Degup jantung Merry masih terasa memburu. Dengan tangan gemetar, yang terlihat jelas saat meremas ujung kain kemeja yang ia kenakan, bisa diterka jika ia sedang cemas sekaligus takut berada di mobil orang asing.
"Siapa gerombolan perundangan tadi, Nona?"
Suara bariton itu, seketika membuyarkan lamunan Merry. Membuatnya seketika menoleh ke arah sumber suara.
"Ummm, ceritanya panjang. Terimakasih sudah menolongku, turunkan saja di sini," sahut Merry, masih dengan raut wajahnya yang cemas.
Kening si pemuda yang kini sedang duduk di balik kursi kemudi seketika berkerut.
Sedang bermasalah? Mungkin.
"Apakah kau tidak ingat, Nona? Nyawamu sedang dalam bahaya. Lagi pula hujan baru saja turun. Sebaiknya ikut aku sebentar, nanti pasti ku antar pulang."
Entah apa yang dipikirkan oleh Merry saat itu. Mendengar ajakan pria di sampingnya, bukannya tenang, kini ekspresi wajahnya mendadak berubah cemas. Ada guratan takut yang pemuda itu tangkap.
Rona merah seketika menyebar di pipinya.
"Tidak, saya harus pulang," sergah Merry. Merasa tak enak hati.
Sementara si pemuda yang semula tatapannya lurus ke jalanan yang mulai basah oleh hujan, seketika berpindah menoleh ke arah Merry.
"Aku bukan orang jahat, atau bahkan bajingan seperti orang yang pernah mengganggu kamu, Nona. Kemejamu basah. Pakai saja jaketku dulu." Pria itu berbicara sembari meraih jaket di sandaran kursi yang ia duduki lalu menyodorkan pada Merry menggunakan sebelah tangannya.
Merry terkejut, ketika menyadari si pemuda ternyata memperhatikan bagian dadanya yang basah oleh air susu yang terus mengalir.
"Terimakasih," sahut Merry.
Suaranya terdengar melemah. Entah hujan yang semakin deras ketika membelah jalanan diiringi suaranya yang berisik.
"Maaf, di mana suamimu? Kenapa dia membiarkan perempuan yang baru saja melahirkan berkeliaran di jalan seperti ini?"
Pria tampan yang terlihat sibuk mengemudikan mobilnya itu, berbicara tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Sepertinya sengaja mengurangi kecanggungan lawan bicaranya.
"Ummm, aku ... aku belum menikah ...."
Siapa sangka, ucapan Merry yang terbata justru membuat pemuda itu menepikan mobilnya.
"Maaf, aku tidak tahu. Aku pikir kau memiliki bayi," sahutnya menimpali.
Sementara itu, Merry yang sedang ditatap hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Aku memang memiliki bayi, aku dihamili seseorang," cetus Merry dengan suara parau.
Pemuda itu masih menatap lekat.
"Apa kau tidak ingin mencari untuk meminta pertanggungjawaban? Kau masih ingat bagaimana rupa orang itu?" Pria itu terus bertanya dengan nada mencecar.
Merry membalasnya dengan gelengan kepala dengan gerakan kepala lemah.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
"Mencari kerja," sahut Merry.
Kali ini matanya mulai berkaca-kaca.
Namun, pemuda tampan yang ramah itu menyunggingkan senyum simpul yang sulit diartikan.
"Kau cantik, Nona. Mungkin, kau lupa. Tapi, aku tidak. Kita pernah bertemu, aku masih ingat saat kau pingsan di sebuah Mall waktu itu. Jika kamu mau, aku bisa membantumu menjadi seorang super model."
Merry tampak berpikir keras. Tak lama kemudian mata keduanya saling beradu pandang.
"Oh ya, kalau begitu terimakasih. Itu artinya, Anda adalah pria yang menyelamatkan aku dan membantu membawa ke klinik dekat supermarket, bukan?"
"Ya. Namaku Eric. Seorang manajer di salah satu agency permodelan."
*****
Merry berjalan lambat, mengamati setiap sudut apartemen mewah milik teman barunya. Ya. Eric yang mengajaknya ke tempat itu.
Pria pirang bermata biru ini tampak berbeda dengan Damian. Sikapnya sangat baik, selain tampan ia juga murah senyum dan lebih banyak bicara.
Eric meminta Merry duduk di sebuah sofa di ruang tengah. Sofa berwarna coklat dengan ukuran besar yang terasa nyaman. Dan gadis itu pun menurut.
Entah apa yang dipikirkan Eric, hujan di luar sana begitu deras. Sehingga membuat keduanya menjadi basah kuyup ketika hendak masuk tadi.
Bagian dada yang tanpa mengenakan pakaian dalam pun membuat bra yang membingkai tercetak jelas. Sejenak, Merry menangkap sepasang mata biru itu menatapnya nakal.
Membuat rasa takut kembali hinggap menggelayuti.
"Tunggu di sini, aku akan segera kembali," ujar Eric.
Kemudian pria itu melangkah pergi memasuki salah satu kamar, meninggalkan Merry yang sedang dalam kondisi basah kuyup sendirian.
Merry masih tetap berdiri, di sebuah ruangan besar sambil mendekap dirinya sendiri yang menahan gigil.Tubuhnya yang basah tanpa sengaja membuat bagian tubuh seksinya terekpos sempurna."Pakai handuk ini untuk mengeringkan tubuhmu di kamar mandi sebelah sana! Ganti pakaianmu dengan ini." Eric menyodorkan pakaian ganti dan juga handuk.Tentu saja hal itu membuat Merry gugup, apalagi dia memiliki masa lalu kelam yang membuatnya trauma. Gadis itu segera berlalu, tanpa berani menatap lawan bicaranya begitu saja.Beberapa menit berselang, Merry telah kembali dengan setelan kaos berwarna pink serta celana pendek selutut.Ia mendapati Eric sudah duduk di sofa, lengkap dengan dua cangkir teh panas dengan asap mengepul yang tersaji. Tak lupa ia melengkapi dengan kudapan."Duduk, kau pas memiliki banyak pertanyaan," ungkap pemuda tampan tapi ramah itu."Ya, tentang kaos pink ini dan juga celana pendek selutut yang ku kenakan. Bukankah ini milik perempuan?" tanya Merry dengan raut setengah menye
Ini adalah hari pertama Eric bertandang ke rumah Merry.Rumah bernuansa nyaris serba putih itu memang minimalis, tapi lumayan cukup ditinggali oleh tiga orang."Perkenalkan, saya Eric. Merry tidak pernah cerita kalau dia tinggal bersama orang lain di rumah," sapa Eric sambil mengulurkan tangannya ke arah Bi Ema.Perempuan paruh baya itu merasa tersanjung. Bagaimana tidak? Selama ini ia hanya hidup sebatangkara, dan Merry adalah satu-satunya orang yang peduli kepadanya.Bi Ema benar-benar tidak menduga, jika di dunia ini masih ada lelaki tampan, yang tampak berwibawa justru bersikap baik dan sopan kepadanya."Saya, Bi Ema. Perempuan jalanan yang ditemukan oleh Merry, lalu diajak tinggal di sini," terangnya.Sungguh. Penjelasan Bi Ema membuat Eric tersentuh. Bahkan kagum, ia yang selama ini bergelimang harta tanpa kekurangan satu hal pun, bisa dibilang terkadang suka menghamburkan uang justru dipertemukan dengan orang-orang berlatar belakang minim ekonomi."Wah, baik sekali ya, Merry,"
Pagi ini, Merry sibuk merias diri. Ia bahkan tidak menyadari keberadaan Bi Ema, yang sejak tadi memperhatikan dari ambang pintu sambil menggendong bayi Dave."Kenapa ke kafe sepagi ini?" tanya Bi Ema, membuat jemari lentik yang semula menggerakkan kuasa dipaksa berhenti.Merry mengalihkan yang menatap sendu ke arah wanita paruh baya yang terlihat kebingungan atas sikapnya."Oh, maaf, Bi ... mungkin aku lupa bilang, kalau sejak kemarin, aku sudah tidak bekerja di kafe lagi. Mengenai alasannya, aku diperlakukan tidak adil di tempat itu," cetus Merry.Pengakuannya membuat wanita tua yang sudah seperti ibunya entah sejak kapan itu terbelalak."Lalu, mau ke mana kamu sepagi ini? Merry, ingat ya, Elena dan anak buahnya masih berkeliaran di luar sana. Kecuali, jika kamu mau mencari Ayah anakmu."Bi Ema berbicara sambil mengguratkan isyarat wajah cemas. Terpampang jelas dari matanya yang redup."Bukankah kemarin Bi Ema sudah bertemu Eric? Dia Managerku sejak hari ini? Aku akan menjajal dunia
Sinar mentari nyaris menghilang, pertanda hari berganti sore. Merry yang semula tak punya tujuan pun, kini hidupnya mulai berwarna sejak Eric datang membantunya."Kamu mau langsung pulang atau kita jalan dulu?"Eric datang tiba-tiba, saat Merry sedang sibuk mengamati sekitar ruangan gedung tempatnya bekerja."Mau ke mana lagi? Lagi pula, aku kasian sama Dave kalau aku tinggalin dia terlalu lama," keluh Merry."Wah, sayang sekali ya! Padahal aku mau ajak kamu jalan sebentar. Tapi gak apa-apa deh, mungkin lain kali."Wajah Eric berubah mendung saat berkata. Ia tampak kecewa dengan penolakan gadis cantik, yang baru saja ia angkat sebagai modelnya.Di saat bersamaan, sejenak Merry menatap Eric. Ia tahu sekali ekspresi wajah pemuda itu, di sisi lain ia juga tak sabar ingin bertemu sang anak."Baiklah, jika memang sebentar aku setuju. Ayo kita pergi!"Akhirnya, keduanya menghabiskan waktu bersama. Jalan-jalan sore di tengah kota, melewati beberapa pertokoan yang riuh, membuat Merry sejenak
Pagi ini Eric menjadwalkan waktu latihan untuk Merry.Karena penasaran, gadis itu datang lebih awal. Ia melihat beberapa model mengenakan heels. Raut wajah cantik Merry berubah muram. Bagaimana tidak? Ia memiliki kenangan buruk tentang heels.Pagi itu, Merry dilatih oleh Harry, ia terkejut. Bukankah sebelumnya Eric memperkenalkan Bu Veronica yang menjadi pelatihnya? Lalu kenapa justru ia diajari berjalan melenggang, dan melenggok dengan lelaki setengah melambai?"Merry giliranmu, bisakah kau kenakan heels pemberian Eric sekarang?" Harry menunjukkan kotak berisi sepasang sepatu indah.Namun, bukannya menjawab, gadis itu justru diam termangu menatap sepatu itu."Ha ... ha ... sepertinya, dia tidak pernah pakai sepatu mahal," ejek Rebeca.Tatapan mata Rebeca terlihat tidak senang atas bergabungnya Merry dengan agency yang menaunginya."Rebeca, urus dirimu sendiri! Kamu tidak berhak menjatuhkan orang lain. Atau sebaiknya aku akhiri kontrakmu!" desis Eric yang ternyata sejak tadi sudah ber
Merry masih terus mencecar Bu Veronica. Akan tetapi, wanita berusia paruh baya itu langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukannya."Nyonya, Nyonya Veronica! Di mana Ayah saya!" teriak Merry sambil terus berlari mengejar.DUG!Tubuh Merry nyaris terpelanting setelah bertubrukan dengan tubuh kekar seorang pria."Awwww!""Hati-hati Nona cantik, perhatikan jalan. Apa kau baru di sini?"Merry tersentak dan langsung membisu. Ia terkejut melihat kedatangan pemuda tampan di hadapannya. Entah dari mana datangnya, tapi yang jelas pemuda itu telah menghalangi jalan Merry, hingga Bu Veronica menghilang dari pandangannya."Maaf," ucap Merry kemudian beranjak pergi."Hey, cantik! Buru-buru ke mana? Kita masih belum berkenalan," sergah pria genit itu.Merry membuang muka, sementara tangan pemuda itu justru telah melingkar di pinggang Merry. Membuat gadis itu merasa tak nyaman."Lepas! Jangan ganggu saya!"Merry yang berhasil meronta seketika berbalik dan berlari menuju ruangan Manager. Beruntung,
Sepulang kerja, Merry memilih pulang sendiri. Baginya, semakin hari hidup semakin rumit. Sama seperti ketika ia pertama kali bertemu Bu Veronica.Namun, satu hal yang pasti, Merry merasa jika wanita itu pasti menyembunyikan rahasia tentang ayahnya.'Aku harus cari tahu,' batin Merry sambil menyandarkan diri di sebuah kursi panjang yang berada di taman."Lagi ngelamunin apa sih? Harus ya duduk sendirian begini?"Suara bariton Eric, benar-benar membuat Merry terkejut."Eric, kok kamu bisa tahu aku ada di sini?""Aku cari kamu di rumah gak ada. Bi Ema bilang, biasanya kamu suka ke taman, apalagi kalau banyak pikiran," kata Eric.Merry membalas tatapan mata Eric sembari sedikit tersenyum."Terus, Bi Ema bilang apa lagi ke kamu tentang aku?"Kali ini, Merry menatap serius. Seakan benar-benar penasaran dengan jawaban si lawan bicaranya.Akan tetapi Eric hanya menggeleng cepat."Mungkin, Bi Ema pengen ngobrol banyak. Aku bisa menerka kalau dia pengen banget aku tuh tahu banyak tentang kamu.
Situasi di tengah ruangan masih riuh. Beberapa sekuriti bahkan datang untuk melerai Oliver dan Merry yang sedang mengamuk."Aku mengundurkan diri, aku tidak sudi bekerja denganmu, Oliver sialan!" teriak Merry melampiaskan kekesalannya.Wajah Oliver kini mulai merah padam, bak kepiting rebus. Sedangkan kedua bola matanya nyaris keluar tanpa bisa mengontrol emosinya yang meledak-ledak."Hey, kau tidak bisa berhenti begitu saja. Eric, tunjukkan kontrak kerja itu pada perempuan jalang ini!""Jalang katamu, hanya karena aku menolak kamu sentuh kau bilang aku jalang?" Mata Merry tak kalah melebar, ia juga berbicara dengan nada tinggi sambil menarik kerah kemeja yang dikenakan Oliver."Sudah-sudah! Berhenti berdebat. Oliver, Merry menandatangani kontrak dengan beberapa kesepakatan. Jika kau juga tidak bisa menjaga sikap dia berhak keluar. Tapi, aku bisa membuatnya bertahan, maka jangan sekalipun mencari masalah dengannya mulai sekarang!" ancam Eric dengan raut tegas.Oliver tersenyum getir,