Share

The Black Cat

last update Last Updated: 2025-09-05 22:03:07

Adrianna sedang berkutat dihadapan dokumen siang itu. Es kopi yang dingin membantunya tetap fokus pada deretan data yang sudah dikumpulkan oleh Sonya.

Yang mengherankannya adalah, breaking news memberitakan kejadian pembunuhan dan pencurian organ vital manusia, lokasinya tepat dengan pengintaiannya bersama Toni. Di mana tujuannya adalah menemui Si Kucing Hitam.

"Apa tujuannya datang ke lokasi? Apakah Si Kucing Hitam juga terlibat kasus hilangnya dua remaja itu?" Adrianna bertanya dalam hati. Tangan kirinya menopang kepalanya.

"Kedua remaja itu ditemukan dalam keadaan mengerikan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa Si Kucing Hitam pelakunya?" Adrianna bergidik ngeri.

"Mungkin benar bahwa tindakanku ini sangat berbahaya dan gegabah, tapi…aku benar-benar tidak punya cara lain!" Adrianna membuang nafas.

Sonya masuk ke dalam ruangan membawa gorengan setelah pekerjaannya selesai.

"Aku bawakan camilan!" Sonya menyodorkan piring besar berisi Dim Sum, tahu isi daging dan strawberry.

"Terima kasih, Sonya!" Mata Adrianna berbinar melihat setumpuk camilan dengan chilli oil sebagai pelengkapnya.

"Kebetulan aku sedang lapar, tapi tidak berselera makan!" Adrianna menyumpit dim sum dan mencocolkannya ke dalam chilli oil.

"Aku juga sama! Sedang tidak enak makan. Hanya ingin makan yang pedas-pedas terus. Kepalaku agak pusing," Sonya mengunyah tahu isi daging yang dicelup ke dalam chilli oil seluruhnya.

"Bukankah kau memang suka sekali makanan pedas, atau kau mau menstruasi barangkali?" Adrianna tertawa. Sonya mengangkat bahu.

"Mungkin benar, tapi ini chilli oilnya sama sekali tidak pedas." Sonya mengambil lagi makanan dengan chilli oil yang banyak sementara tahu isi dagingnya belum habis.

"Makanan pedas membuatmu berkeringat! Menyegarkan!" Adrianna setuju.

"Toni kemana?" Tanya Adrianna

"Tadi katanya ke kantor Polisi, menemani wartawan yang mau meminta keterangan korban yang di lokasi bekas pabrik itu," sonya menyeruput jus jeruk yang dibawanya.

"Agak membingungkan juga. Kedua korban masih remaja, lalu ada organ vitalnya yang hilang. Mengerikan sekali, kalau membayangkan kejadian malam itu." Adrianna mengangguk sambil mengunyah cheese cake, lalu menyeruput lagi es kopinya.

"Waktu itu, aku dan Toni kesana memang ada tujuan yang berbeda. Sayangnya, aku pingsan dan Toni juga dilumpuhkan!" Adrianna mengerutkan keningnya.

"Rasanya sia-sia saja, latihan bela diri selama ini. Tak berdaya oleh pukulan salah satu dari mereka!" Lanjut Adrianna.

"Tapi anehnya, Aku dan Toni hanya dibuat lumpuh. Kalau menilik keadaan korban, seharusnya Aku dan Toni juga jadi korban! Astaga, apa yang kukatakan ini?" Tiba-tiba Adrianna bergidik ngeri.

"Ehhh, Jangan-jangan … " Adrianna menghentikan kata-katanya, matanya membulat.

"Apa?" Sonya penasaran.

"Apa dia yang melumpuhkan Toni dan aku?" Adrianna memikirkan sebuah kemungkinan.

"Tapi tujuannya apa? Bukankah Si Kucing Hitam juga salah satu yang terlibat?"Sonya mengerutkan keningnya.

"Teka-teki ini sangat melelahkan. Tapi, aku tetap harus mencari jawabannya. Informasi tentang anakku, tergantung dari sini, setelah bertahun-tahun tidak ada satupun petunjuk!" Raut muka Adrianna jadi suram.

"Sudah bertahun-tahun, dan kau sangat tangguh dalam hal ini. Aku salut padamu, bisa bertahan dan tidak kehilangan harapan. Jika itu terjadi padaku, mungkin aku bisa jadi gila!" Sonya termenung.

"Aku juga hampir di fase itu, Sonya! Sampai sekarang aku serasa gila jika membayangkan hal buruk yang kemungkinan terjadi pada putraku. Tapi, aku merasa dia masih hidup. Aku tidak ingin kehilangan harapan itu!" Tatapan mata Adrianna sendu.

Keduanya terdiam. Hening sejenak.

"Banyak sekali kasus yang menimpa anak-anak dan juga perempuan, beberapa diantaranya bahkan harus meregang nyawa. Jujur, aku sangat ketakutan." Lanjut Adrianna.

"Ya, anak-anak dan perempuan selalu jadi korban. Kaum rentan." Sonya mengangguk.

"Karena itulah aku mendirikan Yayasan ini. Walaupun anakku sendiri belum ditemukan, setidaknya aku bisa ikut membantu mereka yang mengalami hal sama. Kehilangan yang sangat kau cintai benar-benar menyakitkan. Luka itu tidak akan pernah bisa sembuh!" Adrianna menarik nafas panjang.

"Eksploitasi anak sudah terlalu lama dibiarkan. Tidak banyak perhatian pada hal itu. Jadi, setidaknya kita bisa membantu mencegahnya!" Adrianna menatap kosong ke atas tumpukan dokumen.

"Benar kau mencariku?" Tiba-tiba suara bariton bertanya.

Kedua wanita itu terlonjak kaget. Menatap sesosok pria bertubuh tinggi menjulang seperti pemain basket, berkulit terang, memakai celana jeans dan mantel hitam selutut. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku, topi yang dipakainya sedikit menutupi wajahnya.

"Kau... Kau ini siapa?" Adrianna gugup, sedangkan Sonya pindah posisi di sebelah Adrianna dengan tubuh gemetar.

Pria itu mengunci pintu. Menutupi jalan keluar bagi kedua wanita yang berada dalam satu ruangan yang sama. Melangkah perlahan mendekati keduanya.

Pria itu menarik kursi dihadapan Adrianna. Tanpa disuruh, pria itu duduk disana. Adrianna dan Sonya ketakutan, keduanya berpegangan tangan sambil gemetar.

Pria itu membuka topinya.

"Bukankah kau, yang mencariku via media sosial, Nyonya?" Pria itu menatap tajam kepada Adrianna.

Adrianna membelalakan matanya. Terdiam sambil berpikir untuk beberapa saat, kedua matanya membesar.

"kau…apakah kau Si Kucing Hitam itu?" Adrianna tergagap.

"Ya!" Pria itu menjawab singkat.

Adrianna dan Sonya melongo. Pria yang dicarinya selama ini tiba-tiba muncul dihadapannya tanpa disangka-sangka.

Sonya merasa bingung sekaligus takut, padahal dia merasa sudah mengunci pintu saat tadi Toni keluar tadi. Bagaimana pria ini bisa melewati keamanan? Wajah Sonya pucat.

Adrianna tidak menyangka. Selama ini, Adrianna membayangkan sosok Si Kucing Hitam adalah seseorang yang bertubuh tinggi kekar dengan raut wajah garang dan kasar khas pembunuh bayaran. Tapi, pria dihadapannya menghancurkan ekspektasinya.

Wajah pria ini halus dan tampan. Hidungnya yang mancung terukir indah, bibirnya penuh seperti kelopak bunga. Penampilannya bersih dan rapi. Raut wajahnya nampak lembut dan ramah. Tetapi tidak bisa dipungkiri, sorot matanya yang tajam, menunjukkan bahwa dia punya aura mematikan.

"Sonya, kau … duduklah di sana!" Kata Adrianna kepada Sonya setelah berhasil menenangkan dirinya. Sonya dengan patuh pindah dan duduk di meja yang satunya lagi. Tangannya masih gemetar.

Adrianna perlahan duduk kembali dikursinya setelah beberapa saat mengatur nafasnya.

"Maaf!" Kata Adrianna.

"Aku Adrianna Miller!" Adrianna memperkenalkan diri.

"Aku sudah tahu!" Jawab Si Kucing Hitam singkat.

Adrianna memberanikan diri menatap pria dihadapannya. Deggh! Adrianna terpaku. Sorot matanya yang dingin berbanding terbalik dengan senyum di wajahnya. Adrianna merasa agak ngeri juga.

"Ya, benar. Aku mencarimu selama ini!" Jawab Adrianna.

"Aku di sini, bicaralah! " Pria yang dijuluki Si Kucing Hitam mengangguk.

Adrianna juga mengangguk mengiyakan.

"Aku butuh bantuanmu!" Jawab Adrianna, belum berhasil mengatasi kegugupannya.

"Aku bukan sukarelawan!" Jawab pria itu dingin.

"Aku akan membayarmu!" Jawab Adrianna.

"Mempekerjakan aku, akan beresiko besar untukmu, Nyonya! Apa kau sudah memikirkan konsekuansinya?" Senyum pria itu merekah. Efeknya sungguh membuat Adrianna bergidik takut.

"Aku sudah tahu!" Jawab Adrianna.

"Kau berani juga, Ya?" Si Kucing Hitam mendekatkan diri ke meja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Joe Mondego

    Ben menutup teleponnya. Suara yang sekian lama dirindukannya menghilang seketika.Senja berwarna jingga keemasan, menyilaukan sejauh mata memandang. Ben menghela nafasnya. Dia benar-benar jenuh dengan keadaan ini.Rumah tangganya baik-baik saja. Namun, tetap saja Ben selalu merasa ada yang kurang. Ada bagian kosong dalam hidupnya. Kehampaan yang lahir dari rasa kehilangan.Ben kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, Adrianna dan Brian putranya. Rasa bersalah selalu menghantuinya.Ben tenggelam dalam lamunannya. Sudah jam pulang, para karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Ben membereskan tasnya, kemudian bergegas keluar dari kantor.Jalanan ibukota selalu macet di jam pulang kantor. Ben menghentikan mobilnya di sebuah stadion olahraga, dia membeli minuman dingin dan menikmati senja seorang diri.Dulu, tempat ini jadi tempat favoritnya Adrianna yang senang nongkrong sambil bermain bersepeda. Masa muda mereka memang menyenangkan. Sederhana, namun mengesankan. Tidak pernah memb

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Joe Mondego

    Ben menutup teleponnya. Suara yang sekian lama dirindukannya menghilang seketika.Senja berwarna jingga keemasan, menyilaukan sejauh mata memandang. Ben menghela nafasnya. Dia benar-benar jenuh dengan keadaan ini.Rumah tangganya baik-baik saja. Namun, tetap saja Ben selalu merasa ada yang kurang. Ada bagian kosong dalam hidupnya. Kehampaan yang lahir dari rasa kehilangan.Ben kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, Adrianna dan Brian putranya. Rasa bersalah selalu menghantuinya.Ben tenggelam dalam lamunannya. Sudah jam pulang, para karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Ben membereskan tasnya, kemudian bergegas keluar dari kantor.Jalanan ibukota selalu macet di jam pulang kantor. Ben menghentikan mobilnya di sebuah stadion olahraga, dia membeli minuman dingin dan menikmati senja seorang diri.Dulu, tempat ini jadi tempat favoritnya Adrianna yang senang nongkrong sambil bermain bersepeda. Masa muda mereka memang menyenangkan. Sederhana, namun mengesankan. Tidak pernah memb

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Pengakuan Cinta

    Adrianna kaget ketika Ben menelepon. Matanya membelalak sempurna, mulutnya menganga. Toni yang melihatnya juga sama terkejutnya."Ya, hallo!" Adrianna gugup menyapa Ben. Matanya melirik kepada Toni yang sedang mengamatinya."Hallo Adrianna, bagaimana kabarmu?" tanya Ben. Pria itu berpura-pura tidak gugup dan berdebar, seolah-olah tidak terjadi apapun."Aku baik, ada apa kau meneleponku?" "Beberapa hari lagi aku ada keperluan ke dekat tempat tinggalmu. Aku ingin bertemu, ada yang harus kubicarakan secara langsung denganmu." kata Ben dari seberang sana.Adrianna, hatinya masih merasa marah dan kecewa pada Ben."Apa tidak bisa lewat telepon saja? Bukankah kita sepakat, bahwa kita akan bertemu ketika aku sudah menemukan Brian? tanya Adrianna. Baginya, berusaha menghindar sepertinya lebih baik untuk kebaikannya."Adrianna, jika aku bisa membicarakannya lewat telepon, maka aku tidak akan meminta bertemu denganmu." Ben menjelaskan alasannya."Euhh, baiklah. Kabari saja tempatnya jika kau su

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Pria Yang Tepat Untukmu

    52"Iya, aku sekarang sendirian." jawab Duncan sambil menyeruput kopinya."Wanita itu meninggalkanku. Lagi pula, sudah terlalu banyak kejahatannya yang tidak bisa lagi kutolelir. Aku tidak sanggup lagi," sahut Duncan dengan suara getir."Aku turut berduka." ujar Adrianna."Yeah, is too bad." Toni ikut berkomentar.Jay hanya diam mendengarkan. Ponselnya berbunyi Bip. Jay membaca pesan yang masuk ke ponselnya."Aku harus pergi. Nanti kukabari lagi." katanya setelah mematikan ponsel. Jay beranjak dari kursi dan mengecup kening Adrianna."Baiklah. Hati-hati!" sahut Adrianna dengan wajah penasaran. Adrianna mengantarnya ke pintu. Dalam sekejap, Jay menghilang dengan meninggalkan suara bising motor dan asap knalpot."Terima kasih atas makanannya." kata Duncan."Senang rasanya bisa makan sama-sama. Aku bosan makan sendirian terus." keluh Duncan."Ya, aku paham soal itu. Aku juga pernah seperti itu," Adrianna mengangguk."Untung ada Toni dan Sonya, jadi aku tidak kesepian. Mereka berdua sudah

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Demi Keamanan

    "Ya Tuhan, Sonya! Toni!" Adrianna memeluk Sonya setelah Jay menemukan mereka dan membawanya ke rumah Adrianna."Madam, hwaaaa…!" Sonya tak kuat menahan tangis."Kami baik-baik saja sekarang." Toni menenangkan dan memeluk kedua wanita yang sudah dianggapnya keluarga sendiri itu."Aku benar-benar khawatir pada kalian. Hiks hiks." Adrianna masih terisak."Sudah, sudah! Ayo, kau istirahatlah! Aku akan membuatkan makanan untuk kalian. Kalian pasti lapar!" Adrianna memandang Tonk yang terlihat kuyu dan depresi.Mereka duduk di ruang tengah, Adrianna ke dapur dan menyiapkan bahan seadanya untuk di masak. Sonya mengikutinya. Wajah gadis itu masih pucat dan muran."Kubantu!" kata Sonya walau masih dengan suara yang serak karena habis menangis."Bikin kopi saja, biar aku yang masak. Cuma sedikit, kok!" ujar Adrianna sambil memasukan wortel dan kacang polong beku ke dalam panci, disusul potongan sosis dan daging ayam."Baiklah!" Sonya lalu membuat kopi memakai mesin yang ada. Dia juga memeriksa

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Berbanding Terbalik

    "Tenangkan dirimu!" Jay membujuk Toni yang frustasi dengan apa yang barusan terjadi pada Sonya dan dirinya."Kubilang aku akan membunuh bajingan itu!" mata Toni nyalang."Baik, aku tidak akan menghalangi!" Jay mengangkat kedua bahunya."Sonya, bersihkan dirimu, baru kita bicara!" Jay perlahan keluar dari kamar.Toni terhenyak. Noda darah memanjang ke pintu keluar. Collin sudah menyeret mayat Bob dan juga tubuh Mark. Entah orang itu masih hidup atau tidak.Cepat-cepat Sonya masuk kamar mandi dan menguncinya. Sonya menangis meratapi nasibnya. Berkali-kali Sonya mencuci muka dan mulutnya. Sonya merasa mual ingat bagaimana dia diperlakukan sebelumnya.Sebelumnya, Jay menjalankan mobilnya sesuai dengan petunjuk GPS. Jay mengejar penculik setelah Adrianna menghubunginya berkali-kali dan mengabarkan kejadian yang menimpa Toni dan Sonya.Saat mengangkat telepon, Jay mempersilakan Adrianna untuk menceritakan semuanya. Adrianna segera menceritakan yang terjadi, mulai dari kepergian Toni dan Son

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status