Sebuah sentuhan di pundak Gavin menyadarkannya dari lamunan. Sudah beberapa kali Sena memanggil namanya namun tidak kunjung ada respon dari Gavin. Sena telah menyelesaikan kegiatan mandinya dan berniat memanggil Gavin untuk bergantian dengannya.
“Mas melamun? Apa yang Mas lakukan dengan ponselku?” Sena menatap Gavin penuh curiga setelah Gavin tertanggkap basah sedang menggenggam ponselnya.
“Ah tidak. Hanya saja ponsel kamu terus berbunyi, saya pikir ada sesuatu yang penting. Makanya saya berniat mengangkatnya, namun ketika akan saya angkat, telfon itu sudah mati,” balas Gavin mencoba tenang saat tatapan curiga Sena.
“Baiklah. Aku sudah selesai mandinya Mas. Sekarang gantian Mas untuk mandi,” perintah Sena yang di angguki oleh Gavin.
Wanita itu kini sedang membuka lemari pakaian, di carinya mukena untuk Sena sholat. Sena melakukan sholat dengan khusyuk. Menurutnya dengan sholat, Sena merasakan
Membutuhkan waktu tiga jam untuk sampai di Bogor dari hotel tempat mereka menginap. Sena yang masih terlelap akhirnya di bangunkan Gavin. Dengan sedikit tepukan dibahunya sudah cukup membangunkan Sena dari tidurnya. Sepanjang perjalanan Sena memang sering tidur untuk memulihkan badannya. Sebelumnya, Sena terlebih dahulu meminta ijin pada Gavin untuk beristirahat. Dengan pengertian, Gavin memaklumi istrinya tersebut karena badan Sena kurang fit. “Kita sudah sampai, ayo turun,” ajak Gavin pada Sena yang terlihat sedang mengumpulkan separuh nyawanya. Sena mengucek mata agar penglihatannya lebih jelas. Setelah di rasa cukup, Sena turun dari mobil. Pengelihatan Sena seketika segar dengan pemandangan alam yang memanjakan. Kabut yang turun dan mengenai kulit, membuat hawa dingin yang menusuk. Meskipun begitu, Sena sangat menyukainya. Tidak jauh berbeda dengan Sena, Gavin memandang pemandangan sekitar. Rasa ten
Sena menatap mata Gavin cukup lama. Ia mencari kebohongan pada mata itu. Namun pencarian itu tidak menemukan kebohongan pada mata Gavin. Tatapan Gavin tegas dan yakin dengan apa yang Gavin ucapkan sehingga perkataannya bisa di terima oleh Sena.“Mengapa diam? Apa kamu keberatan?” tanya Gavin karena Sena tidak kunjung membalas perkataannya.“Bukan. Hanya saja aku masih ragu dengan perasaan kamu Mas,” Sena menghindari tatapan tajam Gavin. Entah mengapa tatapan Gavin membuatnya tidak percaya diri mengatakannya.“Ragu? Apa yang membuat kamu ragu?” kening Gavin mengkerut seolah heran dengan keraguan Sena.“Pertemuan tempo hari, saat aku datang ke rumah. Wanita itu mantan kekasih kamu bukan? Rasanya tidak semudah itu kamu melupakan dia,” tebak Sena mengetahui isi hati Gavin.“Benar itu mantan kekasih saya. Dan sangat mustahil untuk
Tak terasa hari semakin sore, Sena dan Gavin kini sedang berbelanja di salah satu supermarket yang tak jauh dari Vilanya. Disela-sela mereka obrolan tadi, Sena menawarkan agar makan malam mereka, Sena yang memasak. Ide tersebut dapat di terima dan disetujui oleh Gavin. Kebetulan memang Gavin lebih menyukai masakan rumahan dari pada makan di luar.Kebutuhan masak yang Sena butuhkan tidak tersedia di kulkas Villa, sehingga mereka memutuskan untuk berbelanja. Tidak banyak mereka belanja, hanya keperluan untuk memasak malam dan besok pagi. Obrolan mereka di waktu berbelanja cukup ada peningkatan, di lihat dari cara bicara Gavin yang mulai ingin tahu tentang kehidupan Sena meskipun ada sedikit gengsi yang menguasai dirinya.Selesai belanja, mereka langsung pulang menuju Vila. Sena bergegas menuju dapur untuk memulai meracik bumbu. Wanita itu berencana membuat sup sapi, ayam goreng kampung dan sambal tomat. Makanan yang dibuat Sena memang terbilan
Dengan setengah terpaksa, Sena memberikan ponselnya pada Gavin. Mau tidak mau, Sena menuruti permintaan Gavin karena Sena tidak mau durhaka dengan suaminya. Gavin menerima ponsel Sena dengan muka tidak terbaca. Dengan cekatan, Gavin menulis nomor mantan tunangan Sena tersebut.Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya masakan Sena kini sudah matang. Harum sedap menyelimuti ruangan dapur tersebut. Gavin yang sibuk dengan gawainya kini mengadahkan kepalanya saat mencium masakan Sena. Di lihatnya Sena yang sedang memindahkan makanan itu ke meja makan. Sudah tidak sabar Gavin ingin mencicipi masakan istrinya tersebut.“Boleh saya bantu?” tanya Gavin berinisiatif membantu Sena.“Tidak usah Mas, sudah hampir selesai. Mas duduk aja dulu.” senyum Sena membuat Gavin mengalah lalu duduk di meja makan.Sedari tadi mata Gavin tidak berhenti mengawasi gerak gerik Sena. Setelah Sena selesai
Matahari kini sudah menunjukkan wujudnya, sinaran matahari menjadi sesuatu yang di nantikan Gavin kala pagi di puncak. Sinar yang berpadu dengan kabut menjadi pemandangan menakjubkan yang jarang di temui di kota. Agenda mereka hari itu ingin menikmati suasana di puncak. Sebelum memulai kegiatannya, mereka tidak lupa mengisi perut dengan sarapan terlebih dahulu. Menu sarapan saat itu sangatlah sederhana, hanya dengan roti yang sudah di beri olesan selai. Setelah selesai sarapan dan mempersiapkan diri, mereka siap berangkat. Gavin dan Sena sepakat untuk berjalan kaki menuju kebun teh karena lokasinya yang tidak begitu jauh dari Vila. Setiap perjalanan mereka di suguhi oleh pemandangan cantik dan udara sejuk. Tidak heran mereka merasa tidak begitu lelah berjalan kaki meskipun jalannya banyak yang menanjak. Tiba di kebun teh mereka mengabadikan kenangan tersebut dengan berfoto bersama. Sebetulnya bukan mereka namun Sena yang memaksa Gavin un
Amarah Gavin memuncak ketika melihat kejadian itu. Nafasnya memburu dengan rahang yang mengeras. Sorot matanya mengisyaratkan dendam kepada pria yang membawa istrinya. Kaki panjang Gavin mulai berlari kencang untuk mengejar Sena. Sekuat tenaga Gavin berlari agar tidak kehilangan jejak mereka.Beruntung Sena yang terus memberontak, membuat pria tersebut kesulitaan dan langkah mereka tidak begitu cepat. Gavin yang sudah dekat, dengan gerakan cepat menarik baju pria tersebut dari belakang. Secara otomatis pria itu tertarik oleh tangan Gavin dan di lepasnya tangan Sena. Merasa ada pertolongan, Sena menyingkir dengan badan yang bergemetar. Di lihat suaminya yang brutal sedang meninju wajah pria itu sampai dia jatuh tersungkur.“Bukankah kamu laki-laki yang tempo hari saya hajar bukan? Ternyata kamu berani membuat masalah,” Gavin ikut berjongkok di depan peneror tersebut.“Aku tidak pernah takut dengan siapa
Mobil mewah yang tengah ditumpangi Gavin dan Sena kini sudah tiba di kediaman Aditama. Kepulangan mereka secara mendadak menjadi pertanyaan besar dari keluarganya. Sebelum Gavin menceritakan kejadian yang menimpa Sena, Gavin mengantar istrinya ke kamarnya untuk beristirahat. Untuk kali pertama Sena masuk ke dalam kamar Gavin, pandangan Sena menelusuri tiap sudut isi kamar tersebut. Terdapat beberapa hiasan dinding yang elegan. Kamar yang mewah seperti kebanyakan orang kaya pada umumnya. Kamar itu berukuran besar dengan nuasa putih dan abu-abu. Pandangan Sena kini tertuju pada jendela besar yang meyuguhkan pemandangan tumbuhan hijau samping rumah. Kamar yang benar-benar menyejukkan mata Sena dan membuat hatinya tentram. Kamar seorang laki-laki dewasa yang sangat rapi, Sena merasa nyaman berada di kamar itu. Setelah mengantar Sena, kini Gavin berada di ruangan keluarga untuk menceritakan kejadian yang menimpa Sena pada Papa dan Mamanya. Se
Saat ini Gavin sedang berbaring dekat Sena, ia memandangi wajah istrinya yang damai dalam tidurnya. Cantik yang tidak membosankan, itulah hal yang paling Gavin suka pada Sena. Memandang wajahnya kini menjadi candu untuk Gavin. Dalam hati Gavin mengatakan akan berusaha mencintai Sena dan akan membuat Sena terlindungi di dekatnya. Yang paling terpenting Gavin membuat Sena mencintainya. Tidak berselang lama wajah sang istri berubah gelisah. Nafasnya memburu dengan kening yang berkeringat. Kegelisahan wajahnya kini berubah menjadi ketakutan. Gavin terlihat cemas lalu berusaha membangunkan Sena. Gavin menebak jika Sena sedang mimpi buruk. Sena yang terbangun mencoba meniminalisir perasaannya. Setetes air mata jatuh mengaliri pipi Sena. Mimpi buruk itu masih membuat Sena ketakutan. Bayangan Bagas belum sepenuhnya hilang dari ingatannya. Sena sangat benci dengan hadirnya kembali Bagas di dalam hidupnya. “Sena,” panggil Ga