Share

Bab 4. Bayi Tanpa Ayah

Hari berlalu begitu cepat. Kini usia kandungan Merry sudah berusia sekitar delapan bulan. Karena sebentar lagi ia akan memiliki bayi, ia memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar.

Memang, uangnya masih lumayan untuk sekedar menghidupinya dan juga anaknya. Tapi, apa jadinya jika ia hanya berdiam diri? Semakin hari, uang akan habis juga.

Hari itu Merry memilih untuk menyewa jasa asisten rumah tangga. Selain untuk membantunya pasca melahirkan, tapi nantinya juga bisa membantunya mengasuh bayi sekaligus menjadi teman hidupnya yang masih sepi.

"Non, kenapa melamun?" Suara Bi Ema, seorang perempuan paruh baya yang kini menemani Merry.

Bi Ema adalah seorang janda yang tak memiliki kerabat. Semenjak bekerja pada Merry, ia merasa hidupnya yang nyaris mati mulai berwarna. Ia bahkan menganggap Merry sebagai anak sendiri.

"Jika nanti aku sudah melahirkan, aku ingin bekerja. Bisakah Bi Ema selain bekerja juga menjaga anakku?" Merry masih duduk meringkuk di sofa dekat jendela.

"Tentu, kenapa kau ragu, Nak. Tapi, menurutku ... apa tidak sebaiknya kamu mencari Ayah anak itu?"

"Untuk apa, Bi? Agar aku kembali dihina, dilecehkan, kemudian dibuang? Aku bukan siapa-siapa baginya, tidak. Aku tidak mau dia mengambil anakku," tangkas Merry dengan raut menengang.

Bi Ema menghela napas. Kemudian ia pergi meninggalkan Merry ke dapur, tapi tak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa nampan berisi teh hangat dan kudapan panas.

"Bagaimanapun, dia tetap butuh sosok Ayah, Nak. Bagaimana jika dia dicap sebagai anak haram? Apa kau terima?"

Mendengar penuturan Bi Ema, seketika wajah Merry terangkat. Bukan karena tersentak menahan emosinya. Melainkan ia seperti terkejut karena merasakan sakit yang luar biasa.

"Bi, perutku rasanya sakit sekali. Aduh ... sakit!" pekik Merry diselingi rintihan.

Seketika Bi Ema melangkah mendekat sembari menggapai secangkir teh hangat yang baru saja ia buat.

"Teguk teh hangatnya, aku akan menghubungi ambulan." Bi Ema membantu Merry untuk bergegas menelpon rumah sakit terdekat.

*****

"Selamat, bayinya laki-laki. Dia sangat tampan." Seorang dokter cantik, menyerahkan bayi mungil itu ke dalam dekapan Merry.

Mata gadis itu berkaca-kaca sambil memandang anaknya.

"Bayi laki-laki? Anakku." Tangis Merry pecah seketika.

Bi Ema seketika mendekat dan memberikan elusan di punggung Merry untuk memberikan efek tenang.

"Tenang, ada aku yang menemanimu," pungkas Bi Ema.

"Bagus, jaga dia. Sebab gadis ini melahirkan lebih cepat dari jadwalnya melahirkan. Biarkan dia beristirahat lebih banyak," ujar sang dokter yang kemudian pergi meninggalkan ruangan.

Sementara itu, Merry masih menatap raut wajah putranya. Mata,bibir, bahkan nyaris seluruh bagian wajah putranya sama persis dengan pria yang merenggut kesuciannya di malam itu. Ia semakin menangis.

"Kenapa?" tanya Bi Ema dengan wajah bingung bercampur cemas.

"Dia sangat mirip dengan lelaki biadab itu, Bi. Bagaimana jika kami tiba-tiba bertemu secara tak sengaja. Dia pasti akan bisa mengenali jika anak ini adalah anaknya."

Merry mendekap putranya sambil terus menangis tersedu-sedu.

"Kalau begitu itu bagus. Anak ini membutuhkan Ayah, Merry."

******

Hari berganti cepat. Tiga bulan berlalu. Bayi laki-laki yang dilahirkan oleh Merry diberi nama Dave Jordan. Nama pemberian Ema.

Hari itu adalah hari pertama Merry harus pergi bekerja di sebuah kafe pinggir jalan.

"Merry, haruskah kau bekerja di luar? Bayimu masih kecil," ungkap Bi Ema.

"Ini harus kulakukan demi Dave, Bi. Aku pergi, tolong jaga putraku." Merry mengecup kening putranya sebelum pergi.

Tak lama kemudian, Merry akhirnya tiba juga di kafe tempatnya bekerja. Ini hari pertama, tentu sangat sulit bagi Merry menyesuaikan.

Ia mengedarkan pandangan ke sekitar kafe. Riuh. Banyak orang berlalu-lalang, beberapa di antaranya adalah pelanggan kafe.

Hari itu kafe sangat ramai. Merry sangat gugup. Bahkan, beberapa kali ia melakukan kesalahan.

'Huft, harus tenang Merry. Fokus. Ini demi Dave, ia butuh susu dan juga masa depan. Tak cukup mengandalkan sisa uang pemberian pak Samet waktu itu.' Batin Merry sambil memindahkan secangkir kopi ke nampan.

Tampaknya pelanggan kafe kali ini seorang pria matang dengan kepala botak dan perutnya sedikit buncit.

Entah apa yang ia pikirkan. Matanya terlihat nakal menjelajahi tubuh Merry.

"Hay, di mana suamimu? Kau baru melahirkan? Lihat, air susumu merembes. Kau sangat cantik. Jika bayimu tanpa ayah, menikah saja denganku." Pria itu berbicara sambil menjamah bagian bokong Merry di hadapan umum.

Tak hanya itu ia bahkan terkekeh setengah mengejek.

Tentu saja diperlakukan seperti itu perempuan itu merasa dilecehkan. Emosinya meledak. Bahkan kedua sisi giginya terdengar menggeletak.

Tiba-tiba Merry meraih secangkir kopi yang baru saja ia sajikan untuk si pria botak. Dengan gerakan cepat, ia mengguyur kepala pria itu.

"Sial!" teriak sekaligus umpat pria itu.

Mungkin saja ia sengaja memancing keributan di depan umum. Membuat seluruh tubuh Merry gemetaran.

"Kau pantas mendapatkannya," ketus Merry menjawab.

Pemilik kafe sangat marah dengan perlakuan Merry. Ia yang seharusnya membela justru ikut menyerang Merry.

"Merry, minta maaf. Tak seharusnya kau bersikap tidak sopan kepada pelanggan kita!" Pemilik kafe berteriak memberikan perintah.

"Tidak kusangka, pemiliknya juga sama-sama tidak menghargai perempuan. Padahal kalian terlahir dari perempuan," sahut Merry.

Pemilik kafe semakin geram karena Merry berani membantahnya. Barangkali ia merasa dipermalukan.

"Merry, jika kamu tidak meminta maaf sekarang, aku akan memotong setengah gajimu!"

"Terimakasih, tapi aku memilih berhenti bekerja." Merry pergi setelah menyelesaikan kalimatnya.

Sepanjang jalan, ia menangis. Bahkan ia tidak peduli dengan tatapan mata-mata di sekelilingnya.

Beberapa di antara mereka menatap sinis, ada juga yang terlihat cemas, entah. Tapi Merry terus berjalan. Menyusuri sepanjang trotoar mengabaikan tatapan mereka.

Hingga akhirnya, ia sampai di sebuah taman yang memiliki beberapa kursi memanjang tempat warga sekitar bersantai.

Merry menatap setiap mobil mewah yang melintas. Ia berpikir, bagaimana seandainya ia bertemu dengan Damian secara tiba-tiba?

Di waktu yang bersamaan, ia melihat beberapa orang preman. Wajahnya sangat familiar. Merry meyakini jika mereka adalah orang-orang Elena.

Dan benar saja. Merry yang malang kini sedang ditatap oleh mereka.

"Ketemu!" seru mereka serempak sambil menatap dan berlari ke arah Merry.

"Tidak, biarkan aku pergi!" teriak Merry sambil berlari membiak keramaian.

Ia terus berlari tanpa henti, hingga akhirnya ia tersandung trotoar yang berlubang akibat kurang memperhatikan jalan.

BUGH!

Tubuh Merry ambruk.

Ia reflek menoleh ke belakang, melihat sekumpulan preman itu semakin dekat dengannya. Membuat dada Merry semakin sesak.

Namun, entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tegap menarik dan membantu Merry.

"Kau bisa berjalan?" tanyanya, suara itu terdengar tak asing bagi Merry.

Gadis itu terlihat berpikir keras. Seolah sedang mengingat-ingat. Sedangkan si pemuda, karena ia cemas dengan berandalan itu yang semakin mendekat, seketika langsung mengangkat tubuh Merry dan memasukkannya ke dalam mobil miliknya.

Kemudian, Merry pun dibawanya pergi.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Merry dengan raut cemas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status