Betapa terkejutnya Gietta saat membaca isi surat tersebut. Gietta benar-benar tidak menyangka bahwa bahasa yang digunakan dalam surat tersebut begitu menyentuh hatinya.
"Apa ini, Briell? Kenapa isinya begini," kata Gietta.
Briella tersenyum dengan gamblang. Ia kemudian duduk di sebelah Gietta. Briella menyentuh tangan Gietta dan lekas digenggamnya.
"Itu tulisan dari sepupuku, Giett. Dia menyukaimu sejak lama," ucap Briella.
Wajah Gietta langsung berubah seketika menjadi kaku. Ia menengok ke arah Briella dan memandanginya dengan datar.
"Apa kamu mau menerima dia sebagai pacarmu, Giett?" tanya Briella.
Sontak saja pandangan mata Gietta langsung beralih ke arah Aden. Lelaki yang tadinya sempat membuat jantungnya berdebar itu kini sedang memasang wajah acuh.
"Bagaimana mungkin aku menerima sepupumu, Briell? Hatiku saja sudah tertambat pada seseorang," ujar Gietta.
Dengan ekspresi yang terkejut, Briella menaikkan alisnya. Ia tak menyangka ternyata Gietta sudah jatuh hati kepada orang lain. Sontak saja Briella langsung mengatupkan bibirnya dan memasang senyum kecut.
"Kau sudah temukan tambatan hati? Siapa dia?" tanya Briella.
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Briell. Biarlah dia menjadi sosok misterius yang istimewa," kata Gietta.
Briella langsung menganggukkan kepalanya. Alih-alih setuju dengan perkataan Gietta, Briella masih penasaran dengan sosok yang bisa menyabet hati temannya tersebut.
Briella pun memandangi wajah Gietta. Berusaha untuk mencari petunjuk lewat tatapan mata Gietta. Namun sayangnya, Gietta malah segera beranjak berdiri.
"Briel, aku rasa sudah tidak ada lagi yang ingin aku sampaikan. Biarkan aku pulang terlebih dahulu ya," ujar Gietta berpamitan pada Briella.
Briella pun mengangguk setuju. Ia lekas berdiri dan memegangi tangan Gietta. Ditatapnya wajah manis milik Gietta seraya tersenyum.
"Iya, terima kasih sudah mau menjengukku, Giett. Kamu memang teman yang baik," kata Briella.
"Tidak masalah, Briel. Selamanya kamu temanku," ucap Gietta.
Briella pun menghambur ke dalam pelukan Gietta. Kini mereka berdua saling berpelukan. Saat Briella tak menyadari, Gietta tiba-tiba saja memandang ke arah Aden.
Ia tersenyum malu-malu dengan pipi yang merona merah. Tampaknya wajah tampan Aden mampu membuat hati Gietta berdesir.
"Sudah ya, Briell. Aku pulang dulu," kata Gietta.
"Ya, hati-hati di jalan," ucap Briella.
Gietta menyengguk seraya tersenyum kepada Briella. Sesekali ia mengarahkan pandangannya ke arah Aden. Setelahnya baru Gietta pergi. Kini tinggallah Aden berdua dengan Briella.
Aden menatap ke arah Briella yang sedang merajut. Tampaknya Briella sedang acuh akan keberadaan Aden. Aden pun hanya bisa berdecak sebal.
"Briel, segitu asyiknya kah kamu sampai mengabaikan aku di sini," kata Aden.
"Lagian kamu bukannya sibuk sama para perempuan seperti biasanya, eh sekarang malah masih di sini," sindir Briella.
"Kamu masih marah perkara itu, Briel?" tanya Aden.
"Aku tidak marah, Aden. Aku tahu kau memang lelaki buaya," kata Briella.
Aden mencebik lantaran mendengar perkataan Briella yang mengatainya buaya. Sesekali Aden memandangi wajah Briella yang ayu, lalu dia meringis.
"Bisa-bisanya kau menyebut lelakimu sendiri dengan sebutan buaya," ujar Aden.
Briella tak menggubris perkataan Aden, ia kembali melanjutkan aktivitasnya untuk merajut. Melihat Briella yang sedang asyik sendiri, Aden pun langsung merasa sebal.
"Buatkan aku minuman, Briell. Aku haus," ucap Aden.
"Kau kan bisa buat minuman sendiri," ujar Briella.
Tak banyak basa-basi lagi, Aden pun langsung merenggut rajutan yang dikerjakan oleh Briella. Menyaksikan rajutannya yang diambil, Briella pun marah seketika.
"Kamu apa-apaan sih, Aden. Kembalikan!" seru Briella.
"Tidak, sampai kau membuatkan aku minuman," kata Aden.
Briella mengembuskan napas panjangnya. Ia menatap kaku ke arah wajah Aden yang tampak sebal. Kini Briella hanya bisa berpasrah saja.
"Minuman apa yang kau ingin?" tanya Briella pada akhirnya.
"Buatkan aku es jeruk. Secepatnya," pungkas Aden.
"Baiklah, baik. Akan aku buatkan," ujar Briella.
Selepasnya Briella langsung masuk ke dalam. Ia menuju dapur dan segera membuatkan es jeruk untuk Aden. Briella tampak terampil dalam membuatkan minuman untuk calon suaminya tersebut.
"Ini es jeruk untukmu, Aden," kata Briella.
Tanpa basa-basi lagi, Aden segera menegak es jeruk buatan Briella. Setelah hilang dahaganya, barulah Aden menatap ke arah Briella.
"Ada yang aneh, Briel. Dengan temanmu itu," kata Aden.
Kening Briella mengerut seketika. Tampak penasaran dengan kata-kata Aden. Briella pun lekas duduk di dekat Aden dan mencondongkan tubuhnya ke arah calon suaminya tersebut.
"Siapa? Si Gietta?" tanya Briella.
"Ya. Itulah dia. Gietta. Dia aneh. Sedari tadi terus memandangiku," kata Aden.
Kernyitan di dahi Briella semakin dalam. Ia mencoba memikirkan maksud dari kata-kata Aden.
"Itu hanya perasaanmu saja kali, Aden!" bantah Briella.
"Tidak, Briell. Ini serius. Dia memandangiku lama sekali. Sampai-sampai aku merasa risih dilihatnya," kata Aden.
"Mungkin dia memandangimu karena kau tampan saja. Tidak ada maksud lain," tukas Briella.
Briella masih berpikir positif kepada sahabatnya, Gietta. Dalam batin Briella, Gietta tidak mungkin menaruh rasa suka pada Aden.
"Bagaimana jeruknya? Apa manis?" tanya Briella.
"Ya lumayan. Bisa menghilangkan rasa hausku," kata Aden.
Belum sampai mereka selesai bercakap-cakap, ponsel Aden telah berbunyi nyaring. Aden segera mengangkatnya dan meninggalkan Briella sendiri.
Setelah cukup lama menerima telepon, Aden kembali menuju Briella. Lekas duduklah Aden di sebelah Briella.
"Aku harus pergi ke kantor dulu, Briell. Apa kamu mau kuantar ke toko kue untuk menjalankan bisnismu?" tanya Aden.
"Tidak. Aku ikut denganmu saja," ucap Briella.
"Baiklah. Ayo pergi sekarang," ujar Aden.
Aden mengulurkan tangannya yang kemudian disambut dengan Briella. Mereka berdua berpegangan tangan selayaknya sepasang kekasih. Aden segera membukakan pintu mobil untuk membiarkan Briella masuk.
Setelah itu, Aden mengendarai mobilnya menuju ke kantor. Setibanya di sana, Aden dan Briella langsung masuk ke dalam. Mereka pun disambut dengan ramah oleh para karyawan perusahaan Aden.
"Selamat siang, Tuan muda," sapa mereka.
"Siang. Bagaimana urusan kantornya? Apa berjalan dengan lancar?" tanya Aden.
"Ada sedikit kendala, Tuan," ujar salah seorang karyawan.
Aden mengernyit. Belum sampai bibirnya berucap, kedatangan seorang wanita berambut hitam legam menyita perhatiannya. Wanita itu segera berjalan menuju Aden dan mencium pipi kanannya.
"Aku sudah lama menunggumu di sini. Kenapa baru datang!" seru wanita tersebut.
Briella yang menyaksikan itu langsung menaikkan sebelah alisnya. Ia kaget lantaran ada sosok perempuan yang tiba-tiba saja mencium pipi Aden.
"Siapa dia, Aden? Kenapa berani sekali menciummu?" tanya Briella.
"Dia Arunika, Sayang. Perempuan yang kau lihat fotonya di media sosialku," ucap Aden.
"Jadi dia adik perempuanmu itu?" tanya Briella.
"Ya. Lain kali kau jangan terlalu cemburu begitu," ucap Aden.
Briella tidak memberi jawaban lagi. Bibirnya menutup dengan sempurna, meskipun ada perasaan kesal di dalam hati. Sedangkan kedua matanya masih tertuju kepada Aden.
Setelah mendengar kata-kata Aden, Briella bisa bernapas lebih lega. Tadi yang semula dadanya sesak bagaikan terikat oleh ucapan Gietta, kini menjadi leluasa dan ringan.Memang Aden adalah laki-laki yang bisa menjaga diri Briella agar tetap tenang seperti semula. Meskipun kadang Aden dapat membuat Briella merasa ragu akan cintanya karena perbuatan Aden sendiri."Aku juga tidak percaya sepenuhnya kepadamu, Aden. Bukankah kamu ini yang selalu membuatku bimbang dengan ketulusan cintamu," kata Briella."Kamu ini bagaimana sih, Briel. Kita ini sudah bertunangan, tetapi kamu masih meragukan diriku," kata Aden, tidak kalah sengit dari kata-kata Briella."Lalu apa aku harus mempercayai semua ucapanmu itu, Aden?" tanya Briella."Kamu percaya boleh, tidak juga tak masalah. Tapi satu yang perlu kamu ingat, Briel. Bahwa aku telah memilih kamu sebagai pasanganku," kata Aden."Itu tidak ada hubungannya dengan perkara saat ini," ujar Briella.Aden lantas mengalihkan perhatiannya dari Briella. Tatapan
Gietta hanya memasang senyum kaku setelah mendengar perkataan Briella. Terlihat dengan jelas bahwa saat ini teman lamanya itu sedang menunjukkan wajah yang kesal.Tetapi demikian, Gietta tidak tertawa untuk meluapkan perasaan puas yang dia rasakan. Kedua matanya masih tertuju ke Briella dan Aden secara bergantian."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu jengkel, Briel. Tapi apa yang aku katakan memang benar, sekali-kali coba memahami Aden sebelum pasanganmu diambil perempuan lain," kata Gietta."Apa yang kamu bilang, Giet? Aku tidak ingin menentang kata-katamu. Apa yang kurang dariku, aku sudah mengerti Aden lebih dari yang kamu tahu, sudah bersabar untuk setiap kelakuannya," ujar Briella."Mungkinkah benar begitu? Ketika kulihat kamu dan Aden hampir setiap hari bertengkar karena masalah yang tidak terlalu penting," kata Gietta."Sebab aku ini jengkel, Giet. Kamu tahu tidak, kalau Aden ini terlalu menyepelekan perempuan-perempuan yang menyukai dia. Tentu semua gosip yang beredar tentang
Setelah mengetahui apa yang dikatakan Aden adalah agar dirinya dapat mempersiapkan diri, Briella membulatkan mata. Tidak menyangka sedikitpun bahwa akan ada masa di mana mereka berdua tidak dapat menghabiskan waktu bersama.Briella sama sekali tidak menduga bahwa Aden memilih untuk menyibukkan diri di kantor, ketimbang bersamanya. Karena itulah, saat ini Briella hampir tidak akan menerima alasan apapun yang akan diucapkan Aden padanya."Jadi begitu kamu sekarang, Aden. Kamu lebih memilih untuk tidak menyisakan sedikitpun waktu bersamaku," kata Briella."Bukan begitu, Briell. Aku mendapat tugas untuk memeriksa seluruh perkembangan di kantorku. Tidak mungkin aku mengabaikan urusan penting semacam ini," kata Aden, menjelaskan yang terjadi sesungguhnya kepada sang tunangan.Meskipun Briella sudah mendengar alasan yang dikatakan Aden adalah benar, tetap saja hati perempuan itu tidak mau menerima. Rasanya dia masih tidak terima jika jatah waktu untuk bersama sang kekasih menjadi berkurang.
Gietta mengangguk, tetapi dalam hatinya enggan untuk menggubris kata-kata Briella. Kedua matanya menjelajah ke seisi ruangan, seolah tidak bisa diam."Padahal aku sangat menantikan kedatangan Aden, Briel," kata Gietta."Kamu tunggu saja. Pasti nanti dia datang kemari," balas Briella.Gietta kemudian menunduk. Tangannya lekas menyodorkan sebungkus oleh-oleh yang sedari tadi dibawanya."Ini ada kue krim keju untukmu, Briel. Aku tadi sengaja mampir ke toko kue untuk membelikan ini," kata Gietta.Briella memandang ke arah bungkusan kue yang disodorkan Gietta. Tanpa banyak bicara, Briella pun lekas menerima bingkisan kue tersebut."Duduklah, Giet. Akan aku buatkan teh lemon untukmu," kata Briella.Gietta mengangguk setuju. Ia lantas duduk di sofa yang berada tidak jauh di belakangnya. Briella tersenyum, sesaat kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.Ketika sampai di dapur, Briella membuka lemari pendingin dan mengambil racikan teh. Tangannya yang ramping dengan terampil meracik semua baha
Mata Sandera mengekor pada kepergian Briella yang langsung masuk ke dalam kamar. Sandera hanya bisa menghela dengan kasar. Masih saja anak gadisnya satu itu tidak terketuk hati untuk segera melangsungkan pernikahan.Sandera berdiri dan menyusul Briella. Setelah tiba di depan pintu kamar Briella yang tertutup, Sandera mengetuk pintunya."Bukakanlah, Briel. Jangan membantah mama seperti ini," kata Sandera setengah berteriak agar Briella mendengar.Sandera masih mengetuk pintu kamar Briella. Hingga beberapa menit berlalu, Briella pun terusik dan membuka pintu kamarnya."Mari kita bicara. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan berdua," ujar Sandera.Meskipun awalnya Briella keberatan dan ingin menolak ajakan mamanya, tetapi Sandera langsung menarik lengan Briella. Inilah yang membuat Briella tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan mamanya.Sandera mengajak Briella untuk duduk di tepi ranjang. Meskipun tampaknya wajah Sandera sangat tegas dan terlihat seolah akan membicarakan h
"Perihal nikahan kalian berdua," ucap Sandera.Sekejap saja Aden membelalakkan matanya. Tiada angin tak ada hujan, tiba-tiba Sandera menanyakan tentang pernikahan mereka.Wajar saja jika Aden kaget. Dia lantas menatap kaku ke arah Briella yang sama kagetnya dengan dirinya."Pernikahan kami, Ma?" tanya Briella."Ya. Nikahan kalian. Bagaimana? Apa sudah terencana?" tanya Sandera.Briella spontan langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Aden dan menatap calon suaminya tersebut. Briella menggeleng pelan."Kami masih belum ada rencana ke sana, Tante," ucap Aden."Bagaimana bisa? Kalian kan sudah lama bertunangan. Masa iya belum merencanakan pernikahan sama sekali," kata Sandera.Aden langsung terdiam seketika. Bibirnya menutup rapat sama seperti Briella. Tampaknya Aden dan Briella sama sekali tidak menyangka jika Sandera akan menanyakan tentang hal ini."Kalau kalian belum merencanakannya, mari kita bicarakan. Kebetulan Mama ada waktu senggang untuk kalian," kata Sandera.Aden menggaruk kepala