"Tidak ada apa-apa, Pak. Bapak mau ke mana pagi-pagi begini?"
"Saya mau ke rumah Naila," ucapnya. "Kamu mau ikut?"
Naila?
Mendengar nama Naila di sebut, tiba-tiba matanya berbinar.
"Oke." Dia segera menyahut. " Kita disana tidak lama kan?"
"Iya, cuma sebentar saja. Pagi ini juga kita akan kembali ke sini untuk melanjutkan pekerjaan." Ammad terus melangkah menuju mobil.
"Kamu saya tunggu di mobil ya," serunya.
Pemuda itu mengangguk. Dia pun segera masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian dia sudah muncul kembali dengan mengenakan celana training dan kaus lengan pendek berwarna abu-abu.
Ammad tersenyum. Ia mengacungkan jempolnya.
❣️❣️❣️
"Memangnya ada apa, Pak? Kenapa Bapak pagi-pagi begini mau ke rumah Naila? Seperti tidak ada waktu lain aja." tany
"Om pun kangen Nayra. Maafkan Om ya, baru sekarang bisa mengunjungi Nayra dan Mama," ucap Ammad. Laki-laki itu duduk di kursi dengan posisi memangku gadis kecil itu. "Tidak apa-apa, Om. Om kan sibuk kerja," sahut Nayra. Ia menatap laki-laki dewasa di hadapannya. Khairul terpaku menyaksikan keintiman itu. Bosnya yang terlihat begitu dekat dengan seorang gadis kecil, layaknya seorang ayah kepada anak perempuannya. Sekejap kemudian dia tersenyum simpul. "Pantas saja dia berhasil merebut hati anak perempuan Naila. Ternyata begini caranya," gumam laki-laki itu di dalam hatinya. "Om, paman ini siapa sih?" Nayra menunjuk Khairul yang berdiri di dekat mereka. "Oh ... kenalkan paman ini, namanya Khairul. Nayra boleh memanggilnya Paman Khairul, Om Khairul atau Pak cik Khairul juga boleh," jawab Ammad. "Panggil saja Om Khairul, Nayra," ucap Khairul. Khairul menyodorkan tangannya kepada gadis kecil itu. Nayla pun menyambutnya dengan sebuah
"Tidak, Rul. Hanya kepada saya saja Nayra bersikap seperti itu. Entahlah, saya juga tidak tahu. Saya rasa anak kecil itu memiliki perasaan yang peka. Hanya kepada orang yang benar-benar tulus menyayanginya, dia mau menyayangi orang itu. Anak kecil kan nggak bisa bohong, Rul." "Iya Pak, tapi apakah memang benar, Bapak cuma pengen yang begini-begini saja, tidak ada kelanjutannya yang lebih serius gitu?" tanya Khairul. "Kayaknya cuma cukup sampai sini saja, Rul. Saya cukup tahu diri dengan tidak menghinakan wanita yang saya sayang sebagai istri siri atau istri sementara saya selama disini. Naila terlalu mulia untuk itu, Rul." "Memangnya kamu ada solusi?" tanya Ammad. "Solusinya sih gampang, Pak. Serahkan saja Naila kepada saya," ucap Khairul sambil tertawa. "Macam-macam saja kamu, Rul. Naila itu bukan milik saya. Dia milik orang tuanya. Jadi mintalah kepada orang tuanya. Memangnya kamu benar-benar serius? Kalau kamu tidak serius, kamu akan
Khairul tengah asyik menikmati makan siangnya. Nasi putih dengan lauk kepala patin gangan asam dan segelas es teh yang melengkapi makan siangnya dengan begitu sempurna. Meskipun menu masakan ini adalah khas Banjar, tetapi dia berusaha menikmatinya dengan sepenuh hati. Sebagai orang proyek, dia sudah terbiasa menikmati masakan di luar dari masakan daerahnya. Lidahnya sudah terbiasa beradaptasi dengan aneka macam rasa masakan. Terkadang ia merindukan masakan dari daerahnya. Gulai ikan patin dan asam pedas ikan baung. Bahkan setiap kali ia pulang ke Pekanbaru, ibunya selalu memasak masakan itu dan ia sangat menyukainya. Akan tetapi, di daerah ini mungkin tidak pernah ia temukan, karena tidak ada warung makan yang menjual masakan khas Pekanbaru di sini. Laki-laki muda itu tersenyum. Tiba-tiba ia merindukan orang tuanya dan kampung halamannya nun jauh di pulau Sumatera sana. Drrtt.. Khairu
Drrtt drrtt .... Sebuah notifikasi pesan dari aplikasi hijau bergambar telepon di ponselnya membuyarkan lamunan Naila. Dia meraih ponselnya dan tertera nama Khairul di layar. Wanita itu tersenyum simpul. [Met malam, Ade. Lagi apa?] [Lagi berbaring, Bang. Ini mau siap-siap tidur] [Berarti Abang mengganggu dong?] Naila menggelengkan kepala sambil terus memainkan jarinya untuk mengetik pesan buat Khairul. [Tidak, Bang. Nai belum ngantuk kok. Santai aja] [Oh,ya? Makasih ya, Nai. Udah menemani Abang ngobrol malam ini] [Nai, boleh Abang tanya nggak?] [[Boleh, Bang. Mau tanya apa?] [Apa makanan kesukaan Nayra?] [Ayam goreng] [Kayak Upin dan Ipin saja] Naila tersenyum membaca chat laki-laki itu. [Emang dia pengikut Upin dan Ip
Pagi bersemi dengan indah. Matahari tampak malu-malu muncul di ufuk timur. Sinarnya belum begitu terasa menghangatkan mayapada. Naila baru saja selesai menerima setoran hafalan dari Nayra. Dia menutup Al Qur'an tikrar nya dan meletakkannya kembali di atas meja "Mama," ucap Nayra Naila menoleh. Dia menatap lekat wajah putrinya. "Ada apa, Nak?" "Om Ammad ke sini lagi nggak ya, Ma? Nayra pengen sarapan bersama om Ammad lagi," ucap gadis kecil itu. Nayla tersenyum. Dia mengusap kepala putrinya. "Om Ammad tidak bisa sering-sering ke sini, Nak. Om Ammad kan kerja. Nanti kalau om terlambat kerja karena sarapan bersama Nayra, gimana? Kan kasihan," ucap Naila menjelaskan. "Andaikan tempat kerja om Ammad itu dekat dengan rumah kita, mungkin Mama bisa bantu Nayra untuk meminta tolong om agar setiap hari sarapan di rumah kita, tapi tempat kerja om Ammad kan jauh dari rumah kita.
Tepat pukul delapan pagi, Naila sampai di warung ibu Diana. Setelah memarkir sepedanya di tempat biasa, ia bergegas melangkah memasuki ruangan warung yang masih tampak sepi. Kepalanya masih berdenyut ingat insiden tadi pagi saat Khairul datang dan mengajak sarapan putrinya. Khairul. Tiba-tiba melintas nama itu dibenaknya. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba laki-laki itu datang ke rumah. Bahkan tanpa mengajak Ammad yang merupakan sahabat dan juga bosnya. Dia datang sendiri dengan membawa sarapan buat mereka. "Nai." Sebuah suara mengagetkannya. Dia tertunduk menyaksikan sosok ibu Diana yang berdiri tak jauh dari dirinya. "Pagi-pagi sudah bengong. Ada apa, Nai?" tanya ibu Diana. Naila menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Bu. Hanya masalah Nayra. Biasa itu. Maklumlah," sahut Naila. "Kenapa lagi dengan Nayra? Merengek minta ketemuan sama si Ammad?" "Iya. Tadi temannya Bang Ammad berkunjung ke rumah, tapi Bang Ammad tak ikut. Na
Khairul mengusap wajahnya dengan kasar seraya mengucapkan istighfar berkali-kali. Baru saja ia memulai, ia sudah mendapat batu sandungan. Tak main-main. Justru dari atasannya sendiri. Dia heran, kenapa Nayra begitu lengket dengan Ammad. Gadis kecil itu bahkan menangis saat tahu bahwa om Ammad-nya tidak ikut saat dia berkunjung ke rumahnya tadi pagi. Khairul menggelengkan kepala. Apa istimewanya laki-laki itu? Jangan pernah bilang kalau laki-laki yang merupakan atasannya itu tulus. Toh pada hakekatnya, mereka sama saja. Mendekati anaknya buat mengambil hati ibunya yang konon sangat susah untuk di sentuh. Sudah tujuh tahun Naila menjanda dan begitu banyak laki-laki yang tertarik padanya. Naila tak juga bergeming. Entah laki-laki seperti apa yang di carinya. "Resiko mau menjalin hubungan dengan seorang janda," keluh pemuda itu dalam hati. Dia harus menaklukkan dua hati sekaligus! Drrtt... Khairul meraih ponsel yang terletak di
Suara azan magrib baru saja menghilang, berganti dengan suasana sunyi dan disertai angin yang merekam gema takbiratul ihram dan memulai sebuah ritual penyembahan. Ammad khusyu dengan shalatnya. Dia memasrahkan semuanya kepada Allah. Hidup dan matinya, gerak dan diamnya, semua dalam kehendakNya. Gerakan shalat dia lakukan dengan sebaik-baiknya, agar semua amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Selesai shalat Ammad bergegas keluar dari masjid itu. Dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman masjid. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. Lelah fisik dan juga hati, karena mengendalikan rasa cemburu bukan perkara mudah baginya. Sembari terus melangkah, ia menatap sekeliling langit malam yang gelap dan hanya dipenuhi oleh titik-titik bintang yang gemerlapan. Sementara sang rembulan justru tak terlihat dalam pandangannya. Selamanya kita akan di sini, menjaga kitab rahasia yang bertahan hidup dari melukis awan di antara derai hujan. Tampak