"Kenapa kamu senyum-senyum, Rul? Emangnya ada yang lucu?" Ammad mengerutkan dahinya.
Pemuda itu malah tertawa terpingkal-pingkal
"Tidak, Pak. Tidak ada yang lucu sih. Cuma saya senang kalau Bapak sekarang sudah mulai bisa bergaul akrab dengan perempuan. Secara kan selama ini Bapak tidak mau bergaul akrab dengan perempuan lain, walaupun istri Bapak jauh di kampung sana," jelas Khairul.
"Loh, kan malah bagus. Berarti saya tipe cowok yang setia dong," kata Ammad ikut tertawa.
"Cuma lucu aja, Pak. Masa orang seperti Bapak yang merupakan bos kami disini, tidak tertarik untuk begituan. Sementara di lingkungan kita sendiri sebagai orang proyek, sudah bukan rahasia lagi. Ketika istri jauh dan tidak bisa mengikuti kita kemari, pasti kesempatan itu akan dimanfaatkan untuk 'bermain'." Pemuda itu mengerlingkan matanya.
"Astagfirullah .... Khairul, kamu ada-ada saja. Kita tidak boleh seperti itu," sergah Ammad.
"Saya ini juga laki-laki normal. Jang
Ammad langsung masuk ke dalam kamarnya ketika mereka sampai di mess. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya membuat laporan pekerjaan proyek hari ini, sebelum dia memulai chatting dengan Naila. Ah, lagi-lagi Naila. Laki-laki itu hanya bisa tersenyum kecut. Apalagi mengingat percakapannya tadi dengan Khairul saat makan malam di sebuah warung pinggir jalan. Mungkin ia bisa membohongi semua orang. Khairul, orang-orang yang berada di sekitar Naila, bahkan Naila sendiri, tapi ia menyadari, ia tak akan pernah sanggup membohongi dirinya sendiri. Ammad mengenal wanita itu saat dia pertama kali makan di warung ibu Diana. Saat itu pandangan matanya tak pernah lepas dari sosok wanita muda yang menyediakan makanan untuknya. Wajah itu begitu teduh, polos dan sederhana. Wajahnya manis tanpa polesan make up. Tak bosan rasanya dia memandangnya Merasa penasaran, dia mencoba menanyakan tentang wanita itu kepada san
Sudah berapa kali wanita muda itu menguap, tapi ia berusaha untuk menahan rasa kantuk yang menyerangnya. Dia masih menunggu Ammad yang berjanji akan menghubunginya malam ini. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia menatap nanar layar ponselnya. Laki-laki itu tengah berada dalam kondisi online, tapi entah kenapa, sampai saat ini dia masih belum menghubungi Naila. Naila tidak mau menghubungi laki-laki itu lebih dulu. Bukan karena apa. Dia hanya takut mengganggu pekerjaan Ammad. Dia tahu, malam-malam pun laki-laki itu masih bekerja dan yang bisa dilakukan olehnya sekarang adalah hanya menunggu. [Selamat malam, Ade. Maaf ya, Abang baru bisa menghubungi sekarang. Abang harus menyelesaikan pekerjaan Abang terlebih dahulu. Sekali lagi, maaf ya, De] Naila menghela nafas lega. Dia segera mengetik untuk membalas chat Ammad. [Tidak apa-apa, Bang. Naila paham dengan pekerjaan Abang] [Terima kasih atas pengertiannya, De. Abang senan
Laki-laki itu menatap nanar ponsel yang masih berada dalam genggamannya. Pemandangan yang barusan dilihatnya itu sungguh membuat hatinya trenyuh. Dia tak bisa membayangkan seandainya berada di sana, sarapan bersama mereka. Sekilas kamera ponsel Naila berhasil menampilkan tiga buah piring berisi nasi dengan lauk irisan telur dadar dan tiga gelas teh. Hanya itu sarapan mereka, tapi Ammad bisa melihat betapa gembira mereka di pagi hari ini. Laki-laki itu menghela nafas panjang. Ah, Naila. Dia tidak habis pikir dengan wanita itu. Di tengah keadaan ekonomi keluarganya yang serba keterbatasan, Naila selalu menolak tawaran bantuan darinya. Entah sudah berapa kali Naila menolak pemberiannya dan entah harus dengan cara apalagi supaya wanita itu mau menerima pemberiannya. Padahal demi Tuhan, dia ikhlas memberikan semua itu untuk Naila. Bukan karena modus ingin menjadikannya sebagai kekasih, istri atau apapun istilahnya seba
Heran, di mana-mana selalu saja orang-orang mempertanyakan hubungannya dengan Naila. Rahman, Khairul, bahkan ibu Diana pun selalu bertanya masalah yang satu itu. "Tumben mukamu kusut, Mad. Ada apa?" tanya ibu Diana ketika Ammad baru saja memasuki warung makan itu. Ahmad menghela nafas panjang. Dia tersenyum kecut. "Gimana nggak kusut, Bu? Orang-orang di proyek pada membicarakan saya dengan Naila," keluhnya. Wanita separuh baya itu tertawa terpingkal-pingkal. Suaranya bahkan menarik perhatian orang-orang yang sedang asyik menikmati makanan siang ini. "Kamu sih terlalu malu-malu. Coba dong agresif sedikit. Dekatilah Naila, jujur dengan perasaan sendiri. Jangan bikin dirimu menyesal di kemudian hari, kalau akhirnya Naila menjalin hubungan dengan laki-laki lain," tutur ibu Diana. "Kalau Naila menjalin hubungan dengan laki-laki lain, apakah saya berhak untuk melarangnya? Bahkan sampai saat ini saya hanya mampu memberikan dia status sebagai
Ammad baru saja menyelesaikan shalat magrib di dalam kamarnya. Dia meraih ponsel dan menatap nanar kalender yang ada di layar ponselnya itu. Ya Allah, masih setahun lagi dia harus tinggal di sini. Masih setahun lagi kontraknya baru selesai. Bagaimana mungkin dia bisa menjauhi wanita itu? Sedangkan desakan di hatinya selalu menginginkan untuk bertemu dan berada di dekatnya. Apalagi jika mengingat Nayra. Gadis kecil itu begitu menyayanginya. Dia dan Naila mungkin bisa mengatur agar mereka tidak usah bertemu lagi. Komunikasi hanya sebatas lewat telepon. Pertemuan mungkin bisa dibatasi, hanya di warung ibu Diana saja. Dia dan Naila mungkin bisa mengatur semua itu, tapi bagaimana dengan Nayra? Gadis kecil itu tidak tahu apa-apa dengan masalah di antara mereka. Dia hanya tahu bahwa dia sekarang sudah memiliki seorang paman yang sangat menyayangi dan menjadi tempat dia mencurahkan kasih sayang seorang anak kepada ayahnya. Dia lagi senang-senangnya memiliki sesosok l
Naila menggelengkan kepala. "Bukan, Ma. Itu temannya Bang Ammad. Namanya Khairul," sahut Naila. "Kenalan baru lagi nih?" celetuk Syifa. Wanita itu rupanya menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Padahal dia tengah sibuk menggoreng bawang. "Iya, Kak Syifa. Dia temannya bang Ammad," ucap Naila. "Masih sendiri atau sudah berkeluarga?" tanyanya. "Tidak tahu, Kak. Soalnya ini juga baru kenal. Tidak sopan kan kalau langsung nanya, apakah dia masih sendiri atau sudah berkeluarga," jawab Naila. Dia menggelengkan kepala. "Bukannya kayak gitu, Nai. Siapa tahu aja dia suami orang. Kan repot." "Persahabatan itu tidak mengenal status, Kak. Lagian Naila juga tidak pernah berpikir macam-macam. Naila hanya ingin berteman. Itu aja," balas Naila "Kamu itu Nai, dasar keras kepala. Sudah sering di bilangin, tapi tidak pernah mau menerima nasehat. Kalau mau berteman dengan laki-laki itu carilah laki-laki yang masih sendiri bukan yang sudah berkelua
Iya, nggak apa-apa, Nai. Lain kali aku akan ke warung bersama Pak Ammad untuk menemuimu. Boleh kan kalau kita berteman?] [Boleh sekali. Nai senang berteman dengan siapa aja, asalkan orangnya baik dan sopan. Oh ya, kamu dapat nomor Nai dari Bang Ammad ya?] [Iya nih. Maaf ya, Pak Ammad tidak bilang ke kamu kalau dia ngasih nomor kamu kepadaku] [Tidak apa-apa, Bang Khairul. Ya udah, Nai lagi sibuk nih di dapur. Nanti kita ngobrol lagi ya] [Ya Nai, Aku juga sambil kerja. Selamat beraktifitas ya] [Oke Bang Khairul, selamat bekerja juga. Jaga diri Abang baik-baik ya. Tetap semangat! 👍👍] Khairul menatap nanar layar ponselnya. Dia tak menyangka akan mendapat sambutan seperti itu dari Naila. Sambutan yang begitu manis dengan tutur kata yang sopan dan menunjukkan bahwa si empunya pesan merupakan pribadi yang sangat menari
Drrtt drrtt drrtt .... Nama ibunya tertera di layar ponsel. Khairul segera menekan tombol berwarna hijau, kemudian menempelkan benda pipih berbentuk segi empat panjang itu ke telinganya. "Assalamu alaikum, Ma," sapanya "Wa alaikum salam." Terdengar sahutan seorang wanita tua di seberang sana. "Apa kabar, Ma? Maaf Khairul belum bisa kirim uang untuk Mama dan Papa, karena Khairul belum gajian," ucapnya. "Alhamdulillah, Kami selalu sehat, Nak. Jangan dipikirkan soal gajian. Uang yang kamu kirimkan lebih dari cukup untuk menopang kebutuhan kami sehari-hari." Ibunya tertawa. "Alhamdulillah ... semoga Mama dan Papa selalu sehat," doa Khairul. "Kamu sendiri gimana? Bagaimana dengan pekerjaan kamu, Nak?" "Alhamdulillah ... selalu lancar, Ma. Itu berkat doa Mama dan Papa. Teman-teman disini semuanya baik terhadap Khairul." "Syukurlah, Nak. Semoga hidupmu selalu diberkahi. Oh, ya, Nak, boleh nggak Mama tanya ses