"Wajar jika aku cemburu, Aden! Aku ini calon istrimu," ujar Briella.
"Tapi, Briell. Dia adikku. Masa iya kamu cemburu ke adik perempuanku," kata Aden.
Briella lantas terdiam seketika usai mendengar perkataan Aden. Ia kemudian memandang ke arah wanita yang ada di depannya tersebut. Menurut informasi dari Aden, wanita yang ada di depannya itu adalah Arunika.
"Jadi kau yang bernama Arunika?" tanya Briella.
"Benar. Kakak ini apa tunangannya kak Aden?"
Kini giliran Arunika yang bertanya. Arunika mengernyitkan dahi. Sepertinya baru pertama kali ini mereka saling ketemu. Briella pun lekas mengangguk.
"Ya. Aku adalah calon istrinya Aden," jawab Briella.
Bukan main senangnya Arunika bertemu dengan calon istri Aden. Ia langsung memagut senyum culas di bibirnya. Arunika segera mengulur tangannya, mengajak Briella untuk bersalaman.
"Arunika Darma. Adik perempuan Aden Sandero," kata Arunika.
Tanpa ragu-ragu lagi Briella menjabat tangan Arunika. Ia membalas uluran tangan Arunika dan mengayun-ayunkan tangannya. Kini mereka berdua saling berkenalan.
"Tapi aku tidak pernah melihatmu selama ini. Kau adik Aden yang mana?" tanya Briella.
"Kau saja yang terlalu cemburu. Selama ini aku tinggal di luar negeri. Pastinya tidak ada waktu untuk menjengukmu dan Aden," kata Arunika.
Briella langsung merengut. Ia mengerucutkan bibirnya dan memasang muka yang kesal. Mengetahui wajah masam Briella, Aden pun langsung tertawa.
"Sudah kenalannya? Aku akan ajak Briella untuk ke ruanganku. Ada sesuatu yang mesti kita bahas berdua saja," kata Aden.
Arunika hanya mengangguk. Sepertinya dia enggan untuk berkata-kata panjang di depan Briella. Wajah angkuhnya menghias di paras Arunika yang manis.
"Aku tinggal dulu ya. Have a good day di sini," kata Aden.
Setelah mengakhiri percakapan, Aden segera mengajak Briella ke ruangannya. Sesampainya di dalam ruangan, Aden mempersilakan Briella untuk duduk di kursi kerjanya.
Tak lama setelahnya, datanglah seorang karyawan yang membawakan sebuah map berwarna biru kepada mereka. Aden lantas menerimanya dan memeriksanya.
Kemudian dia menatap kepada Briella. Briella yang tampak tenang-tenang saja langsung mengarahkan pandangannya ke arah Aden.
"Kau tahu, Briell. Keahlianmu untuk menganalisa data sangat diperlukan di sini," ucap Aden.
"Ya, lantas? Apa aku harus bekerja satu atap denganmu juga?" ujar Briella.
"Coba kamu pikirkan baik-baik, Briel. Bersama, kita bisa membangun perusahaan ini," bujuk Aden.
Mendengar bujukan Aden, Briella lekas berdecak. Ia sudah muak dengan perkataan Aden yang menyuruhnya untuk bekerja sama dengan perusahaannya.
"Aku tidak suka bekerja kantoran, Aden. Kau pun tahu akan hal itu," balas Briella.
"Ya. Tapi daripada kau menjalankan bisnis roti kuemu itu, apa tidak lebih baik jika kau bekerja di sini saja denganku?" ucap Aden.
Aden memang sengaja melemparkan pertanyaan kepada Briella. Sengaja untuk memancing Briella berpikir. Tidak sia-sia, sebab kini dahi Briella pun berkernyit. Seolah menandakan Briella sedang menimang keputusan.
"Aku lebih senang bekerja di toko kue dibanding menjadi penganalisa datamu," ujar Briella.
"Aduh, Briel. Keputusan yang salah. Siapa pun orangnya akan lebih memilih untuk bekerja di kantoran sepertiku," kata Aden.
Bibir Briella mengerucut. Perkataan Aden terasa mengganjal di hatinya. Dadanya bergemuruh ingin menolak perkataan Aden.
"Apa kau lupa sepasang kekasih tidak diperbolehkan untuk bekerja dalam satu perusahaan?" ujar Briella.
"Itu bisa dipertimbangkan. Lagipula aku yang menjadi pemimpin di perusahaan ini," kata Aden.
"Tidak. Aku tak setuju," ucap Briella.
Aden hendak mendekati Briella, namun langkahnya terhenti karena dia mendengar pintu dibuka. Begitu kagetnya Aden melihat kedatangan Gietta di ruangannya.
Aden pun mengerutkan keningnya. Lantas dia naikkan sebelah alisnya, seolah merasa tidak senang dengan kedatangan Gietta.
"Maaf mengganggu kalian. Aku kemari hanya untuk membawakan sekotak brownies untuk Aden," kata Gietta.
"Brownies?" ucap Briella.
Briella pun lekas memalingkan perhatiannya kepada Aden. Kening Briella sama berkerutnya dengan Aden.
"Sejak kapan kau suka brownies?" tanya Briella.
"Taruh saja di meja. Terima kasih untuk kirimannya," kata Aden tanpa menggunakan basa-basi sama sekali.
Sesuai intruksi, Gietta pun lekas menaruh sekotak brownies di atas meja Aden. Sayangnya Gietta tidak segera pergi dari tempatnya. Ia malah berdiri mematung sambil memandang ke arah Aden.
"Kenapa lagi, Giett? Kenapa masih ada di situ?" tanya Briella.
"Oh, aku ... Aku hanya ingin melihat kalian bermesraan saja. Tidak usah pedulikan aku," kata Gietta.
"Kami tidak bermesraan sekarang," ujar Aden.
Aden lantas memandang ke arah Briella sekilas. Pandangannya kemudian beralih menuju Gietta. Aden pun berdecak kasar.
"Sebab ada kamu di sini," ucap Aden.
"Aden! Jangan kasar begitu," desis Briella.
"Memang benar kan, Sayang? Karena ada temanmu, percakapan kita jadi berhenti," kata Aden membela diri.
Briella segera menjauh dari Aden. Ia kemudian menghampiri Gietta, teman lamanya. Briella merengkuh tangan Gietta dan menggenggamnya dengan lembut.
"Jangan pedulikan kata Aden, Giet. Dia sedikit tersinggung akhir-akhir ini," kata Briella.
"Tidak masalah. Aku akan pergi sekarang," ucap Gietta.
Gietta segera melepas genggaman tangan Briella. Ia pun melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan ruangan Aden. Sepeninggal Gietta, Briella hanya tercengang di tempatnya berdiri.
Menyadari Briella yang terpaku dalam posisinya, Aden langsung menghampiri Briella. Ditepuknya pundak Briella dengan lembut. Begitu Briella menoleh, Aden langsung menjatuhkan Briella ke dalam pelukannya.
"Kita lanjutkan obrolan kita, Briel. Tidak baik berhenti di tengah," kata Aden.
Briella melepaskan pelukan Aden. Ia kemudian berjalan kembali ke kursi kerjanya dan mendudukinya. Aden menyusul Briella kemudian.
"Kau harus bekerja di sini, Briel. Perusahaan ini butuh tenaga dan keahlianmu," ujar Aden.
Briella tampak diam tak menjawab. Tak hanya itu, bahkan tatapannya sama sekali tak fokus kepada Aden. Sepertinya pikiran Briella tidak di sini. Tidak dalam percakapan ini.
"Briel? Kau dengar ucapanku?" tanya Aden.
Aden mengguncang tubuh Briella yang membuatnya tersadar. Briella pun lekas menoleh dan menatap wajah Aden. Sesaat kemudian, Briella melepaskan tangan Aden dari pundaknya.
"Kurasa Gietta menaruh perhatian padamu, Aden. Apa mungkin dia menyukaimu?" tanya Briella.
Mendengar pertanyaan Briella yang terkesan menggemaskan hati, Aden lantas berdecak. Dia kemudian terkekeh.
"Lagi-lagi kamu menuduh orang lain menyukaiku, Briel. Mana mungkin Gietta temanmu sendiri menyukai diriku," kata Aden.
"Lalu untuk apa dia kirimkan brownies kepadamu?" tanya Briella.
"Untuk makan siang, mungkin? Siapa tahu juga," kata Aden.
Melihat kerutan di dahi Briella, Aden langsung tersenyum. Dia kemudian mengelus rambut Briella dan membenahi rambutnya yang berantakan.
"Jangan terlalu dipikirkan, Briel. Lagipula aku tidak menyukai brownies," ucap Aden.
Aden lalu melepaskan tangannya. Dia beralih pandang menuju ke arah brownies yang ada di atas meja. Lantas diambilnya dan diberikan kepada Briella.
"Untukmu saja," ujar Aden, dengan jawaban singkat.
Setelah mendengar kata-kata Aden, Briella bisa bernapas lebih lega. Tadi yang semula dadanya sesak bagaikan terikat oleh ucapan Gietta, kini menjadi leluasa dan ringan.Memang Aden adalah laki-laki yang bisa menjaga diri Briella agar tetap tenang seperti semula. Meskipun kadang Aden dapat membuat Briella merasa ragu akan cintanya karena perbuatan Aden sendiri."Aku juga tidak percaya sepenuhnya kepadamu, Aden. Bukankah kamu ini yang selalu membuatku bimbang dengan ketulusan cintamu," kata Briella."Kamu ini bagaimana sih, Briel. Kita ini sudah bertunangan, tetapi kamu masih meragukan diriku," kata Aden, tidak kalah sengit dari kata-kata Briella."Lalu apa aku harus mempercayai semua ucapanmu itu, Aden?" tanya Briella."Kamu percaya boleh, tidak juga tak masalah. Tapi satu yang perlu kamu ingat, Briel. Bahwa aku telah memilih kamu sebagai pasanganku," kata Aden."Itu tidak ada hubungannya dengan perkara saat ini," ujar Briella.Aden lantas mengalihkan perhatiannya dari Briella. Tatapan
Gietta hanya memasang senyum kaku setelah mendengar perkataan Briella. Terlihat dengan jelas bahwa saat ini teman lamanya itu sedang menunjukkan wajah yang kesal.Tetapi demikian, Gietta tidak tertawa untuk meluapkan perasaan puas yang dia rasakan. Kedua matanya masih tertuju ke Briella dan Aden secara bergantian."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu jengkel, Briel. Tapi apa yang aku katakan memang benar, sekali-kali coba memahami Aden sebelum pasanganmu diambil perempuan lain," kata Gietta."Apa yang kamu bilang, Giet? Aku tidak ingin menentang kata-katamu. Apa yang kurang dariku, aku sudah mengerti Aden lebih dari yang kamu tahu, sudah bersabar untuk setiap kelakuannya," ujar Briella."Mungkinkah benar begitu? Ketika kulihat kamu dan Aden hampir setiap hari bertengkar karena masalah yang tidak terlalu penting," kata Gietta."Sebab aku ini jengkel, Giet. Kamu tahu tidak, kalau Aden ini terlalu menyepelekan perempuan-perempuan yang menyukai dia. Tentu semua gosip yang beredar tentang
Setelah mengetahui apa yang dikatakan Aden adalah agar dirinya dapat mempersiapkan diri, Briella membulatkan mata. Tidak menyangka sedikitpun bahwa akan ada masa di mana mereka berdua tidak dapat menghabiskan waktu bersama.Briella sama sekali tidak menduga bahwa Aden memilih untuk menyibukkan diri di kantor, ketimbang bersamanya. Karena itulah, saat ini Briella hampir tidak akan menerima alasan apapun yang akan diucapkan Aden padanya."Jadi begitu kamu sekarang, Aden. Kamu lebih memilih untuk tidak menyisakan sedikitpun waktu bersamaku," kata Briella."Bukan begitu, Briell. Aku mendapat tugas untuk memeriksa seluruh perkembangan di kantorku. Tidak mungkin aku mengabaikan urusan penting semacam ini," kata Aden, menjelaskan yang terjadi sesungguhnya kepada sang tunangan.Meskipun Briella sudah mendengar alasan yang dikatakan Aden adalah benar, tetap saja hati perempuan itu tidak mau menerima. Rasanya dia masih tidak terima jika jatah waktu untuk bersama sang kekasih menjadi berkurang.
Gietta mengangguk, tetapi dalam hatinya enggan untuk menggubris kata-kata Briella. Kedua matanya menjelajah ke seisi ruangan, seolah tidak bisa diam."Padahal aku sangat menantikan kedatangan Aden, Briel," kata Gietta."Kamu tunggu saja. Pasti nanti dia datang kemari," balas Briella.Gietta kemudian menunduk. Tangannya lekas menyodorkan sebungkus oleh-oleh yang sedari tadi dibawanya."Ini ada kue krim keju untukmu, Briel. Aku tadi sengaja mampir ke toko kue untuk membelikan ini," kata Gietta.Briella memandang ke arah bungkusan kue yang disodorkan Gietta. Tanpa banyak bicara, Briella pun lekas menerima bingkisan kue tersebut."Duduklah, Giet. Akan aku buatkan teh lemon untukmu," kata Briella.Gietta mengangguk setuju. Ia lantas duduk di sofa yang berada tidak jauh di belakangnya. Briella tersenyum, sesaat kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.Ketika sampai di dapur, Briella membuka lemari pendingin dan mengambil racikan teh. Tangannya yang ramping dengan terampil meracik semua baha
Mata Sandera mengekor pada kepergian Briella yang langsung masuk ke dalam kamar. Sandera hanya bisa menghela dengan kasar. Masih saja anak gadisnya satu itu tidak terketuk hati untuk segera melangsungkan pernikahan.Sandera berdiri dan menyusul Briella. Setelah tiba di depan pintu kamar Briella yang tertutup, Sandera mengetuk pintunya."Bukakanlah, Briel. Jangan membantah mama seperti ini," kata Sandera setengah berteriak agar Briella mendengar.Sandera masih mengetuk pintu kamar Briella. Hingga beberapa menit berlalu, Briella pun terusik dan membuka pintu kamarnya."Mari kita bicara. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan berdua," ujar Sandera.Meskipun awalnya Briella keberatan dan ingin menolak ajakan mamanya, tetapi Sandera langsung menarik lengan Briella. Inilah yang membuat Briella tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan mamanya.Sandera mengajak Briella untuk duduk di tepi ranjang. Meskipun tampaknya wajah Sandera sangat tegas dan terlihat seolah akan membicarakan h
"Perihal nikahan kalian berdua," ucap Sandera.Sekejap saja Aden membelalakkan matanya. Tiada angin tak ada hujan, tiba-tiba Sandera menanyakan tentang pernikahan mereka.Wajar saja jika Aden kaget. Dia lantas menatap kaku ke arah Briella yang sama kagetnya dengan dirinya."Pernikahan kami, Ma?" tanya Briella."Ya. Nikahan kalian. Bagaimana? Apa sudah terencana?" tanya Sandera.Briella spontan langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Aden dan menatap calon suaminya tersebut. Briella menggeleng pelan."Kami masih belum ada rencana ke sana, Tante," ucap Aden."Bagaimana bisa? Kalian kan sudah lama bertunangan. Masa iya belum merencanakan pernikahan sama sekali," kata Sandera.Aden langsung terdiam seketika. Bibirnya menutup rapat sama seperti Briella. Tampaknya Aden dan Briella sama sekali tidak menyangka jika Sandera akan menanyakan tentang hal ini."Kalau kalian belum merencanakannya, mari kita bicarakan. Kebetulan Mama ada waktu senggang untuk kalian," kata Sandera.Aden menggaruk kepala