Acara resepsi pernikahan Leo dan Astrid pun selesai. Para tamu undangan sudah meninggalkan ruangan pesta sejak beberapa menit yang lalu. Kini yang masih tinggal dalam ruangan itu adalah keluarga dekat Leo dan Astrid, tentunya juga dengan kedua mempelai.
Sementara itu, Moza tampak bingung di kursi VIPnya. Bayu masih berada di sampingnya tanpa mau beranjak meninggalkan meja VIP sejak mendekati. Selama ini, Moza selalu tidur satu kamar dan satu tidur dengan Leo. Jadi dia merasa aneh jika harus pulang sendiri meninggalkan Leo di hotel ini bersama Astrid. Seperti membaca kebingungan Moza, Leo mendekati istri pertamanya itu dengan diikuti Astrid di samping. Astrid terus saja memeluk tangan Leo seolah tidak ingin melepaskannya. Itu sengaja dilakukannya terutama di depan Moza agar istri pertama Leo itu menjadi cemburu. "Moza..." sapa Leo setelah berada di dekat Moza. Moza menoleh. "Ya mas." "Kamu pulang saja, ya." "Tapi bagaimana dengan mas?" "Tentu saja aku tidak pulang. Malam ini 'kan malam pertamaku bersama Astrid." Moza menelan salivanya. Hatinya kembali merasa sakit mendengar kata malam pertama yang diucapkan oleh Leo. Itu artinya, Leo dan Astrid akan berhubungan badan malam ini. Istri mana yang tidak sakit mengetahui suami melakukan itu dengan wanita lain? Begitupun dengan dirinya. "Aku harus pulang?" tanya Moza dengan wajah tak terima. Dia seolah ingin menyeret Leo pulang agar tidak melakukan malam pertama dengan Astrid. "Iya, kamu harus pulang. Biar Bayu yang mengantarmu." Leo lalu menoleh pada Bayu. "Yu, aku titip Moza ya malam ini." Bayu mengangguk. "Baik tuan. Saya akan menjaga Nona Moza dengan baik seperti titah tuan." Leo menepuk lengan Bayu. "Bagus. Terima kasih ya." "Sama-sama tuan." Leo kembali mengarah pandang pada Moza. "Pulanglah, sayang. Ada Bayu yang menemanimu di rumah." Leo menangkupkan tangan ke wajah Moza, tersenyum, lalu mendekatkan bibirnya ke kening Moza. Di saat bibirnya hampir sampai, refleks Moza mendorong Leo. Entahlah, dia malas mendapatkan kecupan dari suaminya itu. Tentu saja itu membuat Leo menyipitkan matanya. "Moza, kamu marah padaku?" Moza tidak menjawab. Dia memilih untuk diam seribu bahasa. Leo menghela nafas berat. Dia merasa tertohok dengan penolakan Moza barusan. Tapi tak menyerah, Leo lalu meraih tangan Moza. "Moza kamu..." "Lepaskan aku!" Moza menepis tangan Leo kasar. "Aku...aku akan pulang sekarang..." ucap Moza kemudian. Ini adalah kejujuran hatinya yang tiba-tiba muncul. Mendengar malam pertama yang diucapkan Leo membuatnya seketika merasa jijik pada suaminya itu. Moza juga tidak habis fikir kenapa dengan mudahnya Leo menitipkannya pada pria lain yang bukan mahramnya sementara suaminya itu akan merasakan syurga dunia bersama wanita lain. Benar-benar suami yang tidak bertanggung jawab. Mata Leo melebar mendapati hal ini. Moza tampak sangat berbeda dari Moza yang selama ini dia kenal. Moza mengalihkan pandang dari Leo ke Bayu. "Mas Bayu ayo kita pulang sekarang!" Bayu mengangguk. "Baik, Nona." Dia lalu menoleh pada Leo. "Tuan, kami permisi." "I-iya. Hati-hati di jalan," jawab Leo gagap. Seumur pernikahan mereka, Moza tidak pernah bersikap seperti tadi. Bahkan, meskipun mereka menikah tanpa cinta, Moza tidak pernah menolak ketika Leo menginginkan tubuhnya. Moza selalu bersikap lembut dan penurut. Itulah sebabnya, Leo bingung ketika Moza bersikap seperti barusan. Leo menatap kepergian Moza dan Bayu dengan hati tak tenang. Dari setelah kedua orangtuanya mengajak Moza bermusyawarah mengenai pernikahan keduanya, istrinya itu tidak pernah menolaknya. Tapi tadi Moza menolak untuk dikecup kening dan dipegang tangan. Wajah Moza pun terlihat menyiratkan ketidaksukaan. "Kamu yakin mas menitipkan Moza pada Bayu?" tanya Astrid tiba-tiba. Leo menoleh pada Astrid. "Memangnya kenapa?" "Ya aneh. Bayu itu 'kan pria normal. Dia tampan lagi. Apa iya mereka tidak akan melakukan apa-apa jika di rumah berdua?" Leo tersenyum. "Kalau istriku itu bukan Moza, mungkin hal itu akan terjadi. Kamu belum kenal siapa itu Moza. Dia adalah wanita yang Sholehah yang selalu menjaga kesucian diri. Jangankan mau berbuat yang tidak-tidak dengan Bayu, menyentuh laki-laki yang bukan mahram saja jarang. Kecuali... jika terpaksa." "Ya... mungkin Moza tidak. Tapi bagaimana dengan Bayu? Bagaimana kalau Bayu merayu Moza?" "Astrid, kamu itu terlalu memikirkan hal yang tidak-tidak. Kalaupun Bayu merayu Moza, tapi Moza tidak mau, itu tidak akan terjadi. Lagian aku yakin Bayu adalah pria baik-baik. Selama ini, dia tampak tidak genit dengan wanita." Astrid angguk-angguk. "Oh, begitu..." Tapi dia tidak begitu percaya dengan ucapan Leo. Pria setampan dan segagah Bayu tidak mungkin tidak genit dengan wanita. Sekali lirik, wanita akan langsung klepek-klepek. Astrid sendiri mengakui kalau Bayu adalah pria yang nyaris sempurna. Dia sendiri terpikat dengan sopir Leo itu. Sayang, Bayu hanya seorang supir sehingga tidak bisa diandalkan jika dijadikan suami. Berbeda kalau dijadikan selingkuhan, maka Bayu adalah pilihan yang tepat. "Sudahlah. Jangan teruskan fikiranmu yang tidak-tidak itu. Lebih baik sekarang kita ke kamar. Ini 'kan malam pertama kita," bisik Leo di telinga Astrid. Astrid tersipu manja. "Iya iya. Tapi mas tidak capek 'kan malam ini? Mas masih punya tenaga 'kan?" Leo merangkul bahu Astrid. "Tentu dong sayang. Kamu tau, momen seperti ini adalah yang aku tunggu dari dulu meski kita sempat terpisah karena perjodohanku. Untungnya, kedua orangtuaku akhirnya tersadar dan kembali menyatukan kita." "Iya, mas. Aku juga sangat bersyukur. Aku janji aku akan memberikanmu keturunan. Kamu akan memiliki anak dariku." Leo mengecup pipi Astrid gemas. "Aku tunggu janjimu itu, sayang." Keduanya lalu melangkah meninggalkan ruang pesta menuju kamar pengantin mereka. *** Bayu berkali-kali melirik Moza yang duduk di sofa belakang dari spion tengah mobil. Wanita itu menatap keluar jendela dengan air mata yang terus saja berlinang tiada henti. Hati Bayu begitu terenyuh menyaksikan itu. Ingin rasanya dia menghentikan mobil dan memeluk Moza erat-erat agar wanita itu tidak lagi menangis. Dia ingin menunjukkan kalau dirinya perduli. Akan tetapi, itu tidak mungkin dilakukannya mengingat Moza bukanlah miliknya saat ini. Tapi bukan itu yang membuatnya tidak berani memeluk Moza, namun karena yakin Moza akan marah besar kalau dia berani memeluk. Moza tidak akan mau dipeluk oleh lelaki selain mahramnya. Mengingat ini semua, ingin rasanya Bayu kembali ke hotel dan menghajar Leo dengan pukulan yang keras. Dia benar-benar marah dengan pria itu yang sekarang tentu sedang menikmati syurga dunia bersama istri keduanya tanpa memikirkan perasaan Moza. Dia berharap Leo segera menceraikan Moza karena hanya dengan begitu dia bisa mengambil Moza sebagai istrinya. Mungkin, bisa saja dia merebut Moza saat ini dari Leo jika dia mau. Akan tetapi, ini belum waktunya. Masih banyak yang harus dia selesaikan. Dia tidak ingin rencananya gagal hanya karena masalah hati. "Nona, apa anda baik-baik saja?" tanya Bayu kemudian dengan melirik sekilas Moza dari spion tengahnya. Moza terhenyak dan menoleh pada Bayu yang duduk membelakanginya. "Aku... tidak apa-apa." "Saya perhatikan anda terus saja menangis, Nona." "Harusnya kamu mengerti, mas. Bahwa tidak ada perempuan yang hatinya tidak terluka suaminya menikah lagi." "Kalau anda merasa ini tidak adil bagi anda, anda bisa mengugat cerai, nona." Moza tersentak. "Mas, kamu ini bicara apa? Kenapa mengajariku tentang perceraian?" Bersambung..."Maksud kamu apa sih?" tanya Haris dengan tatapan penuh selidik. Arthur tersenyum geli. Dia merasa lucu dengan drama ini. Dia lalu mencondongkan wajahnya pada Haris. "Paman mau tau apa yang sebenarnya sudah terjadi?"Haris tidak bereaksi. "Oke, lihat apa yang aku lakukan ya?"Dengan angkuhnya, Arthur mendekati tempat pembaringan Rebeca. Dia lalu duduk di samping Rebeca dekat kepala wanita itu. Dia menatap wajah Rebeca yang tampak lesu tidak berdaya."Oma," Arthur mulai berbisik di dekat telinga Rebeca. Tapi suaranya bisa di dengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. "Kenapa Oma tidak bangun saja? Memangnya Oma tidak pegal berpura-pura sakit?"Deg.Saat itu juga, jantung Rebeca berdegup kencang. Apa maksud dari ucapan Arthur? Mungkinkah pria itu sudah mengetahui kepura-puraannya?"Sudahlah, Oma. Aku sudah tau kok kalau Oma itu sehat walafiat. Dan sakit Oma ini hanyalah sandiwara saja agar aku mengikuti keinginan Oma untuk menikah dengan Isyana."Melihat itu, Haris geram.
Akhirnya setelah dipikirkan dan setelah meminta pendapat Amelia, Moza ikut pulang bersama Arthur meski hatinya masih berkecamuk. Tapi dia memberi penegasan kapada suaminya itu bahwa di rumah nanti, dia ingin berpisah kamar dulu seperti yang pernah dia lakukan sampai tiga hari sesuai dengan kesepakan mereka. Arthur setuju dan akan secepatnya menyelesaikan masalah ini tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Kamu tenang saja, ya. Masalah ini pasti akan selesai dengan baik. Aku butuh dukungan kamu untuk sabar dan jangan lagi melarikan diri. Kamu boleh marah padaku. Marah saja. Tapi jangan lagi melarikan diri. Aku sedang mencari jalan yang terbaik," ucap Athur sembari menggenggam tangan Moza. Moza mengangguk. "Iya, mas. Tapi waktu itu ketika aku marah dan tidak mau dikecup sama mas, mas balik marah sama aku dan langsung memaksaku."Glek.Arthur menelan salivanya. "Oh, kalau yang waktu itu sih aku sedang khilaf. Aku syok karena tiba-tiba kamu menolak.""Tapi tetap saja namanya mas tidak te
"Aku lelah hidup seperti ini, Mel. Mengapa masalahku selalu ada orang ketiga? Mas Arthur memang berkata bahwa dia tidak akan menduakan aku dan lebih memilih diriku daripada keluarganya. Akan tetapi aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku tidak mau dia berdosa mengabaikan keinginan almarhum kakek dan oma-nya. Gara-gara kehadiranku, oma-nya sampai sakit. Aku sepertinya jadi beban keluarganya."Amelia menghela nafas panjang. "Aku bingung mau memberi solusi apa, Moz. Aku merasa pendapat kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang tidak nyaman di posisi ini lalu merasa lelah dan Mas Arthur yang lebih memilih kamu daripada keluarganya. Dia tidak mau dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cinta.""Iya, bagaimana kalau oma-nya meninggal gara-gara ini? Aku merasa serba salah. Aku sudah capek dengan yang terjadi. Karena itu, aku merasa ingin menyerah saja. Aku tidak apa-apa kok hidup tanpa Mas Arthur.""Yakin kamu bisa hidup tanpa dia? Kamu itu sedang hamil anak dia. Jadi tentu saja kamu me
Di ruangannya Arthur tampak gelisah. Apa yang terjadi semalam membuatnya tidak lagi fokus dengan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan saat ini. Rasanya pikirannya yang ruwet ini tidak bisa di ajak untuk bekerja. Roby yang sejak tadi ada bersama Arthur, sejak tadi memperhatikan atasannya tersebut. Dia ikut prihatin dengan masalah pelik yang menimpa Arthur. Dia ingin membantu jika memang memiliki cara yang tepat. Tiba-tiba saja, dia berfikir tentang sesuatu. Ini memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi ini adalah sesuatu yang membuat masalah menjadi jelas dan Arthur bisa mengambil keputusan dengan baik."Tuan." Panggilan itu cukup mengejutkan Arthur. Pria itu langsung menoleh pada Roby. "Ya, ada apa?""Ada yang ingin saya sampaikan.""Sampaikanlah saja."Roby mendekati Arthur dan membisiki sesuatu. Arthur angguk-angguk. Dia tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Roby."Bagus itu. Aku setuju jika kamu mau melakukan itu. Aku akan mendukungnya. Kerjakan sekarang juga dan
"Kamu keterlaluan Ar! Bisa-bisanya kamu menolak keinginan terakhir Oma! Kamu debat keinginan oma dan kakek kamu sendiri hanya demi seorang wanita! Kami ini keluargamu! Harusnya kamu mendengarkan keinginan kami juga! Lihat, Yana kamu buat tersinggung! Dan sekarang Oma jadi tidak sadarkan diri gara-gara kamu! Puas kamu!"Kalimat penuh amarah Haris terus berdengung di telinganya. Dia tidak menyangka kalau gara-gara penolakannya, Rebeca akhirnya tidak sadarkan diri. Semua keluarga sekarang menyalahkan dirinya. Mereka menganggap bahwa dirinya terlalu keras karena mempertahankan pendapatnya untuk tidak menyakiti istrinya dengan menikah lagi tapi menganggap tak punya hati kepada oma-nya sendiri.Akhirnya karena perdebatan itu, Rebeca pingsan dan akhirnya tidak sadarkan diri."Tuan masih memikirkan kejadian di rumah sakit tadi?" tanya Roby yang sejak tadi memperhatikan Arthur dari kaca tengah mobil."Ya, tentu saja aku memikirkannya. Kamu tau bukan kalau aku tidak mungkin mengingkari janjiku
Arthur mengalihkan pandangan dari layar tipisnya ke Candra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Setiap kali melihat orang-orang Rebeca, hatinya langsung merasa tidak enak. "Maaf tuan saya mengganggu," ucap Candra setelah mengangguk hormat. Arthur menatap tajam pada Candra. "Ada perlu apa kamu datang kemari? Apa kamu dapat perintah dari Oma untuk membujukku bertunangan dengan Isyana?""Tidak tuan. Saya tidak datang untuk itu.""Lalu?""Saya datang untuk memberi kabar yang kurang baik kepada anda."Kening Arthur mengerut. "Memangnya kabar apa?"Candra menunduk seolah sedih. "Nyonya...nyonya Rebeca drop. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Dia ingin bertemu dengan cucu-cucunya. Karena itu saya datang kesini tuan. Saya harap secepatnya anda mengunjungi Nyonya Rebeca. Karena walaupun anda tidak menyukainya, dia tetaplah nenek anda yang harus anda hargai dan hormati. Apalagi saat ini keadaan Nyonya sangat memprihatikan."Arthur terdiam. Selama ini setahunya Rebeca memang kerap drop.