Home / Romansa / Takdir Cinta Perempuan Pengganti / Bab 4 - Sebuah Hidup Baru

Share

Bab 4 - Sebuah Hidup Baru

last update Huling Na-update: 2023-11-14 09:45:20

Bayangan yang terpantul pada cermin di depanku tidak mirip aku. Perempuan itu berkebaya putih dengan balutan kain batik bermotif parang kusuma bernuansa coklat tua. Sedikit riasan di wajahnya membuatnya tampil lebih dewasa. Rambutnya yang biasa diikat satu, hari ini digelung rapi dengan hiasan kembang melati. 

Empat tahun lalu, dalam balutan kebaya putih yang hampir sama, Livia meyakinkanku agar tidak menghapus perona pipi yang ia sapukan di wajahku. Hari itu adalah hari wisuda kami. Setelah pulang dari auditorium, Livia bahkan tetap memakai kebayanya saat beberapa tamu datang untuk menghadiri acara syukuran yang diadakan Ayah. Aku segera berganti dengan kostum kebanggaanku, baju kaus dan celana denim. Sebelum kemudian kembali ke kamar untuk menukar baju kausku dengan kemeja setelah melihat Bunda mendelik dari ruang tamu.

Jika Livia masih ada, ia pasti akan menertawaiku karena memutuskan untuk memakai kebaya wisuda kami dalam acara sesakral ini. Dan, aku seperti biasa akan mendebat. Mengapa tidak, bukankah kebaya itu hanya pernah aku pakai satu kali. Lagi pula tubuhku masih sekurus dulu. Bahkan sekarang malah terasa sedikit longgar di bagian pinggul.

Hari ini adalah hari akad nikahku dengan Mahesa Dipta, tepat satu minggu setelah ia membalas ‘OK’ sebagai respon dari jawabanku atas lamarannya. Salah satu kerabat Dipta yang kebetulan juga menetap di Jakarta telah diminta untuk datang dan menjadi saksi nikah. Sisanya, hanya Ayah, Bunda, Lian, dan beberapa tetangga yang sudah dianggap seperti saudara.

Jika Bunda tidak memaksa, aku sebenarnya enggan rangkaian melati ini diselipkan dalam gelungan rambutku. Aku jadi tampak berlebihan saat disandingkan dengan Dipta yang hanya memakai kopiah hitam dan baju koko putih. Wajahnya masih sedatar kemarin. Untung saja ia masih cukup waras untuk tidak salah menyebutkan nama Livia saat proses ijab kabul tadi.

Dipta membawaku dan Muffin pindah ke rumahnya dua hari setelah kami resmi menjadi suami istri. Rumah dengan desain unik itu dipenuhi oleh tanaman bunga di halaman depan. Dipta benar-benar menumpahkan bakatnya. Bahkan teras belakang yang berlahan sempit pun bisa disulap lapang olehnya. 

“Ini kamarku,” jelas Dipta dingin. “Dan, itu kamar yang sudah aku siapkan untukmu dan bayi ini.” Ia menunjuk sebuah kamar yang berseberangan dengan kamar utama.

Baiklah, jadi kami berdua akan tidur terpisah. Biarlah, aku juga tidak tertarik untuk berbagi ranjang dengan Mahesa Dipta selama hatinya masih berada di titik beku. 

“Maaf, Lira. Aku tidak terbiasa dengan tangis bayi. Aku putuskan agar kita berpisah kamar untuk sementara.”

Setidaknya ia meminta maaf. Mungkin karena Dipta terlahir tunggal, ia masih canggung berhadapan dengan bayi kecil. Saat Lian lahir, aku juga pernah merasa demikian saat Ibu memberi kesempatan padaku dan Livia untuk mencoba menggendongnya bergantian.

Sebelum menikah dengan Livia, Dipta pernah meminta pendapatku saat ia akan menerima tawaran kerja pada sebuah perusahaan pengembang yang cukup punya nama di Jakarta. Menurut Dipta gaji yang ditawarkan cukup tinggi, sesuai dengan jam kerjanya yang lumayan padat. Berita terakhir yang aku dengar dari Livia, Dipta memilih mengundurkan diri dan membuka usaha bersama dengan beberapa teman sebagai pemodal.

Setiap pagi setelah Dipta berangkat bekerja, aku selalu mencuri masuk untuk memeriksa kebersihan kamarnya. Bukan menyelinap sebenarnya, karena Dipta tetap membiarkannya terbuka. Aku akan membenahi seprai, menyapu lantai, serta mengutip pakaian kotor yang ia letakkan di keranjang di depan kamar mandi. Terletak pula sebuah teko kaca dan gelas bening di meja kerjanya di dalam kamar. Aku selalu mengisinya kembali sebelum menutup pintu dan melanjutkan pekerjaan lain. 

Pagi ini Dipta libur bekerja. Lelaki itu kelihatan sibuk menurunkan foto-foto pernikahannya dengan Livia yang masih terpajang di ruang keluarga dan beberapa sudut rumah. Foto mereka yang paling besar ia gantikan dengan sebuah lukisan abstrak bernuansa gelap. Aku tidak perlu bertanya mengapa ia tidak menggantinya dengan foto pernikahan kami. Aku cukup tahu diri. Saat itu tidak seorang fotografer profesional pun yang disewa untuk siap sedia mengabadikan akad nikah kami. Hanya Lian dengan ponselnya. Ia telah mengirim beberapa filenya sebelum kembali ke Bandung hari itu juga. 

Aku mulai mencari resep-resep masakan sederhana agar sarapan pagi Dipta tidak hanya berputar-putar dari nasi goreng dan roti panggang. Apa pun yang kusediakan, selalu Dipta habiskan tanpa banyak komentar. Ia hanya berpesan agar tidak menghidangkan untuknya kopi tanpa direbus mendidih dan aku harus ingat untuk menyaring ampasnya terlebih dahulu.

Mengurusi Dipta tidak jauh berbeda dari merawat Muffin. Aku merasa seperti seorang ibu yang mempunyai dua anak dengan usia berbeda. Tidak ada perbincangan layaknya suami istri di antara kami. Dipta hanya duduk di ruang tengah saat menonton televisi dan menghabiskan waktunya di kamar saat tidak sedang bekerja. Aku juga tidak berusaha membuka percakapan. Aku hanya menjawab sekadar yang ia tanyakan. Selebihnya, aku dan Dipta menjalani hari-hari kami seperti mampu membaca pikiran satu sama lain. 

Dalam kejenuhanku, aku mulai rajin merawat tanaman bunga yang terabaikan sepeninggalan Livia. Beberapa batang mawar di halaman belakang kembali bertunas setelah kupangkas. Bunga kertas berwarna putih -yang dirangkai melingkar mengikuti bentuk gerbang mungil- juga sudah terlihat rapi setelah kugunting paksa. Semua itu kulakukan saat Dipta tidak di rumah. Semangatku untuk melakukan apa pun langsung sirna begitu menyaksikan wajah datarnya muncul di pintu. 

Aku juga mulai terbiasa berkomunikasi satu arah. Setiap pagi setelah memandikan Muffin dan menidurkan bayi itu, aku akan berbagi cerita dengan daun-daun aglaonema yang kubasuh dengan kain basah. Tak jarang juga batang-batang bougenville menjadi sasaran saat jiwaku sedang butuh pelampiasan. Ikan-ikan koi di kolam pun tak luput terkena giliran. Satu-satunya lawan bicara yang mampu merespon dengan baik hanya Muffin sejak ia rajin membuka mata dan tersenyum.

Dipta meletakkan beberapa lembar uang setiap harinya di sebuah laci. Aku baru mengetahui bahwa uang itu ia berikan untukku setelah membaca pesan yang tertulis di sebuah robekan kertas. Setiap hari pula aku selalu merinci pengeluaran dan meletakkan catatannya beserta uang kembalian di dalam laci. Dipta tidak memintaku untuk melakukan itu, akulah yang berinisiatif. Laci itu ibarat sebuah kotak surat yang menfasilitasi kami berkomunikasi, meskipun isinya sebatas angka-angka rupiah.

Jika aku tidak salah hitung, sudah tiga hari terakhir aku dan Dipta tidak bertukar obrolan. Dua bulan berada dalam satu rumah, aku menyadari bahwa Dipta semakin irit bicara. Sehingga, satu atau dua patah kata yang keluar dari mulutnya sudah kuanggap masuk kategori obrolan. Mungkin satu bulan ke depan, anggukan dan gelengan pun sudah bisa masuk kategori yang sama. Itulah mengapa aku lebih senang berkomunikasi lewat sobekan kertas di dalam laci dari pada berbicara langsung.

Hari ini tiba-tiba aku merindukan Livia. Aku membongkar lemarinya yang berada di kamarku dan mencoba beberapa bajunya seperti yang sering kami lakukan dulu. Sebenarnya sejak awal aku ingin menanyakan ini pada Dipta, mengapa lemari Livia tidak menyatu dengan lemari pakaian lelaki itu. Namun, aku memilih tidak ambil pusing. Mungkin saja koleksi pakaian Livia terlampau banyak dan membuat lemari penuh sesak.

Pilihanku jatuh pada terusan berpotongan longgar berbahan katun yang dingin. Sebagian bajuku yang ada di Palembang sengaja aku hibahkan pada seorang rekan kerja yang berpostur tubuh hampir sama. Begitu juga dengan beberapa peralatan di kamar indekos. Sementara itu, sejak ikut pindah bersama Dipta, aku hampir tidak sempat melirik aneka baju di toko online. Seluruh waktuku di rumah kuhabiskan untuk mengurus Muffin. Bukan hanya waktuku sebenarnya, perhatianku juga. Aku tidak sempat berbelanja baju untukku sendiri, padahal sudah beberapa kali aku membeli pernak-pernik lucu untuk Muffin.

Mungkin, karena hari ini aku memakai baju milik Livia, Dipta berbicara dengan deretan kalimat agak panjang. Ia berdiri menatapku nanar saat kubukakan pintu untuknya. Aku bisa bersumpah apa yang tergambar dalam raut wajah dan sorot mata Dipta adalah sebuah kebencian yang  membuncah.

“Tukar baju itu sekarang juga, Lira,” ucapnya dengan emosi yang tertahan. “Jangan pernah ada barang-barang milik Livia yang aku lihat lagi di rumah ini.”

Aku diam mematung, memandangi Dipta saat ia berjalan melewatiku. Ia melempar tas kerjanya dengan kasar di sofa ruang tengah. Sejak kami berteman, aku belum pernah melihat Mahesa Dipta semarah itu.

“Kemasi semua pakaian Livia ke dalam kardus,” lanjutnya. “Aku akan bakar semuanya besok.”

Saat kudengar bunyi pintu kamar Dipta terbanting keras, aku tahu bahwa apa yang dijalani Livia dan Dipta tidak seindah yang kukira. Dan, dapat jelas kubayangkan hal yang sama akan terjadi pada penikahanku juga. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
iya kaya nya Dipta dn Livia terakhir2 dia tidur pisah kamar .karena Livia hamil yg d curigai Dipta bukan benih nya .yg Dipta sangka Livia selingkuh ...
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 29 - Tamu Tak Terduga

    “Livia?” Suara pria itu terdengar ragu sekaligus penuh rasa ingin tahu. Penampilannya yang serba rapi tidak dapat menyamarkan raut wajahnya yang kusut. Jemarinya memegang jeruji pagar, seperti memohon untuk diizinkan masuk. “Saya Lira, kembaran Livia,” jawabku hati-hati. “Anda temannya?”“Saya ….” Pria muda itu menyugar rambutnya serba salah. “Benar, saya Reno teman Livia. Boleh saya mampir sebentar?”Aku tahu Dipta tidak akan suka jika memberikan waktu untuk Reno masuk ke rumahnya. Pun tidak sesuai etika jika menerima tamu lawan jenis saat Dipta tidak ada. Membiarkannya berdiri di luar pagar seperti ini juga tidak terlihat sopan. Selain itu aku juga perlu berbicara dengan pria ini perihal Muffin. Tidak ada salahnya mungkin jika kami berbincang sebentar. Akhirnya kuputuskan untuk mempersilahkannya duduk di kursi teras.“Saya tidak tahu bahwa Livia punya kembaran,” gumamnya saat kuhidangkan secangkir teh hangat seperti yang ia sebutkan. “Livia tidak pernah menceritakan soal itu.”“Du

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 28 - Hati Mulai Melunak

    Tidak ada lagi agenda tidur jika percakapan menjurus telah dimulai. Aku mengakui sangat menikmatinya. Seolah-olah semua tekanan di kepalaku lenyap dalam sekejap saat kubiarkan Dipta menuntunku ke puncak tertinggi yang kami capai bersama. Kupeluk tubuhnya erat-erat sampai lelaki itu mungkin bertanya-tanya. Namun, bukan Mahesa Dipta namanya jika ia tidak bisa menggodaku setelahnya.“Kamu berbeda malam ini,” ucapnya memancing. “Aku tidak keberatan jika setiap malam seperti ini.”Mungkin ada benarnya yang dikatakan Dipta. Setelah perbincangan dengan Ayah siang tadi, aku merasa beban di pundakku separuhnya terangkat. Tidak seberat sebelumnya, meskipun masih ada soalan Muffin yang harus diselesaikan. “Terima kasih sudah begitu baik pada Livia selama ia hidup,” ungkapku tulus. “Mungkin Ayah benar telah memilihkan Mas Dipta untuknya.”Sepasang mata Dipta berkedip samar, tetapi masih bisa kulihat ia tersenyum dengan sedikit terpaksa. “Terima kasih juga untukmu, Lira. Kamu telah bersedia mener

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 27 - Alasan Terlanjur Rumit

    Ayah mulai kembali tenang setelah tangisnya mereda. Seperti ada sebuah ganjalan yang terlepas seiring dengan meluncurnya air mata. Wajah Ayah terlihat tidak sekaku sebelumnya. Bunda sempat pergi ke dapur sebentar, kemudian kembali dengan dua cangkir teh di tangan beliau. Satu untukku, dan satunya lagi beliau serahkan pada Ayah.“Entah dulu ibumu pernah bercerita tentang hal ini, tapi Ayah akan mengulang kembali kisah kalian saat dilahirkan.” Ayah mulai berbicara. “Livia dan kamu lahir dalam usia kandungan yang belum cukup dua puluh delapan minggu.”Seingatku dulu memang pernah sekilas mendengar Ibu bercerita pada salah satu kerabat di saat Lian lahir, tapi itu sudah lama sekali dan aku juga lupa-lupa ingat. Apa mungkin karena itu alasan kesehatan Livia terganggu?“Saat itu kalian berdua harus ditempatkan di dalam NICU karena berat badan yang kurang dan kondisi paru-paru yang masih lemah,” lanjut Ayah dengan nada sedih. “Beruntung keadaan tubuh kamu jauh lebih baik. Livia harus memakai

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 26 - Pengorbanan Beralas Cinta

    Rasanya aku tidak ingin percaya pada apa yang baru saja diucapkan Dipta. Bagaimana mungkin Ayah yang memintanya. Tega sekali beliau melakukan itu, menganaktirikan aku dan memprioritaskan Livia bahkan sampai pada perihal memilihkan jodoh untuk kami berdua. Aku perlu tahu alasannya kali ini.“Livia menderita sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan,” ucap Dipta masih dengan raut wajah tersiksa. “Ayah bilang hanya aku lelaki yang bisa ia percaya untuk menitipkan Livia.”“Penyakit apa?” desakku tidak sabar. Aku tidak yakin hanya karena alasan itu. Aku tahu sejak dulu hanya ada Livia di hati Ayah.“Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Ayah,” lanjut Dipta. “Aku tidak berhak menjelaskannya, lebih tepatnya tidak ingin mendahului Ayah.”“I can’t believe this,” bisikku kalut. “Apakah Mas Dipta tidak mencoba membantah Ayah saat itu?”Dipta menggeleng lemah. “Ayah menangis panik. Aku tidak punya pilihan.”“Bahkan untuk mengatakan siapa yang sebenarnya Mas Dipta cintai?” tanyaku tak percaya

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 25 - Pengakuan dari Hati

    Dipta benar-benar tidak menyia-nyiakan perbincangan masa subur yang ia tanyakan sore tadi. Di balik sikapnya yang manis dan lembut, selalu tersimpan tanya di hatiku, bagaimana lelaki ini bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Apakah semua lelaki dikarunia cinta yang begitu besar sehingga cukup untuk dibagi.“Benar begitu?” Tanpa kusadari apa yang terpikir, ternyata terucap di bibir.“Apanya yang benar, Sayang?” Dipta merenggangkan peluknya agar bisa memandang wajahku. “Bahwa aku mencintaimu, itu benar.”“Dan tetap bisa mencintai yang lain di saat yang sama?” lanjutku dengan kelancangan yang kusengaja.“Aku tidak pernah mencintaimu dan Livia di saat yang sama jika itu yang kamu maksud,” jawabnya lugas. “Kalian berada di tempat yang sama, di waktu yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.” Dipta meraih jemariku untuk ia letakkan di dadanya.“Maaf jika aku harus mengungkit ini kembali, Mas,” bisikku sedih. “Pikiran itu selalu datang dan pergi berulang-ulang sesuka hatinya.”“Pikiran yang

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 24 - Cinta Beralih Panah

    Sudah berkali aku mencari, tetapi memang tidak ada identitas apa pun yang ditinggalkan si pengirim di dalam kotak tersebut selain tulisan yang memuat tanda tangannya pada kartu ucapan. Harusnya tadi aku menahan sebentar si kurir pengantar. Aku baru sadar setelah ia terlanjur beranjak, bahwa kurir tersebut bukanlah seperti petugas ekspedisi yang selama ini sering datang. Sepertinya ia memang ditugasi hanya untuk mengantar kotak itu.Aku tidak mengira Livia bisa senekat itu, pergi sendiri tanpa ditemani untuk menemui laki-laki lain. Dipta pasti sudah lebih dulu mencium gelagat perselingkuhan ini. Menyedihkan kalau itu yang benar terjadi. Entah apakah aku harus memberi tahu Dipta mengenai foto-foto ini.Sedikit ragu merasuki hatiku saat melihat Dipta pulang dengan wajah letih, meskipun begitu ia masih sempat menggodaku dengan kecanggunganku menyebutnya dengan panggilan baru kami. Panggilan baru untuknya sebenarnya.“Tadi kebetulan lewat,” jelasnya saat kutanyakan di mana ia membeli singk

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 23 - Sebuah Rahasia Baru

    Harusnya bisa jika aku lanjut bertanya, seperti sejak kapan Dipta mencintai Livia, alasan apa yang membuatnya bisa mencintai kami berdua sekaligus, atau mungkin siapa yang lebih ia cintai, aku atau Livia. Namun, entah mengapa timbul rasa tidak tega saat raut wajah lelaki yang sebelah lengannya masih memelukku itu seperti sedang mengemban beban yang sangat berat. Dahinya berkerut hebat, menandakan ia tidak bahagia saat menyatakan kejujuran-kejujuran lain yang kupaksa terlontar.“Aku tidak mampu menceritakan secara lengkap, tetapi jika kamu ingin bertanya, tanyalah satu per satu,” lanjutnya perlahan. “Sebisa mungkin aku jelaskan.”Menanyakan satu per satu dan harus merangkai benang merahnya sendiri pasti akan semakin memancing kecewa. Bagaimana jika nanti ia mengakui lebih mencintai Livia ketimbang aku? Hatiku bisa berdarah-darah mendengarnya.“Mungkin tidak sekarang,” putusku akhirnya. “Tapi pasti suatu saat aku akan bertanya tentang hal itu.”“Anytime, Dear.” Dipta mengurai anak rambu

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 22 - Prasangka Tajam Menghunjam

    Rasa lega yang awalnya menyelimuti hatiku mendadak berubah kecewa saat kudapati aplikasi percakapan dan sosial media pada ponsel Livia ternyata tetap dilindungi oleh sederetan kata kunci. Bersamaan dengan itu, kecurigaan yang kerap diutarakan Mahesa Dipta mengenai isu perselingkuhan Livia perlahan merebak di pikiranku. Jarang sekali pengguna ponsel mengunci aplikasinya apabila telah memasang kunci layar. Dan, menemukan kombinasi angka itu bukanlah hal yang mudah untuk ditelusuri dalam waktu singkat. Aku terpaksa menyelamatkan ponsel ini sementara waktu.Lian memahami saat kuberitahu banyak akun yang harus dilakukan pelaporan terkait wafatnya Livia. Si bungsu itu tertawa semringah saat kuizinkan memilih ponsel baru yang ia sukai pada aplikasi toko online. Satu hal yang aku kagumi dari Lian. Meskipun ia anak lelaki bungsu, tetapi sikapnya tidak manja dan selalu menghormati aku dan Livia sejak dulu. Mungkin karena sedari kecil ia sudah merasakan bagaimana sedihnya ditinggal Ibu.Jemariku

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 21 - Mengurai Jejak Tersimpan

    Semua opsi yang ditawarkan Mahesa Dipta ternyata hanya berakhir di tempat yang sama hingga hampir tengah hari. Meskipun sedikit berbeda dengan semalam yang lebih banyak menguras aktivitas, sepanjang pagi ini hingga menjelang siang kami lebih sering berpelukan dan bercerita. Seolah tiada habis lembar demi lembar yang selama ini tersimpan, satu per satu terlontar untuk disampaikan.Aku yang lebih banyak berbicara, menanyakan apa-apa yang selama ini tertahan. Dipta lebih banyak tersenyum dan tertawa, menjawab dengan sabar hampir semua yang kuminta penjelasan. Termasuk saat kutanyakan mengapa ia pernah mengatakan akan secepatnya mencari perempuan lain andai waktu itu aku menolak menikah dengannya.“It was just a trick, actually,” ujarnya santai. “Aku sudah kehabisan cara untuk mengirim sinyal ke hatimu.”“Cerdas sekali.” Aku pura-pura merengut kesal. “Termasuk semua sikap dingin Kak Dipta padaku di awal kita menikah?” tanyaku.“Termasuk itu.” Ia membenarkan sambil tersenyum tipis. “Entah

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status