Mahesa Dipta melamarku.
Lelaki yang kerap hadir dalam mimpi-mimpiku itu, baru saja memintaku menikahinya. Bertahun-tahun aku membayangkan dan mengharapkan agar kesempatan ini terjadi. Aku tidak tahu apakah harus merasa senang atau sedih. Tentu saja telingaku tidak salah mengartikan ucapannya. Aku juga tidak salah dengar saat ia menegaskan bahwa Ayah yang mengusulkan. “Tapi ini terlalu cepat,” bisikku dengan perasaan bingung. Baru berselang dua minggu sejak pemakaman Livia. Apa yang akan dikatakan orang-orang? “Jangan salah sangka, Lira. Aku melakukannya semata-mata untuk anak ini.” Dipta menatapku dan Muffin bergantian. Anak ini katanya? Tidak bisakah ia menyebutnya anakku? Kemarin juga ia memanggil Muffin dengan sebutan bayi itu. “Andai Livia meninggalkanku tanpa anak, mungkin aku tidak harus segera menikah lagi.” Dipta mulai menjelaskan alasan yang mungkin sedang berantuk di kepalanya. “Aku tidak mungkin membawa perempuan yang bukan berstatus istri untuk tinggal denganku demi merawat anak ini.”Aku berusaha tetap fokus pada pembicaraan ini, meskipun kupastikan saat ini di dalam kepalaku tiba-tiba ramai dengan segala macam pikiran yang simpang siur. Berkali-kali kualihkan pandangan dari tatapan Dipta yang sedang menuntut jawabanku. "Aku—“ “Jika kamu menolak, aku tetap akan secepatnya mencari perempuan lain.” Omonganku terputus dengan ucapan Dipta. Perasaan bingung di hatiku tiba-tiba juga terputus berganti kesal. Dasar laki-laki. Seenaknya saja mengambil keputusan untuk menikah tanpa mempertimbangkan banyak hal.“Mungkin—““Mungkin jika aku menikahi orang lain secepat ini, keluarga akan ramai bergunjing,” ucap Dipta seolah ia bisa membaca pikiranku. “Lebih aman jika aku menikahimu. Tidak akan ada yang berani bertanya-tanya.”Argumennya tepat. Kuakui memang pilihan ini yang paling benar. Dengan menikahiku, hubungan kekeluargaan akan tetap terjalin. Namun, tidak adakah alasan lain yang dipertimbangkan, perihal hatiku misalnya?“Tolong pikirkan baik-baik,” tegas Dipta sebelum ia berlalu. “Kuharap besok sore aku sudah bisa mendapat jawaban darimu.”***Dipta bilang ia akan mencari perempuan lain jika aku menolak lamarannya. Mahesa Dipta sedang mencari pengasuh bayi atau seorang istri? Kubanting sebuah buku agak keras ke pinggir ranjang, membuat Muffin terkejut dan seketika menangis kencang.Sebuah senyum terbit di wajah Muffin saat ia kuayun dalam dekapan. Matanya mengerjap sebentar, seperti sedang memandang sesuatu di langit-langit kamar. Nasib kita sama, Muffin. Kita sama-sama terjebak dalam keadaan yang membingungkan. Maaf jika awal perkenalan kita harus seperti ini.Jarang ada sebuah kesempatan akan datang untuk kedua kali. Menerima keadaan bahwa Dipta harus menjadi milik Livia, sudah sangat menyakitkan untukku. Apalagi jika harus membayangkan lelaki itu akan bersama perempuan lain sepanjang hidupnya. Dan Muffin, aku harus merelakan bayi kecil ini diasuh oleh ibu barunya. Bagaimana jika perempuan itu tidak menyayangi Muffin seperti rasa sayangku padanya?Suara pintu kamarku yang terbuka perlahan, membuatku menoleh dari Muffin yang telah kembali terlelap. Ayah muncul dengan raut wajah serba salah. Aku tetap berdiri menggendong Muffin saat Ayah duduk di sisi ranjang.“Harusnya Ayah membicarakan hal ini lebih dulu denganmu, Lira.” Ayah mengawali percakapan kami dengan sebuah permohonan maaf. “Pikiran itu melintas begitu saja saat melihat kondisi Dipta yang setiap hari semakin kehilangan semangat.”Aku diam tidak menjawab, karena sejujurnya aku memang tidak tahu harus menjawab apa.“Apa kamu sudah punya calon suami?” Ayah bertanya hati-hati. “Maaf kalau Ayah tidak pernah bertanya mengenai hal ini sebelum menjodohkanmu dengan Dipta.”Aku menggeleng pelan. Beberapa pria yang pernah mendekat sudah kutolak terang-terangan. Aku tadinya memutuskan untuk tidak menikah karena terlanjur patah hati.“Ayah berharap kamu bisa menggantikan Livia,” ucap Ayah. “Dipta hanya punya kita sebagai keluarga. Ayah juga akan sungkan untuk menjenguk cucu Ayah jika Dipta menikah dengan orang lain.”Ayah mengusap kepala dan mencium pipi Muffin sebelum beranjak dari kamarku. Sepeninggalannya, air mataku menetes deras. Lebih deras dari ketika dokter mengabarkan Livia sudah tiada. Kudekap Muffin erat-erat hingga pipi bayi mungil itu ikut basah oleh air mata.***“Kau dijodohkan?” Sudah kuduga pertanyaan itu yang akan muncul saat kuberitahu Pak Kemas perihal pengunduran diriku. Alasan apa lagi yang lebih tepat saat seorang karyawan mengajukan cuti panjang dan kemudian memohon izin untuk berhenti kerja. Suara deras beraksen Palembang khas atasanku itu menerobos lewat ponsel. Aku mengangguk pelan, baru kemudian ingat untuk langsung menjawab.“Iya, Pak.”“Dengan siapo?” cecarnya. “Idak biso kau tunggu Fahmi selesai kuliahnyo?"Pak Kemas memang berniat menjodohkanku dengan putera sulung beliau. Aku pernah satu kali bertemu Fahmi saat lelaki itu pulang dari Malaysia. Beberapa kali pula Fahmi pernah berbicara denganku lewat telepon saat Pak Kemas menghubunginya. Fahmi jelas tidak tertarik denganku. Apalagi aku dengannya. Kami hanya bertegur sapa untuk menghormati ayahnya.“Saya akan menikahi kakak ipar saya, Pak,” jawabku sedikit ragu. Pak Kemas adalah orang pertama yang kuberitahu tentang kuputusanku untuk menerima lamaran Mahesa Dipta. “Oh, suami ayuk kau yang meninggal kemarin?” Suara Pak Kemas terdengar prihatin. ”Dak apolah kalau begitu.”“Pekerjaan yang masih tertunda sudah saya alihkan pada Bang Hanafi, Pak,” jelasku. “Laporan keuangan bulan lalu juga sudah saya selesaikan.”“Susah aku nak cari ganti kau, Lira.” Terdengar Pak Kemas menghela napas. “Kalau ado kawan kau nak cari kerjo, kagek kabari Bapak, yo.”Kuputus sambungan telepon setelah menitipkan salam untuk rekan-rekan kerjaku di kantor Palembang. Mereka adalah teman-teman terbaikku selama dua tahun terakhir. Berpisah dengan mereka jelas akan membuatku merasa kehilangan. Namun, hatiku akan lebih sedih jika harus berpisah dengan bayi kecil dalam dekapanku ini. Sore nanti sesuai janjinya, Dipta akan datang untuk meminta jawabanku. Entah bagaimana caraku mengucapkannya, karena ini bukan jawaban untuk sebuah lamaran seperti di novel-novel romantis yang pernah kubaca. Dipta memintaku demi Ayah. Ayah memintaku demi Muffin. Aku melakukannya demi Livia dan bayinya. Demi hatiku juga, meski aku belum tahu apakah lukanya akan sembuh atau justru semakin menganga.Lebih baik kukabari saja Dipta lewat pesan. Aku tak akan sanggup untuk berhadapan dengannya dan menyatakan kesediaanku di depan wajahnya yang datar tanpa semangat. Kalau perlu ia tidak perlu datang sore ini, sehingga kami tak perlu bertemu. Setelah mengirim dan memastikan pesan telah sampai, sengaja kumatikan ponsel agar tidak perlu menerima balasan Dipta. Aku butuh menenangkan jantung dan otakku agar bisa berpikir jernih, serta menghalau semua prasangka tentang apa yang akan kujalani ke depan. Aku akan menikahi Mahesa Dipta, menggantikan Livia. Kali ini jelas tidak seperti dulu. Dari segala macam kesempatan saat dulu kami sering bertukar peran, ini adalah yang paling berat. Peran ini menyangkut hatiku. Aku akan menyerahkan hatiku pada seorang lelaki yang jelas-jelas cintanya masih mengembara pada jiwa yang telah tiada.Malam yang sama setelah aku kembali pada Mahesa Dipta, lelaki itu tetap mengantarku pulang ke rumah Ayah. Dipta mengajakku berbicara di depan Ayah dan Bunda, meluruskan apa yang selama ini kusut di antara kami. Dipta dengan sopan menanyakan pada Ayah apakah ia boleh membawaku pulang setelahnya. Ayah mengatakan bahwa aku masih sepenuhnya tanggung jawab Dipta, karena tidak pernah sekali pun lelaki itu mengembalikanku pada Ayah.Mobil Ayah kami kembalikan sehari setelahnya. Tidak ada yang rusak, hanya bensinnya yang habis karena memang jarum petunjuk level bahan bakarnya sudah tidak berfungsi baik. Dipta sudah lama mengetahui permasalahan itu. Ia sengaja mengelabui agar bisa mengajakku mampir di rumahnya malam itu.Dipta tidak terlalu mengekangku kali ini. Hidupku terasa jauh lebih ringan. Bahkan ia tidak mempermasalahkan saat aku memanggilnya dengan sebutan lama kami. Juga tidak keberatan saat aku masih sering berdebat dengannya tentang banyak hal. Ia bilang tak mengapa selama akhir dar
“Harus ado kabar baik dari kau, Lira.” Pria itu menjabat tanganku erat-erat saat ia akan masuk ke lajur check-in. “Aku idak mau dengar kagek kau balik ke Palembang.”“Terima kasih untuk semuanya, Fahmi.” Kulambaikan tangan sampai ia benar-benar menghilang di balik pintu kaca. Sejenak aku hanya berdiri terpaku di antara ramainya lalu lalang manusia di bandara. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Menemui Dipta dan menyerahkan diri, mengaku kalah karena tidak berhasil melupakannya setelah enam bulan lamanya?Mobil Kijang milik Ayah yang kukemudikan melaju lambat seolah ikut merasakan galaunya hatiku. Entah sudah sejauh apa lamunanku, dua jam kemudian tanpa sadar aku mendapati diri telah menghentikan kendaraan itu di depan rumah Dipta. Mataku menatap penuh rindu pada garasi tempat mobil lelaki itu diparkirkan. Banyak kenangan tertinggal di garasi itu. Di dalam mobil di tempat itu pula pertama kalinya Dipta meminta kesediaanku untuk menyerahkan jiwa ragaku padanya. Di sana pula setia
Bunyi notifikasi dari ponselku membuyarkan lamunan. Kulirik dengan malas untuk memeriksa apakah ada pesan penting yang mungkin dikirimkan Pak Kemas. Atasanku itu masih juga tidak bisa benar-benar pensiun. Hampir setiap saat Pak Kemas menanyaiku mengenai perkembangan Fahmi. Padahal menurutku Fahmi termasuk kompeten menggantikan beliau dalam urusan pekerjaan. Dan ini sudah masuk bulan keenam, aneh saja jika Pak Kemas masih meremehkan puteranya.Dadaku berdesir saat melihat tampilan pop-up pada layar ponselku. Sudah lewat enam bulan juga lelaki itu masih rutin mengirimiku. Setelah dengan sangat pengecut aku meninggalkannya tanpa penjelasan, Dipta selalu mengabariku setiap hari tentang apa yang ia lakukan di Jakarta melalui pesan singkat. Sesekali ia menanyakan kabarku, tentu saja aku tidak pernah membalas. Lalu frekuensi pesannya berkurang saat memasuki bulan kedua, dan hilang sama sekali saat memasuki bulan ketiga. Dipta pasti lelah. Aku sengaja membuatnya menyerah.Hanya satu yang tida
Terhitung tiga hari sejak rahimku dilakukan kuretase, hari ini dokter kandungan memberiku izin untuk pulang. Dipta tidak datang menjemput karena aku yang memintanya untuk itu. Setelah pertengkaran kami yang terakhir, aku sudah mengatakan pada Dipta agar diberikan kesempatan untuk menetap di rumah Ayah sementara waktu. Aku butuh ruang untuk sebentar menjauh dari Dipta, juga dari rencana-rencana hidupnya.Aku sudah membuat janji dengan Dokter Pratiwi -spesialis anak yang menangani Muffin- sebelum pulang hari ini. Setelah kejadian itu, aku semakin tidak bisa menjauhkan diriku dari rasa bersalah. Aku jelas bertanggung jawab atas Muffin. Aku ibunya, seharusnya bisa menjaganya dengan segenap jiwa dan ragaku.“Sebagai tenaga medis yang selalu berurusan dengan nyawa orang lain, saya juga manusia yang percaya pada takdir Tuhan.” Dokter Pratiwi memulai kalimat itu untuk menjawab pertanyaanku. “Apa yang kita upayakan maksimal, jika memang sudah sampai pada janjinya, semua tetap akan pulang."“Bu
Kehamilanku sudah mulai memasuki minggu ke dua belas saat suatu hari Muffin demam. Dipta patuh saat kuminta untuk membawa Muffin agar diperiksa oleh Dokter Pratiwi. Tidak ada masalah serius, hanya demam biasa menurut sang dokter. Obat yang diberikan pun juga sama dengan stok obat penurun panas yang kusimpan di lemari obat. Kondisi rahimku tidak terlalu sehat sehingga Dipta memutuskan untuk memakai bantuan asisten rumah tangga selama aku tidak bisa beraktivitas normal. Dipta mengurusiku dengan sangat baik, bahkan terlalu protektif sehingga aku merasa kurang nyaman. Ia melarangku mengerjakan apa pun, bahkan ia marah jika aku kedapatan sedang menggendong Muffin. Muffin tidak pernah terlalu rewel jika sakit. Ia akan tenang jika dipeluk. Kudekap Muffin erat-erat saat Dipta ingin mengambilnya kembali untuk diserahkan pada asisten rumah tangga kami pagi ini. Perempuan paruh baya itu berdiri di samping Dipta dengan serba salah. Mungkin ia segan harus melihat kami berdebat seperti itu. “Bi
Bab 30 - Kala Ikatan MerenggangSudah lewat tiga minggu sejak pertengkaranku dengan Dipta yang dipicu karena kedatangan Reno. Aku sungguh tidak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Dipta. Harusnya aku diam-diam merekam isi percakapanku dengan Reno agar Dipta percaya. Sekarang aku tidak punya bukti yang kuat untuk mempertahankan argumenku agar tes DNA Muffin tidak perlu dilakukan.Hubunganku dengan Dipta menjadi dingin. Lelaki itu hanya menegurku seperlunya saat sedang berada di rumah, persis seperti dulu di saat awal pernikahan kami. Tidak ada lagi ucapan sayang, pelukan mesra, apalagi sentuhan-sentuhan yang intim layaknya dua insan yang sedang kasmaran. Aku masih tidak mengerti apa salahku. Tepatnya tidak bisa menerima jika Dipta menuduh aku akan tertarik pada Reno seperti layaknya Livia. Pendapat itu terlalu kekanakan. Mustahil rasanya terbit dari kepala seorang Mahesa Dipta yang biasanya bisa berpikir realistis. Aku tidak ingat kapan terakhir kali makan dengan benar. Seminggu ini