Astrid mengurai pelukannya. Dia tersenyum manis pada Moza meski dalam hati merasa penuh kemenangan.
'Malam ini kamu akan menangis, Moza. Karena Leo akan tidur denganku dan akan kubuat dia selalu tidur denganku. Dulu aku yang terluka dan sekarang kau yang akan terluka,' ucap hati Astrid. Moza pun membalas senyum Astrid dengan perasaan berkecamuk. Tapi dia ingin terlihat menerima kehadiran madunya itu dalam kehidupan pernikahannya. Setelah sungkem-sungkeman, acara langsung dilanjutkan dengan acara resepsi. Tamu undangan tidak begitu banyak, tapi juga tidak begitu sedikit. Sedang-sedang saja. Susan dan Malik hanya mengundang orang-orang yang sangat dikenalnya saja mengingat ini bukanlah pernikahan pertama Leo. Acara resepsi digelar sampai malam tiba dengan segala riuh rentaknya dan gelak tawa tamu undangan, memojokkan Moza yang duduk di meja VIP di ballroom Red Hotel itu sembari memandang sedih ke pelaminan. Dia berusaha untuk ikhlas dan menerima Moza sebagai madunya. Tapi kenapa hatinya tetap sakit? Sementara itu, dari salah satu sudut ruangan. Seorang pria berwajah tampan dan bertubuh tegap yang menggunakan jas abu-abu terus saja memperhatikan Moza. Namanya Bayu. Dia bukan tamu undangan, juga bukan keluarga besar kedua mempelai. Dia hanyalah sopir pribadi Leo yang juga merangkap sebagai assisten. Tapi dengan wajah dan tubuhnya yang nyaris sempurna, orang-orang tidak akan menyangka kalau dia hanya seorang supir. Saat ini, Bayu begitu ingin mendekati Moza dan menghibur wanita yang sejak beberapa bulan lalu sangat dikaguminya itu. Di matanya, Moza adalah sosok bidadari syurga yang ada di dunia. Moza cantik jelita, selalu menjaga kesucian diri dengan hijab dan pakaian longgarnya, serta sholehah. Dia sampai tidak habis fikir kenapa Leo tega menyakiti wanita seperti Moza dengan menikah lagi. Tidakkah Leo takut kehilangan wanita seperti Moza? Jika dia jadi Leo, dia tidak perduli dengan ada tidaknya anak dalam pernikahan mereka yang penting tidak menyakiti Moza. Bayu terhenyak begitu iris coklatnya mendapati begitu banyak tisu bekas di depan Moza. Lalu wanita itu tampak terus menyeka wajahnya dengan tisu. Sejak acara akad nikah, Moza terus menangis. Dan itu tidak luput dari perhatian Bayu. Nelangsanya lagi, seperti tak ada satu pun orang yang memperdulikan kesedihan wanita cantik tersebut. Mungkin itu karena tidak ada satu pun orang dalam ruangan pesta ini yang merupakan keluarga Moza yang sebatang kara. 'Moza, seterluka itukah hatimu?' tanya Bayu dalam hati. Dengan tak bisa menahannya lagi, Bayu bergerak mendekat Moza. "Nona Moza, apakah ada yang bisa saya bantu?" Moza terhenyak dengan suara yang tiba-tiba itu. Sontak dia menoleh dan menengadahkan wajahnya sedikit demi mencapai wajah Bayu yang berdiri di dekatnya. "Oh, eh, tidak. Aku tidak sedang butuh apa pun saat ini Mas Bayu. Mas Bayu bisa meninggalkan aku sendiri lagi," balas Moza agak gelegapan. Dia memanggil Bayu dengan panggilan 'Mas' seperti juga pada Leo, karena menghargai usia Bayu yang lebih tua darinya meskipun seorang supir. Tapi bukannya pergi seperti perintah Moza, Bayu justru malah menarik kursi dan duduk di samping Moza. Terkesan lancang sekali memang. Namun Bayu tidak perduli. Bahkan jika Moza membutuhkan bahunya sebagai tempat bersandar, dia akan bersedia. Sayangnya, Bayu tahu itu tidak akan terjadi. Moza adalah wanita yang jarang menyentuh pria lain selain suaminya sendiri, Leo. Mata Moza yang bulat dan indah langsung melebar melihat yang dilakukan Bayu. "Mas, kenapa mas malah duduk di sini?" "Memangnya kenapa?" tanya Bayu balik tanpa menoleh. Matanya terus saja tertuju ke pelaminan dimana Leo bersanding penuh bahagia dengan Astrid dan mengabaikan Moza yang sedang bergelut dengan kesedihan. Sebenarnya, Bayu ingin melihat wajah Moza yang cantik saja ketimbang melihat pelaminan yang bikin sesak. Tapi sejak tahu Moza selalu menjaga pandangan, Bayu pun seolah segan untuk untuk memandang. Dia takut Moza merasa tidak nyaman. "Kenapa bagaimana? Mas sedang bertugas bukan? Menjaga pintu bersama petugas-petugas yang lain?" "Tapi menjaga Nona juga harus saya prioritaskan. Sedari tadi, saya lihat anda terus menangis dan tidak ada yang menemani anda. Jadi, saya merasa lebih baik saya bersama anda ketimbang menjaga pintu. Di sana sudah banyak orang yang bertugas." "Aku tidak perlu kamu prioritaskan, mas. Aku baik-baik saja." Moza merasa sikap Bayu berlebihan meski terkesan baik. "Nona tidak tau apa kalau kesedihan bisa menyebabkan orang pingsan bahkan meninggal dunia?" Glek. Moza merasa tertohok. Dia memang pernah mendengar itu. Akan tetapi, dia yakin kesedihannya tidak akan membuatnya sampai pingsan apalagi meninggal. "Tapi nanti orang-orang akan salah faham tentang kita. Terutama Mas Leo dan kedua mertuaku." "Itu tidak akan terjadi, nona. Anda tidak perlu khawatir. Karena selain kita tidak melakukannya apa-apa, Tuan Leo dan mertua anda sedang bersuka cita. Orang yang bahagia tidak akan perduli dengan sekitarnya termasuk pada apa yang terjadi dengan anda. Mereka semua itu tidak memperdulikan perasaan anda." Moza kembali terhenyak, lalu menyipitkan matanya pada wajah Bayu yang dia akui memang sangat tampan. "Maksudmu apa, Mas? Kenapa kamu bicara seperti itu?" Kali ini, Bayu menoleh dan menatap wajah Moza lekat. "Jika mereka perduli, pernikahan ini tidak akan terjadi. Itu intinya." Moza terperangah. Dia tidak menyangka seorang supir seperti Bayu bisa berkata seperti itu. Tapi entah mengapa Moza merasakan apa yang dikatakan Bayu adalah benar. Itu seperti menyuarakan isi hatinya bahwa orang-orang di sekitarnya memang tidak ada yang perduli dengan perasaannya termasuk Leo sekali pun. Harusnya mereka bisa mengerti bahwa tidak ada wanita yang tidak sakit hati jika suaminya menikah lagi. Moza menghela nafas berat sembari memejamkan matanya, memperlihatkan bulu matanya yang lentik. 'Tidak. Aku tidak boleh punya fikiran seperti ini. Aku harus sabar. Aku harus ikhlas. Wanita yang dimadu di dunia ini bukan hanya aku, tapi banyak. Aisyah yang mulia pun bahkan dimadu oleh Rasulullah.' Moza berusaha menguatkan hatinya. Moza membuka matanya dan menatap Bayu. "Aku rasa mas salah. Terkadang kepedulian tidak harus diucapkan dengan kata-kata tapi perbuatan. Lagipula Mas Leo sudah berjanji bahwa dia akan bersikap adil. Jadi, harusnya tidak ada yang perlu aku sedihkan. Aku hanya perlu waktu untuk menerima." Bayu menipiskan bibir. Dia sudah menduga wanita cantik di sampingnya ini akan menjawab seperti itu. Selama ini, Bayu juga mengenal Moza sebagai sosok yang sabar dan selalu berprasangka baik pada orang lain. "Ya, aku juga berharap seperti itu." Akhirnya itu yang menjadi jawaban Bayu. Dia tidak ingin berdebat meski tahu pemikiran Moza jelas menyakiti hati diri sendiri. Menurutnya, seorang wanita haruslah tegas sehingga lelaki pun segan untuk mencampakkan. Karena semakin lemah seorang wanita akan semakin diinjak-injak oleh kaum Adam. Bersambung..."Maksud kamu apa sih?" tanya Haris dengan tatapan penuh selidik. Arthur tersenyum geli. Dia merasa lucu dengan drama ini. Dia lalu mencondongkan wajahnya pada Haris. "Paman mau tau apa yang sebenarnya sudah terjadi?"Haris tidak bereaksi. "Oke, lihat apa yang aku lakukan ya?"Dengan angkuhnya, Arthur mendekati tempat pembaringan Rebeca. Dia lalu duduk di samping Rebeca dekat kepala wanita itu. Dia menatap wajah Rebeca yang tampak lesu tidak berdaya."Oma," Arthur mulai berbisik di dekat telinga Rebeca. Tapi suaranya bisa di dengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. "Kenapa Oma tidak bangun saja? Memangnya Oma tidak pegal berpura-pura sakit?"Deg.Saat itu juga, jantung Rebeca berdegup kencang. Apa maksud dari ucapan Arthur? Mungkinkah pria itu sudah mengetahui kepura-puraannya?"Sudahlah, Oma. Aku sudah tau kok kalau Oma itu sehat walafiat. Dan sakit Oma ini hanyalah sandiwara saja agar aku mengikuti keinginan Oma untuk menikah dengan Isyana."Melihat itu, Haris geram.
Akhirnya setelah dipikirkan dan setelah meminta pendapat Amelia, Moza ikut pulang bersama Arthur meski hatinya masih berkecamuk. Tapi dia memberi penegasan kapada suaminya itu bahwa di rumah nanti, dia ingin berpisah kamar dulu seperti yang pernah dia lakukan sampai tiga hari sesuai dengan kesepakan mereka. Arthur setuju dan akan secepatnya menyelesaikan masalah ini tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Kamu tenang saja, ya. Masalah ini pasti akan selesai dengan baik. Aku butuh dukungan kamu untuk sabar dan jangan lagi melarikan diri. Kamu boleh marah padaku. Marah saja. Tapi jangan lagi melarikan diri. Aku sedang mencari jalan yang terbaik," ucap Athur sembari menggenggam tangan Moza. Moza mengangguk. "Iya, mas. Tapi waktu itu ketika aku marah dan tidak mau dikecup sama mas, mas balik marah sama aku dan langsung memaksaku."Glek.Arthur menelan salivanya. "Oh, kalau yang waktu itu sih aku sedang khilaf. Aku syok karena tiba-tiba kamu menolak.""Tapi tetap saja namanya mas tidak te
"Aku lelah hidup seperti ini, Mel. Mengapa masalahku selalu ada orang ketiga? Mas Arthur memang berkata bahwa dia tidak akan menduakan aku dan lebih memilih diriku daripada keluarganya. Akan tetapi aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku tidak mau dia berdosa mengabaikan keinginan almarhum kakek dan oma-nya. Gara-gara kehadiranku, oma-nya sampai sakit. Aku sepertinya jadi beban keluarganya."Amelia menghela nafas panjang. "Aku bingung mau memberi solusi apa, Moz. Aku merasa pendapat kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang tidak nyaman di posisi ini lalu merasa lelah dan Mas Arthur yang lebih memilih kamu daripada keluarganya. Dia tidak mau dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cinta.""Iya, bagaimana kalau oma-nya meninggal gara-gara ini? Aku merasa serba salah. Aku sudah capek dengan yang terjadi. Karena itu, aku merasa ingin menyerah saja. Aku tidak apa-apa kok hidup tanpa Mas Arthur.""Yakin kamu bisa hidup tanpa dia? Kamu itu sedang hamil anak dia. Jadi tentu saja kamu me
Di ruangannya Arthur tampak gelisah. Apa yang terjadi semalam membuatnya tidak lagi fokus dengan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan saat ini. Rasanya pikirannya yang ruwet ini tidak bisa di ajak untuk bekerja. Roby yang sejak tadi ada bersama Arthur, sejak tadi memperhatikan atasannya tersebut. Dia ikut prihatin dengan masalah pelik yang menimpa Arthur. Dia ingin membantu jika memang memiliki cara yang tepat. Tiba-tiba saja, dia berfikir tentang sesuatu. Ini memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi ini adalah sesuatu yang membuat masalah menjadi jelas dan Arthur bisa mengambil keputusan dengan baik."Tuan." Panggilan itu cukup mengejutkan Arthur. Pria itu langsung menoleh pada Roby. "Ya, ada apa?""Ada yang ingin saya sampaikan.""Sampaikanlah saja."Roby mendekati Arthur dan membisiki sesuatu. Arthur angguk-angguk. Dia tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Roby."Bagus itu. Aku setuju jika kamu mau melakukan itu. Aku akan mendukungnya. Kerjakan sekarang juga dan
"Kamu keterlaluan Ar! Bisa-bisanya kamu menolak keinginan terakhir Oma! Kamu debat keinginan oma dan kakek kamu sendiri hanya demi seorang wanita! Kami ini keluargamu! Harusnya kamu mendengarkan keinginan kami juga! Lihat, Yana kamu buat tersinggung! Dan sekarang Oma jadi tidak sadarkan diri gara-gara kamu! Puas kamu!"Kalimat penuh amarah Haris terus berdengung di telinganya. Dia tidak menyangka kalau gara-gara penolakannya, Rebeca akhirnya tidak sadarkan diri. Semua keluarga sekarang menyalahkan dirinya. Mereka menganggap bahwa dirinya terlalu keras karena mempertahankan pendapatnya untuk tidak menyakiti istrinya dengan menikah lagi tapi menganggap tak punya hati kepada oma-nya sendiri.Akhirnya karena perdebatan itu, Rebeca pingsan dan akhirnya tidak sadarkan diri."Tuan masih memikirkan kejadian di rumah sakit tadi?" tanya Roby yang sejak tadi memperhatikan Arthur dari kaca tengah mobil."Ya, tentu saja aku memikirkannya. Kamu tau bukan kalau aku tidak mungkin mengingkari janjiku
Arthur mengalihkan pandangan dari layar tipisnya ke Candra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Setiap kali melihat orang-orang Rebeca, hatinya langsung merasa tidak enak. "Maaf tuan saya mengganggu," ucap Candra setelah mengangguk hormat. Arthur menatap tajam pada Candra. "Ada perlu apa kamu datang kemari? Apa kamu dapat perintah dari Oma untuk membujukku bertunangan dengan Isyana?""Tidak tuan. Saya tidak datang untuk itu.""Lalu?""Saya datang untuk memberi kabar yang kurang baik kepada anda."Kening Arthur mengerut. "Memangnya kabar apa?"Candra menunduk seolah sedih. "Nyonya...nyonya Rebeca drop. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Dia ingin bertemu dengan cucu-cucunya. Karena itu saya datang kesini tuan. Saya harap secepatnya anda mengunjungi Nyonya Rebeca. Karena walaupun anda tidak menyukainya, dia tetaplah nenek anda yang harus anda hargai dan hormati. Apalagi saat ini keadaan Nyonya sangat memprihatikan."Arthur terdiam. Selama ini setahunya Rebeca memang kerap drop.