Merry masih tetap berdiri, di sebuah ruangan besar sambil mendekap dirinya sendiri yang menahan gigil.
Tubuhnya yang basah tanpa sengaja membuat bagian tubuh seksinya terekpos sempurna.
"Pakai handuk ini untuk mengeringkan tubuhmu di kamar mandi sebelah sana! Ganti pakaianmu dengan ini." Eric menyodorkan pakaian ganti dan juga handuk.
Tentu saja hal itu membuat Merry gugup, apalagi dia memiliki masa lalu kelam yang membuatnya trauma. Gadis itu segera berlalu, tanpa berani menatap lawan bicaranya begitu saja.
Beberapa menit berselang, Merry telah kembali dengan setelan kaos berwarna pink serta celana pendek selutut.
Ia mendapati Eric sudah duduk di sofa, lengkap dengan dua cangkir teh panas dengan asap mengepul yang tersaji. Tak lupa ia melengkapi dengan kudapan.
"Duduk, kau pas memiliki banyak pertanyaan," ungkap pemuda tampan tapi ramah itu.
"Ya, tentang kaos pink ini dan juga celana pendek selutut yang ku kenakan. Bukankah ini milik perempuan?" tanya Merry dengan raut setengah menyelidik.
"Itu milik mantan tunanganku, dia sudah meninggal. Tapi, tenang ... itu barang baru. Bukan bekas," sahut Eric.
Wajah pemuda itu mendadak berubah sayu.
"Ah, maaf. Aku tidak bermaksud ...."
Ucapan Merry seketika terhenti. Kini tatapan keduanya bertemu pandang. Meski hanya sepersekian detik lamanya. Entah apa yang keduanya pikirkan. Terlihat mereka seolah sibuk dengan pikirkan masing-masing.
"Merry, mengenai aku yang mengajakmu ke sini. Aku ingin kamu memikirkan tentang tawaranku. Jangan terlalu lama berpikir, kau butuh masa depan yang jelas demi anakmu!"
"Maaf, tawaran yang mana?"
Kening Merry seketika berkerut, seolah sedang berpikir keras.
"Oh, maaf. Mungkin aku yang lupa. Bisakah kau menjadi modelku? Aku sudah bilang 'kan? Jika aku ini adalah seorang Manager di sebuah agency model."
Sejenak tiba-tiba suasana menjadi hening.
"Minumlah dulu, mungkin setelah tubuhmu menghangat kau bisa berpikir," ujar Eric memecah keheningan.
Tanpa menjawab terlebih dahulu, Merry segera meraih secangkir teh di hadapannya. Asapnya masih mengepul. Kedua tangannya tampak gemetar.
"Apa kau juga lapar?"
Merry menggeleng cepat.
"Aku ingin cepat pulang sekarang, bisakah setelah ini mengantarkanku?"
Dari sorot matanya yang sendu tapi teduh, bisa diterka jika gadis itu menyimpan segudang luka yang entah apa. Tapi yang jelas, ia terlihat bergitu memohon.
Ya. Beban hidupnya memang amat berat. Bagaimana tidak? Ia sudah dihancurkan habis-habisan oleh ibu tirinya sendiri yang tega menjualnya pada pria yang kini membuatnya memiliki bayi. Belum lagi ia harus membesar bayi itu seorang diri, tanpa keluarga, atau siapapun tempatnya mengeluh.
"Ya, habiskan dulu tehmu. Lalu kita berangkat," sahut Eric yang langsung beranjak dari tempat duduknya.
Pemuda itu sebenarnya menyembunyikan kecewa. Entah apa yang ada dibenaknya, tapi yang jelas ia amat menginginkan Merry mau menjadi modelnya.
*****
Setelah beberapa waktu kemudian, akhirnya mereka berdua kembali berada di dalam mobil yang sama.
Sepanjang perjalanan, suasana berubah sunyi. Tak ada satu kalimat pun yang mengisi kebersamaan mereka.
Eric hanya sesekali bertanya, itupun tentang alamat rumah yang Merry tempati. San gadis itu pun sama, ia juga tak banyak bicara. Hanya membalas sekenanya.
"Kita sudah sampai, apakah rumahnya di ujung jalan sana?" tanya Eric sambil menunjuk ke arah rumah yang dimaksud.
Kemudian, Merry membalasnya dengan anggukan kepala, sebagai tanda ia mengiyakan.
Tak lama kemudian, Eric bergegas menuruni mobil, lalu berlari memutar hingga ia berdiri tepat di sini pintu, tempat Merry duduk lalu membukanya.
"Aku meraih tanganmu," ucapnya, membuat Merry terbelalak.
Sikap sederhana, tapi wanita mana yang tak lelah hatinya mendapatkan perhatian dari seorang pemuda tampan bermata biru seperti Eric.
"Terimakasih."
Entah apa yang menjalar di benak Merry kala itu. Tiba-tiba saja senyum di bibirnya, mengembang sempurna. Ya. Senyuman indah mirip bulan sabit.
Namun, sejak saat itu membuat candu bagi Eric.
"Ummm, ini kartu namaku. Hubungi aku jika perlu. Tentang tawaranku, tolong segera beri jawaban, sebelum terisi oleh orang lain," pungkas Eric sembari menyodorkan sebuah potongan kertas kecil lengkap tertera nama dan juga nomor ponselnya.
"Aku setuju menjadi modelmu, tapi ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan lagi. Jika kau juga menyanggupi, mari kita bekerja sama, tapi jika tidak ... maaf," jawab Merry.
"Kalau begitu, mari kita atur janji temu untuk membicarakan pekerjaan penting ini, aku tidak sabar kapan kau bisa memanggilku Manager Tampan," ungkap Eric menggoda.
Lagi. Merry tersenyum lembut.
"Kau sudah gila. Aku wanita yang sudah memiliki anak, tidak sama dengan gadis di luar sana. Itu maksudku, masuklah, mari kita bicarakan sekarang," ujar Merry sambil mengangkat tangan memberi gestur seolah mempersilahkan.
"Kamu tidak takut kejadian lama terulang?"
"Apa maksudmu?"
Kening Merry berkerut.
"Non, sudah pulang?"
Suara wanita paruh baya, membuat Eric terhenyak. Ia tidak menduga jika Merry tinggal dengan orang lain di sana.
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t