Sesampainya di warung tempat kerjanya, Naila buru-buru melangkah masuk ke dalam warung. Suasana masih sepi. Hanya ibu Diana dan Kak Imah yang nampak sedang sibuk mengolah bahan mentah menjadi berbagai macam masakan untuk di jual nantinya.
Warung ibu Diana buka dari pukul 09.00 pagi sampai pukul 17.00 sore.
"Nai," panggil ibu Diana.
"Dari tadi ibu perhatikan, muka kamu cemberut saja. Ada apa, Nai? Apakah Nayra minta ayah baru lagi?" tanyanya sembari mengedipkan mata.
Naila menggelengkan kepala.
"Bukan, Bu. Naila cuma kesal dengan omongan orang. Padahal Nai nggak ngapa-ngapain dengan bang Ammad. Kalau lagi jalan, ya biasa aja. Bahkan jalannya juga sama Nayra. Kenapa orang-orang pada mikir yang enggak-enggak?" Dia menghembuskan nafasnya.
"Ya wajar saja, Nai. Kamu kan janda. Jadi kalau kamu kelihatan dekat dengan laki-laki, orang-orang mikirnya ke situ. Ada hubunga
"Nai, apa sebaiknya kamu menikah saja dengan Ammad? Mama tidak enak nih dengan omongan para tetangga," ucap ibu. Naila menggelengkan kepala. "Tidak akan, Mama. Di samping Nai udah anggap dia saudara, bang Ammad itu statusnya suami orang." "Lagi pula, Bang Ammad juga nggak pernah bilang apa-apa sama Nai. Nggak ngasih kode-kode gitu." Naila tersenyum manis. "Tidak usah di ambil hati itu omongan tetangga," ucap Naila. Ibunya menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan kamu hidup sendiri, Nai?" Ucapan ibunya lebih mirip sebuah keluhan. "Sampai Allah mempertemukan Nai dengan jodoh Nai, karena jodoh itu tidak bisa di paksa, Mama." Naila benar-benar tidak habis pikir, kenapa semua orang di dekatnya menyuruh untuk segera menikah. Seakan pilihannya untuk hidup sendiri merupakan sebuah aib. [Abang] Naila mengetik pesan dengan netra yang basah [Ya, kenapa, Dek sayang?] [Kenapa semua orang sa
Tawa Naila pun berderai. "Habis mau bagaimana lagi, coba? Walaupun di jelaskan, mereka juga gak akan mengerti. Seperti orang-orang di sekeliling Ade juga. Kemarin saat kita ziarah ke makam abahnya si Nayra, malah ada yang mengira kita akan menikah. Kan sebel." "Setiap kali Abang berkunjung ke rumah, ada-ada saja komentar tetangga. Ya maklumlah Bang, Ade kan janda. Meskipun bukan keinginan Ade untuk menjadi janda." "Tidak seperti itu, Ade. Abang tak pernah menganggap Ade serendah itu." "Itu, Abang. Bagaimana dengan lainnya? Apakah mereka bisa mengerti? Dulu sebelum kenal Abang, banyak laki-laki yang mau dekat dengan Ade. Seringkali Ade tolak dengan cara halus. Bahkan ada beberapa yang sampai sakit hati karena di tolak Ade. Ujung-ujungnya malah menghina. Katanya, Ade terlalu pemilih lah, sok jual mahal lah, macam-macam itu, Bang," ucap Naila. "Tidak usah di dengarkan apa kata orang, sel
Sebuah getaran yang berasal dari ponsel sontak membangunkan tidurnya. Naila membuka mata, mengumpulkan segenap kesadaran yang masih tersisa. "Bang Ammad?" desah Naila. Ia termangu di atas tempat tidur dengan ponsel di dalam genggamannya. [Bangun, Ade. Udah mau subuh nih] [Iya, Ade sudah bangun, Bang] sahutnya. [Pagi ini Abang jadi berangkat ke Medan?] [Jadi dong.. Ade baik-baik di sini ya] [Iya. Abang ke bandara nanti sama siapa?] tanya Naila. [Abang di antar teman. Nanti sekalian dia bawa mobil Abang pulang ke proyek] [Oke Abang. Hati-hati di jalan ya] Naila menaruh ponselnya kembali ke atas bantal. Kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke luar kamar. Sementara sayup-sayup terdengar suara ayat-ayat Al Qur'an dari kejauhan, pertanda waktu subuh sebentar lagi akan tiba. Maha suci Dzat yang me
Dik." Sebuah suara yang memanggil, spontan menghentikan langkahnya yang tengah membawa tumpukan piring kotor menuju ke belakang warung. Seorang laki-laki tengah bergegas mendekatinya. "Iya, Kak," sahut Naila. Naila kenal laki-laki itu. Laki-laki asli Banjar dan bekerja menjadi salah satu mandor di proyeknya Ammad. Dia pula yang telah mengenalkan Ammad pada Naila. "Malam ini ada acara nggak, Dik? Kita jalan-jalan yuk," ajaknya. Seperti biasa, Naila menggelengkan kepala. "Makasih atas tawarannya, Kak. Malam ini rencananya Adik di rumah aja," tolak Naila. Laki-laki itu mendadak cemberut. "Kok gitu sih Dik? Di ajak jalan sama Pak Ammad, Adik mau aja. Masa di ajak jalan sama Kakak, Adik nggak mau.." protesnya. Naila menghela nafas panjang. "Itu bukan Nai yang mau, tapi Nayra. Sedangkan sama Kakak, Nayranya nggak mau di ajak jalan. Lha Adik bisa apa?" Naila mengendikkan bahunya. "Kita jalan berdua aja,
Dua Minggu kemudian... Sebuah mobil masuk ke halaman rumah Naila ketika wanita itu baru saja pulang kerja "Assalamu alaikum.." Seorang laki-laki gagah keluar dari mobil. "Om ...!" jerit Nayra. Dia berlari dan memeluk laki-laki itu. "Nayra kangen sama Om," ujar Nayra. "Om lebih kangen sama Nayra. Apa kabar gadis kecil kesayangan om?" Laki-laki itu merendahkan tubuhnya balas memeluk gadis kecil itu. "Wa alaikum salam, Bang," sahut Naila. "Nayra dan Mama baik-baik saja, Om. Nayra selalu jaga Mama," ucapnya polos. Ammad tertawa terpingkal-pingkal. "Mantap Nayra. Toss dulu dong.!" Nayra pun ikut tertawa. "Ayo masuk dulu, Bang. Mama ada di dalam," ujar Naila. Dia mengangguk dan mengiringi langkah Naila masuk ke dalam rumah. Sementara Nayra lebih dulu berlari ke d
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Siang telah sempurna berganti menjadi malam. Kegelapan begitu terasa. Hanya kelap kelip lampu seperti bintang yang bertebaran di cakrawala Ammad baru saja selesai melaksanakan salat Maghrib. Seperti biasa, dia pun segera berdzikir dan berdoa semoga Allah selalu melindunginya dimanapun dia berada. Hufft.. Laki-laki itu menghela napas panjang. Tiba-tiba seraut wajah melintas di kepalanya. Seorang wanita muda berwajah manis dan bertubuh mungil menari-nari di benaknya. Naila, seorang wanita muda yang belakangan ini menarik hatinya. Sosoknya yang begitu bersahaja. Seorang single parent yang berjuang untuk menafkahi putri kecilnya dan seorang ibu yang sudah tua. Naila yang begitu polos dan wajahnya senantiasa memancarkan keteduhan bagi siapapun yang memandangnya. Dia merasa begitu nyaman saat dekat dengan wanita itu Sebuah ketukan di pintu kamar membuy
"Kenapa kamu senyum-senyum, Rul? Emangnya ada yang lucu?" Ammad mengerutkan dahinya. Pemuda itu malah tertawa terpingkal-pingkal "Tidak, Pak. Tidak ada yang lucu sih. Cuma saya senang kalau Bapak sekarang sudah mulai bisa bergaul akrab dengan perempuan. Secara kan selama ini Bapak tidak mau bergaul akrab dengan perempuan lain, walaupun istri Bapak jauh di kampung sana," jelas Khairul. "Loh, kan malah bagus. Berarti saya tipe cowok yang setia dong," kata Ammad ikut tertawa. "Cuma lucu aja, Pak. Masa orang seperti Bapak yang merupakan bos kami disini, tidak tertarik untuk begituan. Sementara di lingkungan kita sendiri sebagai orang proyek, sudah bukan rahasia lagi. Ketika istri jauh dan tidak bisa mengikuti kita kemari, pasti kesempatan itu akan dimanfaatkan untuk 'bermain'." Pemuda itu mengerlingkan matanya. "Astagfirullah .... Khairul, kamu ada-ada saja. Kita tidak boleh seperti itu," sergah Ammad. "Saya ini juga laki-laki normal. Jang
Ammad langsung masuk ke dalam kamarnya ketika mereka sampai di mess. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya membuat laporan pekerjaan proyek hari ini, sebelum dia memulai chatting dengan Naila. Ah, lagi-lagi Naila. Laki-laki itu hanya bisa tersenyum kecut. Apalagi mengingat percakapannya tadi dengan Khairul saat makan malam di sebuah warung pinggir jalan. Mungkin ia bisa membohongi semua orang. Khairul, orang-orang yang berada di sekitar Naila, bahkan Naila sendiri, tapi ia menyadari, ia tak akan pernah sanggup membohongi dirinya sendiri. Ammad mengenal wanita itu saat dia pertama kali makan di warung ibu Diana. Saat itu pandangan matanya tak pernah lepas dari sosok wanita muda yang menyediakan makanan untuknya. Wajah itu begitu teduh, polos dan sederhana. Wajahnya manis tanpa polesan make up. Tak bosan rasanya dia memandangnya Merasa penasaran, dia mencoba menanyakan tentang wanita itu kepada san