawa atas kepergian ibu."Maaf ya, Nis. Waktu itu sedang ujian akhir semester, jadi tidak bisa pulang, aku kaget sekali waktu mendengar cerita dari abah dan umi. Semoga ibumu husnul khotimah, yang tabah ya, Nis," kata-kata Mas Iqbal sedikit memberikan kekuatan untukku."Terima kasih, Mas, mohon maaf jika selama hidup ibu ada salah pada Mas Iqbal ya ...," kataku tanpa membalas tatapan mata pemuda berbaju koko putih itu."Iya, Nis .... Ibumu orang yang baik. Aku juga merasa kehilangan," jawab Mas Iqbal sambil tersenyum.Aku bangkit dari kursi, niatku akan membuatkan minuman untuk mereka, tetapi dengan halus Bu Nyai mencegahku."Tidak usah repot-repot Nis, sebenarnya maksud kedatangan kami kemari ada yang ingin disampaikan, Nis. Biar abah yang bicara padamu ya," kata wanita bergamis merah maroon itu sambil mengelus punggung tanganku dengan lembut."Silakan, Bah ...," sambung Bu Nyai sambil mengalihkan pandangannya pada lelaki yang duduk di sampingnya.Sejenak suasana hening. Kulihat Pak Kyai mengubah posisi duduknya. Diawali deheman lelaki yang kulihat tak pernah lepas dari kopiah putih itu dengan sinar mata teduh menatap diri ini.POV IrsyadHari ini adalah jadwalku untuk terapi. Meski Nisa sudah sembuh, tapi ia tidak kuperbolehkan mengantar ke rumah sakit. Aku tidak ingin ia terlalu capek dan jatuh sakit lagi seperti kemarin."Mas Irsyad yakin, nggak mau aku antar? "Iya, Nis ... kamu di rumah saja ya, biar Iqbal yang mengantar. Semalam, aku sudah minta tolong, paling sebentar lagi dia menjemputku. Kamu baik-baik di rumah, ya!" Kuelus lembut punggungnya."Suntuk kalau di rumah sendiri, Nisa ke toko saja ya? Ndak papa kan, Mas Irsyad aku tinggal sekarang?""Aduh ... kamu baru sembuh, Nis. Kalau di toko pasti ndak bisa istirahat." "Nisa sudah sehat, Mas. Janji deh di toko ndak ngapa-ngapain, cuma_""Cuma apa? Ketahuan nih, cuma ... cuma ... kangen sama Syarif, ya?" godaku yang membuat Nisa memajukan bibir beberapa centi."Iiih ... Mas Irsyad tega banget sih! Boleh, ya Nisa ke toko?" rajuknya dengan bergelayut di lenganku, kalau sudah begini rasanya tak tega untuk tidak menuruti keinginannya."Ok ... boleh ke
Segera kututup panggilan, dan bergegas pamit pada Syarif. Kukayuh pedal dengan cepat. Saat seperti ini, jarak antara toko ke rumah yang tak sampai satu kilometer tiba-tiba terasa begitu jauh. Dari pintu pagar, kulihat mobil Abah sudah di halaman rumahku. Setelah memarkir sepeda, aku bergegas masuk ke rumah. Di kamar, sudah ada Mas Iqbal bersama kedua temannya, bersiap menggotong Mas Irsyad. "Mas Irsyad ...," pekikku tertahan. Mak Dijah mendekat, mencoba menenangkanku, disusul Umi dengan lembut meraihku dalam pelukannya. Umi tergugu. Tiba-tiba kekhawatiran menyelimuti hati ini. Aku yakin, Mas Irsyad benar-benar pingsan, bukan sedang akting seperti dulu sesaat sebelum kami menikah. Abah memintaku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, agar ada yang menerima Mas Irsyad. Agak kerepotan memasukkan tubuh jangkungnya. Kini, kepala Mas Irsyad ada di pangkuanku. Hanya Abah, aku dan Mas Iqbal yang mengantar ke rumah sakit. Sementara Umi menunggu kabar selanjutnya di rumah. Dari dala
POV. KhairunnisaAroma minyak kayu putih menusuk indra penciumanku. Susah payah aku membuka netra, tapi pening di kepala memaksa kembali memejamkannya. Samar terdengar orang berbicara. Setelah beberapa saat, akhirnya netra ini dapat terbuka sempurna. Aku seperti orang linglung, tak tahu apa yang terjadi. Ada Mas Irsyad duduk di sampingku. Umi dan Mak Dijah juga ada di dekatku. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nis,” ujar Mas Irsyad sambil menggenggam tanganku. “Aku kenapa, Mas?” tanyaku kemudian. Lelaki berbaju koko putih itu mengacuhkan pertanyaanku. Ia menerima segelas teh dari Umi lalu membantuku meminumnya. Hanya kucecap beberapa kali. Lidah ini terasa pahit, perut juga rasanya mual. “Tadi, saat pada asyik ngobrol di depan, kamu pingsan di ruang tengah, Nis. Untungnya Iqbal pas lewat, kebetulan dia mau ke belakang,” terang Umi yang membuat hatiku tak menentu. Kuhela napas panjang, sambil mengumpulkan serpihan memori yang berserakan. Perlahan dapat kuingat semuany
Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah mengapa rasa kantukku hilang begitu saja, karena tiba-tiba teringat peristiwa dua hari yang laluaa--qbal membopong Nisa. Ingatanku merembet ketika aku melihat langsung Nisa terlihat begitu gugup menerima telepon dari Iqbal beberapa waktu lalu. Bahkan, dengan buru-buru ia menyerahkan ponsel padaku. Adakah kaitannya semua itu dengan kepindahan Nisa ke rumah ini yang terkesan terburu-buru? Tiba-tiba ada ketakutan menyelimuti perasaan. Jika sebelumnya aku takut, karena cepat atau lambat pasti akan meninggalkan Nisa. Kini sebaliknya, khawatir Nisa meninggalkanku.Kupandangi seraut wajah di sampingku, wajah yang mengingatkan akan peristiwa konyol di kamar mandi—saat aku opname di salah satu rumah sakit di Magelang. Wajah dengan semburat merah karena malu bercampur kesal yang menggiringku kembali ke rumah orang tuakuhal--ng sebelumnya tak kuinginkan sama sekali.Bukan tanpa alasan enggan pulang ke rumah, sejak terlibat penggunaan obat-obatan terlarang
POV Irsyad Dari ruang tengah terdengar Iqbal memekik, menyebut nama Nisa. Setengah berlari aku menuju ke arahnya, diikuti Abah Umi dan yang lain. "Nisa pingsan," ujar Iqbal ketika melihatku membuka pintu. Ada kecemasan pada nada suaranya. Aku tak percaya melihat Nisa tergolek di pelukkan Iqbal. Sebelumnya ia tak mengeluh apa pun. Hanya telapak tangannya kurasakan hangat, ketika tadi pagi kami bergandengan dari rumah sampai ke sini. Belum hilang rasa kagetku, kembali aku disuguhi pemandangan yang membuat diri ini tercengang. Tanpa kuduga, Iqbal membopong tubuh Nisa, lalu dengan hati-hati dibawanya masuk ke dalam kamar kamarnya, merebahkannya pelan-pelan di atas tempat tidur. Rasanya seperti ada silet yang tanpa ampun menyayat-nyayat hati, melihat Iqbal dengan sigap menolong Nisa. Ah, betapa kerdilnya pemikiranku. Bukankah Iqbal hanya membantu istriku, yang ambruk bersamaan saat dirinya akan masuk ke ruang tengah. Meski hati kecilku memihak pada Iqbal, tapi tetap saja ada sesuatu
Maaf, Nis ... Umi ada? Aku mau bicara sebentar." Seketika lamunanku buyar, saat suara Mas Iqbal terdengar kembali. "Eh, iya ... maaf, Mas ... Nisa yang terima, emm ... soalnya emm ... Umi sedang ke pasar." Aku terbata-bata menjawab pertanyaan lelaki yang pernah bertakhta di hati, tak bisa kusembunyikan rasa gugup. Ya Allah ... dosakah hamba? Jika cintaku pada Mas Iqbal masih tersisa. Sudah setahun lebih aku menikah dengan Mas Irsyad, tapi kenapa belum bisa lepas dari rasa itu? "Dari siapa, Nis? Kok grogi begitu, kayak ngobrol sama mantan saja ... hehehe ...?" Aku tersentak mendengar kata-kata Mas Irsyad yang ternyata sudah duduk di kursi makan. Mantan? Tentu dia hanya bercanda. Akan tetapi ucapannya seperti anak panah yang melesat tepat mengenai dada, tembus hingga ke jantungku. Masyaallah ... sudah berapa lama dia ada di sini? "Eh, Mas ... bukan ...! Ini dari Mas Iqbal,” jawabku salah tingkah. ”Maaf, dilanjutkan bicara sama Mas Irsyad saja ya, tiba-tiba perut N