Share

Anakku Yang Malang

Part. 7

*****

Ibu menelpon kak Etha, karena Dinda, tidak siuman dari pingsan. Tak lama kemudian kak Etha datang. Membawa Dinda kerumah sakit.

Dokter dengan sigap menangani, diagnosa awal karena dehidrasi dan kelelahan, Dinda di opname, setelah cek darah dan semuanya bagus, dokter bertanya, kapan menstruasi terakhir, Dinda lupa, karena begitu banyaknya masalah dihadapi. Keesokan harinya Dinda tes urine, hasilnya positif. 

“Selamat bu? Atas kehamilannya,” kata dokter.

Dinda senang, berharap ini awal baru, babak baru, dalam hidup Dinda. Semoga Angga berubah, walau dari kemarin Angga belum menjenguk Dinda.

Ibu selalu menjaga, Dinda sudah menyuruh pulang. Berusaha semaksimal mungkin, tidak merepotkan. 

Senangnya Ibu, Dinda hamil, wajahnya cerah sekali. diusap-usapnya perut Dinda. 

“Selamat nak? Jaga cucu ibu baik-baik.

“Jadikan dia sarjana,” kata ibu.

Dinda tersenyum, digenggamnya tangan ibu. Betapa Dinda sangat menghargai, menghormati, menyayangi ibu mertuanya ini.

“Akan Dinda laksanakan keinginan ibu, untuk menjadikan anak-anak sarjana”.

Tidak akan di abaikan keinginan ibu, Dinda juga akan belajar kuat seperti ibu, kata Dinda dalam hati.

Sore Angga datang, mulutnya sudah bau minuman, sedih sekali rasanya. Punya hati nggak sih! Laki- laki ini! Bagaimana mau menyampaikan kabar bahagia.

Begitu Angga datang, ibu memberitahukan bahwa Dinda hamil. Angga, tidak bereaksi sama sekali, sampai ibu mengulang tiga kali. Tetap Angga tidak bereaksi. Ibu geleng-geleng kepala.

Ada rasa takut, malu sama orang sekitar karena ulah Angga, rasa kasihan sama ibu  di cuekin sama Angga. Berkecamuk jadi satu di hati Dinda.

“Ibu pulang, biar Dinda, Angga jaga.”

“Tenang Bu? Menantu kesayangan ibu, aman bersama sang suami."

"Ibu pulang saja." Ada rasa kuatir pada kesehatan ibu mertua, sudah dua hari tidak pulang kerumah.

Setelah ibu pulang, Angga mulai beraksi. Mulai cari-cari perhatian sama pasien dan perawat.

Selang infus di goyang-goyang, tempat tidur Dinda dinaikin, di turunin, ada saja ulah Angga membuat, orang sekitar kesal.

“Kamu yang hamil, kok ibu bilang ke saya, kamu takut bilang sendiri, karena bayi  itu anaknya Aryo.”

“Pantas kemarin, kalian ketemuan,” kata Angga.”

“Saya nggak mau anak itu, gugurkan,” kata Angga santai.”

Dinda menangis, menjerit, menjadi pusat perhatian orang disekitarnya.

“Tega kamu ya! Disaat sakit, masih menuduh.”

Suster sedari tadi kesal, dengan ulah Angga memanggil Satpam, untuk membawanya keluar. Angga tidak terima diusir, mengancam Dinda.

“Lihat nanti! Perempuan licik,” habis sama gue,” kata Angga sambil ngeloyor pergi berjalan sempoyongan.

Dinda, hanya bisa menangis, malu, sedih jadi satu, ingat mama, papa yang sudah tiada.

Ingat emak, sudah wanti-wanti jangan sama Angga, tapi Dinda ngotot.

*****

Sore kak Etha dan Amel menjenguk Dinda, tak kuasa Dinda menyembunyikan kesedihannya. Untuk cerita pun tidak sanggup. Sampai suster mendatangi kak Etha.

“Bu mohon maaf, jangan suruh orang mabuk nunggu pasien, kasihan yang sakit, dan mengganggu pasien lain.”

“Ya suster. Terima kasih, perhatiannya."

Kak Etha, geram sekali, hanya bisa mengelus dada. Amel memeluk Dinda kelihatan ketakutan sekali.

“Tenang tante, ada Amel disini.”

Dinda menceritakan  tuduhan Angga tentang Aryo, sambil berurai air mata.

“Yang Amel khawatirkan terjadi juga."

Mama selalu menganggap Amel anak kecil,” kata Amel dengan suara meninggi.

“Om nggak akan berubah, nanti kalau ajal menjemput baru insaf,” kata Amel lagi.

“Bilang apa sih kak,” kata Kak Etha pada anaknya.

“Kak, Dinda nggak usah ditunggu, bang Angga jangan ke rumah sakit, ibu juga jangan kesini. Dinda aman, lagian besok sudah boleh pulang.”

“Yakin kamu bisa tinggal.”

Dinda menganggukan kepalanya.

*****

Dinda sudah kembali bekerja, ibu berpesan harus ati-ati, ada perasaan senang, mau punya anak, sekaligus sedih karena Angga tidak mengakui anaknya.

Sambil mengelus-elus perutnya. Dek? Kuat ya, jangan sedih, ada ibu. Kita harus jadi orang kuat seperti oma.

Walaupun tidak mau makan, Dinda memaksakan untuk makan supaya ada asupan gizi masuk.

Badan lelah, tetap pergi, pulang kerja jalan, tidak mau manja-manja seperti pada umumnya ibu ngidam.

Malam itu nggak seperti biasa Angga pulang agak sore, jam dua belas malam, seperti biasa, sudah bau minuman, tapi kali ini tidak terlalu parah, jalannya belum sempoyongan. Angga membawa sebotol besar jamu.

“Din, ini perintah suami ke istri kalau kamu mau rumah tangga kita damai.”

“Minum jamu ini, sampai habis, jangan sampai ada yang tahu, ibu atau siapapun itu. Kalau sampai ada yang tahu, saya nggak akan segan-segan membunuhmu.”

“Jamu apa Bang,” tanya Dinda ketakutan.

“Jamu penggugur kandungan.”

Dinda menutup mulut rapat  dengan kedua tangannya. Bayangan kehilangan anak sudah didepan mata.

“Bang, apapun  Abang minta, akan Dinda turuti, tapi Dinda mohon jangan anak kita.”

“Anak kita …! anakmu sama Aryo, bukan anak saya.” kata Angga teriak.

“Dinda menangis,” Ya Allah selamatkan bayi ini, hanya padamu saya memohon.”

Dinda berdoa. Mukjizat terjadi, Angga tertidur, cepat-cepat Dinda membuang jamu itu kedalam lubang wc, dan menyiramnya dengan banyak air. Botol dikembalikan ke tempatnya lagi.

“Sambil mengelus perutnya, sabar ya dek, kita bisa melewati ini, harus jadi wanita tangguh,” kata Dinda bicara sendiri.

Pagi Angga sudah bangun, ketika dilihatnya botol kosong, raut wajah Angga, begitu puas.

“Gimana reaksinya Din,” kata Angga.

“Perut Dinda sakit bang, mules,” kata Dinda berbohong.

“Nggak apa, sebentar juga sembuh,” kata Angga datar.

“Bang, dosa lho, gugurin kandungan,” pelan Dinda mengucapkan.

“Maaf Din, abang belum siap.”

“Belum siap apa karena abang ragu sama anak ini,” kata Dinda Hati- hati.

“Belum siap Din.”

Angga itu pengecut, bertatap muka saja tidak berani, jika tidak mabuk. Ini saatnya Dinda bicara.

“Dinda bersumpah bang, kalau anak ini bukan anak abang, biar Dinda sama bayi ini mati, waktu melahirkan nanti.”

Angga menutup mulut Dinda. Dipeluknya Dinda erat.

“Maaf kan abang Din, sudah melukai hatimu, tapi memang abang belum siap, abang belum kerja.

Dinda tetap pada pendiriannya, tidak akan menggugurkan kandungan ini. Apapun yang terjadi.

Besoknya Angga bawa jamu itu lagi, Dinda mencari jalan, supaya jamu itu tidak tertelan. Setiap hari ada saja cara Tuhan, membuat Dinda tidakinum jamu itu. Sampai hari ketujuh, jamu terakhir yang harus diminum Dinda.

“Minum Din, ini yang terakhir, maaf kan abang,” kata Angga.

Saat minum jamu di kehamilan bulan kedua, Pada kehamilan menginjak bulan keempat Dinda mulai khawatir, karena perut tidak mungkin ditutupi lagi.

Dinda membawa baju ganti  ke kantor, sedikit demi sedikit, dianggap sudah cukup buat ganti. Dinda pamitan pada ibu  dan bapak bos, kalau Dinda tidak bekerja lagi, mau istirahat dulu. Dinda ceritakan kejadiannya dan beliau mengerti, 

Kapanpun Dinda masuk lagi, pasti diterima itu pesan beliau. Dinda diberi tambahan ongkos pulang kampung. Dengan berat hati melepasnya, karena Dinda salah satu karyawan kepercayaan bos.

Pada kak Etha, Dinda bilang, mau kirim uang ke kampung jadi buku tabungannya mau diminta. Kak Etha tidak jadi masalah.

Dinda pesan sama ibu, jaga kesehatan, harus makan, jangan lupa minum obat.

Dinda mencium pipi, tangan, rambut. Ibu curiga.

“Kamu, tidak akan tinggalkan ibu kan nak?”

“Ibu suka berprasangka buruk,” jawab Dinda dengan wajah dibuat gembira.

Untuk Angga, tidak meninggalkan pesan apapun. Pagi itu hari bersejarah, Dinda perempuan muda energik, mandiri, tak pernah mengeluh, strong woman, akhirnya menyerah di tangan laki-laki bernama Angga, tujuannya pulang kampung, sampai melahirkan nanti. Baru dipikirkan selanjutnya. Sengaja Dinda tidak ke kampung halaman. Melainkan ke rumah adik sepupu yang tinggal di kota. Supaya kalau Angga mencari dipastikan. Dinda tidak dirumah.

Tabungan cukup untuk sampai melahirkan setelah itu baru dipikir selanjutnya, biaya di kampung masih terbilang murah.

Benar saja baru seminggu Dinda pergi, Angga menyusul sendiri, dilihatnya Dinda tidak ada, ditanya tetangga kiri kanan, memang tidak melihat. Angga menangis,  momen itu sangatlah pas untuk bapak dan emak memarahi Angga, hanya menangis dan memohon maaf pada bapak dan emak. Angga tidak menginap, hari itu juga Angga pulang ke Jakarta.

Belum waktu mendekati lahiran, Dinda sudah kontraksi, emak dan bapak menunggu Dinda. Semua cemas. Akhirnya dari perjuangan seorang Dinda,  Lahir bayi perempuan prematur dengan berat badan satu kilo sembilan ons, panjang empat puluh sembilan senti, bapak memberi nama TRISNANINGTYAS  artinya anak yang selalu dirindukan. Panggilannya Aning. 

Aning berumur satu bulan Angga datang lagi, bapak mengusirnya, dianggap tidak bertanggung jawab. Angga menangis mohon ampun, tapi bapak tidak memberi hati. Akhirnya Angga pulang dengan menitipkan surat buat Dinda.

Abang titipkan setetes darah daging abang, pada Dinda, jaga anak kita baik-baik, abang berdoa, semoga anak kita sebaik dan setangguh ibunya.

Surat singkat yang membuat Dinda luluh, tapi tidak dengan bapak. Hatinya masih sakit sekali. Dinda diperlakukan seperti binatang.

*****

Dinda sedang menggendong Aning, di pelataran rumah, pulang kampung berencana menitipkan Aning sama emak, karena Dinda mau kerja jadi SPG di kota bersama adik sepupunya. Sudah tiga bulan, sudah bisa ditinggal. Kemarin Dinda melamar dan diterima. Senin ini mulai masuk.

“Aning masih punya waktu dua hari sama ibu nak,” kata Dinda sambil menimang Aning.”

Aning tertawa geli karena telapak kakinya digelitiki. Tanpa di sadari, sebuah mobil datang, dan berhenti di samping Dinda.

Kak Etha, Amel, Dio, dan Bang Jefri datang, Dinda sampe bingung, mau lari atau menghampiri  tamu, Dinda takut pasti ada si bangke didalam.

Keluarga itu, menghambur keluar, memeluk Dinda, mereka bertangisan, ada tangis bahagia, tangis sedih, tangis rindu, kak Etha sangat terlihat bahagia bisa bertemu Dinda.

Kedatangan mereka untuk menjemput, Dinda dan Aning. Bapak tetap bersikukuh tidak mengijinkan Dinda ke Jakarta lagi. 

Hampir putus asa kak Etha menghadapi bapak orangnya kalem tapi ngekeh.

“Kalau keluarga Jakarta mau ketemu Dinda, silahkan datang, tapi untuk saat ini, saya tidak mengijinkan dibawa, kecuali yang menjemput, ibu dan bapaknya Angga, karena saya akan menitipkan dua nyawa sekaligus. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau ada sesuatu  sama anak dan cucu saya.”

Wajah Kak Etha dan Bang Jef merah padam, menahan malu, sampai berkali- kali, minta  maaf.

“Tapi pak, untuk mendatangkan orang tua laki- laki kayaknya agak mustahil,” kata Kak Etha.

“Yah, berarti mustahil juga buat saya, menyerahkan anak dan cucu saya.”

“Lihat sekarang mamanya Aning (bapak menunjuk Dinda), gemuk, sehat, waktu baru datang, bicara saja dia tidak mau, kaya orang stress.”

“Masa saya harus melakukan kesalahan kedua, dengan menyerahkan anak dan cucu saya sama pemabuk,” bapak emosi.

Kak Etha, dan Bang Jef, akhirnya menyerah, memang semua salah Angga, apalagi sekarang minta bapak  datang. Hal yang mustahil dilakukan. Menikah saja bapak tidak mau datang apa lagi ada masalah seperti ini, mana mau dia dilibatkan. Dinda tidak bisa berbuat apa-apa, tapi memang ini jalan nasibnya.

Bekerja untuk Aning, putri semata wayangnya. pekerjaan baru sudah menanti. Lebih baik mempersiapkan segala sesuatunya,  hari senin pertama masuk kerja. 

Kak Etha pulang ke Jakarta tanpa Dinda dan Aning. Tidak tahu harus bicara apa dengan Ibu Sonia, pastinya ibu akan sangat kecewa.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status