Psikolog yang didatangkan oleh polisi duduk di depan Merry dan Oliver dengan penuh perhatian. "Halo, saya Dr. Anderson. Saya dipanggil untuk membantu Anda berdua mengatasi trauma yang Anda alami. Saya ingin mendengar cerita Anda dan mencoba membantu Anda melalui proses penyembuhan ini."Merry menatap psikolog dengan mata yang masih dipenuhi dengan ketakutan. "Kami merasa begitu takut, Dok. Pembunuh itu masih di luar sana, dan kami tidak tahu kapan dia akan menyerang lagi," ujarnya dengan suara gemetar.Oliver mengangguk setuju. "Kami hampir tidak tidur sejak kejadian itu. Setiap suara yang kami dengar membuat kami berpikir bahwa pembunuh itu datang lagi," tambahnya dengan suara yang terdengar lelah.Dr. Anderson mengangguk dengan penuh pengertian. "Saya mengerti bahwa ini adalah situasi yang sangat menakutkan bagi Anda berdua. Tetapi saya ingin Anda tahu bahwa Anda tidak sendirian. Kami di sini untuk membantu Anda melalui ini.""Ada beberapa teknik relaksasi dan latihan pernapasan
Setelah tiba di kantor polisi, Oliver segera merasa perlu untuk menghubungi pengacara keluarganya. Dia merasa bahwa situasi yang mereka alami saat ini memerlukan bantuan dan nasihat dari ahli hukum yang berpengalaman."Merry, aku akan segera menghubungi pengacara keluarga kita. Kita butuh bantuan dan perlindungan hukum dalam situasi ini," kata Oliver dengan suara yang serius.Merry mengangguk, memahami urgensi dari keputusan Oliver. "Tapi apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyanya dengan rasa khawatir."Kita akan berbicara dengan pengacara dan mendengarkan saran mereka. Mereka akan membantu kita menavigasi situasi ini dengan lebih baik," jawab Oliver, mencoba menenangkan Merry.Sementara itu, Merry merasa perlu untuk bertemu dengan Damian. Meskipun Damian sedang menjalani masa tahanan, Merry merasa bahwa pertemuan tersebut sangat penting untuk mengungkapkan kekhawatiran dan mencari solusi bersama."Merry, apakah kamu yakin ingin bertemu dengan Damian sekarang? Situasi ini cukup
Elena duduk tegang di meja sudut sebuah kafe pinggir kota yang sepi, tatapannya tak berkedip saat dia menunggu kedatangan seseorang. Dia merapikan rambut cokelatnya yang terurai dengan cemas, matanya sesekali melirik ke pintu masuk, mencari tanda-tanda kedatangan orang yang ditunggunya.Beberapa begundal berpakaian hitam yang duduk di meja sebelahnya memperhatikan Elena dengan curiga. Mereka bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara dan menjadi penasaran dengan apa yang sedang terjadi."Elena, kau terlihat gugup sekali," kata salah satu begundal itu dengan suara berbisik, mencoba meredakan ketegangan.Elena menoleh padanya dengan ekspresi cemas. "Saya hanya ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana," jawabnya dengan suara yang bergetar."Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu," kata begundal yang lain dengan nada yang menghibur. "Jangan khawatir, Elena. Kami akan siap menghadapi apa pun yang terjadi."Namun, kekhawatiran Elena tidak dapat dibendung. Di
Malam itu, kafe pinggir kota yang biasanya ramai dengan keramaian dan tawa-tawa, tiba-tiba menjadi saksi dari adegan yang gelap dan menegangkan.Lampu-lampu sorot berkedip-kedip, menyala dengan cahaya merah dan biru yang menciptakan atmosfer yang mencekam.Tiba-tiba, sekelompok petugas polisi bersenjata lengkap muncul di depan pintu kafe, menghentikan kegiatan biasa para pengunjung.Mereka berbaris dengan rapi, siap untuk bertindak sesuai perintah yang telah diterima.Tuan Sameer, Elena, Eric, dan kawan-kawan berandal mereka terdiam, terkejut melihat kedatangan petugas polisi. Ekspresi bingung dan tegang terpancar jelas di wajah mereka."Sekarang apa yang terjadi?" Eric menatap Elena dengan tatapan cemas.Elena menjawab dengan suara gemetar, "Aku tidak yakin. Ini pasti ada yang salah."Tuan Sameer, yang biasanya tegar dan percaya diri, sekarang tampak ragu. Ia memegang erat tongkatnya, siap untuk menghadapi situasi apapun.Petugas polisi, dipimpin oleh seorang inspektur yang serius, d
Sebuah pagi yang cerah menyambut kedatangan Sebastian, pengacara yang telah beberapa kali menemui Damian di balik jeruji penjara. Kali ini, tujuannya tidak hanya untuk menyapa, tetapi untuk membawa kabar yang mungkin akan mengubah nasib pria itu.Sebastian duduk di ruang tunggu penjara, menunggu petugas sipir membawa Damian ke ruang pertemuan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, pintu berat ruang pertemuan terbuka, dan Damian muncul di balik jeruji besi, wajahnya terlihat letih namun penuh harap."Dami!" Sebastian bangkit dari kursinya dengan senyum ramah. "Bagaimana kabarmu hari ini?"Damian mendekati meja, duduk di hadapan pengacaranya dengan ekspresi tegang. "Aku sudah siap untuk apa pun yang akan kau katakan, Sebastian. Apakah ada kabar baik?"Sebastian menyadari kegelisahan di wajah Damian, sehingga ia langsung masuk ke dalam pokok pembicaraan. "Damian, saya punya kabar bagus. Kami menemukan bukti baru yang mungkin akan membuktikan bahwa kamu tidak bersalah
Di tempat berbeda, di tengah hiruk pikuk kota yang sibuk, Oliver dan Merry sibuk menyiapkan tempat tinggal baru mereka. Mereka telah memutuskan untuk pindah ke apartemen baru demi keamanan mereka, setelah insiden yang menimpa Dave, putra Merry, yang meninggal beberapa waktu yang lalu. Meskipun Merry masih terluka oleh kehilangan yang mendalam, Oliver berusaha untuk menjadi sumber kekuatan dan dukungan baginya."Merry, aku tahu ini sulit bagimu," ucap Oliver dengan lembut, mencoba menenangkan Merry yang terlihat murung. "Tapi kita harus berusaha untuk melanjutkan hidup. Dave pasti ingin kita bahagia, meskipun dia sudah pergi."Merry menatap Oliver dengan mata yang masih dipenuhi dengan kesedihan. "Aku tahu, Oliver. Tapi rasanya begitu sulit untuk melepaskan semua kenangan tentang Dave."Oliver mendekati Merry dan memeluknya erat-erat. "Kita akan melewati ini bersama-sama, Merry. Aku janji akan selalu ada untukmu, setiap langkah dalam perjalanan ini."Mereka berdua kemudian kembali
Setelah tiba di rumah sakit, Oliver segera dilarikan ke unit gawat darurat oleh tim medis yang siap sedia menangani kasusnya.Merry dan Damian menunggu dengan cemas di ruang tunggu, hati mereka berdegup kencang menunggu kabar tentang kondisi Oliver.Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang perawatan dengan wajah serius.Merry dan Damian segera mendekatinya dengan tatapan penuh kekhawatiran."Dokter, bagaimana kondisi suamiku?" tanya Merry dengan suara gemetar, matanya mencari tahu kabar tentang Oliver.Dokter itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan lembut, "Maafkan saya, tapi kondisi suamimu sangat serius. Oliver mengalami cedera kepala yang cukup parah akibat kecelakaan tadi malam. Dia telah jatuh dalam keadaan koma."Merry terdiam, matanya memancarkan rasa ketakutan dan keputusasaan."Koma? Oh Tuhan...."Damian menatap dokter dengan pandangan kosong, tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja dia dengar."Apakah... apakah dia akan baik-baik saja?"Dok
Damian duduk di kursi di samping tempat tidur Oliver, wajahnya penuh dengan ekspresi kesedihan yang mendalam.Sambil menggenggam erat tangan Oliver, dia memandang wajah adik tirinya yang terbaring koma."Maafkan aku, Oliver," gumamnya lirih, suaranya tergetar oleh rasa sesal yang mendalam.Tangisnya tidak tertahankan saat dia melanjutkan, "Aku menyesal... sungguh menyesal."Dia menatap wajah Oliver dengan tatapan penuh penyesalan."Sejak kecil, kita tidak pernah dekat, bahkan sering bertengkar," ucapnya, suaranya gemetar.Air matanya semakin deras saat dia melanjutkan, "Aku... aku tidak pernah mengerti betapa berharganya hubungan kita, Oliver."Sementara tangisannya semakin menyayat hati, Damian mencoba menjelaskan dengan penuh penyesalan."Aku egois, Oliver. Aku hanya memikirkan diriku sendiri dan melupakanmu. Padahal, kamu adalah adikku... adikku yang selalu ada untukku."Suasana ruangan dipenuhi oleh tangisannya yang hampir tercekat."Aku kehilangan begitu banyak waktu yang berharg